oleh Shibani Mahtani
Jurnalis foto Greg Constantine melewatkan tujuh tahun terakhir merekam kehidupan bangsa-bangsa tanpa negara, mulai dari suku Bihari di Bangladesh, Dalit di Nepal, sampai orang-orang Soviet di Ukraina.
Tapi dari semua tempat yang pernah ia singgahi, ada satu daerah dan satu kelompok yang paling menarik perhatiannya. Ini adalah bangsa Rohingya, yang menurut Constantine berada dalam situasi “paling gelap dan genting.” Ia baru saja menerbitkan buku koleksi fotonya tentang Rohingya, yang berjudul “Exiled to Nowhere”. Dalam buku itu, ia merekam jejak kehidupan suatu bangsa, yang menurut aktivis hak asasi manusia (HAM) merupakan korban salah satu pelanggaran HAM paling serius di dunia.
Kaum Rohingya adalah suku minoritas penganut Islam yang tinggal di negara bagian Rakhine di Myanmar serta beberapa daerah di Bangladesh. Nasib mereka, yang dikucilkan baik di Myanmar maupun Bangladesh, menjadi sorotan dunia internasional saat kekerasan meletus di Myanmar Barat pada Juni lalu dan menyebabkan setidaknya 78 orang tewas.
Meski kekerasan telah mereda, United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs mencatat lebih dari 70.000 warga Rohingya terasingkan dari tempat tinggal mereka dan sulit mendapat akses terhadap makanan, air bersih, atau fasilitas sanitasi. Banyak pihak yang khawatir bahwa kekerasan akan kembali merebak.
Asal-usul kaum Rohingya masih belum bisa dipastikan. Beberapa ahli sejarah menyatakan pengaruh Islam di Myanmar Barat berasal dari tahun 1430. Pakar lain menganggap Rohingya adalah suku imigran baru yang mulai menetap ke daerah Myanmar Barat di zaman penjajahan Inggris.
Saat Myanmar merdeka, suku Rohingya tidak mendapat status warga negara. Ketegangan dengan pemerintah menjadi hal yang rutin, karena rezim militer yang pernah menguasai Myanmar mencoba mengusir kaum Rohingya dari negara itu. Sebagian suku itu menetap di kamp pengungsi di Bangladesh. Beberapa anggota lain suku itu tetap tinggal di Myanmar, meski tanpa status warga negara, mobilitas mereka terbatas.
Banyak orang Rohingya yang tidak mendapat akses terhadap pendidikan, pekerjaan, atau kebebasan mobilitas, kata aktivis HAM. Pada intinya, mereka terjebak sebagai kaum yang terbuang: terjepit dalam situasi sangat buruk di tempat tinggal mereka, tapi tak memiliki paspor untuk bisa pindah ke tempat lain.
Constantine setidaknya sudah delapan kali mengunjungi Bangladesh dalam enam tahun terakhir dan merekam kegiatan komunitas bangsa Rohingya di kamp-kamp pengungsi Bangladesh selatan. Pada saat itu ia kesulitan memasuki Myanmar, karena rezim militer yang waktu itu masih berkuasa telah memblokir akses untuk jurnalis asing.
Foto-foto hitam putih yang diambil Constantine menggambarkan rasa hilang asa yang menjangkiti kamp-kamp Rohingya. Dalam sebuah foto, dua orang anak bertelanjang kaki melintasi sebuah gang sempit di antara tenda-tenda pengungsi yang dilanda limpahan air selokan. Di sebuah esai, Constantine mendokumentasikan kematian dan pemakaman seorang anak 15 tahun. Si anak meninggal akibat tifus di sebuah pondok dari kayu beratap terpal, tanpa mendapat bantuan kesehatan apapun.
“Tidak ada yang mau menerima bangsa Rohingya, dan saya masih mencoba mencari alasannya,” ujar Constantine. “Saya harap karya saya ini dapat membantu meningkatkan pemahaman masyarakat dan para pembuat kebijakan mengenai situasi yang dialami bangsa Rohingya dalam saat yang krusial ini,” tambahnya.
- SUmber :
http://realtime.wsj.com/indonesia/2012/07/31/perjuangan-rohingya-dalam-rekaman-gambar/
Posting Komentar
Posting Komentar