(Dok.215. Status
Budi Rdw)
Sebelum membahas
dasar hukum shalat Rajab, penting bagi kita untuk mengetahui dahulu klasifikasi
ilmu pengetahuan berdasarkan cara perolehannya. Dalam hal ini, Ilmu terbagi
dua,
1. Ilmu Hushuli
: yaitu ilmu yang dihasilkan oleh manusia, ilmu pengetahuan itu masuk ke dalam
memori akal, itulah yang disebut ilmu lahir atau ilmu rasional. Kalau saya
boleh ibaratkan ilmu hushuli bagaikan ketika kita ingin memiliki cadangan air,
kita membuat kolam lalu kita angkut air sungai untuk dimasukkan ke dalam kolam.
Warna maupun bau air kolam kita sangat tergantung warna danbau air sungai
tempat kita mengambil air. Air sungai sangat dipengaruhi lingkungannya. Begitu
pula ilmu Hushuli. Pengetahuan dan sikap seorang murid sangat diperngaruhi
gurunya. Ada istilah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Tetapi kalau
guru kencing berlari?????? Ya,… murid ngencingin guru. He he he… serius amat.
Ada juga kita kenal pribahasa “ anda tergantung buku apa yang ada di lemari
anda. Ini semua adalah ilmu Hushuli.
Semua ilmu yang kita
ketahui adalah ilmu hushuli kecuali ilmu jenis kedua yaitu
2. Ilmu Laduni
atau ilmu Hudhuri (yang dihadirkan oleh Allah). Secara bahsa ladun adalah
“sisi” sedangkan huruf ya’ mutakallim wahdah (wah jadi nggak enak nih pake
istilah Nahwu Sharaf) yang terletak setelah kata “ladun” artinya “Aku”.
Maksudnya ilmu Laduni adalah ilmu yang langsung berasal dari sisi Ku (Allah).
Kalau diibaratkan ilmu Laduni bagaikan kita mengebor tanah. Terus meneruuus
sehingga ketika sudah mencapai air bersih, maka muncullah air bersih yang segar
dan tidak terkontaminasi warna dan bau lainnya. Inilah ilmu laduni yang
langsung dari Allah, ilmu murni, suci dan tidak terpengaruh oleh apapun. Cara
memperolehnya juga bukan dengan kuliah samapai S4 atau membaca ribuan buku,
namun dengan terus berdzikir secara mendalam dalam waktu yang relatif lama
sehingga terbukalah hijab spiritual (kasyaf). Ilmu in ihanya dimiliki seorang
Waliyullah. Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia
merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah,
pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga
tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi
langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi
Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan
ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir
tertentu. Beberapa sufi berkomentar tentang ilmu laduni, antara lain:
1. Al Ghazali
dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah
tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat
terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah
ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “. Dia juga
berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai
dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan
malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara
mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”.
(Jamharatul Auliya’: 155)
2. Abu Yazid Al
Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang
kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang
seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al
Mizan: 1/28)3. Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari
generasi terdahulu sampai hari kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh
dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan
ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4) Dedengkot wihdatul
wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan
ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza.
Di bawah ini
saya jelaskan beberapa alasan shalat Rajab, Nisfu Sya’ban dan yang sejenis,
antara lain:
1. (alasan
pertama) Perbedaan penggunaan jenis ilmu. Ulama hadis yang bukan sufi, dengan
segala hormat akan upaya mereka telah memverifikasi hadis, hanya menggunakan
ilmu hushuli dalam menelaah validitas sebuah hadis. Tidak heran jika menurut
para ahli hadis, hadis-hadis yang menjadi dasar hukum shalat Rajab maupun
Nishfu Sya’ban adalah hadis dha’if maupun maudhu’. Namun para sufi selain
menggunakan ilmu hushuli dalam mencari kebenaran, mereka juga menggunakan ilmu
laduni. Sehingga ada beberapa hadis yang menurut para sufi dha’if sanadan
shahih kasyfan (lemah secara sanad, namun shahih secara kasyaf).Sudah menjadi
kebiasaan para sufi untuk berkonsultasi dengan Allah dan RasulNya sebelum
melakukan hal yang kecil sekalipun dan meski hanya menyangkut urusan
pribadi.
Apalagi
ritual-ritual yang menyangkut orang banyak mereka tentunya bertanya kepada
Allah. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dan Sulthan Awliyaa’ Syekh Abdul Qadir
al-Jailani adalah dua di antara para sufi yang dalam buku susunannya (Ihya’
‘ulumiddin dan al-Ghunyah lithalibii thariqil haq) mencantumkan ritual-ritual
yang di tentang para ahli hadis secara sanad. Beliau berdua adalah sufi yang tidak
diragukan lagi kesufiannya dan kedekatannya kepada Allah, dikagumi oleh para
ulama dunia termasuk Ibnu Taymiah.
Meski demikian
mayoritas ahli hadis yang bukan sufi tetap saja tidak bisa menerima konsep
shahih kasyfan. Apa yang diterapkan oleh kalangan ahli hadits dalam menetapkan
sistem periwayatan hadits sebenarnya berdasarkan rasio dan sistem yang sangat
hati-hati. Artinya dzauq dan pengalaman rohani tidak dilibatkan. Berbeda dengan
para sufi ketika mereka mendapatkan hadits sistem yang diterapkan tidak hanya
dengan sistem yang melibatkan rasio semata tetapi lebih melibatkan dzauq dan
kasyaf/pengalaman batin. Seperti Ibnu ‘Arabi ketika meriwayatkan hadits “kuntu
kanzan makhfiyan…..dst” menurut beliau hadits ini disampaikan Rasulullah saw
yang menemuinya secara langsung tanpa tidur dan dalam keadaan sadar. Padahal
kehidupan beliau tidak satu masa. Peringkat beliau pun bukan sahabat.
Oleh karenanya
Ibnu ‘Arabi dalam magnum opusnya al-Futuhat al-Makkiah mengatakan bahwa hadist
ini sebagai “shahih kasyfan wa la shahih sanadan.” Artinya secara metodologi
ahli hadits hadits ini tidak shoheh bahkan dianggap palsu. Sedangkan secara
kasyaf (pengetahuan batin) peringkatnya shahih. Contoh diatas adalah sebuah
penyebab adanya konfrontasi antara kalangan ahli hadits dan fuqaha dengan para
sufi.
2. (alasan
kedua) Mengukur diri sendiri. Banyak ahli hadis yang menilai para sufi sebagaimana
mereka menilai kemampuan diri mereka.
Ketika para ahli
hadis tidak bisa berkomunikasi dengan Rasul, mereka katakan tidak mungkin
seseorang bertemu Rasul setelah beliau wafat. Mereka menyatakan bahwa para sufi
sebenarnya banyak melakukan kebohongan atas nama Nabi, karena mereka selalu
menyebutkan hadits-hadits palsu. Mereka menanggapi pertemuan antara Syekh Ahmad
at-Tijani yang mengaku bertemu dengan Nabi dan memberikan ijazah tarekat
Tijaniyyah, atau Ibnu ‘Arabi yang bertemu dengan Rasulullah saw dan memberikan
hadits qudsi “kuntu kanzan makhfiyan…..” sebagai pernyataan yang tidak mungkin
terjadi. Syekh Ahmad at-Tijani dan Ibnu ‘Arabi hidup dimasa yang jauh setelah
hidupnya Rasulullah s.a.w.Para sufi menganggap Rasulullah tidak mati tetapi
tetap hidup dan dapat berkomunikasi dengan orang-orang tertentu. Bukankah Allah
berfirman “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di
jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup,
tetapi kamu tidak menyadarinya” (QS. 2:154) juga di ayat lain “Janganlah kamu
mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu
hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS. 3:169).
Bukankah
Rasulullah s.a.w. juga berkomunikasi dengan nabi Musa a.s. saat Mi’raj?Para
ahli hadis di zaman dahulu menghabiskan umurnya untuk mengumpulkan dan mengecek
kebenaran hadis meskipun harus bepergian ke tempat yang jauh. Para ahli hadis
zaman sekarang mungkin lebih ringan karena mengecek hadis cukup dari buku ke buku.
Wajar saja jika mereka memiliki data yang akurat seputar perawi hadis. Semoga
Allah membalas jerih payah mereka dengan balasan yang berlipat
ganda.Sesungguhunya para sufi juga memliki jerih payah yang tidak kalah
meletihkan dalam beribadah. Bayangkan Syekh Abdul Qadir selama 40 tahun tidak
tidur malam, dan mencukupkan shalat Shubuh dengan wudhu shalat Isya. Beliau isi
setiap malam dengan full beribadah kepada Allah untuk membersihkan qalbunya.
Wajar saja kalau qalbunya begitu bersih sehingga dapat menyerap cahaya Ilahi
lebih banyak dari yang lain. Dengan qalbunya yang bersih juga ia dapat
berkomunikasi dengan para ruh yang suci.Solusi Salah satu Solusinya… ahli
hadits menerapkan sistem haditsnya betul dan tidak disalahkan. Mereka
melibatkan rasio secara sistematik secara 100%. Sistem sepert ini dapat
diaplikasikan pada ilmu-ilmu fiqh saja dan tidak bisa diterapkan pada ilmu
tasawuf.
Sementara sistem
hadits yang diterapkan para sufi pun benar juga, karena untuk memahami dan
mendalami ilmu tasawuf tidak hanya melibatkan rasio, justru rasio hanya
dilibatkan 25% saja dan 75% menggunakan dzauq, iman dan mukasyafah. Sistem
pengambilan hadits seperti ini hanya diaplikasikan pada ilmu-ilmu tasawuf,
tetapi tidak bisa digunakan untuk fiqh.
3. (alasan
ketiga) Hukum dasar puasa adalah baik dilakukan, Shalat Mutlaq dapat dilakukan
kapan saja.Ketika Al Hafidh Al Muhaddits Imam Nawawi menjawab masalah puasa di
bulan rajab, beliau berkata : ولم يثبت في صوم رجب نهى ولا ندب لعينه ولكن أصل الصوم مندوب إليه“Tiada
hukum yg menguatkan puasa di bulan rajab, akan tetapi asal muasal hukum puasa
adalah hal yg baik dilakukan” (Fathul baari Almasyhur Juz 8 hal.38), jelaslah
sudah bahwa Imam Nawawi berpendapat semua hal yg baik dan sunnah, jika
dilakukan di waktu kapanpun, boleh saja dilakukan diwaktu yg dipilih. Juga
sebagaimana diriwayatkan ketika ada Imam masjid Quba yg selalu membaca surat Al
Ikhlas disetiap habis fatihah, ia selalu menyertakan surat Al Ikhlas lalu baru
surat lainnya, lalu makmumnya protes, seraya meminta agar ia menghentikan
kebiasaanya, namun Imam itu menolak, silahkan pilih imam lain kalau kalian mau,
aku akan tetap seperti ini!, maka ketika diadukan pada Rasul saw, maka Rasul
saw bertanya mengapa kau berkeras dan menolak permintaan teman temanmu (yg
meminta ia tak membaca surat al ikhlas setiap rakaat), dan apa pula yg
membuatmu berkeras mendawamkannya setiap rakaat?” ia menjawab : “Aku mencintai
surat Al Ikhlas”, maka Rasul saw menjawab : “Cintamu pada surat Al Ikhlas akan
membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari hadits no.741). Kita tahu bahwa di dalam
satu tahun ada 5 hari yang diharamkan berpuasa yaitu Iedul Fitri, Iedul Adha,
lalu 3 hari setelah Iedul Adha. Mafhum mukhalafahnya (logika terbalik) adalah
selain yang 5 hari itu maka dibolehkan berpuasa. Sedangkan shalat Rajab adalah
jenis shalat MUTLAQ yang dapat dilakukan kapan saja. Jadi yang dimaksud dengan
shalat Rajab adalah “shalat mutlaq yang dilakukan pada malam-malam bulan
Rajab”. Maka tidak ada larangan melakukannya pada setiap waktu yang dibolehkan
shalat.
Jangan sampai
kita mengharamkan sesuatu yang halal. Allah berfirman Hai Nabi, mengapa kamu
mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu (QS. At-Tahrim 66:1)
Adapun
surat-surat yang dibaca dalam shalat mutlaq tersebut silakan dibaca surat apa saja
selama yang dibaca adalah al-Qur’an. Begitu pula yang dilakukan oleh imam
masjid Quba. Bilal menciptakan shalat (mutlaq) syukrul wudhu عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لبلال عند صلاة الفجر” يا بلال حدثني بأرجي عمل عملته في الإسلام فإني سمعت دفَّ نعليك بين يدي في الجنة قال ما عملت عملا أرجى عندي أني لم أتطهر طهورا في ساعة ليل أو نهار إلا صليت بذلك الطهور ما كتب لي أن أصلي “.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda pada Bilal : “Hai
Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amal yang kamu harapkan akan mendapatkan
pahala, yang telah kamu kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnyalah aku
mendengar suara terompahmu di hadapanku di sorga” Bilal menjawab: “saya tidak
beramal dengan sesuatu amal apapun. Yang lebih saya harapkan pahalanya, kecuali
saya mengerjakan shalat setelah aku bersuci (berwudlu) baik di waktu siang atau
malam sesuai dengan yang telah ditentukan buatku untuk melakukan shalat. (HR.
Bukhori dan Muslim )
4. Bulan Rajab
adalah Bulan HaramBulan-bulan haram itu adalah waktu sangat baik untuk
melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan
puasa pada bulan-bulan tersebut. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada
bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al
Ma’arif, 214) Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut
sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan
tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai
pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)
Di bawah ini
saya cantumkan contoh hadis yang dibahas oleh para ahli hadis dan sufi عن أنس عن النبي -صلى الله عليه وسلم- أنه قال:
“ما من أحد يصوم يوم الخميس (أول خميس من رجب) ثم يصلي فيما بين العشاء والعتمة يعني ليلة الجمعة اثنتي عشرة ركعة ، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب مرة و((إنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ القَدْرِ)) ثلاث مرات، و((قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ)) اثنتي عشرة مرة ، يفصل بين كل ركعتين بتسليمة ، فإذا فرغ من صلاته صلى عليّ سبعين، فيقول في سجوده سبعين مرة:
(سبوح قدوس رب الملائكة والروح) ، ثم يرفع رأسه ويقول سبعين مرة: رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم ، إنك أنت العزيز الأعظم ، ثم يسجد الثانية فيقول مثل ما قال في السجدة الأولى ، ثم يسأل الله (تعالى) حاجته ، فإنها تقضى”.. قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-:
“والذي نفسي بيده ، ما من عبد ولا أَمَة صلى هذه الصلاة إلا غفر الله له جميع ذنوبه ، ولو كانت مثل زبد البحر ، وعدد الرمل ، ووزن الجبال ، وورق الأشجار ، ويشفع يوم القيامة في سبعمئة من أهل بيته ممن قد استوجب النار.
(إحياء علوم الدين ، للغزالي)
Dari Anas dari
Nabi s.a.w. beliau bersabda, “Tiada seorangpun yang berpuasa pada hari Kamis
(kamis pertama bulan Rajab) kemudian shalat antara Maghrib dan Isya yaitu malam
Jum’at 12 rakaat, dibaca pada setiap rakaat al-Fatihah satu kali, dan al-Qadr 3
kali, al-Ikhlas 12 kali, dipisahkan antara setiap 2 rakaat dengan 1 salam.
Kemudian setelah shalat selesai bershalawat kepadaku 70 kali, kemudian membaca
pada sujudnya 70 kali سبوح قدوس رب الملائكة والروح,
kemudian mengangkat kepalanya dan mengucapkan 70 kali رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم ، إنك أنت العزيز الأعظم,
Kemudian sujud yang kedua dan mengucapkan sebagaimana yang diucapkan pada sujud
pertama. Kemudian memohon kepada Allah agar dikabulkan hajatnya, maka hajatnya
akan dikabulkan.. Rasulullah s.a.w. melanjutkan, dan demi yang jiwaku berada di
tanganNYa (Allah) tiada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan
menjalankan shalat ini kecuali Allah mengampuni seluruh dosa-dosanya meskipun
sebanyak buih di lautan, dan sebanyak pasir, dan sebesar gunung, dan sebanyak
dedaunan di pepohonan, dan ia akan memberi syafaat kepada 700 keluarganya yang
masuk neraka”. (Ihya’ Ulumiddin)
Wallahu a’lam
semoga
bermanfaat
Dikutip dari
catatan: Ust Abdul Latif, MA (Mesjid Al Mubarok, Rawamangun, Jakarta
Timur).
Posting Komentar
Posting Komentar