Syekh Abdul Qodir AL-Jailani (wafat 561 H/1166M) yang
bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost
al-Jailani. Lahir di di Jilan (Jailan) tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad
pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju
Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah
Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan
saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat
ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M)
di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Diriwayatkan bahwa saat
mengandung beliau usia ibunya 60 tahun. Ada yang menyatakan bahwa pada usia 60
tahun tidak ada wanita yang bisa hamil lagi. Ibu beliau bernama Fathimah binti
Syekh Abdullah Ash-Shauma’i. Setelah lahir Syekh Abdul Qodir tidak mau
menyusupada saat bulan Ramadhan, sehingga jika masyarakat tidak dapat melihat
hilal penentuan bulan Ramadhan, masyarakat mendatangi ayah Syekh Abdul Qodir.
Jika ayah beliau menjawab “hari ini anakku tidak menyusu maka orang-orangpun
mengerti bahwa bulan Ramadhan telah tiba”.
Abul Hasan
An-Nadawi, dalam kitabnya “Rijalul Fikri wal da’wah wal Islam” (Tokoh-tokoh Intelektual
Da’wah dan Islam) mengisahkan tentang Syeikh Abdul Qadir Al-Jailanisebagai
berikut :
“Majelis beliau (Abdul Qadir) dihadiri oleh tujuh puluh ribu orang. Di tangannya lebih dari lima ribu orang Yahudi dan Nasrani masuk Islam, dan lebih dari seratus orang yang sesat bertaubat. Beliau buka pintu bai’at dan taubat di bawah bimbingannya. Maka masuklah ke dalam bimbingannya orang-orang yang jumlahnya hanya diketahui oleh Allah, sehingga keadaan umat semakin membaik dan keislaman mereka pun semakin mendalam.
Syeikh Abdul Qadir terus menerus mendidik, membimbing dan mengontrol perkembangan masyarakat. Sehingga mereka menyadari tanggung jawab yang mereka pikul setelah mereka berbai’at, bertaubat dan memperbaharui keimanan. Kemudian Syeikh Abdul Qadir memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang cerdas, istiqomah, dan punya kemampuan untuk mentarbiyah. Murid-murid beliau kemudian menyebar ke seluruh pelosok bumi. Mengajak umat manusia ke jalan Allah, mentarbiyah jiwa mereka dan memberantas syirik, bid’ah, nifaq dan berbagai bentuk kejahiliahan lainnya. Maka tersebarlah da’wah Islamiyah dan berdirilah markas-markas keimanan, madrasah-madrasah kebaikan, barak-barak jihad, dan perkumpulan-perkumpulan ukhuwah Islamiyah di seluruh penjuru duniaIslam .
Para pengikut Syeikh Abdul Qadir, murid-muridnya, dan generasi berikut yang mengikuti langkahnya dalam da’wah dan perbaikan jiwa manusia; mempunyai peran yang sangat besar dalam menjaga semangat Islam, pelita iman, da’wah, dan jihad, serta kemampuan menolak syahwat dan cinta kekuasaan.
Mereka pun memiliki andil sangat besar dalam menyebarkan Islam ke negeri-negeri yang tak bisa dicapai oleh pasukan Islam atau tak bisa ditundukkan secara militer. Atas andil mereka Islam menyebar di Afrika hitam, Indonesia, kepulauan lautan Hindia, Cina, India dan negeri-negeri lain.”
Penulis terkenal Syakib Arselan rahimahullah dalam bukunya ‘Hadirul ‘Alam Islami’ (Dunia Islam Masa Kini) dalam sub judul “Nahdlotul Islam fil-Afriqiya Wa Asbabuha” (Kebangkitan Islam di Afrika) menulis sebagai berikut :
“Syeikh Abdul Qadir Jiilani yang tinggal di daerah Jiilan, merupakan seorang mursyid agung yang tumbuh brilian. Beliau mempunyai pengikut yang tak terbilang jumlahnya, thoriqah (bimbingan) nya sampai ke Asbania (Spanyol). Ketika pemerintahan Arab (Islam) lenyap dari Spanyol, madrasah Qodiriyah pindah ke Fas. Berkat cahaya yang terpancar dari madrasah ini, berbagai bentuk bid’ah yang ada pada orang-orang Barbar berhasil dilenyapkan. Untuk selanjutnya mereka berpegang teguh pada ajaran Ahli Sunnah Wal Jama’ah.”
“Majelis beliau (Abdul Qadir) dihadiri oleh tujuh puluh ribu orang. Di tangannya lebih dari lima ribu orang Yahudi dan Nasrani masuk Islam, dan lebih dari seratus orang yang sesat bertaubat. Beliau buka pintu bai’at dan taubat di bawah bimbingannya. Maka masuklah ke dalam bimbingannya orang-orang yang jumlahnya hanya diketahui oleh Allah, sehingga keadaan umat semakin membaik dan keislaman mereka pun semakin mendalam.
Syeikh Abdul Qadir terus menerus mendidik, membimbing dan mengontrol perkembangan masyarakat. Sehingga mereka menyadari tanggung jawab yang mereka pikul setelah mereka berbai’at, bertaubat dan memperbaharui keimanan. Kemudian Syeikh Abdul Qadir memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang cerdas, istiqomah, dan punya kemampuan untuk mentarbiyah. Murid-murid beliau kemudian menyebar ke seluruh pelosok bumi. Mengajak umat manusia ke jalan Allah, mentarbiyah jiwa mereka dan memberantas syirik, bid’ah, nifaq dan berbagai bentuk kejahiliahan lainnya. Maka tersebarlah da’wah Islamiyah dan berdirilah markas-markas keimanan, madrasah-madrasah kebaikan, barak-barak jihad, dan perkumpulan-perkumpulan ukhuwah Islamiyah di seluruh penjuru duniaIslam .
Para pengikut Syeikh Abdul Qadir, murid-muridnya, dan generasi berikut yang mengikuti langkahnya dalam da’wah dan perbaikan jiwa manusia; mempunyai peran yang sangat besar dalam menjaga semangat Islam, pelita iman, da’wah, dan jihad, serta kemampuan menolak syahwat dan cinta kekuasaan.
Mereka pun memiliki andil sangat besar dalam menyebarkan Islam ke negeri-negeri yang tak bisa dicapai oleh pasukan Islam atau tak bisa ditundukkan secara militer. Atas andil mereka Islam menyebar di Afrika hitam, Indonesia, kepulauan lautan Hindia, Cina, India dan negeri-negeri lain.”
Penulis terkenal Syakib Arselan rahimahullah dalam bukunya ‘Hadirul ‘Alam Islami’ (Dunia Islam Masa Kini) dalam sub judul “Nahdlotul Islam fil-Afriqiya Wa Asbabuha” (Kebangkitan Islam di Afrika) menulis sebagai berikut :
“Syeikh Abdul Qadir Jiilani yang tinggal di daerah Jiilan, merupakan seorang mursyid agung yang tumbuh brilian. Beliau mempunyai pengikut yang tak terbilang jumlahnya, thoriqah (bimbingan) nya sampai ke Asbania (Spanyol). Ketika pemerintahan Arab (Islam) lenyap dari Spanyol, madrasah Qodiriyah pindah ke Fas. Berkat cahaya yang terpancar dari madrasah ini, berbagai bentuk bid’ah yang ada pada orang-orang Barbar berhasil dilenyapkan. Untuk selanjutnya mereka berpegang teguh pada ajaran Ahli Sunnah Wal Jama’ah.”
Ketika Beliau Muda
Dalam usia 8 tahun ia
sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak
diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad
al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau
belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul
Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada
ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga
perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al
Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj
menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al
Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana
sambil memberikan nasehat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut.
Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat beliau. Banyak pula orang
yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau
hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Murid-Murid Beliau
Murid-murid beliau banyak
yang menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab
Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqh
terkenal al Mughni.
Beliau adalah seorang
yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, Beliau dikenal pula banyak memiliki
karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama
beliau.
Salah satu yang dialamatkan beliau adalah masalah beliau dianggap salah satu ulama yang tajsim sebagaimana di sebutkan dalam manaqib-manaqib beliau diantara dalam kitab al Nur al Burhan yang berbunyi :
انت واحد في السماء وانا واحد في الأرض
Dalam kitab yang lain yaitu dalam Tafrikhul Khotir hal 46 berbunyi:
انت واحد في السماء وانت الكبير الجبار المتكبر وانا الحقير الفقير القليل لااله الا انت
Secara tekstual sepertinya dapat disimpulkan bahwa beliau menetapkan Allah itu berarah atau bertempat, banyak nash yang secara tekstual (lihat dalam kitab Al Ghunniyah) sepertinya mengisyaratkan bahwa Allah berarah dan bertempat tertentu, namun apabila kita kaji sebagaimana penelitian yang disampaikan KH. Drs Achmad Muhdhor dari Pesantren Luhur Malang dengan mengambil pendapat Syekh Muhyiddin bin al A’robi dalam kitabnya Aqidatul Khowwash yang berbunyi :
وليس فيها (الغنية) لفظ الجهة…… وهذا يؤيد ماذكره الأئمة الأعلام نجم الدين الكبرى واليافعي والشعراني وابن حجر من تنزيه سيد الشيخ عبد القادر عن ذلك . 25
“Dan didalam kitab Al Ghunniyah tidak terdapat lafadz arah……, dan ini dikuatkan oleh pendapat yang dikemukakan oleh para alim diantaranya yaitu: Najamuddin al-Kubro, Imam al-Yafi’I, Imam Sya’roni, Ibnu Hajar, bahwa Syekh Abdul Qodir al jilany terlepas dari I’tiqod tentang penetapan arah bagi Tuhan”.
Permasalahan ini pada dasarnya merupakan masalah ta’wil tentang “istawaa”nya Allah, untuk itu kita harus juga melihat pendapat beliau Syekh Abdul Qodir mengenai ta’wil dalam kitab Sirr al Asror, beliau mengatakan:
التفسير للعوام و التأويل للخواص,لأنهم العلماء الراسخون,لأن معنى الرسوخ الثبات والإستقرار والإستحكام فى العلم… (سر الأسرار:61).
Dalam pendapatnya diatas nampaknya beliau membedakan pembidanan antara tafsir dan ta’wil, tafsir bagi beliau untuk orang umum, sedangkan ta’wil bagi orang khusus, dalam hal ini adalah ulama’ yang mampu menetapkan, dan mengambil suatu hikmah dari suatu ilmu.
Salah satu yang dialamatkan beliau adalah masalah beliau dianggap salah satu ulama yang tajsim sebagaimana di sebutkan dalam manaqib-manaqib beliau diantara dalam kitab al Nur al Burhan yang berbunyi :
انت واحد في السماء وانا واحد في الأرض
Dalam kitab yang lain yaitu dalam Tafrikhul Khotir hal 46 berbunyi:
انت واحد في السماء وانت الكبير الجبار المتكبر وانا الحقير الفقير القليل لااله الا انت
Secara tekstual sepertinya dapat disimpulkan bahwa beliau menetapkan Allah itu berarah atau bertempat, banyak nash yang secara tekstual (lihat dalam kitab Al Ghunniyah) sepertinya mengisyaratkan bahwa Allah berarah dan bertempat tertentu, namun apabila kita kaji sebagaimana penelitian yang disampaikan KH. Drs Achmad Muhdhor dari Pesantren Luhur Malang dengan mengambil pendapat Syekh Muhyiddin bin al A’robi dalam kitabnya Aqidatul Khowwash yang berbunyi :
وليس فيها (الغنية) لفظ الجهة…… وهذا يؤيد ماذكره الأئمة الأعلام نجم الدين الكبرى واليافعي والشعراني وابن حجر من تنزيه سيد الشيخ عبد القادر عن ذلك . 25
“Dan didalam kitab Al Ghunniyah tidak terdapat lafadz arah……, dan ini dikuatkan oleh pendapat yang dikemukakan oleh para alim diantaranya yaitu: Najamuddin al-Kubro, Imam al-Yafi’I, Imam Sya’roni, Ibnu Hajar, bahwa Syekh Abdul Qodir al jilany terlepas dari I’tiqod tentang penetapan arah bagi Tuhan”.
Permasalahan ini pada dasarnya merupakan masalah ta’wil tentang “istawaa”nya Allah, untuk itu kita harus juga melihat pendapat beliau Syekh Abdul Qodir mengenai ta’wil dalam kitab Sirr al Asror, beliau mengatakan:
التفسير للعوام و التأويل للخواص,لأنهم العلماء الراسخون,لأن معنى الرسوخ الثبات والإستقرار والإستحكام فى العلم… (سر الأسرار:61).
Dalam pendapatnya diatas nampaknya beliau membedakan pembidanan antara tafsir dan ta’wil, tafsir bagi beliau untuk orang umum, sedangkan ta’wil bagi orang khusus, dalam hal ini adalah ulama’ yang mampu menetapkan, dan mengambil suatu hikmah dari suatu ilmu.
Karya-karya Beliau
Imam Ibnu Rajab juga
berkata, ”Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah memiliki pemahaman yang
bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat
yang sesuai dengan sunnah.”
Karya beliau, antara lain
:
Risalah al Ghoutsiyyah,
Sirr Al Asror, Fathu Al Rabbany, al Ghunniyah fi al Tashowwuf, Maratib al Wujud,
dan beberapa karya yang lain,
Masa Kemasyhuran
Al-Jaba’i berkata bahwa
Syaikh Abdul Qadir al-Jiilani pernah berkata kepadanya, “Tidur dan bangunku
sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk
berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan
ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau
tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang
aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di
masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah
kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari
dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku
dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang
tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan
menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali
radhiallahu ‘anhum]].
Kemudian, Syaikh Abdul
Qadir melanjutkan, “Aku melihat Rasulullah SAW sebelum dzuhur, beliau berkata
kepadaku, “anakku, mengapa engkau tidak berbicara?”. Aku menjawab, “Ayahku,
bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan orang-orang fasih dari
Baghdad?”. Ia berkata, “buka mulutmu”. Lalu, beliau meniup 7 kali ke dalam
mulutku kemudian berkata, ”bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan
hikmah dan peringatan yang baik”. Setelah itu, aku shalat dzuhur dan duduk
serta mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku
gemetar. Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, “buka mulutmu”. Ia
lalu meniup 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa
beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasulullah SAW, beliau
menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada RasuluLlah
SAW. Kemudian, aku berkata, “Pikiran, sang penyelam yang mencari mutiara
ma’rifah dengan menyelami laut hati, mencampakkannya ke pantai dada , dilelang
oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang
diizinkan Allah untuk diangkat”. Ia kemudian menyitir, “Dan untuk wanita
seperti Laila, seorang pria dapat membunuh dirinya dan menjadikan maut dan
siksaan sebagai sesuatu yang manis.”
Dalam beberapa manuskrip
didapatkan bahwa Syaikh Abdul Qadir al Jaelani berkata, ”Sebuah suara berkata
kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, “kembali ke Baghdad dan
ceramahilah orang-orang”. Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya
dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti
mereka”. “Sesungguhnya” kata suara tersebut, “Mereka akan mendapatkan manfaat
dari keberadaan dirimu”. “Apa hubungan mereka dengan keselamatan
agamaku/keyakinanku” tanyaku. “Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan
keselamatan agamamu” jawab suara itu.
Aku pun menbuat 70
perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang
menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan
bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.
Kejadian-kejadian Penting
Suatu ketika, saat aku
berceramah aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. “Apa ini
dan ada apa?” tanyaku. “Rasulullah SAW akan datang menemuimu untuk memberikan
selamat” jawab sebuah suara. Sinar tersebut semakin membesar dan aku mulai
masuk dalam kondisi spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu, aku melihat
RasuLullah SAW di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, “Wahai
Abdul Qadir”. Begitu gembiranya aku dengan kedatangan Rasulullah SAW, aku melangkah
naik ke udara menghampirinya. Ia meniup ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali
datang dan meniup ke dalam mulutku 3 kali. “Mengapa engkau tidak melakukan
seperti yang dilakukan Rasulullah SAW?” tanyaku kepadanya. “Sebagai rasa
hormatku kepada Rasulullah SAW” jawab beliau.
Rasulullah SAW kemudian
memakaikan jubah kehormatan kepadaku. “apa ini?” tanyaku. “Ini” jawab
Rasulullah, “adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang yang
mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian”. Setelah itu, aku pun tercerahkan
dan mulai berceramah.
Saat Khidir as. Datang
hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali sebelumku, Allah
membukakan rahasianya dan apa yang akan dikatakannya kepadaku. Aku berkata
kepadanya, ”Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku, “Engkau tidak akan
sabar kepadaku”, aku akan berkata kepadamu, “Engkau tidak akan sabar kepadaku”.
“Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan
Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan
lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana, busur
terentang dan pedang terhunus.”
Al-Khattab pelayan Syaikh
Abdul Qadir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau sedang berceramah
tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata, “Hai orang Israel,
dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad” lalu kembali ke tempatnya.
Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau menjawab, ”Tadi Abu Abbas al Khidir
as lewat dan aku pun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia
berhenti”.
Hubungan Guru dan Murid
Guru dan teladan kita
Syaikh Abdul Qadir al Jiilani berkata, ”Seorang Syaikh tidak dapat dikatakan
mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah
mendarah daging dalam dirinya.
1. Dua karakter dari
Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
2. Dua karakter dari
Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.
3. Dua karakter dari Abu
Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
4. Dua karakter dari Umar
yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
5. Dua karakter dari
Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
6. Dua karakter dari Ali
yaitu aalim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan
pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepada beliau dikatakan:
Bila lima perkara tidak
terdapat dalam diri seorang syaikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada
kesesatan.
Dia harus sangat
mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya,
hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para
muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.
Syaikh Abdul Qadir juga
menyatakan bahwa Syaikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah
kepada kita untuk menilai seorang syaikh. Apabila ia tidak hafal al Quran,
tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.
Menurut saya (penulis
buku) yang harus dimiliki seorang syaikh ketika mendidik seseorang adalah dia
menerima si murid untuk Allah, bukan untuk dirinya atau alasan lainnya. Selalu
menasihati muridnya, mengawasi muridnya dengan pandangan kasih. Lemah lembut
kepada muridnya saat sang murid tidak mampu menyelesaikan riyadhah. Dia juga
harus mendidik si murid bagaikan anak sendiri dan orang tua penuh dengan kasih
dan kelemahlembutan dalam mendidik anaknya. Oleh karena itu, dia selalu
memberikan yang paling mudah kepada si murid dan tidak membebaninya dengan
sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Dan setelah sang murid bersumpah untuk
bertobat dan selalu taat kepada Allah baru sang syaikh memberikan yang lebih
berat kepadanya. Sesungguhnya bai’at bersumber dari hadits Rasulullah SAW
ketika beliau mengambil bai’at para sahabatnya.
Kemudian dia harus
mentalqin si murid dengan zikir lengkap dengan silsilahnya. Sesungguhnya Ali
ra. bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, jalan manakah yang
terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling
afdhal di sisi-Nya. Rasulullah berkata, “Ali, hendaknya jangan putus berzikir
(mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)”. Kemudian, Ali ra.
kembali berkata, “Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang
berzikir”. Rasulullah berkata, “Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan
terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan ‘Allah’,
‘Allah’. “Bagaimana aku berzikir?” tanya Ali. Rasulullah bersabda, “Dengarkan
apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan
mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula”. Lalu, Rasulullah
berkata, “Laa ilaaha illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan
suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti
yang Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa ilaaha Illallah. Semoga
Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.
Syaikh Abdul Qadir
berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di
talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat
menghadapi sakaratul maut”.
Karena itulah Syaikh
Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang
dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan
(maut).
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,"Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya."
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qodiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, 'Urabiyyah, Yafi'iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla'iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka'iyah, Bu' Aliyya, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut "Syurafa Jilala".
Dari ketaudanan nabi dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada Allah swt tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.
Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir "Laa ilaha Illa Allah" dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya' dan Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.
Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat "Laa Ilaha Illa Allah" kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak.
Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.
Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu'tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil haya' sahabat Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran sahabat Abdillah bin Mas'ud dan Ubay bin Ka'ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu'ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A'uf dan sebagainya .
wallohua'alam...
AlfatihaH
(dari berbagai sumber)
Posting Komentar
nyungken widi bade ngopi artikelna...
dihaturkeun kang..silakan... :)
Posting Komentar