Penting pelajari tauhid. |
SA Tqn-Berikut ini akan diuraikan beberapa pandangan
ahli hakikat tentang tauhid yang dikompilasi dari beberapa sumber sebagai suatu
perbandingan.
Al-Junayd ditanya seputar tauhid, jawabnya ,”Menunggalkan Yang ditunggalkan
melalui pembenaran sifat Kemanunggalan-Nya,
dengan Keparipurnaan Tunggal-Nya, bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, Yang tidak
beranak dan tidak diperanakkan, dengan
menafikan segala hal yang kontra, mengandung keraguan dan keserupaan; tanpa keserupaan, tanpa bagaimana,
tanpa gambaran dan Tamsil. Tiada
sesuatupun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagiMaha Melihat. “
Al Junayd juga berkomentar, “Bila akal para pemikir sudah mencapai
ujungnya dalam Tauhid, akan berujung pada
kebingungan.” Saat ditanya kembali soal tauhid,
al-Junayd menjawab,”Suatu makna yang mengandung rumus-rumus, dan didalamnya terkandung sejumlah ilmu. Sedangkan Allah
sebagaimana Ada-Nya.”
Ketika ditanya mengenai tauhid kalangan khusus,
al-Junayd berkata ,”Hendaknya
hamba menengadahkan di sisi Allah SWT; dimana urusan-urusan Allah berlaku
disana dan lintasan hukum-hukum kekuasaan-Nya dalam arungan samudera tauhid-Nya, melalui fana dari dirinya, fana dari
ajakan makhluk dan menjawab ajakannya,
melalui hakikat Wujud-Nya, dan kemanunggalan-Nya dalam hakikat kedekatan pada-Nya, dengan cara menghilangkan rasa
dengan geraknya karena Tegaknya Allah SWT
sebagaimana kehendak-Nya; yaitu sang hamba dikembalikan
pada awalnya. Sehingga ia sebagaimana adanya, sebelum dirinyaada.” Menurut al-Junayd
kata-kata paling mulia dalam tauhid adalah yang diucapkan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., “Maha Suci Dzat Yang
menjadikan jalan bagi makhluk-Nya untuk
mengenal-Nya, kecuali dengan cara merasa tak berdaya mengenal-Nya.” Menurut al-Junayd, yang dimaksud Abu
Bakar adalah, “Allah SWT tidak bisa
dikenal. Sebab menurut ahli hakikat, yang dimaksud dengan tak berdaya adalah tak berdaya dari maujud, bukan tak
berdaya dalam arti tiada sama sekali
(ma’dun). Seperti tempat duduk, ia tak berdaya dari duduknya seseorang. Karena ia tidak bisa berupaya dan berbuat.
Sedangkan duduk itu
sendiri maujud di dalamnya.
Begitu pula orang yang arif (mengenal Allah
SWT)tak berdaya dengan ma’rifatnya. Sedangkan ma’rifat itu maujud didalamnya,
karena sifatnya yang langsung. Menurut kalangan
sufi, Ma’rifat kepada Allah SWT pada
ujung terakhirnya adalah bersifat langsung. Ma’rifat yang dilakukan melalui usaha hanya ada pada permulaan, walaupun
ma’rifat itu mencapai hakikat. Ash
Shiddiq r.a. sedikitpun tidak memperhitungkan ma’rifat yang disandarkan pada ma’rifat langsung, seperti lampu,
ketika matahari terbit dan cahanya
membias pada lampu itu.” Lebih jauh al-Junayd mengatakan, “Tauhid yang dianut secara khusus oleh para sufi, adalah
manunggalkan Yang Qadim jauh dari yang
hadits, keluar meninggalkan tempat tinggal, memutus segala tindak dosa, meninggalkan yang diketahui ataupun tidak
diketahui, dan Allah SWT berada dalam
keseluruhan.” Al-Junayd juga berkata, “Ilmu tauhid memisah dengan eksistensinya, dan eksistensinya berpisah
dengan eksistensinya.”
Tentang tauhid al-Junayd berkata,”Aku mendengar
orang bersyair :
Betapa kaya hatiku
Menjadi kaya seperti Dia
Kami sebagaimana mereka ada
Dan mereka sebagaimana mereka ada.
Orang yang menunggalkan-Nya menurut al-Junayd,
“meraih tauhid tertinggi dari
ucapan terendah dan teringan.”
Al-Junayd pernah juga berkata tentang tauhid,
“Tauhid adalah pemisahan yang abadi dari apa yang memiliki waktu.” Riwayat
lain menceritakan bahwa al-Junayd berkata, “Tauhid adalah bahwa seseorang harus
menjadi figur (Syeikh) di tangan Allah; satu figur dimana ketetapan Allah
diberikan kepadanya sesuai dengan ketika Dia dalam kamahakuasaanya ditetapkan.
Bahwa seseorang harus tenggelam dalam lautan keesaan-Nya. Kefanaan
diri dan kematian sama bagi seruan kemanusiaan kepadanya dan jawabannya
terhadap seruan tersebut. Ia
tengah asyik berenang dalam realitas keesaan
Ilahi dalam kedekatan yang hakiki, dan hilang dari pikiran dan perbuatan,
karena Allah dalam dirinya memenuhi apa yang telah Dia kehendaki untuknya.
Maksudnya, keadaan terakhirnya menjadi keadaan pertamanya, dan dia
mesti seperti sebelum dia ada.”
Dalam kitab Thawasin , Thasin VIII “Kitab
Tentang Tauhid”, al-Hallaj bersyair,
“Kebenaran (al-Haqq) adalah satu, unik, tunggal;
Kebenaran adalah Esa yang tidak dapat
dibagi-bagi.
Keesaan-Nya, dan pengetahuan tentang keesaan itu
Adalah milik-Nya; berada dalam diri-Nya.
Tidak mungkin, tidak mungkin;
keesaan ini adalah jauh, asing, dan terpisah,
dia dikenal hanyamelaluinya.
Pengetahuan mengenai Yang Esa adalah Abstrak;
tunggal, tak terbagi.
Mengatakan Dia itu Esa, dan Dia Tunggal adalah
untuk menyifatkan;
Tetapi Dia, Yang Esa, adalah diluar penyifatan.
Jika kau berkata, “Aku,”, Ia mengirim balik
“Aku,” dalam menjawab“aku”-ku.
Jadi, “dia” ditujukan untuk Engkau dan tidak
untukku.
Dan jika kau berkata Kesatuan adalah Keesaan
bagi kesendirian-Nya,
untuk keberadaannya yang sendiri,
berarti aku menempatkan dia dalam ciptaan;
Di antara sarwa makhluk.
Dan jika aku berkata Yang Satu itu tunggal
sebagai jumlah satu;
bagaimana ia dapat muncul dalam jumlah?
Dan jika aku berkata, Dia adalah Satu
Akibat dari keberadaan yang dianggap satu, yang
memang terbukti satu,-
berarti aku memberi batasan pada dia;
membatasi-Nya.
Dalam kitab “Kasyf al-Mahjub”, Hujwiri
menafsirkan perkataan al-Hallaj
“Langkah pertama dalam tauhid adalah memfanakan
pemisahan (tajrid)”, maka
dikatakannya bahwa pemisahan sebagai langkah
pertama dalam tauhid adalah
pernyataan bahwa sesuatu terlepas dari
ketidaksempurnaan, sementara
ketauhidan adalah deklarasi keesaan sesuatu;
dengan demikian, dalam ruang
yang kedap (fardaniyah, ruang vakum) amat
mungkin menegaskan pada selain
Allah (memunculkan makhluk), dan kualitas ini
mungkin bisa diberikan kepada
yang lain selain Allah.
Tetapi dalam keesaan (wahdaniyah) tidaklah
mungkin menegaskan selain Allah, dan keesaan tidak mungkin diberikan kepada
apapun selain Allah. Oleh karena itu, langkah pertama dalam tauhid adalah
menyangkal bahwa Allah memiliki sekutu (syark) dan membuang campuran (mizaj),
karena campuran pada jalan menuju Allah seperti mencari jalan dengan pelita.
Pernah ada seseorang bertanya kepada Abu Bakar Dulaf bin Jahdar asy-Syibli
r.a., “Wahai Abu Bakar, beritahukan kepada saya tentang Tauhid Murni, dengan
suatu bahasa yang benar.”Asy-Syibli menjawab, “Celaka kau!!! Barangsiapa menjawab tentang Tauhid, maka ia adalah orang
yang ingkar (mulhid). Dan barangsiapa memberi isyarat tentang Tauhid, maka
ia adalah penyembah berhala. Sementara orang yang diam tak
berkomentar tetang Tauhid adalah bodoh. Sedangkan orang yang mengira, bahwa ia
telah sampai (“wushul”), sebenarnya ia tidak mencapai apa-apa.
Barangsiapa bercerita tentang Tauhid maka ia adalah orang yang lalai, barangsiapa
menyangka, bahwa ia dekat maka sebenarnya ia adalah jauh. Sementara orang yang
berpura-pura mampu menghayati, maka sebenarnya ia adalah orang yang
kehilangan. Sedangkan segala apa yang Anda bedakan dengan daya
imajinasi, dan Anda pahami dengan akal sekalipun dalam makna yang sempurna
menurut Anda, maka sebenarnya hal itu adalah sesuatu yang diatur
dan berasal dari diri Anda, suatu ciptaan yang baru dan makhluk yang sama dengan
Anda.”
Uraian Asy-Syibli ini memang dapat membawa pada
kebingungan. Apa yang dimaksud Asy-Syibli sebenarnya serupa dengan sabda
Nabi SAW bahwa “jangan memikirkan Dzat Allah” identik dengan
“Tidak ada yang serupa dengan-Nya (Laisa kamitslihi syai-un)”, jadi setiap
buah pikiran, atau hasil perbuatan oleh makhluk baik lisan, tulisan, gambaran dan
yang lainnya bukanlah apa yang dimaksudkan sebagai Tauhid Murni. Menurut
as-Sarraj, apa yang dimaksud tentang Tauhid menurut Asy Syibli adalah menjadi
Dzat Yang Maha Qadim sebagai Dzat yang sama sekali berbeda dengan
makhluk yang diciptakan (muhdats). Sementara itu, tidak ada cara lain bagi
makhluk kecuali hanya menyebut-Nya, menerangkan-Nya dengan sifat yang
memberi atribut untuk-Nya sesuai dengan kadar yang bisa diterangkan kepada
mereka. Artinya, selama ini kita menyembah-Nya seperti itu hanya dengan
menyebutkan nama-namanya. Esensinya supaya kita menyembah Allah dengan
tauhid yang hakiki, maka semua Muslim harus melakukan perjalanan ruhani
menyingkapkan jatidirinyasehingga tercapai hakikat tauhid sebenarnya yang
sering diungkapkan dengan “Mengenal Allah dengan Allah” - inilah makna Ihsan
yang sebenarnya.
Maka segera lakukanlah perjalananmu!
Posting Komentar
ma'rifatullah yang menyempurnakan hakikat
ma'rifatullah yang menyempurnakan hakikat
Posting Komentar