Pengarang Buku
"Kimia Kebahagiaan"
Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1128 A.D.). Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Muhammad
al-Tusi al-Shafi’i al-Ghazali (Imam Al-Ghazali) lahir tahun 1058 A.D. di
Khorasan, Iran. Ayahnya meninggal pada saat dia masih sangat muda, namun dia
mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan di sekolah dengan kurikulum yang
bagus di Nishapur dan Baghdad. Segera setelah itu, dia menerima penghargaan di
bidang agama dan filsafat dan ditunjuk sebagai professor pada
Universitas Nizamiyah di Baghdad, yang terkenal sebagai institusi pendidikan yang bergengsi pada jaman keemasan sejarah Islam.
Universitas Nizamiyah di Baghdad, yang terkenal sebagai institusi pendidikan yang bergengsi pada jaman keemasan sejarah Islam.
Beberapa tahun
kemudian, dia berhenti dari kehidupan di dunia universitas dan hidup keduniaan,
lalu mencari kehidupan zuhud. Saat ini merupakan masa transformasi mistis bagi
Al-Ghazali. Kemudian, dia mulai tugasnya lagi sebagai pengajar, namun kemudian
ditinggalkan lagi. Sebuah kehidupan menyendiri, yang dikonsentrasikan pada
kontemplasi dan menulis dia lakukan, yang menghasilkan beberapa karya yang
monumental. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 1128 A.D.
Karya Ghazali yang
utama pada bidang agama, filsafat, dan sufi. Beberapa filsuf Muslim mengikuti
dan mengembangkan beberapa pandangan yang berasal dari filsafat Yunani,
termasuk filsafat Neoplatonis, yang berakibat benturan dengan ajaran Islam. Di
lain pihak, gerakan sufi kadang dipandang terlalu berlebihan, seperti misalnya
tidak menjalankan kewajiban shalat dan kewajiban yang lainnya dalam Islam.
Berdasarkan kepada reputasi keahliannya dalam bidang agama dan pengalaman
mistis, Ghazali mencoba mengawinkan kecenderungan ini, baik dari segi filsafat
maupun sufi.
Dalam bidang filsafat,
Ghazali percaya bahwa pendekatan matematika dan ilmu pasti adalah benar. Namun,
beliau menggunakan logika Aristotelian dan prosedur Neoplatonis, serta
menggunakan keduanya untuk mengungkap kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam
filsafat Neoplatonis dan untuk menghilangkan pengaruh negatif dari
Aristotelianisme dan rasionalisme yang berlebihan. Sebagai kontras dengan
beberapa filsuf Islam lainnya, misalnya, Farabi, dia menggambarkan
ketidakmampuan akal untuk mencerna yang mutlak dan tak terhingga. Akal tidak
mampu mentransformasikan segala yang terhingga dan terbatas menjadi suatu pengamatan
yang relatif. Demikian pula, beberapa filsuf Islam berpendapat bahwa jagad raya
ini terbatas dalam ruang tetapi tak terbatas dalam waktu. Ghazali berpendapat
bahwa ketakterhinggaan waktu mempunyai korelasi dengan ketakterhinggaan ruang.
Dengan kejernihan dan kekuatan argumennya, dia berhasil menciptakan
keseimbangan antara agama dan akal, dan mengidentifikasi kawasannya sebagai tak
terhingga dan terhingga.
Dalam agama, terutama dalam bidang mistisme,
dia membersihkan pendekatan sufisme yang berlebihan dan memantapkan otoritas
agama yang ortodoks. Namun, dia tetap menekankan pentingnya keaslian sufisme,
yang dia pelihara adalah jalan untuk menuju kebenaran hakiki.
Dia adalah seorang
penulis yang mahir. Buku klasiknya termasuk Tuhafut al-Falasifa, Ihya al-’Ulum
al-Islamia, “The Beginning of Guidance and his Autobiography”, “Deliverance
from Error.” Beberapa karyanya diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa Eropa di
Abad Pertengahan. Dia juga menulis tentang astronomi.
Pengaruh Ghazali
sangat dalam dan lama. Dia adalah salah satu dari ahli agama Islam yang
terbesar. Doktrin teologinya menembus Eropa, mempengaruhi baik Yahudi maupun
Kristiani dan beberapa argumentasinya tampaknya telah digunakan oleh Thomas
Aquinas untuk memantapkan otoritas agama Kristen yang ortodoks di Barat. Begitu
kuatnya argumentasi dia dalam keberpihakannya terhadap agama, sehingga dia
dituduh sebagai penyebab kemunduran filsafat, dan di kalangan Muslin Spanyol,
Ibn Rushd (Averros) menulis bantahan terhadap karyanya Tuhafut al-Falasifa. (Sumber: media
IN)
Posting Komentar
Posting Komentar