Syeikh Kholil Bangkalan Madura. |
“Murid Kiai Kholil, Kiai Hasyim Asy’ari, sebagai sesepuh Pulau Jawa waktu itu, sedang memusatkan perhatiannya terhadap rencana berdirinya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Kiai Hasyim Asy’ari tampak resah, beberapa kali memohon petunjuk Allah SWT dengan melaksanakan sholat Istikharah. Sungguhpun sudah melakukan sholat istikharah berkali-kali, namun petunjuk tak kunjung datang. Rupanya petunjuk Allah terhadap rencana berdirinya jam’iyah Nahdlatul Ulama tidak diberikan langsung kepada Kiai Hasyim Asy’ari, tetapi melalui Kiai Kholil.
Pada tahun 1924, ketika petunjuk Allah datang, Syekh Kholil segera memanggil muridnya, As’ad Syamsul Arifin, santri senior berumur 27 tahun untuk menghadap.“As’ad,” kata Syekh Kholil, “Ya, Kiai, “ jawab As’ad santri.“As’ad, tongkat ini antarkan ke Tebu Ireng dan sampaikan langsung kepada Kiai Hasyim Asy-’ari,“ pesan Syekh Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat. “Tetapi ada syaratnya. Kamu harus hafal Al-Quran ayat 17-23 surat Thoha,” pesan Syekh Kholil lebih lanjut, “Bacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat itu,” pesan Syekh Kholil menutup pembicaraan.
Begitu menerima perintah, As’ad santri segera berangkat ke Tebu Ireng, kediaman KH. Hasyim Asy’ari. Setelah As’ad santri menempuh perjalanan cukup panjang dengan berjalan kaki yang tentu saja banyak mengalami suka dan duka, akhirnya tibalah di Tebu Ireng. Mendengar kedatangan utusan Syekh Kholil, Kiai Hasyim Asy’ari menduga pasti ada sesuatu yang sangat penting. Ternyata benar.
“Kiai, saya diutus Kiai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad santri sambil menyerahkan sebuah tongkat. Tongkat itu diterima dengan penuh perasaan haru. Kiai Hasyim lalu bertanya kepada As’ad santri, “Apa tidak ada pesan dari Kiai Kholil?” As’ad santri lalu membaca :
وَمَا تِلْكَ بِيَمِيْنِكَ يـمُوْسى (17) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلى غَنَمِيْ وَلِيَ فِيْهَا مَآرِبُ أُخْرى (18) قَالَ أَلْقِهَا يـمُوْسى (19) فَأَلْقـهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعى (20) قَالَ خُذْهَا وَلاتَخَفْ سَنُعِيْدُهَا سِيْرَتَهَا الأُوْلى (21) وَاضْمُمُ يَدَكَ إِلى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوْءٍ آيَةً أُخْرى (22) لِنُرِيَكَ مِنْ آيـتِنَا الكُبْرى (23)
Artinya:
“Apakah itu yang ditanganmu, hai Musa?” Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambing dan bagiku ada lagi keperluan lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba menjadi sekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan kau takut, kami akan mengembalikannya pada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu diketiakmu niscaya keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain, untuk Kami perlihatkan kepadau sebagian dari tanda-tanda kekuasan Kami yang sangat besar”.
Mendengar ayat-ayat yang dibacakan As’ad santri, hati Kiai Hasyim bergetar. Matanya menerawang. Terbayang wajah Syekh Kholil yang sangat tua dan bijaksana. “Oh ya, berarti ini berkaitan dengan rencana mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama itu,” kata Kiai Hasyim Asy’ari terharu. Kiai Hasyim menangkap isyarat berarti gurunya tidak berkeberatan kalau mendirikan sebuah organisasi jam’iyah. Sejak saat itulah keinginan Kiai Hasyim untuk mendirikan sebuah organisasi jami’yyah sudah mantap. Lalu dimusyawarahkan dan dirumuskannya segala sesuatu yang berkenaan dengan organisasi itu.
Sungguhpun demikian, hari demi hari, bulan demi bulan, organisasi jam’iyyah yang dicita-citakan belum berdiri. Sampai suatu saat datang utusan Syekh Kholil ke Tebui Ireng. Memang, dalam pertengahan tahun 1925, Syekh Kholil memanggil As’ad santri kembali menghadap. Seperti satu setengah tahun yang lalu, As’ad santri dipanggil untuk maksud yang sama, yaitu diutus ke Tebu Ireng. Bedanya, kalau dahulu diutus untuk menyerahkan tongkat, maka kali ini untuk menyerahkan tasbih. Seperti halnya tongkat, tasbih inipun disertai pesan Syekh Kholil padaAs’ad santri berupa bacaan salah satu Asma’ul Husna, yaitu Ya Jabbar Ya Qohhar sebanyak tiga kali. Berangkatlah As’ad santri ke Tebu Ireng sebagai utusan Syekh Kholil Bangkalan.
Setelah As’ad santri menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan berjalan kaki. Tentu saja suka dukapun dialami Kiai As’ad dalam tugas ini, seperti yang dituturkan oleh beliau sendiri bahwa dalam perjalanan itu sampai ada yang mengatakan dirinya sebagai orang gila karena berkalungkan tasbih sambil berjalan kaki. Tetapi ada juga yangmengatakan sebagai seorang wali Allah.
Akhirnya, As’ad santri tiba di Tebu Ireng. Kiai As’ad berkata: ”Sesampainya di Tebu Ireng, saya bertemu dengan Kiai Hasyim dan menyerahkan tasbih sambil membungkuk. Kiai hasyim sendiri yang mengambil tasbih itu dari leher saya.” Tasbih yang diserahkan kepada Kiai Hasyim tidak berubah dari posisi semula sejak dikalungkan oleh Syekh Kholil di Bangkalan. “Saya tidak berani mengubahnya, meskipun di jalan banyak orang yang menertawakan dan mungkin saya dianggap gila.” Kata Kiai As’ad mengenang perjalanan yang katanya tidak bisa melupakan kejadian itu. Setahun setelah kejadian itu, di Surabaya berkumpul para ulama se-Jawa-madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan organisasi Islam Jami’yyah Nahdlatul Ulama di Indonesia. Pada hari itu juga, tangal 31 Desember 1926, jam’iyyah Nahdlatul Ulama resmi berdiri. Kemudian para ulama sepakat memilih KH. Hasyim Asy’ari menjabat sebagai ketua umumnya.
Latar belakang sejarah kelahiran NU yang tidak mudah. Untuk mendirikannya memohon izin terlebih dahulu kepada Allah SWT. Permohonan petunjuk yang diprakarsai oleh Kiai Hasyim Asy’ari rupanya tidak datang langsung kepada beliau. Tetapi petunjuk datang melalui Syekh Kholil. Jadi, jelas posisi Syekh Kholil didalam kesejarahan proses berdirinya jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah sebagai inspirator.
Latar belakang sejarah kelahiran NU yang tidak mudah. Untuk mendirikannya memohon izin terlebih dahulu kepada Allah SWT. Permohonan petunjuk yang diprakarsai oleh Kiai Hasyim Asy’ari rupanya tidak datang langsung kepada beliau. Tetapi petunjuk datang melalui Syekh Kholil. Jadi, jelas posisi Syekh Kholil didalam kesejarahan proses berdirinya jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah sebagai inspirator.
Kemudian, Kiai Kholili bin Abdul Lathif meriwayatkan, sebagaimana yang yang dituturkan oleh Kiai Thoha Kholili Jangkibuan, bahwa pada tahun 1925, beberapa waktu sebelum Syekh Kholil wafat, Kiai Hasyim Asy’ari bersama beberapa Kiai Jawa datang ke Bangkalan untuk memohon restu Syekh Kholil didalam meresmikan NU. Namun saat itu kesehatan Syekh Kholil sudah sangat lemah, sehingga beberapa saat sebelum kedatangan rombongan Kiai Hasyim Asy’ari, Syekh Kholil menitip pesan kepada Kiai Muhammad Thoha (menantu Syekh Kholil), bahwa sebentar lagi rombongan Kiai Hasyim datang, mereka tidak usah bertemu Syekh Kholil. Melalui Kiai Muhammad Thoha, Syekh Kholil memberi restu atas peresmian NU. Dan memang, pada akhir hayat Syekh Kholil, ketika beliau tidak lagi sehat, beliau jarang sekali menerima tamu. Apabila ada pertanyaan masalah hukum, beliau sering melemparkan kepada Kiai Muhammad Thoha untuk menjawabnya. Maka rombongan Kiai Hasyim Asy’ari langsung menuju Kiai Muhammad Thoha di Pesantren Jangkibuan.
Diposting ulang oleh Dokumen Pemuda TQN Suryalaya
Posting Komentar
Posting Komentar