(Prof Dr Nasiruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah,
Wakil Menteri Agama RI)
"Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari
(kalangan) kalian yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kalian, dan
mengajarkan kepada kalian kitab dan hikmah, serta mengajarkan apa yang kalian
belum ketahui". (QS al-Baqarah [2] 151).
Dalam ontologi keilmuan Islam, ilmu dan makrifat mempunyai persamaan dan
perbedaan. Persama-annya, keduanya sama-sama sebagai pengetahuan yang
diperlukan manusia guna memberikan kemudahan dalam menjalani kehidupan.
Perbedaannya, dari segi ontologi, ilmu adalah pengetahuan yang berada dalam
lingkup dan domain manusia tanpa harus melibatkan unsur-unsur asing dari luar
diri manusia. Logika manusia cukup untuk memahami objek ilmu.
Sedangkan
makrifat adalah pengetahuan yang secara umum berada di luar lingkup dan domain
manusia. Keberadaannya ditentukan kemampuan manusia mengakses unsur-unsur luar
dirinya, dalam hal ini Tuhan. Secara epis-timologis, ilmu merupakan pengetahuan
yang diperoleh melalui hasil olah nalar dan logika manusia. Sementara itu, makrifat
adalah pengetahuan yang diperoleh melalui hasil olah batin dan spiritual
manusia.
Orang
yang mengusai ilmu disebut alim dan orang yang menguasai makrifat disebut arif.
Hanya sedikit menjadi rancu ketika kata "tim dam marifah diindonesiakan
menjadi ilmu dan makrifat. Ini sudah mengalami reduksi dan penyederhanaan
makna. Secara aksiologis, ilmu bertujuan memberi kejelasan dan kemudahan
manusia di dalam menjalani kehidupannya.
Makrifat,
lebih berusaha untuk memberikan kepuasan intelektual dan spiritual yang pada
akhirnya akan menghadirkan rasa tenang dan damai secara konstruktif ke dalam
diri manusia. Metodologi keilmuan umumnya berangkat dari sikap keraguan
terhadap satu fenomena atau informasi.
Dari
sikap ini, lahirlah upaya untuk memahami dan mendalami dalam bentuk studi yang
melibatkan parameter keilmuan logika. Seperti melakukan observasi atau survei
dan penelitian mendalam lainnya sebagai pengujian kembali terhadap konsep dan
teori yang dihasilkan oleh parameter tersebut.
Setelah
itu harus ada keberanian intelektual si penelitinya untuk memublikasikan
kesimpulan hasil-hasil studinya secara terbuka kepada publik. Sepanjang belum
ada yang keberatan dan menolak (tentu saja setelah melalui studi yang selevel),
sepan-jang itu pula diakui sebagai sebuah kebenaran yang dapat diyakini.
Jika
ternyata di kemudian hari ada yang mematahkan logika dan temuan itu, bisa
menjadi tanda berakhirnya konsep dan teori itu. Metodologi kemakrifatan sama
sekali berbeda (untuk tidak mengatakan bertolak belakang) dengan metodologi
keilmuan. Sebab, umumnya metode ini berangkat dari rasa dan sikap yakin
terhadap suatu objek yang mengandung misteri.
Berangkat
dari keyakinan itu, tugas pertama yang harus dilakukan guru atau mursyid adalah
melakukan proses pembersihan diri para murid dari berbagai keraguan. Proses ini
biasa disebut pembersihan jiwa (tadzkiyah al-nafs) atau penghalusan kalbu
(tahdzib al-qulub). Proses ini digambarkan dalam surah al-Baqarah ayat 151 di
atas.
Itu
menjelaskan bahwa sebelum dilakukan proses pendidikan dan pengajaran atau
taklim, terlebih dahulu dilakukan proses pembersihan diri. Selain ayat
tersebut, masih banyak lagi ayat dan hadis, serta perkataan sahabat yang
mengisyaratkan metode mendapatkan makrifat. Kisah antara Nabi Musa dan Khidir
di dalam surah al-Kahfi juga relevan dengan pembahasan ini.
Bagaimana
Nabi Musa yang dikenal sebagai nabi ulul azmi masih harus belajar kepada hamba
Tuhan yang tidak populer di dunia publik. Persyaratan menjadi murid juga lebih
unik dibanding dengan metode keilmuan biasa, yaitu, "...Janganlah kamu
menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun sampai aku menerangkan
kepadamu." (QS al-Kahfi [18] 70).
Lebih
unik lagi, sang guru mencontohkan sesuatu yang sama sekali di luar kemampuan
logika untuk memahaminya, yaitu membocorkan perahu-perahu nelayan, membunuh
anak kecil tak berdosa, dan memugar reruntuhan bangunan tua. Namun, ending dari
cerita ini ialah Nabi Musa mendapatkan kearifan bahwa di atas langit masih ada
langit. Ilmu Tuhan itu mahaluas.
Dari
situ, kita pun mendapatkan hikmah bahwa manusia utama dan pilihan Tuhan tidak
mesti harus populer, bahkan tidak mesti menjadi nabi. Rasulullah memberikan
contoh bagaimana mempelajari makrifat dengan mengedepankan keikhlasan dan
kedekatan diri terus-menerus kepada Allah SWT. Sahabatnya juga demikian.
Ali
pernah membuat pernyataan "Barang siapa mengajariku satu huruf, aku rela
menjadi budaknya". Generasi berikutnya, seperti Imam Bukhari, setiap kali
akan menerima sebuah hadis terlebih dahulu ia shalat dua rakaat. Kitab Al-Talim
wal Mu-taallim, yang mengajarkan sopan santun guru dan murid, mastfi dipegang
teguh di sejumlah besar pondok pesantren.
Dalam
tradisi intelektual Islam, tidak tampak perbedaan tajam antara metode
memperoleh ih iu dan makrifat, bahkan keduanya sering digunakan bergantian
{inter-changable). Dalam tradisi pondok pesantren, cara memperoleh ilmu masih
tetap dominan mengakomodasi metodologi makrifat yang menuntut kepasrahan dan
ketawadhuan santri kepada kiai atau gurunya.
Oleh
karena itu, mungkin ilmuan pesantren menganggap pola pembidangan ilmu dan
makrifat di atas dianggap terlalu ske-matis. Namun, pembahasan tni sekaligus
juga untuk memberi masukan terhadap dunia pendidikan kita yang kini sedang
disorot banyak kalangan. Ternyata tingginya ilmu pengetahuan yang dicapai seseorang
tidak berbanding lurus dengan akhlaknya.
Sudah
tentu, di situ ada yang salah. Setidaknya, mata rantai penyucian diri
(tadzkiyah) sudah banyak ditinggalkan dan tidak lagi menjadi faktor dalam dunia
pendidikankita. Umumnya, kita loncat ke proses pembelajaran (taklim). Padahal,
Alquran mengingatkan kita perlunya mendahulukan tadzkiyah sebelum taklim.
Bahkan,
salah satu ayat yang sering dipasang di punggung Alquran, "La yamassuhu
illal muthahharun." (Tidak ada yang menyentuhnya [Alquran], selain
hamba-hamba yang disucikan). (QS al-Hadid [57] 79). Di sisi lain, pengetahuan
makrifat itu sendiri bertingkat-tingkat. Dimulai dari yang paling sederhana,
yaitu mengenal makhluk-makhluk fisik Allah SWT.
Dari
sini, ilmu menjadi bagian dari makrifat. Pengetahuan makrifat juga mencakup
upaya mengenal makhluk-makhluk metafisik-spiritual, dan pada puncaknya mengenal
Sang Pencipta dalam hubungannya dengan makhluknya. Tentu sajariada setiap
jenjang makrifat itu membutuhkan metodologinya sendiri.
Guru atau
mursyid juga bertingkat-tingkat, mulai dari mursyid biasa hingga wali, bahkan
Nabi Muhammad secara langsung. Tidak masalah, apakah orang itu masih hidup atau
sudah tiada. Faktanya, banyak sekali di antara para arifin, gurunya adalah
orang yang sudah di alam lain (akan dibahas dalam artikel khusus). Tidak heran
kalau di antara mereka ada yang mengatakan "Alangkah miskinnya seorang
murid jika para gurunya hanya orang-orang hidup".
(Republika online)
(Prof Dr Nasiruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah,
Wakil Menteri Agama RI)
|
Posting Komentar
Posting Komentar