Menu

TQN PP.Suryalaya

 


Dosen Fak. Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin(Magester Universitas Kebangsaan Malaysia UKM)
A. PENDAHULUAN
Perselisihan mengenai beberapa kata dengan satu arti (mutarâdif) dalam sebuah ungkapan, menjadi perdebatan di kalangan ulama bahasa, perbedaan ini menimbulkan anggapan yang berbeda-beda pula, sebahagian menganggap bahwa dalam Al-Qur’an terdapat bentuk kata yang mutarâdif dan mempunyai arti yang sama, sedangkan yang lain berpendapat bahwa terdapat kata mutarâdif tetapi mempunyai sedikit perbedaan sesuai dengan konteks ayat masing-masing.

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, adanya mutarâdif dalam Al-Qur’an menunjukkan keistimewaan dan kekayaan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an (Ar-Ra’d: 37), beberapa keistimewaannya antara lain: 1) sejak zaman dahulu kala hingga sekarang bahasa Arab itu merupakan bahasa yang hidup, 2) bahasa Arab adalah bahasa yang lengkap dan luas untuk menjelaskan tentang ketuhanan dan keakhiratan. 3) bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab mempunyai tasrif (konjugasi) yang amat luas sehingga dapat mencapai 3000 bentuk perubahan, yang demikian tak terdapat dalam bahasa lain.
Menurut Abdullah Darraz, salah seorang ulama besar Al-Azhar, beliau mengatakan: “Apabila anda membaca Al-Qur’an, maknanya akan jelas di hadapan anda. Tetapi bila anda membaca sekali lagi, maka anda akan menemukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna sebelumnya, demikian seterusnya, sampai-sampai anda (dapat) menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam. Semuanya benar atau mungkin benar. Ayat-ayat Al-Qur’an bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain, dan tidak mustahil, jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka dia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.
Permasalahan dalam tulisan ini adalah: apakah ayat yang mempunyai perbedaan kata diartikan dengan arti yang sama? Oleh sebab itu penulis berusaha untuk memberikan gambaran tentang ayat-ayat yang mengandung mutarâdif dengan beberapa contoh mutarâdif dalam Al-Qur’an.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Mutarâdif

Perkataan الردف mashdar dari kata يردف- ردف dengan arti: 1) mengikuti sesuatu, 2) tiap-tiap benda mengikuti yang benda lain. مردفين (Q.S. Al-Anfal: 9) diartikan dengan datang berturut-turut. Apabila saling mengikuti, maka disebut dengan الترادف. Perkataan mutarâdif adalah ism fâ’il (lil musyârakah). Beberapa kata yang senada dengan perkataan taraduf antara lain:
تواصل-تتابع-توالى-تواتر-تراكم-استدر-ألح-اتسق-انتظم-تكاتف-تكاوس
Mutarâdif adalah beberapa kata dengan satu arti, berbeda dengan kata musytarak, karena kata ini menunjukkan kesatuan lafazh dengan berbagai pengertian. Menurut al-Jurjânî, mutarâdif adalah; beberapa kata yang sama mempunyai kesatuan pengertian dengan ciri-ciri tertentu. Menurut Muhammad at-Tunjî dan Râjî al-Asmar, mutarâdif adalah perbedaan kata dengan satu pengertian, seperti kata الأسد والليث وضرغام و أسامة dan المسكن والمنـزل والدار والبيت kedua kata tersebut masing-masing mempunyai satu pengertian.
As-Suyûthî mendefinisikan mutarâdif adalah beberapa kata dengan satu arti, namun beliau lebih berhati-hati terhadap beberapa kata yang mempunyai batasan tertentu, seperti kata الإنسان والبشر dan السيف والصارم kedua kata ini mempunyai batasan dari segi zat dan sifatnya.

2. Pendapat Ulama Bahasa Tentang Mutarâdif

Para ulama bahasa mengkategorikan mutarâdif salah satu dari keagungan bahasa dan keistemewaannya, walaupun sebahagian mereka berselisih pendapat tentang keberadaan mutarâdif ada yang berpendapat setuju dan tidak setuju adanya mutarâdif dalam al-Qur’an dan di antara mereka ada yang mengambil sikap berhati-hati dalam memahami kata mutarâdif dalam al-Qur’an.
Para ulama yang mendukung adanya mutarâdif dalam al-Qur’an adalah ulama bahasa dan sastrawan, di antaranya:
a. ‘Alî Abd al-Wâhid Wâfî, beliau berpendapat bahwa kebanyakan dalam al-Qur’an juga terdapat kata-kata mutarâdif, sebagaimana juga terdapat dalam ungkapan sastra Arab.
b. Ibn al-‘Arabî, cenderung berpendapat bahwa mutarâdif terdapat dalam al-Qur’an, sebagaimana beliau tidak membedakan perkataan الشح والبخل walaupun sebahagian ulama membedakan kedua kata tersebut.
c. Abû Bakr al-Husaynî berpendapat bahwa mutarâdif terdapat dalam al-Qur’an, di antara tujuan dari kata mutarâdif adalah menjelaskan ungkapan yang berbeda dengan menggunakan kata-kata mutarâdif. Sebagai contoh kata السنة والعام (Q.S. al-‘Ankabût 29/14).
d. Ibrâhîm Anîs berpendapat bahwa banyak sekali perkataan mutarâdif dalam al-Qur’an, walaupun ada usaha dari para mufassir memberikan makna tertentu bagi perkataan mutarâdif, menurut beliau usaha tersebut datang dari pendapat mereka untuk membedakan antara kata mutarâdif.
Adapun pendapat ulama bahasa yang mendukung adanya perbedaan arti untuk kata-kata mutarâdif berdasarkan pengamatan terhadap konteks ayat. Di antara ulama tersebut adalah:
a. Ibn Taymiyyah berpendapat bahwa kata mutarâdif tidak banyak ditemukan dalam bahasa Arab, bahkan dalam al-Qur’an jarang sekali ditemukan kata mutarâdif, jika ditemukan kata-kata yang mempunyai persamaan arti, maka tidak bisa pengertiannya menjadi satu, tetapi hanya mendekati kesamaan artinya saja.
b. Ar-Râghib al-Ashfihanî menolak adanya mutarâdif dalam al-Qur’an, dengan alasan bahwa perbedaan kata membawa kepada perbedaan arti dan perbedaan ungkapan pada masing-masing kata mutarâdif. Arti sebuah kata bisa menunjukkan beberapa pengertian.
c. Ibn ‘Athiyyah cenderung menolak mutarâdif dalam al-Qur’an, beliau berpendapat bahwa kemukjizatan al-Qur’an dan ketinggian bahasa dan kata-katanya sesuai dengan ungkapannya, kesempurnaan dan keindahan bahasanya menandingi sastra Arab.
d. Az-Zamakhsyarî dalam tafsirnya cenderung menolak adanya mutarâdif sebagaimana beliau menafsirkan dua kata dalam ayat: إنما أشكو بثي وخزني beliau membedakan antara kedua kata batstsî dan huznî, kata pertama kesedihan yang amat berat, tak sabar memikulnya sendiri, sehingga dengan cara mengungkapkan kepada orang lain agar beban kesedihan terasa ringan.
e. Al-Khathâbî juga menolak adanya mutarâdif dalam al-Qur’an, sebab setiap kata mempunyai tempat masing-masing dalam sebuah ungkapan. al-Khathâbî mencontohkan, jika beberapa kata mutarâdif menggantikan dengan kata yang ada pada al-Qur’an, maka tidak mungkin meletakkan kata tersebut, sebab setiap kata dalam al-Qur’an mempunyai makna dan ketinggian bahasanya. Sebagai contoh kata قعد dan جلس arti kata pertama adalah keadaan duduk dari posisi berdiri dan kata kedua duduk dari posisi berbering.
f. Abû Bakr al-Anbarî berpendapat bahwa tidak mungkin beberapa kata mempunyai satu arti, kemungkinan orang-orang Arab menuturkan bahasanya sesuai dengan kondisi dan tradisi mereka, perbedaan ini membawa kepada berbagai macam pemahaman sehingga terjadilah sebuah penta’wilan.

3. Beberapa Contoh Mutarâdif dalam al-Qur’an

Beberapa contoh di bawah ini penulis uraikan tentang kata mutarâdif dan perbedaan arti sesuai dengan ungkapan sebelum dan sesudah kata mutarâdif.

a. Perkataanالخوق و الخشية artinya: takut, ketakutan.

ِAda beberapa kata dengan pengertian yang sama dengan الخائف mutarâdifnya Kata “ الخوق و الخشية“ yang keduanya diterjemahkan dengan takut adalah berdasarkan pemahaman sementara ulama yang menilai kedua kata itu sinonim tanpa perbedaan. Menurut mereka, penggunaan keduanya untuk tujuan penganekaragaman redaksi. Namun ada juga ulama yang membedakannya. Yakni kata الخشية adalah takut yang disertai dengan penghormatan dan pengagungan, lahir dari adanya pengetahuan tentang yang ditakuti, iaitu Allah, sedangkanالخوف adalah sekedar takut yang boleh jadi disertai dengan kebencian atau tanpa mengetahui yang ditakuti.
Perkataan الخشية menurut al-Asfihanî: “ketakutan yang membawa kepada mengagungkan yang ditakuti disebabkan pengetahuannya tentang yang ditakuti (Allah) . Sebagaimana firman Allah :
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الحِسَاب
Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (Q.S. ar-Ra’d: 21).
Kata الخشية menunjukkan makna takut kepada keagungan Allah, walaupun pelakunya seorang yang kuat. Sebagaimana ayat lain disebutkan:
أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَوْهُ إِن كُنتُم مُّؤُمِنِينَ
Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman (Q.S. at-Tawbah: 13).
Kata الخشية jika diikuti dengan sebuah perkara, maka perkara itu adalah perkara yang penting, seperti tentang alam ghaib, terjadinya kiamat dan hari akhirat.
الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ وَهُم مِّنَ السَّاعَةِ مُشْفِقُونَ
(yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat. (Q.S. Al-Anbiya: 21).
Kata الخشية terkadang didapati berhubungan dengan kehidupan dunia sebagai sarana ujian dan cobaan hidup untuk lebih meningkatkan ma’rifah dan mengagungkan Allah SWT.
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُم إنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْءًا كَبِيرًا
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (Q.S. Al-Isra: 31).

Kataالخوف berarti dalam keadaan takut, yakni Allah menyiksa mereka dengan keadaan diliputi oleh rasa takut sebelum turunnya siksa. Seseorang yang mengetahui siksa, ia akan diliputi oleh kecemasan yang meresahkan dan menyiksanya sebelum jatuhnya siksa. Firman Allah:

وَضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُّطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّن كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللّهِ فَأَذَاقَهَا اللّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُواْ يَصْنَعُونَ
Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian[841] kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (Q.S. An-Nahl: 112)
Perkataan تخوف yang berarti mereka ditakuti dengan penyiksaan sedikit demi sedikit. Siksa pertama adalah kelaparan, kekurangan harta, jiwa disusul dengan masa paceklik, dan lain-lain. Demikian silih berganti, terus menerus dan sedikit demi sedikit tapi tanpa henti hingga akhirnya binasa. Sebagaimana firman Allah:
أَوْ يَأْخُذَهُمْ عَلَى تَخَوُّفٍ فَإِنَّ رَبَّكُمْ لَرؤُوفٌ رَّحِيمٌ
atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa. Maka sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-Nahl: 47)

Ujian Allah SWT dijelaskan dalam firman-Nya:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Baqarah: 155).
Kataالخوف menunjukkan ketakutan seseorang, walaupun yang ditakuti itu perkara yang mudah.
وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
يا موسى لا تخف إني لا يخاف لدي المرسلون
Perkataanالخوف menurut al-Ashfihanî: “perasaan takut terhadap hal-hal yang dibenci dan seringkali digunakan dalam siksa dunia dan akhirat”.
Seringkali perkataan الخوف diikuti dengan perkataan الحزَنِ, perasaan takut kepada hal yang dibenci dan bersedih dengan akibat yang ditimbulkannya. (Fushshilat: 30).
تتنـزل عليهم الملائكة ألا تخافوا ولا تخزنوا
Selain kataالخوف dan الخشية kata الشفقة bermakna takut, disertai dengan rasa kasihan yang menghantar kepada munculnya perhatian sungguh-sungguh.
Ar-Râzî menjelaskan bahwa syafaqah mempunyai maksud:
a. Takut jangan sampai amalan baik tidak diterimanya.
b. Takut terhadap hamba-hamba Allah kerana mengetahui kadar kedudukan mereka.
c. Takut menyangkut waktu, jangan sampai digunakan secara sia-sia.
d. Takut menyangkut hati, jangan sampai dikotori oleh minta balasan.

b. Perkataanالفعل و العمل artinya: mengerjakan, melakukan, menjalankan.

Firman Allah:
لِيَأْكُلُوا مِن ثَمَرِهِ وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيهِمْ أَفَلَا يَشْكُرُونَ
Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur. (Q.S. Yâsîn: 35)
Kata “عَمِلَت ” terambil dari kata عمل yang biasa diterjemahkan mengerjakan. Kata ini berbeda dengan kataفعل yang juga diterjemahkan demikian. Al-Ashfihanî menyebutkan kata عمل biasanya suatu pekerjaan yang diikuti dengan maksud tertentu oleh pelakunya. Kerana itu pelaku عمل biasanya adalah manusia, bukan binatang atau benda mati.
Sebagaimana firman Allah:
وَبَشِّرِ الَّذِين آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ …الأية
Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga (Q.S. al-Baqarah: 25).
Menurut imam as-Suyûthî: “perkataan فعل dan عمل mempunyai perbedaan dari segi masa pelaksanaan: فعل untuk masa yang terbatas sedangkan عمل untuk masa yang lama”.
وَقُلِ اعْمَلُواْ فَسَيَرَى اللّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم
بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. At-Tawbah: 105)
Biasanya yang disifati dengan baik atau buruk adalah menggunakan kata عمل.
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ, ومَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.(Az-Zalzalah: 7-8).
Kata العمل jika menggunakan fi’il amr menunjukkan tahdid (gertakan).
وَيَا قَوْمِ اعْمَلُواْ عَلَى مَكَانَتِكُمْ إِنِّي عَامِلٌ سَوْفَ تَعْلَمُونَ مَن يَأْتِيهِ عَذَابٌ يُخْزِيهِ وَمَنْ هُوَ
كَاذِبٌ وَارْتَقِبُواْ إِنِّي مَعَكُمْ رَقِيبٌ
Dan (dia berkata): “Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah azab (Tuhan), sesungguhnya akupun menunggu bersama kamu.” (Q.S. Hud: 93)

عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. At-Tahrim: 6)
Menurut al-Ashfihanî: : Penyebutan “يفعلون “ bukanيعملون pada ayat di atas adalah “para malaikat melaksanakan perintah tanpa maksud tertentu, mereka melakukan berdasarkan perintah Allah, bukan kehendak dan kemauan mereka”.
Perkataan الفعل lebih khusus menunjukkan kepada perbuatan yang dilakukan oleh manusia, binatang dan lain-lain.
قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِن كَانُوا يَنطِقُونَ
Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” (Q.S. Al-Anbiya: 63)
Penggunaan kata الفعل juga pada perbuatan baik dan buruk:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ وَكَانُوا
لَنَا عَابِدِينَ
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah. (Q.S. Al-Anbiya: 73)

Ayat lain sebagai dalil tentang perbedaan kata الفعل و العمل adalah firman Allah swt. tentang Nabi Musa membunuh salah seorang suku al-Qibthy, apakah ada kesesuaian kata itu yang dilakukan tanpa tujuan dan yang melakukan adalah seorang manusia.

Menurut Fadhlî Hasan ‘Abbâs dan Sanâ Fadhlî ‘Abbâs: “perbuatan Nabi Musa tidak ada mempunyai maksud untuk membunuh dan tidak datang dari kehendak Nabi Musa (salah seorang kaumnya minta pertolongan). Perkataan الوكز dalam firman Allah bermakna pukulan yang dalam kebiasaanya tidak sampai kepada membunuh.
Menurut Thabathaba’î; ‘maksud ucapan Nabi Musa itu adalah “aku melakukan pembunuhan itu, sedang aku ketika itu dalam keadaan tidak mengetahui sisi kemaslahatannya serta tidak mengetahui pula kebenaran yang harus kuikuti sehingga aku membela siapa yang meminta bantuan kepadaku, dan ketika itu aku tidak tahu bahwa pembelaan itu mengakibatkan meninggalnya seseorang dan mengakibatkan aku terpaksa mengungsi bertahun-tahun”. Musa menyesal atas kematian orang itu disebabkan pukulannya, karena dia bukanlah bermaksud untuk membunuhnya, hanya semata-mata membela kaumnya.
Thâhir ibn ‘Asyûr mengemukakan dua kemungkinan makna di atas. Pertama, seakan-akan Nabi Musa as. berkata: “amarah telah melengahkan aku sehingga aku tidak memperhatikan kewajiban memelihara jiwa manusia”.

c. الصراط و السبيل

Kata الصراط berbeda dengan kataالسبيل diterjemahkan dengan jalan. Penggunaan kata sabîl dan perubahannya dalam al-Qur’an sebanyak 147 tempat, kata السبيل ada yang berbentuk jamak seperti subul as-salâm (jalan-jalan kedamaian) ada juga yang berbentuk tunggal dan ini ada yang disandarkan kepada Allah seperti sabîl Allâh atau kepada orang bertakwa, seperti sabîl al-muttaqîn dan ada juga yang disandarkan kepada setan dan tirani seperti sabîl ath-thâghût atau jalan orang-orang berdosa sabîl al-mujrimîn.
الَّذِينَ آمَنُواْ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُواْأَوْلِيَاء الشَّيْطَان
ِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. (Q.S. An-Nisa: 76).
Firman Allah:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Q.S. al-An’âm: 153).

Penggunaa kataالصراط di atas menunjukkan hanya satu jalan dan selalu bersifat benar dan hak. Berbeda dengan السبيل yang bisa jalan kebenaran dan kesalahan, bisa merupakan jalan orang-orang bertakwa dan bisa juga jalan orang-orang durhaka. Shirâth adalah jalan yang luas, semua orang dapat melaluinya, tanpa berdesak-desakan, berbeda dengan sabîl, yaitu jalan kecil dan banyak jalan.

Perkataan الصراط ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 45 kali. Kesemuanya dalam bentuk tunggal, dan di antaranya dirangkaikan dengan kata-kata seperti as-sawy, al-mustaqim dan hanya satu ayat dirangkai dengan al-jahîm.
احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ، مِن دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ
Selanjutnya bila الصراط disandarkan kepada sesuatu maka adalah kepada Allah swt. Seperti kata shirâthaka (jalan-Mu) atau shirâthî (jalan-Ku) atau shirâtha al-‘azîz al-hamîd, (jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji), dan juga kepada orang-orang mukmin yang mendapat anugerah nikmat ilahi seperti dalam ayat al-Fâtihah.

d. Perkataan الإعطاء و الإيتاء artinya: memberi

Beberapa ulama memberikan maksud kedua kata ini iaitu: Perkataan الإيتاء lebih utama dari perkataan الإعطاء dari segi benda yang diberikan, seperti nilai barang yang diberikan adalah banyak, apa yang diberikan adalah suatu kemuliaan.
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء
Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki…. (Q.S. Âlî ‘Imrân: 25).
يُؤتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاء 
Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Quran dan as-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (Q.S. al-Baqarah: 269).
Perkataan الإيتاء bermaksud kepada pemberian yang dikeluarkan dengan hati yang ikhlas.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Q.S. Al-Bayyinah: 5).
Sedangkan perkataan الإعطاء lebih kepada apa yang diberikan nilainya sedikit dan perkara biasa.
أَفَرَأَيْتَ الَّذِي تَوَلَّى وَأَعْطَى قَلِيلًا وَأَكْدَى
Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling (dari Al-Quran)? Serta memberi sedikit dan tidak mau memberi lagi. (Q.S. an-Najm: 34).
Sedangkan الإعطاء seringkali diungkapkan kepada pemberian orang-orang munafik dengan tanpa keikhlasan.
وَمِنْهُم مَّن يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُواْ مِنْهَا رَضُواْ وَإِن لَّمْ يُعْطَوْاْ مِنهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. (Q.S. at-Tawbah: 58).
e. الشح والبخلdiartikan dengan kikir.
Perkataan الشح menunjukkan sifat terlalu kikir dibandingkan dengan perkataan البخلMuhammad bin Ali Asy-Syaukani mengartikan البخلiaitu kikir dengan apa yang ada pada dirinya, sedangkan الشحsifat kikir dan iri terhadap milik orang lain dan berusaha untuk memilikinya dengan cara apapun. Menurut Imam Al-Raghib, “البخلsifat kikir dengan harta, sedangkan الشحsifat kikir dengan harta dan kebajikan.
ومن يوق شح نفسه فأولئك هم المفلحون
Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung (Q.S. Al-Hasyr: 9).
ومن يبخل فإنما يبخل عن نفسه
dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri.(Muhammad: 38).
Menurut Nur al-din al-Jazairy, perkataan الشح merupakan tabiat yang muncul sejak manusia dilahirkan, seperti الشهوات (Q.S. Ali Imran: 14), sifat ini bisa dikendalikan dan sebagai ujian dan cobaan bagi manusia apakah ia mampu mengendalikannya.
ومن يوق شح نفسه فأولئك هم المفلحون
Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung (Q.S. Al-Hasyr: 9).
والصلح خير، وأحضرت الأنفس الشح
dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir (Q.S. Al-Nisa: 128).
Sifat البخلmerupakan sifat yang tercela dan mungkin mudah untuk menghindarinya, sebab sifat البخل muncul akibat pengaruh dari luar.
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
(yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Q.S. Al-Hadid: 24)
Ibnu Mas’ud meriwayatkan sebuah hadist:
عن ابن مسعود قال، كان النبي صلى الله عليه وسلم: يتعوذ من خمس من البخل والجبن
وسوء العمر وفتنة الصدر وعذاب القبر
f. Perkataan جاء و أتى datang, tiba
Perkataan جاء seringkali digunakan untuk sesuatu yang dibawa adalah benda, manusia, binatang dan sebagainya sedangkan أتى lebih kepada sesuatu yang abstark dan menunjukkan waktu tertentu..
Firman Allah:
قَالُواْ بَلْ جِئْنَاكَ بِمَا كَانُواْ فِيهِ يَمْتَرُونَ وَأَتَيْنَاكَ بَالْحَقِّ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
Para utusan menjawab: “Sebenarnya kami ini datang kepadamu dengan membawa azab yang selalu mereka dustakan. Dan kami datang kepadamu membawa kebenaran dan Sesungguhnya kami betul-betul orang-orang benar. ِ (Q.S. al-Hijr: 63-64).
Ayat pertama objeknya adalah azab dari Allah (azab bisa disaksikan), ayat kedua adalah kebenaran yang datang dari Allah.

وَجَآؤُوا عَلَى قَمِيصِهِ بِدَمٍ كَذِبٍ قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنفُسُكُمْ أَمْرًا فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ

Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan (Q.S. Yûsuf: 12).
Menurut al-Ashfihanî: “Perkataan أتى lebih kepada seuatu yang datang dengan mudah, subjek yang datang berupa perintah, larangan, memikirkan sesuatu dalam hal kebaikan dan kejahatan.
وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ
Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang agung. (Q.S. An-Nahl: 87).
Adapun firman Allah di bawah ini tidak menggunakan kata أتى. Ayat pertama disebabkan telah datang azab dan diselamatkannya Nabi Shaleh, dan ayat kedua kematian merupakan sebuah kenyataan. Oleh sebab itu Al-Qur’an mengungkapkan keduanya dengan sesuatu yang nyata, bukan sesuatu yang abstrak.
فلما جاء أمرنا نجينا صالحا والذين آمنوا معه
فإذا جاء أجلهم لا يستأخرون ساعة ولا يستقدمون
Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia (Q.S. Hud: 66)
maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (Al-A’raf: 34).
g. Perkataan الشك و الريب
Firman Allah:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
Kitab (al-Quran) itu tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Q.S. al-Baqarah: 2).
Penggunaan kata الريب dalam al-Qur’an biasanya dalam perkara yang berkenaan dengan keyakinan/aqidah, seperti tentang al-Qur’an, hari kiamat, keimanan, ahli kitab dan lain-lain.
Sedangkan perkataanالشك jika berbicara tentang orang-orang kafir selalu diiringi dengan perkataan مُرِيبٍ disebabkan mereka selalu dalam kesesatan dan perbuatan jahat. sebagaimana firman Allah:
وَإِنَّ الَّذِينَ أُورِثُوا الْكِتَابَ مِن بَعْدِهِمْ لَفِي شك مِّنْهُ مُرِيبٍ
Dan Sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka al-Kitab (Taurat dan Injil) sesudah mereka, benar-benar berada dalam keraguan yang menggoncangkan tentang Kitab itu. (Q.S. asy-Syûrâ: 14).
Kata الريب biasa diartikan ragu. Ragu yang dimaksudkan bukan hanya dalam arti syak, tetapi syak dan sangka buruk. Kalau sekedar syak atau keragunan yang mendorong untuk berpikir positif, maka al-Qur’an tidak melarangnya, kerana keraguan semacam itu akan dapat mengantar seseorang menemukan kebenaran.
فَإِن كُنتَ فِي شَكٍّ مِّمَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ فَاسْأَلِ الَّذِينَ يَقْرَؤُونَ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكَ لَقَدْ جَاءكَ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ
فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu. (Q.S. Yunus: 94).
Menurut al-Ashfihanî: Perkataan الشك digunakan kepada orang yang ragu-ragu tentang keadaan sesuatu. الشك merupakan bahagian dari sifat kebodohan. Setiap orang yang (syak) adalah bodoh, dan tidaklah orang yang bodoh itu ragu (syak).
h. Perkataan السنة والعام
Perkataan ini terdapat dalam Q.S al-‘Ankabût ayat 14
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا
Dan Sesungguhnya kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.
Dalam satu ayat terdapat dua arti yang mempunyai maksud tahun, namun ternyata mempunyai perbedaan dari segi pengertiannya. Kata السنة digunakan untuk ungkapan ketika masa krisis dan kesusahan. Sedangkan perkataan العام lebih kepada waktu lapang dan senang. Ayat di atas juga menggambarkan bahwa cobaan kepada Nabi Nuh sangat besar dalam waktu yang lama.
Ayat lain yang mendukung pendapat di atas adalah:
ثُمَّ يَأْتِي مِن بَعْدِ ذَلِكَ عَامٌ فِيهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيهِ يَعْصِرُونَ
Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur. (Q.S. Yûsuf: 49).

i. Perkataan أكمل و أتم

Firman Allah:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Q.S. al-Mâ’idah: 3).
Menurut Thabathaba’î bahwa ayat di atas menggunakan kata أكمل Ku-sempurnakan untuk agama dan أتم Ku-cukupkan untuk nikmat-nikmat. Kita boleh bertanya mengapa untuk agama dinyatakan أكمل dan untuk nikmat أتم ?. Persoalan ini dikemukakan bahwa pemilihan أكمل untuk agama memberi isyarat bahwa petunjuk-petujjuk agama yang beraneka ragam itu kesemuanya dan masing-masingnya telah disempurnakan. Jangan sangka petunjuk agama tentang shalat, zakat, nikah, jual beli, kewarisan dan lain-lain mempunyai kekurangan. Semuanya telah sempurna dan telah dihimpun dalam satu wadah yang dinamai dîn yakni agama Islam.
Adapun nikmat, digunakan kata أتم Dia cukupkan, memang banyak sekali nikmat Allah swt. misalnya kesehatan, kekayaan, keturunan, kedudukan dan lain-lain, tetapi kesemuanya walau banya, belumlah sempurna, ia baru sempurna apabila dihimpun bersama dengan petunjuk-petunjuk agama. Petunjuk-petunjuk itulah yang jika digabungkan dengan nikmat-nikmat di atas, menjadikan nikmat tersebut sempurna. Kerana itu, bila anda memperoleh kekayaan atau kesehatan tanpa memperoleh petunjuk agama, maka nikmat itu-betapapun banyaknya- adalah nikmat yang masih kurang, belum cukup.
j. Perkataan تلى و قرأ
Firman Allah:
تِلْكَ آيَاتُ اللّهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ
Itulah ayat-ayat dari Allah, kami bacakan kepadamu dengan hak (benar) dan Sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus. (Q.S. al-Baqarah: 252)
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ- خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ -اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ .
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah (Q.S. al-‘Alaq: 1-3).
Dalam al-Qur’an surah ke-96 ayat 1 dan 3 disebutkan kata “iqra’” dari kata dasar qara’a, kata qara’a terulang juga terdapat dalam surah ke-17 ayat 14. Sedangkan kata jadian dari akar kata tersebut dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 17 kali selain kata al-Qur’an yang terulang sebanyak 70 kali.
Menurut al-Ashfihanî dalam al-Mufradât-nya: “Perkataan تلى lebih khusus penggunaannya berbanding dengan perkataan قرأ, setiap tilâwah adalah qirâ’ah dan bukan setiap tilâwah adalah qirâ’ah, perkataan تلى khusus digunakan untuk bacaan kitab-kitab suci yang telah diturunkan Allah yang mengandung perintah, larangan, targhîb dan tarhîb”.
Perkataan قرأ dalam Q.S. al-‘Alaq dapat dikemukakan suatu kaidah bahwa suatu kata dalam susunan redaksi yang tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud adalah umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut. Oleh itu kata qara’a digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya dan kerana objeknya tidak disebut sehingga bersifat umum, maka objek kata tersebut mencakup segala yang dapat dijangkau baik bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun yang bukan, baik menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis, sehingga mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat, dan diri sendiri, ayat suci al-Qur’an, majalah, ahkbar dan sebagainya.

k. Perkataan قعد و جلس

Kata q’ada قعد من القائم digunakan untuk arti duduk dari posisi berdiri, sedang jalasa جلس من النائم digunakan untuk arti duduk dari posisi berbaring.
Menurut Fadhlî Hasan ‘Abbâs dan Sanâ Fadhlî ‘Abbâs dalam I’jaz al-Qur’an al-Karim: “Kataقعد digunakan untuk duduk bertahan dengan masa yang lama, sedangkan jalasa digunakan sebaliknya.
Sebagaimana firman Allah:
وَلَوْ أَرَادُواْ الْخُرُوجَ لأَعَدُّواْ لَهُ عُدَّةً وَلَكِن كَرِهَ اللّهُ انبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُواْ مَعَ الْقَاعِدِينَ
Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, Maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (Q.S. at-Tawbah: 46).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujâdalah: 11)
Makna majalis dalan ayat di atas bermaksud duduk dengan tidak memerlukan waktu yang lama, sedangkan قعد seringkali digunakan untuk duduk dengan waktu yang lama.

l. Perkataan الحمد والشكر

Perkataan الحمد والشكر diartikan dengan pujian.
الحمد sering digunakan dalam pembuka surah, dan bermaksud pujian kepada Allah atas karunia-Nya dan kepada ungkapan pujian secara umum, sedangkan perkataan الشكر lebih banyak disebutkan dalam pertengahan ayat dalam al-Qur’an dan digunakan dalam hal pujian kepada nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.
Firman Allah:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُواْ لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ
Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu [98], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (Q.S. al-Baqarah: 152)
Sebagian ulama ada yang tidak membedakan pengertian kedua kata ini, namun ada juga yang membedakannya dari segi cara mengungkapkan pujian. Perkataan الحمد digunakan dengan perantara lisan, sedangkan الشكر boleh dengan perantara lisan, hati dan anggota badan. Ada juga sebahagian ulama yang menyebutkan bahwa kata الشكر digunakan untuk kenikmatan dan kata الحمد digunakan untuk sesuatu yang dianggap kebaikan, sebagaimana kita gunakan (kata al-hamd) bagi orang yang berani dan bersifat pemurah sedangkan kita tidak mendapatkan dari keberanian dan kemurahannya. Oleh sebab itu digunakan kata al-hamd di permulaan surah-surah dalam Al-Qur’an.

C. PENUTUP

Beberapa uraian yang berkenaan dengan penggunaan kata mutarâdif dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci dengan keindahan dan keagungan ayat-ayatnya serta mempunyai rahasia dalam setiap ungkapan maupun kata-kata, khususnya perbedaan kata-kata yang mempunyai kesamaan arti.
Keagungan bahasa al-Qur’an tersebut tercermin dari penggunaan mutarâdif dalam ungkapan yang berbeda, Pemahaman terhadap kata mutarâdif dalam berbagai teks terjadi perbedaan di kalangan ulama bahasa, diturunkannya al-Qur’an dengan tujuh huruf dengan berbagai kondisi dan tradisi bahasa di kalangan bangsa Arab, sehingga ulama bahasa berbeda pendapat melakukan penafsiran terhadap kata mutarâdif sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Salah satu kemukjizatan al-Qur’an dan ketinggian bahasanya adalah melalui kata mutarâdif. Pemahaman yang mendalam terhadap konteks ayat sangat mendukung untuk memahami kata mutarâdif dan untuk membedakan arti bagi kata-kata yang dianggap mutarâdif.

DAFTAR PUSTAKA
‘Abbâs, Fadhlî Hasan dan Sanâ Fadhlî ‘Abbâs, (1999). I’jâz al-Qur’ân al-Karîm, Omman: Dâr al-Furqân.
Al-Ashfihanî, Abû al-Qâsim ibn al-Husayn ibn Muhammad ar-Râghib, (1961). Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Mesir: Mushthafâ al-Bâbî al-Halabî.
Al-Hadish Al-Syarif, 2000. Mausu’ah al-hadits asy-syarif, CD Room, Global Islamic Softwere Company.
Al-Qur’ân al-Karîm
Al Quran Digital, Versi 2.1, Jumadil Akhir 1425 (Agustus 200) Website http://www. alquran-digital.com E-mail : info@alquran-digital.com Terjemahan dalam Al-Qur’an Digital ini merupakan cuplikan dari Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI., Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an.
Darrâz, ‘Abd Allâh, (1966). An-Naba’ al-Azhîm, Mesir: Dâr al-‘Urûbah.
Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (1993). Beirut: Dâr al-Lisân.
Al-Jurjânî, Abû al-Husayn ‘Alî ibn Muhammad, (1357 H.). At-Ta’rîfât, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Munawwir, Ahmad Warson, (1984). Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Ponpes al-Munawwir.
Nawfal, ‘Abd al-Razzâq, (1973). Al-Qur’ân wa ‘Ilm al-Hadîts, Beirut: Dâr al-Kutub.
Shihab, M. Quraish, (1997). Mukjizat al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan.
—————, (1993). Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (1993, Bandung: Mizan.
—————, (2002). Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati.
Al-Suyûthî, Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân,(t.th.). Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Kairo: Maktabah Dâr at-Turâts.
————-, (1987). Al-Mazhar fî ‘Ulûm al-Luhgah wa Anwâ’ihâ, Beirut: Mansyûrât al-Kutub al-‘Ashriyyah.
At-Tunjî, Muhammad, dan Râjî al-Asmar, (1993). Al-Mu’jam al-Mufashshal fî ‘Ulûm al-Lughah, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Wâfî, ‘Alî ‘Abd al-Wâhid, (t.th.). Fiqh al-Lughah, Mesir: Dâr an-Nahdhah.
Az-Zarkasyî, Badr ad-Dîn, (1988). Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Jayl.
Az-Zarqânî, Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm, (1998), Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, t.p.: Dâr al-Qutaybah.
-Sumber: http://idamirhan56.wordpress.com/ 

Posting Komentar

 
Top