I. Pendahuluan
Pada makalah ini, akan dipaparkan tentang
shalat qashar dan shalat jama’. Shalat qashar adalah shalat yang
disingkatkan. Qashar itu artinya singkat atau pendek yaitu shalat diantara
shalat fardhu yang lima, yang mestinya empat rakaat dijadikan dua rakaat saja.
Shalat yang boleh diqashar hanya shalat zuhur, ashar dan isya. Adapun magrib
dan subuh tetap sebagai biasa.[1]
Sedangkan shalat jama’ adalah
shalat yang dikumpulkan. Yang dimaksudkan adalah dikumpulkannya dua shalat wajib
dalam waktu yang sama, misal: shalat zuhur dengan shalat ashar, shalat magrib
dengan shalat isya. Shalat subuh tidak boleh dikumpulkan dengan shalat lain.[2]
Shalat qashar dan shalat jama’ adalah sama-sama dilakukan oleh
orang yang sedang bepergian kesuatu tempat yang jauh (musafir), dan juga dibolehkan untuk mengqashar dan menjama’ shalatnya
sekaligus (zuhur dengan ashar, masing-masing dua rakaat). Mengerjakannya boleh
dengan jama’ taqdim (shalat zuhur dengan shalat ashar dikerjakan pada waktu
zuhur dan shalat magrib dengan shalat isya dikerjakan pada waktu magrib) dan
jama takhir (shalat zuhur dengan shalat ashar dikerjakan pada waktu ashar dan
shalat magrib dengan shalat isya dikerjakan pada waktu isya).[3]
Pelaksanaan shalat dengan cara jama’ taqdim
harus memenuhi syarat:
1. Tartib, yakni melakukan kedua
shalat itu sesuai dengan urutan waktunya. Waktu yang digunakan untuk jama’
taqdim adalah waktu shalat pertama, sedangkan shalat kedua merupakan turutan.
Jadi, shalat pertama itulah semestinya yang didahulukan.
2. Niat shalat jama’ ketika takbiratul ihram
shalat pertama atau setidaknya sebelum selesai shalat tersebut.
3. Wala’, artinya pelaksanaan secara beruntun,
shalat kedua tidak berselang lama dari shalat pertama.
4. Keadaan sebagai musafir masih berlanjut
ketika ia memulai shalat kedua.[5]
Apabila mengerjakan dengan jama’
takhir maka shalat zuhur dulu yang dikerjakan 2 rakaat baru shalat
ashar 2 rakaat, begitu pula halnya dengan shalat magrib dan isya maka shalat
magrib dulu yang dikerjakan 3 rakaat baru shalat isya 2 rakaat. Ini berdasarkan
ijtihad dari para ulama yang berpedoman kepada hadits nabi, yang artinya
‘mulailah olehmu darimana Allah memulai”, maka yang mula datang menurut urutan
adalah zuhur sebelum ashar dan magrib sebelum isya. Walaupun jama’ takhir, maka
mulailah mengerjakan menurut asal datangnya.
Untuk jama’ takhir hanya dua syarat,
yaitu:
a. Berniat pada waktu shalat pertama, akan
menjama’kan shalat tersebut ke shalat kedua. Dengan demikian penundaan shalat
tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran atau kelalaian.
b. Pelaksanaan kedua shalat itu dalam keadaan
musafir. Bila safarnya putus sebelum kedua shalat itu selesai dilaksanakan maka
shalat pertama menjadi shalat qadha.[6]
Shalat jama’ boleh juga dilakukan oleh orang
yang tidak bepergian (mukim) pada waktu hujan atau ada hal-hal yang memaksakan
kita untuk melakukan itu, sehingga kalau tidak dilaksanakan yang demikian,
besar kemungkinan bisa menyebabkan tertinggalnya shalat. Misalnya kita sudah
tidak tidur beberapa malam, karena menjaga orang yang sakit. Maka untuk lebih
pulasnya tidur itu dibolehkan untuk menjama’ shalat. Nabi juga pernah menjama’
shalat tanpa ada suatu yang mencemaskan dan bukan pula karena hari hujan.
Memang tidak dijelaskan dalam hadits itu, apa sebabnya nabi menjama’ tapi besar
dugaan tentu ada yang menjadi penyebanya.[7]
Apabila mengerjakan shalat jama’ pada waktu
mukim (menetap) maka harus dikerjakan pada waktu pertama dari kedua shalat
tersebut (jama’ taqdim), bila mengerjakan shalat zuhur dan ashar maka harus
diwaktu zuhur dan bila menjama’ shalat isya harus pada waktu magrib.
Demikianlah penjelasan singkat tentang shalat
qashar dan shalat jama’. Pembahasan lebih lengkap akan dibahas pada bagian
selanjutnya dari makalah ini.
II. Sumber Hadits
Adapun hadits yang dipaparkan adalah yang terdapat
dalam kitab Lu’luul Marjan no. 401 dan 410, sebagai berikut:
Artinya:
Hadits Anas, dimana ia berkata: “kami keluar
dari Madinah menuju ke Mekkah bersama-sama dengan Nabi saw, lalu beliau
mengerjakan shalat dua rakaat sehingga kami kembali ke Madinah” Yahya bin Ishaq
ditanya: “Berapa lama kamu bermukim (tinggal) di Mekkah?” Ia menjawab: “Kami
bermukim selama sepuluh hari”.[8]
Al Bukhari mentakhrijkan hadits ini dalam
“kitab mengqashar shalat” bab tentang menqashar dan berapa lama ia bisa
mengqashar .
Artinya:
Hadits Anas bin Malik, dimana ia berkata:
“Rasulullah saw apabila berangkat sebelum matahari tergelincir (ke barat), maka
beliau mengakhirkan shalat dhuhur sampai waktu ashar, kemudian beliau turun
lalu menjama’ kedua shalat itu. Apabila matahari sudah tergelincir sebelum
berangkat, maka beliau mengerjakan shalat dhuhur, kemudian beliau naik
kendaraan.[9]
Al Bukhari mentakhrijkan hadits ini dalam
“kitab mengqashar shalat” bab tentang apabila seorang berangkat sesudah
matahari tergelincir maka ia harus mengerjakan shalat zuhur kemudian naik
kendaraan.
III. Dalil-Dalil Penguat
Adapun dalil-dalil yang dapat dijadikan penguat
dari permasalahan shalat qashar dan shalat jama’ ini, diantaranya:
§
Firman Allah dalam Al-qur’an surah An-Nisa: 101 ( 101: النسء )
Artinya:
Dan apabila kamu di muka bumi, maka tidaklah
mengapa kamu meng-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang
kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
(An-Nisa: 101).[10]
Umar, Aisyah dan Ibnu Abbas mengatakan bahwa
Allah telah mewajibkan shalat dalam perjalanan, melalui nabinya sebanyak dua
rakaat. Allah, Rasulullah, dan ijma’ kaum muslimin tidak mengkhususkan
perjalanan yang bagaimana, kecuali dengan nash atau ijma’ yang diyakini
kebenarannya.
§
Hadits nabi yang menjabarkan tentang firman Allah diatas:
Artinya:
“Dari Ya’la bin Umayah, ia berkata: “Aku
berkata kepada Umar bin Khattab (yaitu ayat yang mempunyai arti) tidak ada dosa
atasmu, bahwa kamu memendekkan (mengqashar) shalat, jika kamu khawatir akan
bahaya dari orang-orang kafir, maka sesungguhnya sekarang manusia berada dalam
keamanan. “Berkata Umar: “Memang aku merasa heran diantara hal yang
mengherankan ku”. Maka aku tanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW dari hal yang
demikian lalu beliau menjawab: “Itu adalah sedekah yang disedekahkan Allah
kepadamu, maka terimalah sedekahnya itu” (HR. Jamaah, kecuali Bukhari).[11]
Deengan keterangan hadits diatas nyatalah bahwa
mengqashar shalat dalam perjalanan adalah sebagai sunnah dan sebagai sedekah
yang harus kita terima dengan segala senang hati dan tangan terbuka. Orang yang
tidak mau atau menolak sedekah yang diberikan orang lain kepadanya, dianggap
sebagai orang yang sombong, apalagi sedekah yang diberikan Allah.
Sebagai alasan bahwa Nabi dan
sahabat-sahabatnya tidak pernah melaksanakan shalat secukupnya menurut shalat
yang biasa dalam perjalanan ialah hadits yang tertera dibawah ini:
Artinya:
Terdapat dalam buku shahih Muslim, dari Ibnu
Umar: “Aku telah menyertai (menemani) Nabi SAW dalam perjalanan, maka beliau
tidak pernah melebihi shalatnya dari dua rakaat sampai beliau meninggal, aku
telah menyertai Abu Bakar dalam perjalanan, maka tidak pernah ia melebihi
shalatnya dari dua rakaat, sampai ia meninggal, aku telah menyertai Umar dalam
perjalanan, maka tidak pernah ia melebihi shalatnya dari dua rakaat, sampai ia
meninggal, aku telah menyertai Utsman dalam perjalanan, maka tidak pernah ia
melebihi shalatnya dari dua rakaat sampai ia meninggal”.[12]
Ada pula hadits yang berasal dari Aisyah
menurut riwayat yang menyatakan bahwa orang yang bepergian mengqashar
shalatnya.
Artinya:
“Hadits Aisyah Ummul Mukminin, dimana ia
berkata: “Allah mewajibkan shalat ketika mulai pertama diwajibkannya dua rakaat
baik ditempat tinggalnya sendiri maupun dalam bepergian, kemudian shalat dalam
bepergian itu ditetapkan (dua rakaat) dan shalat dalam tempat tinggalnya
sendiri ditambah”.[13]
Al Bukhari mentakhrijkan hadits ini dalam
“Kitab Shalat” bab tentang bagaimana shalat-shalat itu diwajibkan dalam Isra’
dan Mi’raj.
IV. Pendapat-Pendapat Para Ulama
Didalam pelaksanaan shalat Qashar dan shalat
Jama’ ini terdapat berbagai macam pendapat yang dikemukakan oleh para ulama,
diantaranya yaitu:
1. Tentang shalat qashar
a) Ibnul Qaiyim
Pendapat yang beliau kemukakan adalah bahwa:
“Jikalau bepergian, Rasulullah SAW selalu
mengqashar shalat yang empat rakaat dan mengerjakannya hanya dua-dua rakaat,
sampai beliau kembali ke Madinah, tidak ditemukan keterangan yang kuat bahwa
beliau tetap melakukannya empat rakaat. Hal ini tidak menjadi perselisihan lagi
bagi imam-imam walau mereka berlainan pendapat tentang hukum mengqashar. Umar,
Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, Jabir menetapkan bahwa
hukumnya wajib.[14]
b) Abu Hanifah (Mazhab Hanafi)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat
adalah wajib, musafir yang tidak meringkas shalat yang empat rakaat, jika ia
duduk pada rakaat kedua setelah tasyahud, maka shalatnya sah, hanya hukumnya
makruh karena ia mengundurkan salam, sedang dua rakaat selanjutnya dianggap
shalat. Tapi bila ia tidak duduk pada rakaat kedua itu maka shalatnya tidak
sah. Dan jika berniat mukim 15 hari maka boleh mengqashar shalatnya. Pendapat
ini juga sama dengan Al-Laits bin Sa’ad, Umar, Abdullah bin Umar, dan Ibnu
Abbas. Ada juga riwayat yang menyatakan pendapat Said Ibnul Musaiyab juga sama
dengan mazhab Hanafi ini.
c) Maliki (Mazhab Maliki)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat
adalah sunat muakkad dan lebih ta’kid lagi dari shalat berjamaah, sehingga
apabila musafir tidak mendapatkan kawan sesama musafir untuk berjamaah,
hendaklah ia bershalat secara perseorangan dengan mengqashar, dan makruh
baginya mencukupkan empat rakaat dan bermakmum kepada orang yang mukim. Dan
jika seseorang berniat hendak mukim lebih dari empat hari, harus mencukupkan
shalat dan kalau kurang boleh mengqashar.
d) Ahmad bin Hambal (Mazhab Hanbali)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat
adalah jaiz atau boleh saja, hanya lebih baik daripada menyempurnakan.
e) Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat
adalah jaiz atau boleh saja, hanya lebih baik daripada menyempurnakannya. Kalau
memang sudah mencapai jarak boleh mengqashar.[15]
Mengenai jarak bolehnya mengqashar shalat dapat
diberi penjelasan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri,
katanya:
Artinya:
“Apabila Rasulullah SAW bepergian sejauh satu
farsakh, maka beliau mengqashar shalat (diriwayatkan oleh Sa’id bin Mashur dan
disebutkan oleh Hafizh dalam At-Takhlis, dan ia mendiamkan hadits ini sebagai
tanda pengakuannya.[16]
Satu farsakh itu sama dengan tiga mil atau 5541
meter sedang 1 mil sama dengan 1748 meter.
Tempat dibolehkannya memulai mengqashar shalat
adalah setelah keluar dari rumah tempat kita tinggal (berdomisili). Dan bila
seseorang telah kembali ke tempat tinggal asalnya atau telah berniat untuk
menetap di tempat yang dituju itu, maka habislah baginya hukum qashar.
2. Tentang shalat jama’
Para ulama sependapat bahwa menjama’ shalat
zuhur dan ashar secar taqdim pada waktu zuhur di Arafah, begitupun antara
shalat magrib dan isya secara takhir diwaktu isya di mudzalifah, hukumnya
sunnat, berpedoman kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Artinya: “Demi zat yang tiada tuhan selain Dia,
Rasulullah tidak pernah mengerjakan satu shalat pun kecuali pada tepat waktunya
selain shalat yang beliau jamak (gabung), yakni zuhur dengan ashar di Arafah
dan magrib dengan Isya di Mudzalifah. (Diriwayatkan oleh Syaikhan)
Dan menjama’ dua shalat ketika bepergian, pada
salah satu waktu dari kedua shalat itu, menurut sebagian besar para ahli
hukumnya boleh, tanpa ada perbedaan, apakah dilakukannya itu sewktu berhenti
ataukah selagi dalam perjalanan.
Dalam kitab Al-Muwaththa’ Malik meriwayatkan
dari Mu’adz bahwa:
Artinya:
“Pada suatu hari nabi saw mengundurkan shalat
diwaktu perang Tabuk dan pergi keluar, lalu mengerjakan shalat zuhur dan ashar
secara jama’, setelah itu beliau masuk dan kemudian beliau pergi lagi dan
mengerjakan shalat magrib dan isya secara jama’ pula.[17]
Berkata Syafi’i: “Kata-kata pergi dan masuk itu
menunjukkan bahwa Nabi saw sedang berhenti. Lalu Imam Syafi’i juga berkata:
“Jika seseorang bershalat magrib dirumahnya dengan niat menjama’, kemudian ia
pergi ke mesjid melakukan shalat isya juga boleh”. Dikatakan bahwa Imam Ahmad
juga berpendapat seperti itu.
Ada pula hadits dari Ibnu Umar yang membolehkan
menjama’ dua shalat dalam bepergian.
Artinya:
“Hadits Ibnu Umar ra, dimana ia berkata: Saya
melihat Rasulullah saw, jika tergesa-gesa dalam berangkat, beliau mengakhirkan
shalat magrib sehingga beliau menjama’ (mengumpulkan) shalat magrib dan shalat
isya.[18]
Kemudian tentang menjama’ diwaktu hujan. Dalam
sunnahnya Al-Atsram meriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman, katanya:
“Termasuk sunnah Nabi saw. menjama’ shalat magrib dengan isya, apabila hari
hujan lebat. Dan Bukhari meriwayatkan pula bahwa.
Artinya:
“Nabi saw menjama’ shalat magrib dan isya
disuatu malam yang berhujan lebat”.[19]
§
Kesimpulan pendapat mazhab-mazhab mengenai soal ini ialah
sebagai berikut: Golongan Syafi’i membolehkan seorang mukmin menjama’ shalat
zuhur dengan ashar dan magrib dengan isya secara taqdim saja, dengan syarat
adanya hujan ketika membaca takbiratul ihram dalam shalat yang pertama sampai
selesai, dan hujan masih Turun ketika memulai shalat yang kedua.
§
Menurut Maliki, boleh menjama’ taqdim dalam mesjid antara
magrib dengan isya disebabkan adanya hujan yang telah akan turun, juga boleh
dikerjakan karena banyak lumpur ditengah jalan dan malam sangat gelap hingga
menyukarkan orang untuk memakai sandal. Menjama’ shalat zuhur dengan ashar ini,
dimakruhkan.
§
Menurut golongan Hanbali berpendapat bahwa boleh menjama’
magrib dengan isya saja, baik secara taqdim atau secara takhir, disebabkan
adanya salju, lumpur, dingin yang amat sangat serta hujan yang membasahkan
pakaian, dan khusus bagi orang yang tempatnya jauh dari mesjid.
Menjama’ sebab sakit atau uzur, menurut Imam
Ahmad.,Imam Malik, Qadhie Husien, Al-Khaththabi dan Al Mutawali dari golongan
Syafi’i membolehkan menjama’ baik taqdim atau taqdim dengan alasan karena
kesukaran waktu itu lebih besar daripada kesukaran diwaktu hujan. Berkata
Nawawi: “Dari segi alasan pendapat ini adalah kuat. Akan tetapi Syafi’i tidak
mebenarkan jama’ karena sakit sebab menurutnya, illat yang menjadi alasan
bolehnya jama’ itu adalah safar, jadi hanya terdapat dan berlaku bagi musafir.
Menurut ulama Hanbali boleh pula menjama’ baik
taqdim atau takhir karena berbagai macam halangan dan juga sedang dalam
ketakutan. Mereka membolehkan orang yang sedang menyusui bila sukar untuknya
buat mencuci kain setiap hendak bershalat.
Kemudian menjama’ sebab ada keperluan tapi
tidak karena sakit atau sebab-sebab lainnya, dan asal saja hal itu tidak
dijadikannya kebiasaan, ada beberapa imam yang membolehkannya antara lain Ibnu
Sirin dan Asy-hab dari golongan Maliki, dan menurut Al-Khaththabi, Qaffal dan
Asy-Syasil Kabir dari golongan Syafi’i, Ishal Marwazi, jema’ah ahli hadits,
Ibnul Mundzir, Ibnu Abbas.
V. Analisis Pendapat Sendiri
Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah
dikemukakan para ulama, maka penulis mempunyai pendapatnya sendiri, yaitu:
Bagi orang yang sedang bepergian (musafir)
boleh mengqashar shalat (menyingkat shalat fardhu yang empat rakaat menjadi dua
rakaat) dengan beberapa syarat:
1. Kepergiannya bukan dalam rangka kemaksiatan
Jadi, qashar hanya dapat dilakukan pada safar
yang dibenarkan oleh syari’at, meliputi:
a) Safar yang wajib, seperti safar haji.
b) Safar yang mandub, seperti menziarahi makam
Rasulullah.
c) Safar yang mubah seperti perjalanan niaga.
2. jarak kepergiannya harus mencapai 16 farsakh
(80 Km, lebih 640 m) atau 48 mil yang sama dengan 76, 80 Km.
3. Shalat yang diqashar itu harus shalat yang
rakaatnya 4, dan bukan shalat qadha’.
4. Berniat qashar bersamaan dengan mengucapkan
takbiratul ihram.
5. Tidak boleh bermakmum kepada orang yang
menetap (mukim).[20]
6. Perjalanan itu dilakukan menuju ke suatu
tempat tertentu, orang yang berjalan tanpa tujuan, sekalipun jarak yang
ditempuhnya jauh tidak dibenarkan mengqashar shalat.
7. Shalat itu dilakukan setelah musafir
melampaui batas kota atau desa yang menjadi awal safarnya. Diriwayatkan dari
Anas, katanya:
Artinya: “Saya shalat zuhur bersama Rasulullah
di Madinah empat rakaat dan Zul Hulaifah dua rakaat” (Hadits Jama’ah)[21]
8. Shalat tersebut dilakukan sepenuhya dalam
keadaan musafir. Bila safarnya putus, misalnya ditengah pelaksanaan shalat itu
ia sampai ketujuan, maka ia harus menyempurnakannya menjadi empat rakaat.
Artinya: “Rasulullah bermukim di Mekkah selama
delapan belas hari dan selama itu pula beliau mengerjakan shalat hanya dua
rakaat-dua rakaat, dan sabdanya: “wahai penduduk negeri ini, shalat lah empat
rakaat, karena kami adalah musafir”. (Hadits Abu Daud)[22]
9. mengetahui bahwa ia boleh mengqashar shalat
tersebut.[23]
Bagi orang musafir boleh menjama’ antara shalat
zuhur dengan ashar diwaktu mana saja ia kehendaki dengan jama’ taqdim atau
jama’ takhir, dan begitu pula halnya antara menjama’ antara shalat magrib
dengan isya.
Orang yang tidak sedang bepergian atau mukim
diperbolehkan menjama’ antara dua shalat (zuhur dengan ashar, magrib dengan
isya), akan tetapi harus dikerjakan pada waktu pertama dari kedua shalat
tersebut dan boleh pula menjama’ pada waktu hari hujan, karena sakit karena ada
suatu keperluan.
Dari penjelasan diatas, dan berdasarkan
pendapat para ulama, maka penulis menyimpulkan bahwa orang yang sedang
bepergian (musafir) diharuskan mengqashar dan menjama’ shalatnya. karena itu
merupakan sedekah dan keringanan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya.
Sesuai dengan firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 101.
VI. Penutup
Kesimpulan
Dari Uraian yang telah disampaikan diatas dapat
disimpulkan bahwa:
Shalat qashar adalah menyingkat shalat fardhu
yang empat rakaat (zuhur, ashar, dan isya) menjadi dua rakaat, dan ini
dikerjakan oleh orang yang sedang dalam perjalanan (musafir).
Shalat jama’ adalah mengumpulkan dua shalat
wajib dalam waktu yang sama, misal: shalat zuhur dengan ashar, dan shalat
magrib dengan shalat isya bisa dengan jama’ takhir.
Shalat jama’ juga boleh dikerjakan oleh orang
yang tidak sedang bepergian (mukim), karena hari hujan, karena sakit, atau
karena sebab-sebab atau keperluan lain yang mendesak.
Hukum shalat qashar apabila dalam perjalanan
adalah wajib, akan tetapi adapula ulama yang berpendapat hukumnya sunnat
muakkad, jaiz (boleh), sedangkan shalat jama’ juga boleh. Dan mengqashar shalat
itu merupakan sedekah yang dikaruniakan Allah kepada mu semua, maka terimalah
sedekah-Nya itu.
Jarak bolehnya mengqashar adalah 1 farsakh yang
sama dengan 3 mil dan memulai mengqashar adalah apabila telah keluar dari rumah
tempat tinggal.
Demikianlah yang dapat disimpulkan semoga kita
dapat mengerjakan shalat qashar dan shalat jama’ ini apabila kita bepergian
kesuatu tempat (musafir) karena ini merupakan sebuah keringanan dari Allah bagi
hamba-Nya.
Dalam penulisan makalah ini, tentunya masih
banyak terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, saya sangat
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah
ini.
NIAT SHOLAT JAMA' DAN QASHAR:
Niat shalat Dzuhur qashar ;
أُصَلىِّ فَرْضَ الظُّهْرِِ رَكْعَتَيْنِ قَصْراً أَدَاءً ِللهِ تعَاَلىَ
“Saya niat shalat fardu Dzuhur dua
raka’at diqashar, tunai karena Allah”
Niat shalat Asar qashar ;
أُصَلىِّ فَرْضَ العَصْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا أَداَءً ِللهِ تَعاَلىَ
“Saya niat shalat fardu Asar dua raka’at
diqashar, tunai karena Allah”
Niat shalat Isya qashar ;
أُصَلىِّ فَرْضَ العِشَآءِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا أَداَءً ِللهِ تَعاَلىَ
“Saya niat shalat fardu Isya dua raka’at
diqashar, tunai karena Allah”
b. Shalat Jama’
Shalat Jama adalah shalat yang digabungkan,
misalnya Dzuhur dengan Asar atau Maghrib dengan Isya dalam satu waktu.
Shalat Qashar atau shalat Jama’, jika ini
dilakukan pada waktu shalat pertama maka dinamakan Jama’ Taqdim, sedangkan jika
dilakukan pada waktu shalat kedua maka dinamakan Jama’ Takhir.
Syarat Jama’ Taqdim ada enam :
1. Tertib, mendahulukan shalat pertama
yaitu shalat yang punya waktu, kemudian shalat berikutnya,
2. Niat jama’ pada shalat pertama,
3. Berturut-turut diantara kedua shalat,
4. Tetap di perjalanan sampai selesai
shalat kedua, meski tidak disyaratkan berada di perjalanan ketika selesai
shalat pertama,
5. Tetap dalam waktu shalat pertama
sampai seselai shalat kedua,
6. Yakin sah shalat pertama
Niat shalat Dzuhur jama’ taqdim ;
أُصَلىِّ فَرْضَ الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكَعاَتٍ مجَْمُوْعاً إِلَيْهِ العَصْرُ أَدَاءً ِللهِ تَعاَلىَ
“Saya niat shalat fardu Dzuhur empat raka’at
digabung dengan Ashar, tunai karena Allah”
Niat shalat Ashar jama’ taqdim ;
أُصَلىِّ فَرْضَ العَصْرِ أَرْبَعَ رَكَعاَتٍ مجَْمُوْعاً إِلىَ الظُّهْرِ أَدَاءً ِللهِ تَعاَلىَ
“Saya niat shalat fardu Ashar empat raka’at
digabungkan dengan Dzuhur, tunai karena Allah Swt”
Syarat Jama’ Takhir ada dua :
1. Masih tetap dalam perjalanan dan
2. Wajib niat jama’ di waktu shalat
pertama,
Jama’ Takhir tidak disyaratkan tertib diantara
kedua shalat, juga tidak disyaratkan niat jama’ pada saat shalatnya.
Kewajiban niat jama’ takhir di waktu shalat
pertama ini, yaitu seperti contoh niat berikut (bukan niat dalam shalat tetapi
dalam waktu shalat pertama) ;
نَوَيْتُ تَأْخِيْرَ الظُّهْرِ إِلىَ العَصْرِ ِلأَجْمَعَ بَيْنَهُماَ
“Saya niat mengakhirkan shalat Dzuhur ke waktu Asar karena untuk
men-jama’ keduanya”
Ingat.., ketika akan melakukan shalat jama’ dan
qoshor ini, kata dzuhur diganti magrib dan asar diganti isya, sesuai shalat
yang akan dilakukan.
Meskipun jama’ takhir tidak disyaratkan niat
jama dalam shalatnya, akan tetapi boleh jika niat jama ini disertakan dalam
shalat, seperti niat berikut ;
Niat shalat Dzuhur jama’ takhir ;
أُصَلىِّ فَرْضَ الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكَعاَتٍ مجَْمُوْعاً إِلىَ العَصْرِ أَدَاءً ِللهِ تَعاَلىَ
“Saya niat shalat fardu Dzuhur empat raka’at
digabung dengan Ashar, tunai karena Allah Swt”
Niat shalat Ashar jama’ takhir ;
أُصَلىِّ فَرْضَ العَصْرِ أَرْبَعَ رَكَعاَتٍ مجَْمُوْعاً إِلَيْهِ الظُّهْرُ أَدَاءً ِللهِ تَعاَلىَ
“Saya niat shalat fardu Ashar empat raka’at
digabungkan dengan Dzuhur, tunai karena Allah Swt”
-Shalat Jama’ dan Qashar
Seseorang yang telah memenuhi syarat yang telah
disebutkan, maka ia boleh mengerjakan shalat jama’ dan qashar sekaligus, yaitu
menggabungkan shalat dan menyingkatnya.
Niat shalat Dzuhur jama’ taqdim qashar ;
أُصَلىِّ فَرْضَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا مجَْمُوْعاً إِلَيْهِ العَصْرُ أَدَاءً ِللهِ تَعاَلىَ
“Saya niat shalat fardu Dzuhur dua raka’at
qashar digabung dengan Ashar, tunai karena Allah”
Niat shalat Ashar jama’ taqdim qashar ;
أُصَلىِّ فَرْضَ العَصْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا مجَْمُوْعاً إِلىَ الظُّهْرِ أَدَاءً ِللهِ تَعاَلىَ
“Saya niat shalat fardu Ashar dua raka’at
qashar digabungkan dengan Dzuhur, tunai karena Allah Swt”
Niat shalat Dzuhur jama’ takhir qashar ;
أُصَلىِّ فَرْضَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا مجَْمُوْعاً إِلىَ العَصْرِ أَدَاءً ِللهِ تَعاَلىَ
“Saya niat shalat fardu Dzuhur dua raka’at
qashar digabung dengan Ashar, tunai karena Allah Swt”
Niat shalat Ashar jama’ takhir qashar ;
أُصَلىِّ فَرْضَ العَصْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا مجَْمُوْعاً إِلَيْهِ الظُّهْرُ أَدَاءً ِللهِ تَعاَلىَ
“Saya niat shalat fardu Ashar dua raka’at
qashar digabungkandengan Dzuhur, tunai karena Allah Swt”
DAFTAR PUSTAKA
- Abdul Baqi, Muhammad. 1993. Al-Lu’Lu wal Marjan. Semarang: Al-Ridha
- Abdussalam, Muhammad. 2006. Bid’ah-Bid’ah yang dianggap sunnah. Jakarta: Qisthi Press
- Ahmad, Abu Syuja’. 2000. Ringkasan Fiqih Islam. Surabaya: Al-Miftah
- Ahnan, Maftuh. 1998. Kumpulan Hadits Terpilih Shahih Bukhari. Surabaya: Terbit Terang
- Anwar, Muhammad. 1973. Fiqih Islam Tarjamah Matan Taqrib. Bandung: Al-Ma’arif.
- Ar-Rahbawi, Abdul Qadir. 1994. Shalat Empat Mazhab. Jakarta: PT. Intermasa
- Djamaris, Zainal Arifin. 1996. Menyempurnakan shalat. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
- Effendi, Mochtar. 2000. Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Palembang: Universitas
Sriwijaya
- Nasution, Lahmudin. t. th. Fiqih 1. Jakarta: Logos
- Rifa’i. t. th. Pedoman Ibadah. Jombang: Lintas Media
- Sabiq, Sayyid. 1976. Fiqih Sunnah 2. Bandung: PT. Al-Ma’arif
[1] Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat (Palembang, Universitas
Sriwijaya, 2000) buku 5, h. 31
[2] Ibid, buku 3, h. 17-18
[3] Zainal Arifin Djamaris, Menyempurnakan Shalat (Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 1996), h. 232
[4] Rifa’i. Pedoman Ibadah (Jombang ; Lintas
Media, t. th) h. 43
[5] Lahmuddin Nasution, Fiqih I (Jakarta, Logos, t. th) h. 126
[6] Ibid, h.127
[7] Ibid, h. 237
[8] M. Fuad Abdul Baqi, Al Lu’lu Wal Marjan (Semarang, Al-Ridha,
1993) h. 397
[9] Ibid, h. 403-404
[10] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 2 (Bandung, PT. Al
Ma’arif, 1976) h. 264
[11] Zainal Arifin Djamaris, Menyempurnakan Shalat (Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 1996) h. 227-228
[12] Ibid, h. 229-230
[13] M. Fuad Abdul Baqi, Al-LU’Lu Wal Marjan (Semarang, Al-Ridha,
1993) h. 395
[14] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 2 (Bandung, PT. Al
Ma’arif, 1976) h. 266
[15] Ibid, h. 267
[16] Zainal Arifin Djamaris, Menyempurnakan Shalat (Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 1996) h. 235
[17] Opcit, 279-280
[18] M. Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’Lu WAl Marjan (Semarang, Al-Ridha,
1993) h. 402-403
[19] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 2 (Bandung, PT.
Al-Ma’arif, 1976) h. 266
[20] Moch. Anwar, Fiqih Islam Tarjamah Matan Taqrib (Bandung, Al-Ma’arif,
1973)h. 62-63
[21] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 2 (Bandung, PT.
Al-Ma’arif, 1976) h. 264
[22] Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Shalat Empat Mazhab (Jakarta, Pt.
Intermasa, 1994)
[23] Lahmudin Nasution, Fiqih 1 (Jakarta, Logos t. th) h. 125
Posting Komentar
Posting Komentar