Dialog Ibn Athaillah Al
Sakandari (w.709 H) dengan Ibn Taymiyah (w. 728 H). Diterjemahkan dari On
Tasawuf Ibn Atha’illah Al-Sakandari: “The Debate with Ibn Taymiyah Ditranslasi
dari buku karya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani’s The repudiation of “Salafi”
Innovations (Kazi, 1996)Bismillahi ar rahmani ar rahiimAbu Fadl Ibn Athaillah
Al Sakandari (wafat 709), salah seorang imam sufi terkemuka yang juga dikenal
sebagai seorang muhaddits, muballigh sekaligus ahli fiqih Maliki, adalah
penulsi karya-karya berikut: Al Hikam, Miftah ul Falah, Al Qasdul al Mujarrad
fi Makrifat al ism al-Mufrad, Taj al-Arus al-Hawi li tadhhib al-nufus, Unwan
al-Taufiq fi al Adad al-Thariq, sebuah biografi: Al-Lataif fi manaqib Abi al
Abbas al Mursi wa sayykhihi Abi al Hasan, dan lain-lain. Beliau adalah murid
Abu al Abbas Al-Musrsi (wafat 686) dan generasi penerus kedua dari pendiri
tarekat Sadziliyah: Imam Abu Al Hasan Al Sadzili.
Ibn Athaillah adalah salah
seorang yang membantah Ibn Taymiyah atas serangannya yang berlebihan terhadap
kaum sufi yang tidak sefaham dengannya. Ibn Athaillah tak pernah menyebut Ibn
Taymiyah dalam setiap karyanya, namun jelaslah bahwa yang disinggungnya adalah
Ibn Taymiyah saat ia mengatakan dalam Lataif: sebagai “cendekiawan ilmu
lahiriyah”.Satu Halaman berikut ini merupakan terjemahan Inggris pertama atas
dialog bersejarah antara kedua tokoh tersebut.
Naskah Dialog :
Kesaksian Ibn Taymiyah kepada Ibn AthaillahDari Usul al-Wusul karya Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Katsir, Ibn Al Athir, dan penulis biografi serta kamus biografi, kami memperoleh naskah dialog bersejarah yang otentik. Naskah tersebut memberikan ilham tentang etika berdebat di antara kaum terpelajar. Di samping itu, ia juga merekam kontroversi antara pribadi yang bepengaruh dalam Tasawuf: Syaikh Ahmad Ibn Athaillah Al Sakandari, dan tokoh yang tak kalah pentingnya dalam gerakan “Salafi”: Syaikh Ahmad Ibn Abd Al Halim Ibn Taymiyah selama era Mamluk di Mesir yang berada dibawah pemerintahan Sulthan Muhammad Ibn Qalawun (Al Malik Al Nasir).
Ibn Taymiyah ditahan di
Alexandria. Ketika sultan memberikan ampunan, ia kembali ke Kairo. Menjelang
malam, ia menuju masjid Al Ahzar untuk sholat maghrib yang diimami Syaikh ibn
Athaillah. Selepas shalat, Ibn Athailah terkejut menemukan Ibn Taymiyah sedang
berdoa dibelakangnya. Dengan senyuman, sang syaikh sufi menyambut ramah
kedatangan Ibn Taymiyah di Kairo seraya berkata: Assalamualaykum, selanjutnya
ia memulai pembicaraan dengan tamu cendekianya ini.
IBN ATHAILLAH: “Biasanya
saya sholat di masjid Imam Husein dan sholat Isya di sini. Tapi lihatlah
bagaimana ketentuan Allah berlaku! Allah menakdirkan sayalah orang pertama yang
harus menyambut anda (setelah kepulangan anda ke Kairo). Ungkapkanlah kepadaku
wahai faqih, apakah anda menyalahkanku atas apa yang telah terjadi?”
IBN TAYMIYAH: “Aku tahu,
anda tidak bermaksud buruk terhadapku, tapi perbedaan pandangan diantara kita
tetap ada. Sejak hari ini, dalam kasus apapun, aku tidak mempersalahkan dan
membebaskan dari kesalahan, siapapun yang berbuat buruk terhadapku”
IBN ATHAILLAH: Apa yang
anda ketahui tentang aku, syaikh Ibn Taymiyah?
IBN TAYMIYAH: Aku tahu
anda adalah seorang yg saleh, berpengetahuan luas, dan senantiasa berbicara
benar dan tulus. Aku bersumpah tidak ada orang selain anda, baik di Mesir
maupun Syria yang lebih mencintai Allah ataupun mampu meniadakan diri di
(hadapan) Allah atau lebih patuh atas perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Tapi bagaimanapun juga
kita memiliki perbedaan pandangan. Apa yang anda ketahui tentang saya? Apakah
anda atau saya sesat dengan menolak kebenaran (praktik) meminta bantuan
seseorang untuk memohon pertolongan Allah (istighatsah)?
IBN ATHAILLAH: Tentu saja,
rekanku, anda tahu bahwa istighatsah atau memohon pertolongan sama dengan tawasul
atau mengambil wasilah (perantara) dan meminta syafaat; dan bahwa Rasulullah
saw, adalah seorang yang kita harapkan bantuannya karena beliaulah perantara
kita dan yang syafaatnya kita harapkan.
IBN TAYMIYAH: Mengenai hal
ini saya berpegang pada sunnah rasul yang ditetapkan dalam syariat. Dalam
hadits berbunyi sebagai: Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat. Dalam ayat
al Qur’an juga disebutkan: “Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu (wahai
Nabi) ke tempat yang terpuji (Q.S Al Isra : 79). Yang dimaksud dengan tempat
terpuji adalah syafaat. Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali ra wafat,
Rasulullah berdoa pada Allah di kuburnya: “Ya Allah Yang Maha Hidup dan Tak
pernah mati, Yang Menghidupkan dan Mematikan, ampuni dosa-dosa ibunda saya
Fatimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan dimasukinya dengan syafaatku,
utusanMu, dan para nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang Maha Pengasih dan Maha
Pengampun”.
Inilah syafaat yang
dimiliki rasulullah saw. Sementara mencari pertolongan dari selain Allah, merupakan
suatu bentuk kemusyrikan; Rasulullah saw sendiri melarang sepupunya, Abdullah
bin Abbas, memohon pertolongan dari selain Allah.
IBN ATHAILLAH: Semoga
Allah mengaruniakanmu keberhasilan, wahai faqih! Maksud dari saran Rasulullah
saw kepada sepupunya Ibn Abbas, adalah agar ia mendekatkan diri kepada Allah
tidak melalui kekerabatannya dengan rasul melainkan dengan ilmu pengetahuan.
Sedangkan mengenai pemahaman anda tentang istighosah sebagai mencari bantuan
kepada selain Allah, yang termasuk perbuatan musyrik, saya ingin bertanya
kepada anda,” Adakah muslim yang beriman pada Allah dan rasulNya yang
berpendapat ada selain Allah yang memiliki kekuasaaan atas segala kejadian dan
mampu menjalankan apa yang telah ditetapkanNya berkenaan dengan dirinya sendiri?”
” Adakah mukmin sejati
yang meyakini ada yang dapat memberikan pahala atas kebaikan dan menghukum atas
perbuatan buruk, selain dari Allah? Disamping itu, seharusnya kita sadar bahwa
ada berbagai ekspresi yang tak bisa dimaknai sebatas harfiah belaka. Ini bukan
saja dikhawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah
sarana kemusyrikan. Sebab, siapapun yang meminta pertolongan Rasul berarti
mengharapkan anugerah syafaat yang dimiliknya dari Allah, sebagaimana jika anda
mengatakan: “Makanan ini memuaskan seleraku”. Apakah dengan demikian makanan
itu sendiri yang memuaskan selera anda? Ataukah disebabkan Allah yang
memberikan kepuasan melalui makanan?
Sedangkan pernyataan anda
bahwa Allah melarang muslim untuk mendatangi seseorang selain DiriNya guna
mendapat pertolongan, pernahkah anda melihat seorang muslim memohon pertolongan
kepada selain Allah? Ayat Al quran yang anda rujuk, berkenaan dengan kaum musyrikin
dan mereka yang memohon pada dewa dan berpaling dari Allah. Sedangkan
satu-satunya jalan bagi kaum muslim yang meminta pertolongan rasul adalah dalam
rangaka bertawasul atau mengambil perantara, atas keutamaan (hak) rasul yang
diterimanya dari Allah (bihaqqihi inda Allah) dan tashaffu atau memohon bantuan
dengan syafaat yang telah Allah anugerahkan kepada rasulNya.
Sementara itu, jika anda
berpendapat bahwa istighosah atau memohon pertolongan itu dilarang syariat
karena mengarah pada kemusyrikan, maka kita seharusnya mengharamkan anggur
karena dapat dijadikan minuman keras, dan mengebiri laki-laki yang tidak
menikah untuk mencegah zina.
(Kedua syaikh tertawa atas
komentar terakhir ini).
Lalu IBN ATHAILLAH
melanjutkan: “Saya kenal betul dengan segala inklusifitas dan gambaran mengenai
sekolah fiqih yang didirikan oleh syaikh anda, Imam Ahmad, dan saya tahu betapa
luasnya teori fiqih serta mendalamnya “prinsip-prinsip agar terhindar dari
godaan syaitan” yang anda miliki, sebagaimana juga tanggung jawab moral yang
anda pikul selaku seorang ahli fiqih.
Namun saya juga menyadari
bahwa anda dituntut menelisik di balik kata-kata untuk menemukan makna yang
seringkali terselubung dibalik kondisi harfiahnya. Bagi sufi, makna laksana
ruh, sementara kata-kata adalah jasadnya. Anda harus menembus ke dalam jasad
fisik ini untuk meraih hakikat yang mendalam. Kini anda telah memperoleh dasar
bagi pernyataan anda terhadap karya Ibn Arabi, Fususul Hikam. Naskah tersebut
telah dikotori oleh musuhnya bukan saja dengan kata-kata yang tak pernah
diucapkannya, juga pernyataan-pernyataan yang tidak dimaksudkannya (memberikan
contoh tokoh islam).
Ketika syaikh al islam Al
Izz ibn Abd Salam memahami apa yang sebenarnya diucapan dan dianalisa oleh Ibn
Arabi, menangkap dan mengerti makna sebenarnya dibalik ungkapan simbolisnya, ia
segera memohon ampun kepada Allah swt atas pendapatnya sebelumnya dan
menokohkan Muhyiddin Ibn Arabi sebagai Imam Islam.
Sedangkan mengenai
pernyataan al Syadzili yang memojokkan Ibn Arabi, perlu anda ketahui, ucapan
tersebut tidak keluar dari mulutnya, melainkan dari salah seorang murid
Sadziliyah. Lebih jauh lagi, pernyataan itu dikeluarkan saat para murid
membicarakan sebagian pengikut Sadziliyah. Dengan demikian, pernyataan itu
diambil dalam konteks yang tak pernah dimaksudkan oleh sang pembicaranya
sendiri. “Apa pendapat anda mengenai khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib?”
IBN TAYMIYAH: Dalam salah
satu haditsnya, rasul saw bersabda: “Saya adalah kota ilmu dan Ali lah
pintunya”. Sayyidina Ali adalah merupakan seorang mujahid yang tak pernah
keluar dari pertempuran kecuali dengan membawa kemenangan. Siapa lagi ulama
atau fuqaha sesudahnya yang mampu berjuang demi Allah menggunakan lidah, pena
dan pedang sekaligus? Dialah sahabat rasul yang paling sempurna-semoga Allah
membalas kebaikannya. Ucapannya bagaikan cahaya lampu yang menerangi sepanjang
hidupku setelah al quran dan sunnah. Duhai! Seseorang yang meski sedikit
perbekalannya namun panjang perjuangannya.
IBN ATHAILLAH: Sekarang,
apakah Imam Ali ra meminta agar orang-orang berpihak padanya dalam suatu faksi?
Sementara faksi ini mengklaim bahwa malaikat jibril melakukan kesalahan dengan
menyampaikan wahyu kepada Muhammad saw, bukannya kepada Ali! Atau pernahkah ia
meminta mereka untuk menyatakan bahwa Allah menitis ke dalam tubuhnya dan sang
imam menjadi tuhan? Ataukah ia tidak menentang dan memberantas mereka dengan
memberikan fatwa (ketentuan hukum) bahwa mereka harus dibunuh dimanapun mereka
ditemukan?
IBN TAYMIYAH: Berdasarkan
fatwa ini saya memerangi mereka di pegunungan Syria selama lebih dari 10 tahun.
IBN ATHAILLAH: Dan Imam
Ahmad- semoga Allah meridoinya-mempertanyakan perbuatan sebagian pengikutnya
yang berpatroli, memecahkan tong-tong anggur (di toko-toko penganut kristen
atau dimanapun mereka temukan), menumpahkan isinya di lantai, memukuli gadis
para penyanyi, dan menyerang masyarakat di jalan.
Meskipun sang Imam tak
memberikan fatwa bahwa mereka harus mengecam dan menghardik orang-orang
tersebut. Konsekuensinya para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan
diarak di punggung keledai dengan menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad
bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut
Hambali, dengan dalih melarang benda atau hal-hal yang diharamkan?
Dengan demikian, Syaikh
Muhyidin Ibn Arabi tidak bersalah atas pelanggaran yang dilakukan para
pengikutnya yang melepaskan diri dari ketentuan hukum dan moral yang telah
ditetapkan agama serta melakukan pebuatan yang dilarang agama. Apakah anda
tidak memahami hal ini?
IBN TAYMIYAH: “Tapi
bagaimana pendirian mereka di hadapan Allah? Di antara kalian, para sufi, ada
yang menegaskan bahwa ketika Rasulullah saw memberitakan khabar gembira pada
kaum miskin bahwa mereka akan memasuki surga sebelum kaum kaya, selanjutnya
kaum miskin tersebut tenggelam dalam luapan kegembiraan dan mulai merobek-robek
jubah mereka; saat itu malaikat jibril turun dari surga dan mewahyukan kepada
rasul bahwa Allah akan memilih di antara jubah-jubah yang robek itu;
selanjutnya malaikat jibril mengangkat satu dari jubah dan menggantungkannya di
singgasana Allah. berdasarkan ini, kaum sufi mengenakan jubah kasar dan
menyebut dirinya fuqara atau kaum “papa”.
IBN ATHAILLAH: “Tidak
semua sufi mengenakan jubah dan pakaian kasar. Lihatlah apa yang saya kenakan;
apakah anda tidak setuju dengan penampilan saya?
IBN TAYMIYAH: “Tetapi anda
adalah ulama syariat dan mengajar di Al Ahzar.”
IBN ATHAILLAH: “Al Ghazali
adalah seorang imam syariat maupun tasawuf. Ia mengamalkan fiqih, sunnah, dan
syariat dengan semangat seorang sufi. Dan dengan cara ini, ia mampu
menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kita tahu bahwa dalam tasawuf, noda tidak
memiliki tempat dalam agama dan bahwa kesucian merupakan ciri dari kebenaran.
Sufi yang tulus dan sejati harus menyuburkan hatinya dengan kebenaran yang
ditanamkan ahli sunnah.
Dua abad yang lalu muncul
fenomena sufi gadungan yang anda sendiri telah mengecam dan menolaknya. Dimana
sebagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan peraturan keagamaan,
melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan sholat wajib lima kali sehari.
Ditunggangi kemalasan dan ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas
dari belenggu kewajiban beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam
Qusyairi sendiri mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar Risalah ( Risalatul
Qusyairiyah ).
Di sini, ia juga
menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni berpegang teguh
pada Al Quran dan Sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia
pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang
dapat diterima akal manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah,
melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat dicapai
dengan mengamalkan laku spiritual.
Kelompok diatas
selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba Allah sejati, seseorang tidak
akan menyibukkan diriya kecuali demi kecintaannya pada Allah dan rasul-NYA.
Inilah posisi mulia yang menyebabkan seorang menjadi hamba yang shaleh, sehat
dan sentosa. Inilah jalan guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat
menodai manusia, semacam cinta harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu.
Meskipun demikian, kita
harus berusaha di jalan Allah agar memperoleh ketentraman beribadah. Sahabatku
yang cendekia, menerjemahkan naskah secara harfiah terkadang menyebabkan
kekeliruan. Penafsiran harfiahlah yang mendasari penilaian anda terhadap Ibn
Arabi, salah seorang imam kami yang terkenal akan kesalehannya. Anda tentunya
mengerti bahwa Ibn Arabi menulis dengan gaya simbolis; sedangkan para sufi
adalah orang-orang ahli dalam menggunakan bahasa simbolis yang mengandung makna
lebih dalam dan gaya hiperbola yang menunjukkan tingginya kepekaan spiritual
serta kata-kata yang menghantarkan rahasia mengenai fenomena yang tak tampak.
IBN TAYMIYAH: “Argumentasi
tersebut justru ditujukan untuk anda. Karena saat Imam al-Qusyairi melihat
pengikutnya melenceng dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk
membenahi mereka. Sementara apa yang dilakukan para syaikh sufi sekarang? Saya
meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami (salafi)
yang saleh dan terkemuka: para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan
generasi sesudahnya yang mengikuti langkah mereka.
Siapapun yang menempuh
jalan ini, saya berikan penghargaan setinggi-tingginya dan menempatkan sebagai
imam agama. Namun bagi mereka yang melakukan pembaruan yang tidak berdasar dan
menyisipkan gagasan kemusyrikan seperti filososf Yunani dan pengikut Budha,
atau yang beranggapan bahwa manusia menempati Allah (hulul) atau menyatu denganNya
(ittihad), atau teori yang menyatakan bahwa seluruh penampakan adalah satu
adanya/kesatuan wujud (wahdatul wujud) ataupun hal-hal lain yang diperintahkan
syaikh anda: semuanya jelas perilaku ateis dan kafir”.
IBN ATHAILLAH: “Ibn Arabi
adalah salah seorang ulama terhebat yang mengenyam pendidikan di Dawud al
Zahiri seperti Ibn Hazm al Andalusi, seorang yang pahamnya selaras dengan
metodologi anda tentang hukum islam, wahai penganut Hanbali! Tetapi meskipun
Ibn Arabi seorang Zahiri (menerjemahkan hukum islam secara lahiriah), metode
yang ia terapkan untuk memahami hakekat adalah dengan menelisik apa yang
tersembunyi, mencari makna spiritual (thariq al bathin), guna mensucikan bathin
(thathhir al bathin).
Meskipun demikian tidak
seluruh pengikut mengartikan sama sama apa-apa yang tersembunyi. Agar anda
tidak keliru atau lupa, ulangilah bacaan anda mengenai Ibn Arabi dengan
pemahaman baru akan simbol-simbol dan gagasannya. Anda akan menemukannya sangat
mirip dengan al-Qusyairi. Ia telah menempuh jalan tasawuf di bawah payung
al-quran dan sunnah, sama seperti hujjatul Islam Al Ghazali, yang mengusung
perdebatan mengenai perbedaan mendasar mengenai iman dan isu-isu ibadah namun
menilai usaha ini kurang menguntungkan dan berfaedah.
Ia mengajak orang untuk
memahami bahwa mencintai Allah adalah cara yang patut ditempuh seorang hamba
Allah berdasarkan keyakinan. Apakah anda setuju wahai faqih? Atau anda lebih
suka melihat perselisihan di antara para ulama? Imam Malik ra. telah
mengingatkan mengenai perselisihan semacam ini dan memberikan nasehat: Setiap
kali seseorang berdebat mengenai iman, maka kepercayaannya akan berkurang.”
Sejalan dengan ucapan itu,
Al Ghazali berpendapat: Cara tercepat untuk mendekatkan diri kepada Allah
adalah melalui hati, bukan jasad. Bukan berarti hati dalam bentuk fisik yang
dapat melihat, mendengar atau merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan
menyimpan dalam benak, rahasia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar,
yang tidak dapat dilihat atau diraba.
Sesungguhnya ahli
sunnahlah yang menobatkan syaikh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam,
dan tak seorangpun yang menyangkal pandangannya bahkan seorang cendekia secara
berlebihan berpendapat bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al Quran.
Dalam pandangan Ibn Arabi dan Ibn Al Farid, taklif atau kepatuhan beragama
laksana ibadah yang mihrab atau sajadahnya menandai aspek bathin, bukan
semata-mata ritual lahiriah saja.
Karena apalah arti duduk
berdirinya anda dalam sholat sementara hati anda dikuasai selain Allah. Allah
memuji hambaNya dalam Al Quran:”(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam
sholatnya”; dan Ia mengutuk dalam firmanNya: “(Yaitu) orang-orang yang lalai
dalam sholatnya”. Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat mengatakan:
“Ibadah bagaikan mihrab bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya”.
Seorang muslim takkan bisa
mencapai keyakinan mengenai isi Al Quran, baik dengan ilmu atau pembuktian itu
sendiri, hingga ia membersihkan hatinya dari segala yang dapat mengalihkan dan
berusaha untuk khusyuk. Dengan demikian Allah akan mencurahkan ilmu ke dalam
hatinya, dan dari sana akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak mencukupi
dirinya dengan meminta sedekah.
Seseorang yang tulus
adalah ia yang menyuburkan diri di (hadapan) Allah dengan mematuhiNya.
Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn Arabi adalah karena
kritik beliau terhdap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat
seputar masalah iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus
yang baru dihipotesakan (dibayangkan padahal belum terjadi).
Ibn Arabi mengkritik
demikian karena ia melihat betapa sering hal tersebut dapat mengalihkan mereka
dari kejernihan hati. Ia menjuluki mereka sebagai “ahli fiqih basa-basi
wanita”. Semoga Allah mengeluarkanmu karena telah menjadi salah satu dari
mereka! Pernahkan anda membaca pernyataan Ibn Arabi bahwa:”Siapa saja yang
membangun keyakinannya semata-mata berdasarkab bukti-bukti yang tampak dan
argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa
diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang
konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan tercurah dari
lubuk hati.” “Adakah pernyataan yang seindah ini?”
IBN TAYMIYAH: “Anda telah
berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia
sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak
mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.”
*Diterjemahkan dari On
Tasawuf Ibn Atha’illah Al-Sakandari: “The Debate with Ibn Taymiyah, dalam buku
karya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani’s The repudiation of “Salafi” Innovations
(Kazi, 1996) h. 367
Sumber : dokumen facebok
pemuda tqn suryalaya, dari berbagai sumber.
Posting Komentar
Posting Komentar