(Status
Wahyu Pratama di grup FB Pemuda TQN Suryalaya)
Nafsu ammarah salah satu dari tujuh nafsu dalam diri manusia. Secara zahirnya
amarah bererti mengajak atau menyuruh. Sedang nafsu itu sendiri berarti jiwa.
Seperti apa yang terdapat dalam tingkah laku sehari-hari.
Nafsu ammarah acap mengajak akal-fikiran manusia untuk berangan-angan. Biasanya
dengan percikan-percikan yang menggiurkan: makan, minum, tidur, dan jima’
secara berlebihan.
Allah berfirman:
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahanku), karena sesungguhnya nafsu
(ammarah) itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS. Yusuf, 53)
“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf, 179)
Nafsu ammarah disebut juga nafsu binatang. Bahkan, Imam Ghazali dalam bukunya
yang terkenal Ihya’ Ulumuddin menyebutnya dengan lanjut: bahimiyyah dan
sabu’iyyah (binatang ternak dan binatang buas).
Sifat binatang ternak dan binatang buas itu mengeram dalam diri manusia. Mulai
dari jiwa sampai jasmaninya. Wujudnya dalam bentuk perilaku makan, minum, tidur,
bersenggama, dan tempat yang serba berlebihan, tidak islami. Puncaknya: hubbud
dun-ya wakarahatul maut (cinta dunia dan takut mati).
Pemelihara Jasmani
Ammarah salah satu nafsu yang meliputi jiwa manusia. Nafsu itu mewarnai segala
perbuatannya yang serba berlebihan (tusrifu). Jika nafsu amarah telah menguasai
akal-pikiran manusia, maka tabiatnya akan condong pada kehidupan yang serba
mewah. Meski, untuk mencapainya harus menempuh jalan yang melanggar syariat
Islam. Jika nafsu amarah telah menguasai akal-pikiran manusia, maka tabiatnya
akan condong pada kehidupan yang serba mewah. Meski, untuk mencapainya harus
menempuh jalan yang melanggar syariat Islam.
Namun di sisi lain nafsu ammarah juga berperanan sebagai pemelihara hidup
jasmani. Ini suatu tanda bahwa semua yang diciptakan Allah tidaklah sia-sia.
Nafsu ammarah sebetulnya bukan beban bagi manusia. Sebab nafsu ammarah juga
berguna bagi manusia dalam memelihara jasadnya selama hidup di dunia.
Hamba dunia
Jika nafsu amarah menguasai diri manusia maka jadilah ia sebagai orang yang
tamak, rakus, loba dan berbagai macam sifat tidak terpuji lainnya. Bahkan tidak
sedikit yang lalai dalam urusan agama karena disibukkan urusan dunia.
Mereka suka bermegah-megahan, gemar menimbun kekayaan tanpa menghiraukan kewajiban
berzakat. Mereka lebih senang menghabiskan harta di jalan setan (maksiat)
daripada di jalan Allah. Mereka telah diperbudak dunia.
Tentang hal ini, ada hadist berbunyi:
“Wahai dunia, berkhidmatlah kepada orang yang berkhidmat kepada-Ku, dan
perbudaklah orang yang mengabdi kepadamu!” (HQR. Al-Qudha’I, dari Ibnu Mas’ud)
Orang sering tak sadar, kehidupan dunia ini tak lebih dari fatamorgana. Dengan
nafsu ammarah manusia sering berambisi ingin “memiliki dunia”. Ada rasa tidak
puas dengan apa yang telah dikaruniakan Allah baginya.
Allah berfirman:
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Al-Imraan, 14)
Atau pada firman yang lain:
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al
Anbiyaa’, 35)
Ammarah Bahimiyyah
Nafsu ammarah bersalutkan bahimiyyah itu serupa dengan laku hidup binatang
ternak dalam hal memenuhi kebutuhan jasmaninya. Tidak heran, orang yang jalan
pikirannya dikuasai nafsu ammarah berslutkan bahimiyyah laku-hidupnya sering
seperti binatang ternak.
Dalam kaitan nafsu ammarah bersalutkan bahimiyyah kiranya perlu diperhatikan
pengertian kalimat “berlebih-lebihan” atau “pemborosan” dan “sederhana”,
sebagaimana acap disebut dalam Al Qur’an.
Pengertian “berlebih-lebihan” dan “pemborosan” ialah perbuatan yang melampaui
batas yang wajar. Sedang “sederhana” ialah perbuatan menahan diri dari
kemampuan maksimal yang dimilikinya. Dua pengertian tersebut tentu tidak lepas
dari jalan-jalan syari’at islam.
Orang yang sering menggunakan hartanya untuk kemaksiatan dan kejahatan, baik
lahir maupun batin, disebut “golongan manusia boros”. Pemboros, adalah saudara
atau teman-teman setan. “Tidaklah setan mempunyai famili, melainkan bangsanya
sendiri”.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu
adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” Al-Israa’ Ayat 27
Makan dan minum memang tidak dilarang, asal tidak berlebihan.
Sesuai dengan firman Allah:
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebihan”. (QS. Al A’raaf, 31)
Atau menurut Hadis Rasulullah SAW:
“Makanlah, minumlah, pakailah dan bersedakahlah jangan berlebih-lebihan dan
janganlah untuk bermegah-megahan.” (HR Abu Daud dan Ahmad)
Memang, “jalan tengah” adalah yang tidak berlebih-lebihan. Termasuk urusan
makan dan minum. Terbukti, penyakit kebanyakan faktor penyebab utamanya adalah
berlebihan dalam soal makan dan minum. Sebab, perut biasanya sumber penyakit
dan seburuk-buruk tempat.
Ada hadis yang dengan amat bijaknya mengatur urusan perut ini:
“Tidak ada satu wadahpun yang diisi oleh bani Adam lebih buruk dari perutnya,
cukuplah baginya beberapa suap untuk memperkokoh tulang belakangnya agar dapat
tegak. Apabila tidak dapat dihindari baiklah sepertiga untuk makan, sepertiga
untuk minum dan sepertiga lagi untuk napasnya”. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan
Ibnu Hibban)
Ammarah Sabu’iyyah
Nafsu ammarah bersalutkan sabu’iyyah ialah nafsu yang sifatnya seperti binatang
buas dalam cara mencari atau memenuhi kebutuhan jasmaninya. Seperti: makan,
minum, tidur, kawin, dan sebagainya. Tidak heran, orang yang jalan fikirannya
dikuasai nafsu ammarah bersalutkan sabu’iyyah maka dalam mencari dan memenuhi
keperluan hidupnya ia sering berlaku seperti binatang buas.
Lihat saja tabiat orang yang dikuasai nafsu ammarah bersalutkan sabu’iyyah:
sodok sana, sodok sini! Cengkeram sana, cengkeram sini! Sungguh sangat
menjelekkan
Dengan kekuasaan, mereka merasa tinggi serta dapat mengurus si miskin. Dengan
harta, mereka merasa terhormat walaupun berbuat nista dan maksiat. Tahukah
mereka apakah sebetulnya harta itu?
Allah berfirman:
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan di sisi
Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al Anfaal, 28)
Memang, sudah menjadi fitrah manusia untuk mencintai dan banyak keinginan dalam
meraih kehidupan dunia. Namun demikian, tetap harus difahami bahwa kenikmatan
duniawi hanya sempadan kesenangan di dalam hidup yang sementara..
Firman Allah:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini (syahwat), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang
baik.” (QS. Ali Imran, 14)
Al Qur’an sebagai penawar
Pada jiwa setiap manusia memang sudah terdapat benih nafsu ammarah bersifat
bahimiyyah maupun sabu’iyyah. Hanya gelombangnya yang berbeza. Maka itu, upaya
mengendalikan gerak nafsu ammarah itu perlu, sebagai ikhtiar untuk mencapai
kemuliaan rohaniah.
Untuk itu, Allah telah menurunkan Al Qur’n sebagai penawar yang sangat mujarab
terhadap penyakit apa saja. Penyakit lahir maupun batin. Bahkan Al Qur’an juga
menjadi rahmat bagi setiap orang yang beriman, dan bukan orang yang zalim:
Sebagaimana firman-Nya:
“Dan kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al-Qur’aân itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Israa’, 82)
Tiga tahap Penawar Nafsu Ammarah
Penawar nafsu ammarah meliputi tiga tahapan. Iaitu:
(1) ilmu ma’rifah;
(2) dzikrullah yang berterusan, dan
(3) mujahadah.
Berkaitan ilmu ma’rifah hendaklah seseorang belajar ilmu-ilmu tentang sekitar
aib nafsu. Untuk itu, tentu perlu bimbingan seorang ulama atau Syekh Mursyid.
Ilmu ma’rifah tentu tidak lepas ilmu tauhid.
Untuk itu, perlu pengenalan hakikat diri lahir dan batin. Jika orang telah
mengenal dirinya secara kaffah (sempurna), niscaya ia tidak akan mudah tertipu
oleh dirinya sendiri. Sebab, musuh yang paling berbahaya dan pandai menipu
adalah diri sendiri. Yang dimaksud diri ialah nafsu fujur (jiwa fasik) alias
nafsu ammarah.
Manusia yang tidak mengenal dirinya, lahir maupun batin, akan terombang-ambing
oleh tipuan nafsu ammarah. Akibatnya, ia mudah lena oleh pujuk rayu
setan.
Dan setan bersembunyi di dalam dirinya sendiri.
Allah berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrahpun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat
zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az-Zalzalah, 7-8)
Zikrullah yang berterusan juga merupakan alat pembersih jiwa.
Sesuai dengan firman Allah:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri dan dia ingat nama
Tuhannya, lalu dia shalat (berhubungan dengan Tuhannya)”. (QS. Al A’laa, 14-15)
Zikir yang terus menerus dapat menenangkan jiwa. Tidak akan tenang jiwa
seseorang melainkan jika jiwanya dalam keadaan bersih dari kotoran maksiat. Dan
tidak akan bersih jiwa seseorang melainkan dengan menjalankan zikir yang terus
menerus.
Dan sebaik-baik zikrullah bagi orang-orang yang masih pada tahapan pembersihan
serta menundukkan nafsu ammarah ialah zikir nafi itsbat: لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ
Laa Ilaaha Illallaah (Tidak ada tuhan kecuali Allah”. Hal itu harus dilakukan
terus menerus.
“Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya
berdo’a: “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ar-Ruum, 32)
Cara mujahadah. ertinya, memerangi hawa nafsu dengan cara menghindari segala
bentuk kemaksiatan lahir maupun batin. Juga melawan gejolak kehendak jiwa yang
mengajak untuk berbuat nista jahat dan yang menghalangi tujuh anggota sujud.
Jika seseorang telah mengetahui hakikat kehidupan dunia dan menetapkan
zikrullah secara terus menerus, niscaya ia akan selalu kuat jiwanya dalam
menghadapi segala kondisi yang memperdayakan. Akal dan pikirannya tidak
mengikuti gejolak hawa nafsu yang selalu mengajak berkhayal dan berbuat
kejahatan.
Maka jika seseorang telah mampu mengendalikan hawa nafsunya, niscaya nampaklah sifat
dan perbuatannya tidak dibuat-buat. Atau sekadar terpaksa dalam mengamalkan
syari’at Islam.
Tentang hal ini Allah pun berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang
khusyu’ dalam shalatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan
perkataan yang tidak berguna.” (QS. Almu’minun, 1-3)
Tiga tingkatan yang meliputi ilmu, zikir, dan mujahadah tersebut tentu saling
berkaitan antara satu dengan lainnya. Tidak dapat seseorang mencapai kebersihan
diri (nafsu) bila sekadar mengamalkan ilmu tanpa dzikirullah.
(sumber : delisufi.blogspot.com)
Nafsu ammarah salah satu dari tujuh nafsu dalam diri manusia. Secara zahirnya amarah bererti mengajak atau menyuruh. Sedang nafsu itu sendiri berarti jiwa. Seperti apa yang terdapat dalam tingkah laku sehari-hari.
Nafsu ammarah acap mengajak akal-fikiran manusia untuk berangan-angan. Biasanya dengan percikan-percikan yang menggiurkan: makan, minum, tidur, dan jima’ secara berlebihan.
Allah berfirman:
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahanku), karena sesungguhnya nafsu (ammarah) itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS. Yusuf, 53)
“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf, 179)
Nafsu ammarah disebut juga nafsu binatang. Bahkan, Imam Ghazali dalam bukunya yang terkenal Ihya’ Ulumuddin menyebutnya dengan lanjut: bahimiyyah dan sabu’iyyah (binatang ternak dan binatang buas).
Sifat binatang ternak dan binatang buas itu mengeram dalam diri manusia. Mulai dari jiwa sampai jasmaninya. Wujudnya dalam bentuk perilaku makan, minum, tidur, bersenggama, dan tempat yang serba berlebihan, tidak islami. Puncaknya: hubbud dun-ya wakarahatul maut (cinta dunia dan takut mati).
Pemelihara Jasmani
Ammarah salah satu nafsu yang meliputi jiwa manusia. Nafsu itu mewarnai segala perbuatannya yang serba berlebihan (tusrifu). Jika nafsu amarah telah menguasai akal-pikiran manusia, maka tabiatnya akan condong pada kehidupan yang serba mewah. Meski, untuk mencapainya harus menempuh jalan yang melanggar syariat Islam. Jika nafsu amarah telah menguasai akal-pikiran manusia, maka tabiatnya akan condong pada kehidupan yang serba mewah. Meski, untuk mencapainya harus menempuh jalan yang melanggar syariat Islam.
Namun di sisi lain nafsu ammarah juga berperanan sebagai pemelihara hidup jasmani. Ini suatu tanda bahwa semua yang diciptakan Allah tidaklah sia-sia.
Nafsu ammarah sebetulnya bukan beban bagi manusia. Sebab nafsu ammarah juga berguna bagi manusia dalam memelihara jasadnya selama hidup di dunia.
Hamba dunia
Jika nafsu amarah menguasai diri manusia maka jadilah ia sebagai orang yang tamak, rakus, loba dan berbagai macam sifat tidak terpuji lainnya. Bahkan tidak sedikit yang lalai dalam urusan agama karena disibukkan urusan dunia.
Mereka suka bermegah-megahan, gemar menimbun kekayaan tanpa menghiraukan kewajiban berzakat. Mereka lebih senang menghabiskan harta di jalan setan (maksiat) daripada di jalan Allah. Mereka telah diperbudak dunia.
Tentang hal ini, ada hadist berbunyi:
“Wahai dunia, berkhidmatlah kepada orang yang berkhidmat kepada-Ku, dan perbudaklah orang yang mengabdi kepadamu!” (HQR. Al-Qudha’I, dari Ibnu Mas’ud)
Orang sering tak sadar, kehidupan dunia ini tak lebih dari fatamorgana. Dengan nafsu ammarah manusia sering berambisi ingin “memiliki dunia”. Ada rasa tidak puas dengan apa yang telah dikaruniakan Allah baginya.
Allah berfirman:
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Al-Imraan, 14)
Atau pada firman yang lain:
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al Anbiyaa’, 35)
Ammarah Bahimiyyah
Nafsu ammarah bersalutkan bahimiyyah itu serupa dengan laku hidup binatang ternak dalam hal memenuhi kebutuhan jasmaninya. Tidak heran, orang yang jalan pikirannya dikuasai nafsu ammarah berslutkan bahimiyyah laku-hidupnya sering seperti binatang ternak.
Dalam kaitan nafsu ammarah bersalutkan bahimiyyah kiranya perlu diperhatikan pengertian kalimat “berlebih-lebihan” atau “pemborosan” dan “sederhana”, sebagaimana acap disebut dalam Al Qur’an.
Pengertian “berlebih-lebihan” dan “pemborosan” ialah perbuatan yang melampaui batas yang wajar. Sedang “sederhana” ialah perbuatan menahan diri dari kemampuan maksimal yang dimilikinya. Dua pengertian tersebut tentu tidak lepas dari jalan-jalan syari’at islam.
Orang yang sering menggunakan hartanya untuk kemaksiatan dan kejahatan, baik lahir maupun batin, disebut “golongan manusia boros”. Pemboros, adalah saudara atau teman-teman setan. “Tidaklah setan mempunyai famili, melainkan bangsanya sendiri”.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” Al-Israa’ Ayat 27
Makan dan minum memang tidak dilarang, asal tidak berlebihan.
Sesuai dengan firman Allah:
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan”. (QS. Al A’raaf, 31)
Atau menurut Hadis Rasulullah SAW:
“Makanlah, minumlah, pakailah dan bersedakahlah jangan berlebih-lebihan dan janganlah untuk bermegah-megahan.” (HR Abu Daud dan Ahmad)
Memang, “jalan tengah” adalah yang tidak berlebih-lebihan. Termasuk urusan makan dan minum. Terbukti, penyakit kebanyakan faktor penyebab utamanya adalah berlebihan dalam soal makan dan minum. Sebab, perut biasanya sumber penyakit dan seburuk-buruk tempat.
Ada hadis yang dengan amat bijaknya mengatur urusan perut ini:
“Tidak ada satu wadahpun yang diisi oleh bani Adam lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya beberapa suap untuk memperkokoh tulang belakangnya agar dapat tegak. Apabila tidak dapat dihindari baiklah sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum dan sepertiga lagi untuk napasnya”. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Ammarah Sabu’iyyah
Nafsu ammarah bersalutkan sabu’iyyah ialah nafsu yang sifatnya seperti binatang buas dalam cara mencari atau memenuhi kebutuhan jasmaninya. Seperti: makan, minum, tidur, kawin, dan sebagainya. Tidak heran, orang yang jalan fikirannya dikuasai nafsu ammarah bersalutkan sabu’iyyah maka dalam mencari dan memenuhi keperluan hidupnya ia sering berlaku seperti binatang buas.
Lihat saja tabiat orang yang dikuasai nafsu ammarah bersalutkan sabu’iyyah: sodok sana, sodok sini! Cengkeram sana, cengkeram sini! Sungguh sangat menjelekkan
Dengan kekuasaan, mereka merasa tinggi serta dapat mengurus si miskin. Dengan harta, mereka merasa terhormat walaupun berbuat nista dan maksiat. Tahukah mereka apakah sebetulnya harta itu?
Allah berfirman:
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al Anfaal, 28)
Memang, sudah menjadi fitrah manusia untuk mencintai dan banyak keinginan dalam meraih kehidupan dunia. Namun demikian, tetap harus difahami bahwa kenikmatan duniawi hanya sempadan kesenangan di dalam hidup yang sementara..
Firman Allah:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini (syahwat), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran, 14)
Al Qur’an sebagai penawar
Pada jiwa setiap manusia memang sudah terdapat benih nafsu ammarah bersifat bahimiyyah maupun sabu’iyyah. Hanya gelombangnya yang berbeza. Maka itu, upaya mengendalikan gerak nafsu ammarah itu perlu, sebagai ikhtiar untuk mencapai kemuliaan rohaniah.
Untuk itu, Allah telah menurunkan Al Qur’n sebagai penawar yang sangat mujarab terhadap penyakit apa saja. Penyakit lahir maupun batin. Bahkan Al Qur’an juga menjadi rahmat bagi setiap orang yang beriman, dan bukan orang yang zalim:
Sebagaimana firman-Nya:
“Dan kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’aân itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Israa’, 82)
Tiga tahap Penawar Nafsu Ammarah
Penawar nafsu ammarah meliputi tiga tahapan. Iaitu:
(1) ilmu ma’rifah;
(2) dzikrullah yang berterusan, dan
(3) mujahadah.
Berkaitan ilmu ma’rifah hendaklah seseorang belajar ilmu-ilmu tentang sekitar aib nafsu. Untuk itu, tentu perlu bimbingan seorang ulama atau Syekh Mursyid. Ilmu ma’rifah tentu tidak lepas ilmu tauhid.
Untuk itu, perlu pengenalan hakikat diri lahir dan batin. Jika orang telah mengenal dirinya secara kaffah (sempurna), niscaya ia tidak akan mudah tertipu oleh dirinya sendiri. Sebab, musuh yang paling berbahaya dan pandai menipu adalah diri sendiri. Yang dimaksud diri ialah nafsu fujur (jiwa fasik) alias nafsu ammarah.
Manusia yang tidak mengenal dirinya, lahir maupun batin, akan terombang-ambing oleh tipuan nafsu ammarah. Akibatnya, ia mudah lena oleh pujuk rayu setan.
Dan setan bersembunyi di dalam dirinya sendiri.
Allah berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az-Zalzalah, 7-8)
Zikrullah yang berterusan juga merupakan alat pembersih jiwa.
Sesuai dengan firman Allah:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat (berhubungan dengan Tuhannya)”. (QS. Al A’laa, 14-15)
Zikir yang terus menerus dapat menenangkan jiwa. Tidak akan tenang jiwa seseorang melainkan jika jiwanya dalam keadaan bersih dari kotoran maksiat. Dan tidak akan bersih jiwa seseorang melainkan dengan menjalankan zikir yang terus menerus.
Dan sebaik-baik zikrullah bagi orang-orang yang masih pada tahapan pembersihan serta menundukkan nafsu ammarah ialah zikir nafi itsbat: لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ
Laa Ilaaha Illallaah (Tidak ada tuhan kecuali Allah”. Hal itu harus dilakukan terus menerus.
“Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berdo’a: “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ar-Ruum, 32)
Cara mujahadah. ertinya, memerangi hawa nafsu dengan cara menghindari segala bentuk kemaksiatan lahir maupun batin. Juga melawan gejolak kehendak jiwa yang mengajak untuk berbuat nista jahat dan yang menghalangi tujuh anggota sujud.
Jika seseorang telah mengetahui hakikat kehidupan dunia dan menetapkan zikrullah secara terus menerus, niscaya ia akan selalu kuat jiwanya dalam menghadapi segala kondisi yang memperdayakan. Akal dan pikirannya tidak mengikuti gejolak hawa nafsu yang selalu mengajak berkhayal dan berbuat kejahatan.
Maka jika seseorang telah mampu mengendalikan hawa nafsunya, niscaya nampaklah sifat dan perbuatannya tidak dibuat-buat. Atau sekadar terpaksa dalam mengamalkan syari’at Islam.
Tentang hal ini Allah pun berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna.” (QS. Almu’minun, 1-3)
Tiga tingkatan yang meliputi ilmu, zikir, dan mujahadah tersebut tentu saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Tidak dapat seseorang mencapai kebersihan diri (nafsu) bila sekadar mengamalkan ilmu tanpa dzikirullah.
(sumber : delisufi.blogspot.com)
Posting Komentar
Posting Komentar