Oleh : Fatmah Afrianty Gobel (kompasiana.com)
Konsep sehat dan kesehatan merupakan dua hal yang
hampir sama tapi berbeda. Konsep sehat menurut Parkins (1938) adalah suatu
keadaan seimbang yang dinamis antara bentuk dan fungsi tubuh dan berbagai
faktor yang berusaha mempengaruhinya. Sementara menurut White (1977)
,
sehat adalah suatu keadaan di mana seseorang pada waktu diperiksa tidak
mempunyai keluhan ataupun tidak terdapat tanda-tanda suatu penyakit dan
kelainan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun mengembangkan
defenisi tentang sehat. Pada sebuah publikasi WHO tahun 1957, konsep sehat
didefenisikan sebagai suatu keadaan dan kualitas dari organ tubuh yang berfungsi
secara wajar dengan segala faktor keturunan dan lingkungan yang dimiliki.
Sementara konsep WHO tahun 1974, menyebutkan Sehat adalah keadaan sempurna dari
fisik, mental, sosial, tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan.
Sementara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional Ulama tahun
1983 merumuskan kesehatan sebagai ketahanan “jasmaniah, ruhaniyah dan sosial”
yang dimiliki manusia sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan
mengamalkan tuntunan-Nya, dan memelihara serta mengembangkannya.
Kesehatan Islam
Kedua konsep tersebut ditinjau dari perspektif Islam
yang mengacu dalam kitab suci Al Quran. Islam sangat memperhatikan kondisi
kesehatan sehingga dalam Al Quran dan Hadits ditemui banyak referensi tentang
sehat. Misalnya Hadits Bukhari yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah
bersabda. “Dua nikmat yang sering tidak diperhatikan oleh kebanyakan manusia
yaitu kesehatan dan waktu luang.”
Kosa kata “sehat wal afiat” dalam Bahasa Indonesia
mengacu pada kondisi ragawi dan bagian-bagiannya yang terbebas dari virus
penyakit. Sehat Wal Afiat ini dapat diartikan sebagai kesehatan pada segi
fisik, segi mental maupun kesehatan masyarakat.
Menurut Dian Mohammad Anwar dari Foskos Kesweis
(Forum Komunikasi dan Studi Kesehatan Jiwa Islami Indonesia), pengertian kesehatan
dalam Islam lebih merujuk kepada pengertian yang terkandung dalam kata afiat.
Konsep Sehat dan Afiat itu mempunyai makna yang berbeda kendati tak jarang
hanya disebut dengan salah satunya, karena masing-masing kata tersebut dapat
mewakili makna yang terkandung dalam kata yang tidak disebut. Dalam kamus
bahasa arab sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan dan
afiat diartikan sebagai perlindungan Allah SWT untuk hamba-Nya dari segala
macam bencana dan tipudaya. Perlindungan Allah itu sudah barang tentu tidak
dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi orang-orang yang mematuhi
petunjuk-Nya. Dengan demikian makna afiat dapat diartikan sebagai berfungsinya
anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Sesuai dengan Sunnah Nabi inilah maka umat Islam
diajarkan untuk senantiasa mensyukuri nikmat kesehatan yang diberikan oleh
Allah SWT. Bahkan bisa dikatakan Kesehatan adalah nikmat Allah SWT yang
terbesar yang harus diterima manusia dengan rasa syukur. Bentuk syukur terhadap
nikmat Allah karena telah diberi nikmat kesehatan adalah senantiasa menjaga
kesehatan. Firman Allah dalam Al Quran, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih” (Surah Ibrahim [14]:7).
Sebagai seorang Muslim, keyakinan atas kondisi sehat
seseorang terkait takdir pula. Meski sudah berperilaku sehat, apabila Allah
mentakdirkan ia sakit maka seseorang akan menderita kesakitan. Apabila
seseorang ditakdirkan oleh Allah untuk sehat maka sehatlah ia. Janji Allah SWT
dalam Surah Asy Syu’araa’ [26]: 78 – 82: “(Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan
Aku, Maka Dialah yang menunjuki Aku. Dan Tuhanku, yang Dia memberi Makan dan
minum kepadaKu. Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku. Dan yang
akan mematikan Aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali). Dan yang amat
kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat”.
Sedangkan berdasarkan Hadis Nabi yang diriwayatkan
oleh Jabir dari Nabi SAW bersabda: Setiap penyakit pasti ada obatnya, apabila
obatnya itu digunakan untuk mengobatinya, maka dapat memperoleh kesembuhan atas
izin Allah SWT (HR. Muslim). Bahkan Allah SWT tidak akan menurunkan penyakit
kecuali juga menurunkan obatnya, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda: Allah SWT tidak menurunkan sakit, kecuali
juga menurunkan obatnya (HR Bukhari).
Terkait dengan takdir, didalam Al Quran dikisahkan
tentang Nabi Ayub yang ditimpa serangan penyakit pada hampir seluruh organ
tubuhnya. Bagian tubuh yang tersisa dari serangan penyakit ketika itu adalah
lidah dan hatinya. Pada saat terkena penyakit, Nabi Ayub pun kehilangan
anak-anaknya dan harta benda yang dimilikinya sehingga menambah berat
penderitaannya. Dengan lidah dan hati yang tersisa, seakan Allah SWT memberi
jalan kepada Nabi Ayub untuk berzikir dengan lidahnya dan berdoa dalam hati
memohon doa agar diridhoi untuk hidup sehat kembali. Akhirnya, dikisahkan Nabi
Ayub pun sembuh seperti sediakala dan harta beserta keluarganya dikembalikan.
Kisah Nabi Ayub dalam Al Quran terdapat pada Surah
Al Anbiyaa’ [21]:83-84, “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya:
“(Ya Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan
yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang”. Maka Kamipun memperkenankan
seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan
keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu
rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah
Allah.
Menurut Aswadi Syuhadak dari UIN Sunan Ampel
Surabaya, indikasi sakit, sembuh dan sehat dalam bahasa Al-Qur’an, secara
berurutan dapat didasarkan pada kata maradl, syifa’ dan salim. Kata maradl dan
syifa’ secara berdampingan diungkapkan dalam QS.al-Syu`ara’ [26/47]: 80
“Apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku“. Pada ayat ini tampak dengan
jelas bahwa term sakit-maradl dikaitkan dengan manusia, sedangkan syifa’ maupun
kesembuhan yang diberikan pada manusia adalah disandarkan pada Allah SWT.
Kandungan makna demikian ini juga mengantarkan pada sebuah pemahaman bahwa
setiap ada penyakit pasti ada obatnya, dan apabila obatnya itu sesuai
penyakitnya akan memperoleh kesembuhan, dan kesembuhannya itu adalah atas izin
dari Allah SWT.
Kata salim, lanjut Aswadi Syuhadak, dapat dijadikan
rujukan bahwa makna kesehatan menunjukkan kebersihan dan kesucian dalam diri
manusia, baik jasmani maupun ruhani, lahir maupun batin, baik tauhid rububiyah
(insaniyah) maupun uluhiyah (ilahiyah) sejak dari awal kehidupan hingga di hari
kebangkitan. Istilah kesehatan jasmani dalam kajian ini lebih difokuskan pada
perilaku amal shalih dan bukan sekedar berorientasi pada bentuk jasadiyah,
badaniyah maupun harta kekakayaan, tetapi sekali lagi bahwa kesehatan jasmani
di sini lebih mengarah pada amal perbuatan yang didasarkan pada nilai-nilai
ruhaniyah uluhiyah maupun rububiyyah.
Kesehatan amaliyah inilah yang dapat bertahan hingga
hari kebangkitan. Sedangkan kesehatan jasadiyah, badaniyah maupun ekonomi dapat
dipahami sebagai raga, alat atau media yang dapat dimanfaatkan dalam mencapai
kebersihan amal dengan melalui pertimbangan tauhid rububiyah maupun uluhiyah.
Boleh jadi jasad, raga, alat dan media tidak permanen, melainkan bisa bergeser,
berubah dan rusak, demikian pandangan Aswadi Syuhadak.
Dengan demikian, anjuran terhadap umat Islam dalam
menjaga kesehatan terkait dengan perilaku sehat (health behavior) dan perilaku
sakit (illness behavior). Teori-teori yang dikembangkan oleh para antropolog
kesehatan mengartikan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit,
perawatan kebersihan diri, penjagaan kebugaran melalui olah raga dan makanan
bergizi. Sedangkan perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang
dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan (Solita
Sarwono, 1993: 31-36).
Dalam konteks masyarakat muslim modern, masalah
kesehatan telah menjadi urusan publik maka terkait dengan kebijakan negara.
Upaya mewujudkan perilaku sehat warga masyarakat dalam perspektif kebijakan
kesehatan antara lain: kebijakan penurunan angka kesakitan dan kematian dari
berbagai sebab dan penyakit; kebijakan peningkatan status gizi masyarakat
berkaitan dengan peningkatan status sosial ekonomi masyarakat; kebijakan
peningkatan upaya kesehatan lingkungan terutama penyediaan sanitasi dasar yang
dikembangkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan mutu
lingkungan hidup; Kebijakan dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat
melalui upaya peningkatan pencegahan, penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan terutama untuk ibu dan anak; dan kebijakan peningkatan kemampuan
masyarakat untuk hidup sehat.
Posting Komentar
Posting Komentar