Muhammad Idris Jauhari (2003) mengemukakan bahwa ibadah sesungguhnya terbagi dalam dua kelompok besar, yakni mahdlah dan ghairu mahdlah. Ibadah mahdlah meliputi semua interaksi dengan Sang Khalik seperti shalat,puasa, berhaji, dan sejenisnya. Sementara ghairu mahdlah merupakan ibadah yang berkaitan dengan mahluk seperti tidur, belajar, jual-beli,menikah, dan sebagainya. Selanjutnya kedua jenis ibadah tersebut masing-masing memiliki syarat dan rukun yang biasa disebut Syariah ditambah dengan hakikat atau esensi yang lebih dikenal dengan Tasawuf.
Asal-usul
Tasawuf sampai saat ini masih diperdebatkan namun bukan berarti tidak punya
‘akar’ sama sekali dalam sejarah perkembangan Islam. Jauh sebelum diangkat
menjadi Rasulullah, Muhammad SAW sering menyepi (uzlah) ke Gua Hira untuk ber-
tahannuts (menghindari penyembahan berhala) dan berzikir (menyebut dan
mengingat Allah) atau tafakkur (merenungi kekuasaanNya). Menurut KH Jamaluddin
Kafie (2003), setelah pengangkatan beliau sebagai Rasul, Nabi Saw juga
membiarkan para sahabatnya melakukan uzlah di pojok-pojok serambi mesjid
(shuffah) sambil i’tikaf untuk mencapai ridha Allah Swt dengan cara mensucikan
jiwa (tazkiyatun nafs) maupun untuk mencapai level kesadaran spiritual yang
lebih tinggi.
Ada kerancuan
pemahaman Tasawuf yang disinyalir marak berkembang di kalangan masyarakat
berikut bergentayangannya para pendusta yang mengaku menjalani Tasawuf dan
mengklaim diri sudah sedemikian ‘akrab’nya dengan Rabb hingga dibebaskan dari
kewajiban menjalankan ibadah mahdlah. Padahal Rasul Saw saja sampai ke akhir
hayat pantang melepaskan peribadatan berikut semua ketentuan Syariah yang
mengikatnya.
Sebenarnya apa
sih Tasawuf itu? KH Jamaluddin Kafie dalam bukunya Tasawuf Kontemporer mengupas
pemahaman mengenai Tasawuf dengan dasar pemikiran QS Al-Maidah : 35 yang
terjemahannya sebagai berikut :
‘Wahai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan carilah wasilah
yang menyampaikan kamu kepadaNya, dan berjuanglah di jalanNya agar kamu
mendapat keberuntungan’
Selanjutnya
penjabaran ayat di atas merujuk pada enam pilar utama yang membentuk struktur
ibadah, yakni ‘Wahai orang-orang yang beriman’ (=Mukmin), ‘bertakwalah kamu
kepada Allah’ (Hakikat), ‘dan carilah wasilah’ (Tasawuf), ‘yang menyampaikan
kamu kepadaNya’ (Makrifat), ‘dan berjuanglah kamu’ (Thariqat), ‘di jalanNya’
(Syariat), ‘agar kamu mendapat keberuntungan’ (Hadiah).
Berdasarkan
penjabaran di atas didefinisikanlah Tasawuf sebagai ‘wasilah (medium) yang
ditempuh seorang Mukmin dalam rangka berproses menghakikatkan syariat melalui
thariqat untuk mencapai makrifat’. KH Jamaluddin Kafie menyederhanakan
pemahaman di atas dengan menganalogikan Tasawuf sebagai sebutir telur ayam
kampung.
Telur Tasawuf
memiliki cangkang Syariat, putih telurnya Thariqat, kuning telurnya Hakikat,
dan inti kuning telurnya adalah Makrifat. Tak ada telur tanpa cangkang keras
pelindung bagian dalam sebagaimana tak mungkin Tasawuf berjalan sendiri tanpa
Syariah. Retaknya cangkang telur dapat mengakibatkan busuknya seluruh isi yang
terkandung di dalamnya, maka cangkang harus dijaga sebaik mungkin keutuhannya.
Unsur terpenting
dalam sebutir telur adalah inti kuning telurnya (Makrifat). Inti kuning telur
tersebut takkan kita jumpai dalam telur ayam negeri yang dirangsang produksinya
dengan asupan pakan ternak tertentu alias telur bikinan dan Tasawuf tanpa inti
merupakan Tasawuf Palsu (Pseudo Sufi). Jenis terakhir inilah yang laris manis
digunakan oleh para Mustawif (orang yang pura-pura menjalani Tasawuf) untuk
merekrut massa dan mengeruk keuntungan tertentu.
Inti kuning
telur hanya akan kita peroleh di dalam kuning telur karena tidak ada Makrifat
sebelum mencapai Hakikat. Kuning telur diselaputi oleh putih telur sebagaimana
Hakikat merupakan hasil yang diperoleh seseorang setelah menjalani Thariqat.
Lalu keseluruhan bagian telur terbungkus rapi dalam cangkang yang solid dan
maknanya sistem ibadah harus tetap berada dalam koridor Syariat.
Setelah menapaki
secara benar keseluruhan sistem ibadah di atas maka Rabb akan berkenan
menganugerahi kita Hadiah, berupa Ma’unah (pertolongan dan perhatian), Barokah
(adanya kebaikan Illahi atas sesuatu), dan Karomah (kemuliaan dari Allah bagi
para waliNya).
(Sumber :
filsafat.kompasiana.com/2012/01/17/telur-organik-bernama-tasawuf/)
Posting Komentar
Posting Komentar