Menu

TQN PP.Suryalaya

 

Mujahadah terhadap hawa nafsu.
Istilah mujahadah berarti 'berjuang' atau 'berperang'. Istilah ini berarti 'memerangi nafsu' melalui pengendalian semua keinginan-keinginan nafsu dan mengubah karakter karakternya yang tercela menjadi karakter-karakter yang terpuji. 

'Memerangi nafsu' harus dilakukan semata-mata karena Allah, bukan karena harapan atau keinginan terhadap penyingkapan tabir pandangan atau karamah tertentu. Imam Ja'far Shadiq berkata, "Dia yang melakukan perang terhadap nafsu untuk tujuan nafsu bisa saja mendapatkan karamah, tetapi dia yang melakukan hal ini karena Allah, maka akan mencapai kedekatan dengan Allah."

Rasulullah bersabda, "Orang yang berperang adalah orang yang memerangi nafsu nya karena Allah," dan, "Kita telah kembali dari perang kecil (al jihadu al asghar) menuju ke perang yang lebih besar (al jihadu al akbar)." Ketika ditanya apakah perang yang lebih besar itu beliau menjawab, "memerangi nafsu."

Rasulullah menganggap perang terhadap nafsu lebih mulia daripada berperang di medan perang, karena perang tersebut adalah suatu perang yang lebih sukar. Maka ketahuilah bahwa perang terhadap hasrat nafsu dan kemenangan terhadap nafsu merupakan sebuah perjuangan yang sangat penting dan mulia.
Sahl ibn'Abdillah Al-Thustari memberikan perhatian yang besar terhadap perang spiritual, dan berkata, "Penglihatan adalah hasil dari perang spiritual." Sementara berapa orang yang lain berkata bahwa Nabi tidak pernah menyatakan bahwa setiap orang yang memerangi nafsu akan mencapai Allah melalui rahmat Nya, karena rahmat tidak ada hubungannya dengan usaha. 

Mereka beranggapan bahwa tujuan perang spiritual adalah untuk mendisiplinkan nafsu, dan bukan untuk mencapai kedekatan dengan Allah. Sejauh perang spiritual tersebut mencakup usaha sang murid dan akan memungkinkannya menerima karunia penglihatan spiritual, sangatlah tidak masuk akal untuk beranggapan bahwa penglihatan tersebut pasti berasal dari usaha yang telah ia lakukan.

Untuk mendukung pandangannya, Sahl mengutip ayat Al Qur'an, "Karena bagi mereka yang berperang untuk Kami, maka Kami membimbingnya ke dalam jalan Kami." . Dia berpendapat bahwa mengingkari peran perang spiritual sebagai penyebab kedekatan dengan Allah sama sekali tidak mengurangi nilai perang spiritual itu sendiri, melainkan kesadaran diri terhadap perang spiritual itu, sehingga orang seharusnya tidak berpuas diri dengan apa yang ia lakukan ketika terlibat dalam kegiatan sakral.
Perjuangan spiritual merupakan usaha seorang murid, sedangkan penglihatan spiritual adalah anugerah Allah. Tanpa anugerah Allah, tindakan murid tidaklah berarti apa apa.

Jadi, peperangan spiritual seorang kekasih Allah adalah peperangan Allah sendiri yang bekerja melalui mereka, sehingga mereka menjadi lebur dan menyatu di dalamnya, tindakan peleburan diri merupakan anugerah itu sendiri. Perjuangan spiritual yang melupakan Allah mengindikasikan suatu tindakan untuk kepentingan dirinya sendiri; tindakan semacam itu hanya merupakan dorongan yang tanpa arah dan kabur, yang nantinya juga akan menjadikan hati menjadi melemah dan tidak punya arah. 

Karena itu para murid harus mencoba sekuat mungkin untuk tidak memikirkan tindakannya dan tidak mengikuti nafsu pada kondisi apa pun, karena eksistensi dirinya adalah selubungnya sendiri.

Abu'Ali Daqqaq berkata, "Apabila seseorang menghiasi kehidupan jasmaninya dengan perjuangan spiritual, Allah akan menghiasi kehidupan rohaninya dengan penglihatan spiritual." dan juga, "Jika pada mulanya seseorang tidak mampu berdiri, maka pada akhirnya dia tidak akan dapat duduk."

Abu 'Ali 'Utsman Maghribi berkata, "Anda tidak benar jika berpikir bahwa pintu Realitas dapat terbuka melalui sesuatu selain perjuangan spiritual."

Bayazid berkata, "Selama dua belas tahun aku adalah pandai besi dari nafsu ku. Selama lima tahun aku adalah cermin hatiku, dan selama satu tahun aku memandang ke dalam cermin itu dan melihat sebuah ikat pinggang di sekeliling pinggangku. Selama dua belas tahun aku terbelenggu sampai akhirnya aku memotongnya untuk membebaskan diriku sendiri. Setelah itu, aku memandang kembali ke dalam wujud rohaniku dan masih melihat sebuah ikat pinggang, dan selama lima tahun aku merenung bagaimana aku dapat memotongnya. Ketika hal ini terlihat olehku dan aku memandang orang-orang, aku melihat mereka seperti mayat dan mengucapkan 'Allahu Akbar' empat kali.

Sirri Saqati berkata, "Wahai anak muda, lakukanlah banyak hal di saat masa mudamu, daripada menunggu sampai usia tuamu seperti aku ketika aku semakin lemah untuk melakukannya." Tak perlu dikatakan, tak ada pemuda yang mampu menyamai Sirri dalam ibadahnya, sekalipun dalam usianya yang sekarang.

Abu Hasan Kharraz berkata, "Pekerjaan ini didasarkan atas tiga hal: makan hanya jika memerlukan, tidur hanya jika perlu dan berbicara hanya jika perlu."

Ibrahim Adham berkata, "Seseorang akan mencapai maqam kesalehan dengan melakukan enam disiplin: jangan mencari kepuasan dalam anugerah, melainkan menundukkan dirinya terhadap kekerasan; jangan berpikir baik pada diri sendiri, melainkan merendahkan diri sendiri; jangan menganggap dirinya tidak memerlukan bantuan orang lain sama sekali, melainkan merendahkan dirinya dalam kemiskinan; jangan mengenyangkan dirinya, melainkan berlapar diri; jangan tidur, melainkan senantiasa dalam keadaan terjaga; dan jangan banyak berharap, melainkan menanti kematian."

Ketahuilah bahwa esensi perjuangan spiritual adalah penghancuran kebiasaan-kebiasaan nafsu yang memberikan kesenangan. Seseorang harus melawan nafsu selama hidupnya. 
Nafsu memiliki dua karakter: hasrat yang tidak peduli, dan penolakan untuk mengerjakan ibadah. 
Apabila tunggangan hasrat nafsu berontak, orang memerlukan sebuah kendali kesalehan. 

Apabila timbul sikap keras kepala yang menolak untuk mematuhi Allah, orang memerlukan sebuah cambuk untuk melawan nafsu, dan apabila timbul amarah, seseorang harus bijaksana terhadapnya, karena tak ada kemenangan yang lebih besar selain mencapai kebajikan, karena kebajikan memadamkan api kemarahan dengan kesederhanaan. 

Apabila keburukan moral menjadi manis bagi nafsu, hal ini hanya dapat terjadi melalui pemujaan dan penurutan terhadap apa saja yang diinginkan nafsu. Untuk menghancurkan keadaan ini, orang harus bisa membuat nafsunya menahan rasa sakit dan perbuatan yang merendahkan diri sampai dia mengetahui kehinaan dirinya. 

Perang spiritual bagi orang awam dilakukan dalam tindakan, sedangkan perang spiritual orang yang terpilih dilakukan dengan membersihkan keadaan, sehingga rasa lapar dan berjaga-jaga untuk tidak tidur menjadi mudah bagi mereka, dan perangai yang buruk akan berubah menjadi perangai yang baik. Semua hal ini sangatlah sulit dikerjakan.

Apabila murid senantiasa merenungkan bahwa dia sangat memerlukan Allah, maka dia akan berperang terhadap nafsu sampai keluar melalui pembersihan, yang kemudian memungkinkan hatinya hidup dalam keselamatan. Dia menjauhkan pintu-pintu hati dari hasrat dan keinginan nafsu. Dia telah menghilangkan hasrat dan keraguannya keluar dari bidang perenungan terhadap Allah, sehingga ladang hati menjadi subur, yang memungkinkan benih kasih sayang dapat ditaburkan, dibudidayakan dan dimurnikan dalam tanah keselamatan. 

Para murid menjaga dan mengairi tanaman ini dengan air kemurnian dan melindunginya dari kerusakan oleh gangguan yang datang tiba-tiba, yang memungkinkan tanaman itu tumbuh dengan cahaya matahari Yang Maha Berkehendak dan dengan naungan cahaya bulan penglihatan. Melalui perlakuan ini, cabang-cabang tumbuh ke dalam udara keabadian dan akar akan menghunjam kuat dalam tanah kesucian.

Al Qur'an menyatakan, "Akarnya teguh dan batangnya menjulang ke langit." 
Rasulullah berkata, "Kita telah kembali dari perang yang kecil menuju ke perang yang lebih besar."
Kaum Sufi berkata, "Peperangan spiritual kaum Sufi adalah untuk mempertahankan kedudukan yang tinggi dan menjaganya agar tidak kembali lagi ke dalam alam materi yang bermoral rendah." 

***
Pembekuan Nafsu

'Mortifikasi' (pembekuan, riyadhah) nafsu dapat terjadi karena bertahan terhadap penderitaan dan rasa lapar dalam upaya membersihkan nafsu.

'Mortifikasi' adalah pemurnian temperamen nafsu. Pemurnian nafsu adalah untuk membersihkan sifat materi dan keinginan keinginan yang berhubungan dengannya. 

'Mortifikasi' nafsu adalah untuk menghancurkan kekuatan nafsu, melalui ketaatan beribadah, dan untuk memastikan bahwa pelaksanaan ibadah senantiasa tetap dipertahankan sepanjang waktu. 

Berkenaan dengan pandangan ini, para syeikh Sufi mengharuskan para muridnya yang belum berpengalaman untuk makan dan tidur hanya bila diperlukan saja, dan untuk melaksanakan perbuatan perbuatan yang menyulitkan nafsu nya, yang ditujukan untuk memperkuat ketetapan hati dan pengendalian terhadap nafsu.

***
Penghancuran Nafsu

Apabila para Sufi berbicara tentang penghancuran nafsu, dalam arti mengindahkannya, mereka menggunakan istilah 'memfanakan (anihilasi) nafsu'. 

Hal ini berarti memfanakan karakter-karakter yang berhubungan nafsu dan perubahannya menjadi sifat-sifat yang berhubungan dengan kemanusiaan yang sebenarnya. Namun demikian, nafsu itu sendiri bersifat tidak dapat dihancurkan, karena merupakan tingkat maqam yang paling rendah, tingkat perkembangan dasar. 

Apabila para Sufi mengatakan bahwa si Fulan tidak memiliki nafsu lagi, itu berarti bahwa karakter-karakter nafsu seseorang telah dialihkan menjadi sifat-sifat kemanusiaan yang positif, sehingga tak ada lagi jejak-jejak nafsu yang tetap terlihat di dalamnya.
Seseorang yang sadar berkata: Penghancuran nafsu berarti penghancuran terhadap sifat-sifatnya yang jelek.

Abu Bakar Saidalani berkata, "Kehidupan yang benar-benar nyata adalah melalui kematian nafsu, yang karenanya hati akan menjadi hidup." Dia selanjutnya mengatakan, "Sangatlah tidak mungkin untuk menghancurkan nafsu melalui nafsu. Penghancuran nafsu hanya dapat dilakukan melalui Allah dan karena itu penghancuran nafsu hanya dapat terwujud melalui ketaatan kepada Allah." Beliau juga berkata, karunia yang terbesar apa pun selain Allah. 

Penghancuran nafsu hanya dapat terjadi melalui pertolongan Allah dan permohonan perlindungan kepada Nya, karena lautan kasih sayang mengalir melalui rahasia perwujudan Allah dapat meleburkan nafsu melalui pancaran cahaya hikmah pertama yang kuat sekali. Jadi, apabila nafsu dan hasrat hasratnya telah melebur, Allah akan menjadikan tanda-tanda dan kekuatan karamah terlihat bagi para Sufi. Al Qur'an telah menyatakan, "Dan Allah telah memberikan kepadanya (Daud) kerajaan dan hikmah, dan mengajarkannya apa-apa yang dikehendaki Nya." (11: 25).
Para Sufi mengatakan, "Penghancuran nafsu hanya dapat tercapai melalui hikmah Allah, yang akan membawa pada pengetahuan tentang nafsu.



(Dari berbagai sumber, status di Facebook Pemuda TQN Suryalaya)

Posting Komentar

 
Top