Meskipun nama sufi dan tasawuf belum dikenal orang
dalam abad Islam pertama, karena nama tasawuf baru dipakai setelah dua atau
tiga generasi Islam, namun secara fenomenologi ia telah ada sejak generasi
pertama. Abu Hasan Fusyanja mengatakan:
التصوف اليوم اسم ولا حقيقة وقد كان حقيقة ولا اسما
“Tasawuf pada masa sekarang adalah sebuah nama tanpa
hakikat, tetapi semula ia adalah suatu hakikat tanpa nama”.
Al-Hujwiri menafsirkan pernyataan ini dengan berkata
“dimasa sahabat Nabi dan Tabi’in, nama tasawuf belum muncul namun realitanya
ada pada setiap orang. Tetapi sekarang nama itu muncul, namun tidak dalam
kenyataannya”. Lebih jauh lagi akar tasawuf dapat ditemui pada praktek-praktek
spiritual dimasa sebelum Islam yang telah dikenal oleh para petapa yang
tersebar di tanah Arab dan dikenal sebagai Hunafa’, dan Rasulullah SAW menjadi
wakil dari praktek mistikisme peninggalan leluhurnya, Nabi Ibrahim dan Ismail
A.s. pada salah satu penyendiriannya (tahannuts) di gua hira’ beliau menerima
wahyu al-Quran yang pertama. Dengan demikian kehidupan sufi sudah dipraktekkan
oleh Rasulullah SAW dan sahabatnya.
Terdapat banyak contoh amaliah sufi yang
dipraktekkan oleh Rasulullah SAW selama hidupnya bahkan sebelum diangkat
menjadi Rasul. Ini membuktikan bahwa ajaran tasawuf bukan meruapakan adopsi
dari ajaran diluar Islam, bahkan Buya Hamka mengatakan “tasawuf Islam telah
tumbuh sejak tumbuhnya agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri
Islam itu sendiri yaitu Nabi Muhammad S.A.W. disauk airnya dari dalam al-Quran
sendiri”.
Kehidupan Nabi Muhammad S.A.W. dalam kesehariannya adalah kehidupan sufi
yang murni dan menjadi inti dari kehidupan Islam yang sebenarnya. Secara
totalitas dari kehidupan Nabi S.A.W. tersebut menjadi contoh tauladan
bagi siapa saja yang menginginkan kehidupan sejahtera lahir dan batin serta
selamat didunia dan diakhirat. Oleh karena itu segala perilaku, perbuatan dan
perkataan beliau menjadi landasan amaliah para sahabat dan kaum sufi yang hidup
sesudahnya.
Diantara praktek amaliah sufi yang dilakukan oleh Rasulullah S.A.W. adalah sebagai berikut;
1. Khalwat sebagai upaya membersihkan hati;
Khalwat yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di Gua Hira’
merupakan bukti nyata amaliah sufi yang beliau lakukan dengan tujuan untuk
mengembalikan kesucian jiwa (tahannuts) dari pertualangannya di alam fana ini
kealam lahut tempat dimana seluruh arwah berasal. Bertahun-tahun lamanya beliau
menyendiri beruzlah dan berkhalwat siang dan malam sendirian di Gua Hira’dengan
berbekal makanan seadanya. Beliau duduk tafakkur berdzikir kepada Allah dengan
sempurna sehingga terputus hubungannya dengan apa dan siapa kecuali hanya
kepada Allah saja.
Beliau lepaskan keterpautan hatinya dengan dunia, hawa dan
nafsu dengan tujuan untuk membersihkan hati dan memerdekakan ruhani dari
kekotoran dan keterikatannya dengan dunia ini. Ini terbukti dengan kebersihan
hati yang sampai pada kesempurnaan jiwanya, Nabi S.A.W. mampu menerima kalam Ilahy
yang Maha Suci pertama kalinya berupa perintah kepada beliau untuk terus
menerus membaca nama Allah yang telah menjadikan manusia dari segumpal darah
(‘alaqah). Dia pula yang mengajar manusia apa yang sudah dan belum
diketahuinya.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ . الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ . عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (العلق : 1 – 4)
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S : al-‘Alaq : 1
– 4)
Muhammad S.A.W. sebagai contoh (Uswatun Hasanah) bagi manusia
secara keseluruhan, mengaplikasikan perintah tersebut dalam kehidupannya
terutama semenjak beliau menerima perintah itu, yaitu membaca segala sesuatu
yang ada di alam ini atas nama Allah karenanya sejak itu pula beliau mulai
berperan sebagai Rasul Allah. Artinya semua perbuatan, perkataan, tingkah laku,
dan budi pekertinya menjadi pantulan cahaya secara langsung dari Allah SWT.
2. Hidup sederhana
Hidup sederhana merupakan bagian dari kehidupan Nabi S.A.W. walaupun sebelum dan sesudah diangkat Rasul kemudian Hijrah ke Madinah perbendaharaan dunia ada di tangan beliau, namun ia tetap hidup sederhana dalam rangka mengeratkan tali pengikat hubungannya dengan Allah, karena
kesederhanaannya itu Jibril A.s. pun terharu melihatnya. Jibril datang
menjumpai Nabi dan menyampaikan tawaran Allah kepadanya; Ya Muhammad ! manakah
yang kau sukai, menjadi Nabi yang kaya raya seperti Nabi Sulaiman, atau menjadi
nabi yang miskin seperti nabi Ayub ?. Muhammad SAW menjawab; “Aku lebih suka
kenyang sehari, lapar sehari. Jika kenyang aku bersyukur kepada Allah, dan jika
lapar aku bersabar atas cobaan tuhanku”.
Bukti kesederhanaan beliau terlihat pula ketika pada
suatu hari beliau tidur dengan beralaskan sehelai tikar yang teranyam dari daun
kurma, separoh tikar itu untuk alas punggungnya, dan separoh lagi ditarik untuk
selimut, ketika beliau bangun terlihat jelas anyaman tikar itu membekasa
dipunggung dan pipinya. Ibnu Mas’ud seorang shahabat terdekat dengan beliau
menyaksikan langsung kejadian itu dengan linangan air mata jatuh membasahi pipi
terisak menangis, karena nabi yang mulia dan agung, dimuliakan Allah, dihormati
oleh seluruh makhluk yang ada di bumi dan di langit, yang bila beliau mau Allah
akan mengabulkan dengan segera apa saja yang beliau minta, ternyata beliau
hidup sangat sederhana, namun beliau tidak pernah mengeluh walau sedikitpun
atas kesederhanaannya itu. Dengan perasaan haru, bibir gemetar, airmata bercucuran,
Ibnu Mas’ud berkata kepada Rasul; Ya Rasulullah, izinkan saya mengambil sebuah
bantal untuk alas kepalamu agar tidak terasa sakit. Rasul menatap wajah Ibnu
Mas’ud seraya berkata; Tidak ada hajatku untuk itu wahai sahabatku. Aku ini
laksana seorang musafir diperjalanan ditengah padang pasir yang luas dengan
terik mentari yang panas, aku singgah agak sesaat disebuah pohon kayu nan
rindang, aku rebahkan tubuhku sekedar melepas lelah untuk kemudian meneruskan
perjalananku yang panjang menuju Tuhanku.
Hidup didunia ini diibaratkannya sebagai perjalanan
yang panjang untuk menuju Allah. Kesempatan untuk menempuh perjalanan tersebut
perlu digunakan dengan maksimal, sebab waktu yang tersedia sangat terbatas.
Bahkan beliau menyarankan kepada para sahabatnya – sekaligus untuk ummatnya –
agar menjadikan dunia ini sebagai tempat persinggahan sementara, dan
menggunakan segala kesempatan untuk mencari bekal dalam perjalanan menuju
Allah. Nabi bersabda;
عَنْ مُجَاهِدٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِ جَسَدِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ وَعُدَّ نَفْسَكَ فِي أَهْلِ الْقُبُورِ فَقَالَ لِي ابْنُ عُمَرَ إِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تُحَدِّثْ نَفْسَكَ بِالْمَسَاءِ وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تُحَدِّثْ نَفْسَكَ بِالصَّبَاحِ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ قَبْلَ مَوْتِكَ فَإِنَّكَ لاَ تَدْرِي يَا عَبْدَ اللَّهِ مَا اسْمُكَ غَدًا (رواه ترمذي)
Artinya: Mujahid meriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata;
Ketika Rasulullah S.A.W. memegang badanku beliau berkata; jadilah kamu di dunia
ini seperti orang pendatang atau seorang perantau, dan siapkanlah dirimu untuk
masuk kedalam kubur. Kemudian Mujahid berkata; Ibnu Umar berujar kepadaku, bila
kamu berada pada waktu pagi, janganlah kamu mengira dirimu akan sampai petang,
dan bila kamu berada pada waktu petang janganlah kamu mengira akan sampai pagi
lagi. Oleh karena itu pergunakanlah sehatmu sebelum datang waktu sakit, hidupmu
sebelum mati sebab kamu tidak tahu wahai Abdullah, apa namamu besok hari – apa
masih manusia hidup atau sudah menjadi mayat – (H.R. Turmudzi).
Pola kesederhanaan Rasulullah SAW bukan saja
diperaktekkan oleh diri beliau secara individu, tetapi beliau terapkan dalam
kehidupan keluarganya. Hampir semua pengarang yang menulis sejarah hidup Nabi
Muhammad SAW menceritakan bahwa rumahtangga beliau sepanjang masa selalu berada
dalam kesederhanaan, tidak ada perabot rumah tangga yang tergolong mewah,
bahkan alat rumah tangga yang diperlukan sehari-haripun jarang didapat, makanan
lezat dan enak jarang sekali dirasakan, bahkan makanan pokok saja berupa roti
kering yang terbuat dari tepung kasar atau satu dan dua biji kurma yang
dibutuhkan setiap harinya belum tentu ada setiap waktu makan. Seringkali beliau
berpuasa disiang hari lantaran sejak pagi sampai sore tidak ada makanan yang
dapat dimakan. Dalam riwayat disebutkan bahwa ketika pagi hari beliau
menanyakan kepada isterinya Siti Aisyah R.a. “Adakah makanan yang dapat kita
makan dipagi hari ini wahai Aisyah ?. Aisyah menjawab; “tidak ada Ya
Rasulullah”. Kalau begitu saya akan berspuasa saja kata Rasul.
Imam Bukhari menceritakan bahwa Aisyah R.a pernah
mengeluh kepada keponakannya yang bernama Urwah dengan berkata; “Lihatlah
Urwah, kadang-kadang berhari-hari dapurku tidak menyala dan aku bingung
jadinya. Urwah bertanya; “Apakah yang menjadi makananmu sehari-hari ?, Aisyah
menjawab; “Paling untung yang menjadi makanan pokok itu korma dan air, kecuali
kalau ada tetangga-tetangga Anshar mengantarkan sesuatu kepada Rasulullah, maka
dapatlah kami merasakan seteguk susu”. Aisyah R.a menambahkan bahwa keluarga
Muhammad SAW dalam satu hari tidak pernah makan sampai dua kali, dan paling
banyak makanan tersimpan di rumah tidak lebih dari sepotong roti yang dimakan
oleh tiga orang.
Pada suatu hari Rasulullah SAW masuk Masjid, rupanya
di dalam Masjid itu sudah ada Abu Bakar dan Umar R.a. Rasul bertanya kepada
mereka berdua; “mengapa kalian berdua datang ke Masjid ini”. Keduanya menjawab;
kami lagi menghibur lapar. Lalu Nabi SAW juga berkata; “saya juga menghibur
lapar”, kalau begitu kata Nabi SAW mari kita kerumah Abu al-Hisyam barang kali
ada makanan di situ. Berangkatlah mereka bertiga kerumah Abu al-Hisyam
tersebut. Sesampainya disana beliau bertiga disambut oleh Abu al-Hisyam dengan
penuh kegembiraan, langsung saja Abu Hisyam memerintahkan isterinya dan anak
buahnya untuk membuat roti dan memotong seekor kambing. Setelah semuanya beres
dihidangkanlah makanan itu dengan beberapa gelas air, merekapun makan
bersama-sama. Sambil makan Rasul SAW berkata; “rasanya tidak ada makanan yang
lebih nikmat dari ini”.
Hidup sederhana yang dialmi oleh Rasulullah SAW
besarta keluarganya itu tentu bukanlah disebabkan ketidak mampuannya
mendapatkan harta yang melimpah, atau makanan lezat yang bergizi tinggi, tetapi
beliau memberi contoh kepada ummatnya bahwa kenikmatan dan kelezatan ukhrawi
lebih pantas untuk dicari ketimbang kelezatan duniawi, kalau beliau mau apapun
yang beliau minta dari Allah pasti dikabulkan-Nya. Hal ini pernah ditawarkan
Allah SWT melalui Jibril A.s. untuk memilih apakah akan menjadi Nabi yang kaya
raya seperti Nabi Sulaiman, A.s. atau menjadi Nabi yang miskin seperi Nabi Ayub
A.s. ternyata Nabi SAW lebih memilih kenyang sehari dan lapar sehari (miskin)
karena jika kenyang ada alasan untuk bersyukur, dan ketika lapar ada alasan
untuk bersabar. Nabi SAW lebih memilih kebahagiaan hidup di akhirat ketimbang
kemewahan duniawi, karena beliau tau persis bahwa kekurangan harta dunia
bukanlah indikator dari kebencian Allah terhadap hamba-Nya, sedangkan
kebahgaiaan akhirat tentu lebih utama untuk dicari ketimbang dunia ini, sebagai
mana firman Allah yang berbunyi;
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى . وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الأُولَى . وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى (الضحى : 3 – 5)
Artinya: Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada
(pula) benci kepadamu, dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu dari
dunia ini. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati)
kamu menjadi puas. (al-Dhuha : 3 – 5)
3. Zuhud terhadap dunia
Hidup zuhud terhadap dunia menjadi pakaian yang
melekat dalam kehidupan Nabi SAW. Zuhud artinya melepaskan ketergantungan
dengan duniawi, seperti ketergantungan hati kepada harta, pangkat, jabatan dan
lain sebagainya dari berbagai bentuk kehidupan duniawi. Pakaian zuhud ini bukan
saja menjadi pakaian beliau sehari-hari, tetapi juga menjadi ajaran yang beliau
sampaikan kepada para sahabatnya. Nabi bersabda; “Zuhudlah kamu terhadap dunia,
pastilah Allah mencintaimu. Dan zuhudlah kamu terhadap apa yang ada ditangan
manusia, pastilah kamu dicintai manusia”. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa
Rasulullah SAW pernah melewati seekor kambing yang sudah mati, lalu beliau
bersabda kepada sahabatnya; “tahukah kamu kambing ini hina bagi yang memilikinya
? Para sahabat menjawab “karena kehinaannya itulah maka mereka melemparkannya”.
Kemudian Nabi bersabda “Demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya, sungguh
dunia ini lebih hina dari kambing ini bagi pemiliknya. Seandainya dunia ini
memadai disisi Allah dengan selembar sayap nyamuk, tentu Dia tidak akan memberi
minum pada seorang kafir dengan seteguk air”. Nabi SAW bersabda lagi “Dunia
adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir”. Abu Hurairah
menceritakan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda;
أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ (رواه الترمذى)
Artinya: Ketahuilah bahwa dunia ini dilaknati, dan
dilaknati juga apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah, dan apa
saja yang mengikutinya serta orang yang tau atau orang yang mencari tau
(belajar)”. (H.R. Turmudzi).
Abu Musa al-Asy’ari berkata; Rasulullah SAW bersabda;
“Orang yang mencintai dunia, pastilah dia akan mengenyampingkan akhiratnya. Dan
orang yang mencintai akhirat, pastilah dia akan mengenyampingkan dunianya. Oleh
karena itu utamakanlah yang abadi atas yang temporer”. Pada suatu ketika
Rasulullah SAW bersama beberapa orang sahabat berdiri didekat tempat sampah,
lalu belai bersabda; “mari kita perhatikan dunia”, kemudian beliau mengambil
beberapa pakaian usang yang telah rusak diatas tempat sampah itu dan beberapa
tulang yang telah hancur, beliau bersabda; Ini adalah dunia sebagai suatu
isyarat bahwa sesungguhnya perhiasan dunia akan usang seperti pakaian
ini.Sesungguhnya tubuh-tubuh yang engkau lihat akan menjadi tulang belulang
yang hancur”. Nabi SAW berkata pula; “Sesungguhnya dunia adalah sesuatu yang
manis dan hijau, sedang Allah menjadikan kamu penguasa didalamnya. Lalu Dia
melihat bagaimana kamu berbuat. Sesungguhnya kaum bani Bani Israil setelah
dilapangkan dunianya, mereka menjadi bingung gemerlapan perhiasan, perempuan,
wangi-wangian dan pakaian”.
Pakaian zuhud juga melekat pada keluarga Nabi SAW. hal
ini terlhiat ketika pada suatu waktu Nabi SAW pulang kerumah isterinya Siti
Khadijah R.a. didapainya Siti Khadijah sedang terisak menangis, lalu Nabi
berkata; Wahai Khadijah apakah yang menyebabkan kamu menangis ? Apakah karena
harta kekayaanmu telah habis dipergunakan untuk perjuangan Islam ini ?.
Khadijah dengan cucuran air matanya sambil berkata; “Ya Rasulullah ! bukan itu
yang aku tangiskan, tapi memikirkan bagaimana perjuanganmu nanti menegakkan
Islam ini sekiranya saya telah berpulang kerahmatullah. Saya ini sudah tua Ya
Rasulullah, sedangkan perjuanganmu menegakkan Islam ini belum selesai. Andaikan
nanti Allah mentakdirkan saya mati terlebih dahulu, sedangkan engkau akan
menyiarkan Islam ini disuatu tempat yang membutuhkan jembatan sedangkan aku
telah berada dialam kubur, galilah kuburku nanti Ya Rasulullah, ambillah tulang
belulangku untuk engkau jadikan jembatan agar dapat sampai ketempat yang dituju
untuk menyampaikan Islam ditempat itu”.
Beberapa waktu kemudian Rasulullah SAW mengajak Siti
Khadijah jalan menelusuri kaki buki Uhud sambil membawa sebuah keranjang.
Sesampainya beliau berdua di kaki bukit tersebut Rasulullah SAW mengambil
sebuah batu sebesar tinju yang ternyata sebingkah emas, lalu diberikannya
kepada Siti Khadijah sambil berkata; Ambillah ini sebagai Rizki dari Allah,
lalu dimasukkan kedalam keranjang yang dibawa oleh Siti Khadijah tersebut. Siti
Khadijah sangat heran namun tidak berani bertanya, cuma saja didalam hati
bertanya-tanya ada gengan apa ini. Setelah itu beliau berdua meneruskan
perjalanan menuju keatas bukit uhud tersebut, sesampainya dipertengahan Rasul
SAW mengambil sebuah batu yang lebih besar dari yang pertama tadi, ternyata
juga sebingkah emas murni. Beliau berikan batu emas itu kepada Siti Khadijah
dengan memasukkannya kedalam keranjang yang dibawa Siti Khadijah itu, beliau
berkata; ambillah ini sebagai rizki dari Allah. Lagi-lagi Siti Khadijah terdiam
dengan penuh pertanyaan didalam hati. Kemudian beliau berdua meneruskan
perjalanan menuju puncak bukit uhud itu, ternyata tidak lama kemudian Rasulpun
mengambil sebuah batu yang lebih besar lagi yang ternyata juga sebingkah emas
murni. Rasul SAW memberikannya kepada Siti Khadijah dan memasukkannya kedalam
keranjang sambil berkata; Ambillah ini sebagai rizki dari Allah. Akhirnya
dengan linangan air mata jatuh membasahi pipi Siti Khadijah berkata; Ya
Rasulullah! Bukan ini yang aku cari, aku tidak mencari dunia, tapi keridhaan
Allah dan Rasul-Nya yang aku harapkan. Lalu Siti Khadijah membuang tiga bingkah
emas tersebut.
Dalam banyak riwayat Nabi SAW menjelaskan posisi dunia
ini bagi manusia. Abu Hurairah menceritakan bahwa dia pernah diajak oleh Nabi
SAW melihat sebuah jurang dari beberapa jurang yang ada di Kota Madinah. Rasul
bersabda; Ya Abu Hurairah maukah kamu saya perlihatkan dunia ini dan apa yang
ada didalamnya ?. Abu Hurairah menjawab; mau ya Rasululullah ! lalu beliau
membimbing tanganku dan memabawaku kesalah satu jurang dari beberapa jurang
yang ada di kota Madinah. Ternyata didalamnya terdapat tempat-tempat sampah
yang berisikan tengkorang manusia, kotoran-kototran, pakaian usang, dan tulang
belulang., kemudian bersabda;
“Hai Abu Hurairah, kepala-kepala ini pernah rakus
seperti kerakusanmu, dan berangan-angan seperti angan-anganmu, tetapi
dikemudian hari dia menjadi tulang tanpa kulit dan kemudian menjadi abu. Dan
kotoran-kotoran ini berasal dari bermacam - macam makanan yang telah mereka
kumpulkan dari berbagai tempat tanpa memandang halal atau haram. Tetapi
kemudian makanan itu dilemparkan kedalam perut dan akhirnya manusia berdesakan.
Dan ini pakaian-pakaian mereka yang kemudia diombang-ambingkan angin. Dan
tulang-tulang ini berasal dari tulang belulang binatang yang mereka kendarai
dan pernah mereka gunakan untuk menjelajah pingiran-pinggiran negeri ini. Maka
barang siapa yang menangisi dunia, maka hendaklah dia menangis. Akhirnya kami
menangis dan tidak beranjak dari tempat itu sampai tangisan kami semakin
keras”.
Ketika Rasulullah S.A.W. berkhutbah beliau menyampaikan
bahwa “orang-orang mukmin selalu berada pada dua kekhawatiran; Pertama,
khawatir masa yang telah lalu, yang tidak diketahui bagaimana Allah menilai
amal perbuatannya dan apa yang akan diperbuat oleh Allah terhadap dirinya
sebagai akibat dari perbuatannya itu. Kedua; Khawatir masa yang akan datang
karena dia tidak mengetahui apa yang telah ditetapkan Allah bagi dirinya. Oleh
karena itu hendaklah kamu perbanyak bekal untuk dirimu sendiri, dunia untuk
akhirat, muda untuk masa tua, hidup untuk mati, karena dunia ini diciptakan
untuk kamu dan kamu diciptakan untuk akhirat. Demi Allah yang jiwaku ada
ditangan-Nya, tidak ada taubat setelah mati, dan tidak ada perkampungan sesudah
dunia ini kecuali surga atau neraka”.
4. Taubat dan ibadah
Fakta sejarah menunjukkan bahwa selama hayatnya,
segenap prikehidupan Muhammad menjadi tumpuan perhatian masyarakat, karena
segala sifat terpuji berhimpun pada dirinya. Bahkan beliau merupakan lautan
budi yang tidak pernah kering meskipun diminum oleh semua makhluk. Amal ibdah
yang beliau lakukan tiada bandingannya. Dalam riwayat, Rasulullah SAW beristighfar
dalam satu hari satu malam tidak kurang dari 100 kali. Shalat tahajjud dan
witir yang beliau lakukan tidak pernah terputus setiap malamnya, meskipun
kakinya pecah-pecah karena terlalu sering terkena air. Apabila pada suatu malam
beliau berhalangan melakukan shalat tahajjud, segera saja keesokan paginya
beliau ganti (qdha’) sehingga kekosongan pada malam itu segera terisi pada
besok paginya. Dengan demikian ibdahanya beliau tidak terganggu. Dalam
bermunajat kepada Allah, perasaan khauf dan raja’ selalu diiringi dengan isak
tangis yang sedu sedan, sampai jenggot dan surbannya basah terkena air mata.
(Sumber: http://tqnsuryalaya-lampung.blogspot.com/2011/07/tasawuf-pada-masa-nabi-saw.html )
Meskipun nama sufi dan tasawuf belum dikenal orang
dalam abad Islam pertama, karena nama tasawuf baru dipakai setelah dua atau
tiga generasi Islam, namun secara fenomenologi ia telah ada sejak generasi
pertama. Abu Hasan Fusyanja mengatakan:
التصوف اليوم اسم ولا حقيقة وقد كان حقيقة ولا اسما
“Tasawuf pada masa sekarang adalah sebuah nama tanpa
hakikat, tetapi semula ia adalah suatu hakikat tanpa nama”.
Al-Hujwiri menafsirkan pernyataan ini dengan berkata
“dimasa sahabat Nabi dan Tabi’in, nama tasawuf belum muncul namun realitanya
ada pada setiap orang. Tetapi sekarang nama itu muncul, namun tidak dalam
kenyataannya”. Lebih jauh lagi akar tasawuf dapat ditemui pada praktek-praktek
spiritual dimasa sebelum Islam yang telah dikenal oleh para petapa yang
tersebar di tanah Arab dan dikenal sebagai Hunafa’, dan Rasulullah SAW menjadi
wakil dari praktek mistikisme peninggalan leluhurnya, Nabi Ibrahim dan Ismail
A.s. pada salah satu penyendiriannya (tahannuts) di gua hira’ beliau menerima
wahyu al-Quran yang pertama. Dengan demikian kehidupan sufi sudah dipraktekkan
oleh Rasulullah SAW dan sahabatnya.
Terdapat banyak contoh amaliah sufi yang
dipraktekkan oleh Rasulullah SAW selama hidupnya bahkan sebelum diangkat
menjadi Rasul. Ini membuktikan bahwa ajaran tasawuf bukan meruapakan adopsi
dari ajaran diluar Islam, bahkan Buya Hamka mengatakan “tasawuf Islam telah
tumbuh sejak tumbuhnya agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri
Islam itu sendiri yaitu Nabi Muhammad S.A.W. disauk airnya dari dalam al-Quran
sendiri”.
Kehidupan Nabi Muhammad S.A.W. dalam kesehariannya adalah kehidupan sufi yang murni dan menjadi inti dari kehidupan Islam yang sebenarnya. Secara totalitas dari kehidupan Nabi S.A.W. tersebut menjadi contoh tauladan bagi siapa saja yang menginginkan kehidupan sejahtera lahir dan batin serta selamat didunia dan diakhirat. Oleh karena itu segala perilaku, perbuatan dan perkataan beliau menjadi landasan amaliah para sahabat dan kaum sufi yang hidup sesudahnya.
Diantara praktek amaliah sufi yang dilakukan oleh Rasulullah S.A.W. adalah sebagai berikut;
1. Khalwat sebagai upaya membersihkan hati;
Khalwat yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di Gua Hira’
merupakan bukti nyata amaliah sufi yang beliau lakukan dengan tujuan untuk
mengembalikan kesucian jiwa (tahannuts) dari pertualangannya di alam fana ini
kealam lahut tempat dimana seluruh arwah berasal. Bertahun-tahun lamanya beliau
menyendiri beruzlah dan berkhalwat siang dan malam sendirian di Gua Hira’dengan
berbekal makanan seadanya. Beliau duduk tafakkur berdzikir kepada Allah dengan
sempurna sehingga terputus hubungannya dengan apa dan siapa kecuali hanya
kepada Allah saja.
Beliau lepaskan keterpautan hatinya dengan dunia, hawa dan
nafsu dengan tujuan untuk membersihkan hati dan memerdekakan ruhani dari
kekotoran dan keterikatannya dengan dunia ini. Ini terbukti dengan kebersihan
hati yang sampai pada kesempurnaan jiwanya, Nabi S.A.W. mampu menerima kalam Ilahy
yang Maha Suci pertama kalinya berupa perintah kepada beliau untuk terus
menerus membaca nama Allah yang telah menjadikan manusia dari segumpal darah
(‘alaqah). Dia pula yang mengajar manusia apa yang sudah dan belum
diketahuinya.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ . الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ . عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (العلق : 1 – 4)
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S : al-‘Alaq : 1
– 4)
Muhammad S.A.W. sebagai contoh (Uswatun Hasanah) bagi manusia
secara keseluruhan, mengaplikasikan perintah tersebut dalam kehidupannya
terutama semenjak beliau menerima perintah itu, yaitu membaca segala sesuatu
yang ada di alam ini atas nama Allah karenanya sejak itu pula beliau mulai
berperan sebagai Rasul Allah. Artinya semua perbuatan, perkataan, tingkah laku,
dan budi pekertinya menjadi pantulan cahaya secara langsung dari Allah SWT.
2. Hidup sederhana
Hidup sederhana merupakan bagian dari kehidupan Nabi S.A.W. walaupun sebelum dan sesudah diangkat Rasul kemudian Hijrah ke Madinah perbendaharaan dunia ada di tangan beliau, namun ia tetap hidup sederhana dalam rangka mengeratkan tali pengikat hubungannya dengan Allah, karena
kesederhanaannya itu Jibril A.s. pun terharu melihatnya. Jibril datang
menjumpai Nabi dan menyampaikan tawaran Allah kepadanya; Ya Muhammad ! manakah
yang kau sukai, menjadi Nabi yang kaya raya seperti Nabi Sulaiman, atau menjadi
nabi yang miskin seperti nabi Ayub ?. Muhammad SAW menjawab; “Aku lebih suka
kenyang sehari, lapar sehari. Jika kenyang aku bersyukur kepada Allah, dan jika
lapar aku bersabar atas cobaan tuhanku”.
Bukti kesederhanaan beliau terlihat pula ketika pada
suatu hari beliau tidur dengan beralaskan sehelai tikar yang teranyam dari daun
kurma, separoh tikar itu untuk alas punggungnya, dan separoh lagi ditarik untuk
selimut, ketika beliau bangun terlihat jelas anyaman tikar itu membekasa
dipunggung dan pipinya. Ibnu Mas’ud seorang shahabat terdekat dengan beliau
menyaksikan langsung kejadian itu dengan linangan air mata jatuh membasahi pipi
terisak menangis, karena nabi yang mulia dan agung, dimuliakan Allah, dihormati
oleh seluruh makhluk yang ada di bumi dan di langit, yang bila beliau mau Allah
akan mengabulkan dengan segera apa saja yang beliau minta, ternyata beliau
hidup sangat sederhana, namun beliau tidak pernah mengeluh walau sedikitpun
atas kesederhanaannya itu. Dengan perasaan haru, bibir gemetar, airmata bercucuran,
Ibnu Mas’ud berkata kepada Rasul; Ya Rasulullah, izinkan saya mengambil sebuah
bantal untuk alas kepalamu agar tidak terasa sakit. Rasul menatap wajah Ibnu
Mas’ud seraya berkata; Tidak ada hajatku untuk itu wahai sahabatku. Aku ini
laksana seorang musafir diperjalanan ditengah padang pasir yang luas dengan
terik mentari yang panas, aku singgah agak sesaat disebuah pohon kayu nan
rindang, aku rebahkan tubuhku sekedar melepas lelah untuk kemudian meneruskan
perjalananku yang panjang menuju Tuhanku.
Hidup didunia ini diibaratkannya sebagai perjalanan
yang panjang untuk menuju Allah. Kesempatan untuk menempuh perjalanan tersebut
perlu digunakan dengan maksimal, sebab waktu yang tersedia sangat terbatas.
Bahkan beliau menyarankan kepada para sahabatnya – sekaligus untuk ummatnya –
agar menjadikan dunia ini sebagai tempat persinggahan sementara, dan
menggunakan segala kesempatan untuk mencari bekal dalam perjalanan menuju
Allah. Nabi bersabda;
عَنْ مُجَاهِدٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِ جَسَدِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ وَعُدَّ نَفْسَكَ فِي أَهْلِ الْقُبُورِ فَقَالَ لِي ابْنُ عُمَرَ إِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تُحَدِّثْ نَفْسَكَ بِالْمَسَاءِ وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تُحَدِّثْ نَفْسَكَ بِالصَّبَاحِ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ قَبْلَ مَوْتِكَ فَإِنَّكَ لاَ تَدْرِي يَا عَبْدَ اللَّهِ مَا اسْمُكَ غَدًا (رواه ترمذي)
Artinya: Mujahid meriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata;
Ketika Rasulullah S.A.W. memegang badanku beliau berkata; jadilah kamu di dunia
ini seperti orang pendatang atau seorang perantau, dan siapkanlah dirimu untuk
masuk kedalam kubur. Kemudian Mujahid berkata; Ibnu Umar berujar kepadaku, bila
kamu berada pada waktu pagi, janganlah kamu mengira dirimu akan sampai petang,
dan bila kamu berada pada waktu petang janganlah kamu mengira akan sampai pagi
lagi. Oleh karena itu pergunakanlah sehatmu sebelum datang waktu sakit, hidupmu
sebelum mati sebab kamu tidak tahu wahai Abdullah, apa namamu besok hari – apa
masih manusia hidup atau sudah menjadi mayat – (H.R. Turmudzi).
Pola kesederhanaan Rasulullah SAW bukan saja
diperaktekkan oleh diri beliau secara individu, tetapi beliau terapkan dalam
kehidupan keluarganya. Hampir semua pengarang yang menulis sejarah hidup Nabi
Muhammad SAW menceritakan bahwa rumahtangga beliau sepanjang masa selalu berada
dalam kesederhanaan, tidak ada perabot rumah tangga yang tergolong mewah,
bahkan alat rumah tangga yang diperlukan sehari-haripun jarang didapat, makanan
lezat dan enak jarang sekali dirasakan, bahkan makanan pokok saja berupa roti
kering yang terbuat dari tepung kasar atau satu dan dua biji kurma yang
dibutuhkan setiap harinya belum tentu ada setiap waktu makan. Seringkali beliau
berpuasa disiang hari lantaran sejak pagi sampai sore tidak ada makanan yang
dapat dimakan. Dalam riwayat disebutkan bahwa ketika pagi hari beliau
menanyakan kepada isterinya Siti Aisyah R.a. “Adakah makanan yang dapat kita
makan dipagi hari ini wahai Aisyah ?. Aisyah menjawab; “tidak ada Ya
Rasulullah”. Kalau begitu saya akan berspuasa saja kata Rasul.
Imam Bukhari menceritakan bahwa Aisyah R.a pernah
mengeluh kepada keponakannya yang bernama Urwah dengan berkata; “Lihatlah
Urwah, kadang-kadang berhari-hari dapurku tidak menyala dan aku bingung
jadinya. Urwah bertanya; “Apakah yang menjadi makananmu sehari-hari ?, Aisyah
menjawab; “Paling untung yang menjadi makanan pokok itu korma dan air, kecuali
kalau ada tetangga-tetangga Anshar mengantarkan sesuatu kepada Rasulullah, maka
dapatlah kami merasakan seteguk susu”. Aisyah R.a menambahkan bahwa keluarga
Muhammad SAW dalam satu hari tidak pernah makan sampai dua kali, dan paling
banyak makanan tersimpan di rumah tidak lebih dari sepotong roti yang dimakan
oleh tiga orang.
Pada suatu hari Rasulullah SAW masuk Masjid, rupanya
di dalam Masjid itu sudah ada Abu Bakar dan Umar R.a. Rasul bertanya kepada
mereka berdua; “mengapa kalian berdua datang ke Masjid ini”. Keduanya menjawab;
kami lagi menghibur lapar. Lalu Nabi SAW juga berkata; “saya juga menghibur
lapar”, kalau begitu kata Nabi SAW mari kita kerumah Abu al-Hisyam barang kali
ada makanan di situ. Berangkatlah mereka bertiga kerumah Abu al-Hisyam
tersebut. Sesampainya disana beliau bertiga disambut oleh Abu al-Hisyam dengan
penuh kegembiraan, langsung saja Abu Hisyam memerintahkan isterinya dan anak
buahnya untuk membuat roti dan memotong seekor kambing. Setelah semuanya beres
dihidangkanlah makanan itu dengan beberapa gelas air, merekapun makan
bersama-sama. Sambil makan Rasul SAW berkata; “rasanya tidak ada makanan yang
lebih nikmat dari ini”.
Hidup sederhana yang dialmi oleh Rasulullah SAW
besarta keluarganya itu tentu bukanlah disebabkan ketidak mampuannya
mendapatkan harta yang melimpah, atau makanan lezat yang bergizi tinggi, tetapi
beliau memberi contoh kepada ummatnya bahwa kenikmatan dan kelezatan ukhrawi
lebih pantas untuk dicari ketimbang kelezatan duniawi, kalau beliau mau apapun
yang beliau minta dari Allah pasti dikabulkan-Nya. Hal ini pernah ditawarkan
Allah SWT melalui Jibril A.s. untuk memilih apakah akan menjadi Nabi yang kaya
raya seperti Nabi Sulaiman, A.s. atau menjadi Nabi yang miskin seperi Nabi Ayub
A.s. ternyata Nabi SAW lebih memilih kenyang sehari dan lapar sehari (miskin)
karena jika kenyang ada alasan untuk bersyukur, dan ketika lapar ada alasan
untuk bersabar. Nabi SAW lebih memilih kebahagiaan hidup di akhirat ketimbang
kemewahan duniawi, karena beliau tau persis bahwa kekurangan harta dunia
bukanlah indikator dari kebencian Allah terhadap hamba-Nya, sedangkan
kebahgaiaan akhirat tentu lebih utama untuk dicari ketimbang dunia ini, sebagai
mana firman Allah yang berbunyi;
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى . وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الأُولَى . وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى (الضحى : 3 – 5)
Artinya: Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada
(pula) benci kepadamu, dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu dari
dunia ini. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati)
kamu menjadi puas. (al-Dhuha : 3 – 5)
3. Zuhud terhadap dunia
Hidup zuhud terhadap dunia menjadi pakaian yang
melekat dalam kehidupan Nabi SAW. Zuhud artinya melepaskan ketergantungan
dengan duniawi, seperti ketergantungan hati kepada harta, pangkat, jabatan dan
lain sebagainya dari berbagai bentuk kehidupan duniawi. Pakaian zuhud ini bukan
saja menjadi pakaian beliau sehari-hari, tetapi juga menjadi ajaran yang beliau
sampaikan kepada para sahabatnya. Nabi bersabda; “Zuhudlah kamu terhadap dunia,
pastilah Allah mencintaimu. Dan zuhudlah kamu terhadap apa yang ada ditangan
manusia, pastilah kamu dicintai manusia”. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa
Rasulullah SAW pernah melewati seekor kambing yang sudah mati, lalu beliau
bersabda kepada sahabatnya; “tahukah kamu kambing ini hina bagi yang memilikinya
? Para sahabat menjawab “karena kehinaannya itulah maka mereka melemparkannya”.
Kemudian Nabi bersabda “Demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya, sungguh
dunia ini lebih hina dari kambing ini bagi pemiliknya. Seandainya dunia ini
memadai disisi Allah dengan selembar sayap nyamuk, tentu Dia tidak akan memberi
minum pada seorang kafir dengan seteguk air”. Nabi SAW bersabda lagi “Dunia
adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir”. Abu Hurairah
menceritakan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda;
أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ (رواه الترمذى)
Artinya: Ketahuilah bahwa dunia ini dilaknati, dan
dilaknati juga apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah, dan apa
saja yang mengikutinya serta orang yang tau atau orang yang mencari tau
(belajar)”. (H.R. Turmudzi).
Abu Musa al-Asy’ari berkata; Rasulullah SAW bersabda;
“Orang yang mencintai dunia, pastilah dia akan mengenyampingkan akhiratnya. Dan
orang yang mencintai akhirat, pastilah dia akan mengenyampingkan dunianya. Oleh
karena itu utamakanlah yang abadi atas yang temporer”. Pada suatu ketika
Rasulullah SAW bersama beberapa orang sahabat berdiri didekat tempat sampah,
lalu belai bersabda; “mari kita perhatikan dunia”, kemudian beliau mengambil
beberapa pakaian usang yang telah rusak diatas tempat sampah itu dan beberapa
tulang yang telah hancur, beliau bersabda; Ini adalah dunia sebagai suatu
isyarat bahwa sesungguhnya perhiasan dunia akan usang seperti pakaian
ini.Sesungguhnya tubuh-tubuh yang engkau lihat akan menjadi tulang belulang
yang hancur”. Nabi SAW berkata pula; “Sesungguhnya dunia adalah sesuatu yang
manis dan hijau, sedang Allah menjadikan kamu penguasa didalamnya. Lalu Dia
melihat bagaimana kamu berbuat. Sesungguhnya kaum bani Bani Israil setelah
dilapangkan dunianya, mereka menjadi bingung gemerlapan perhiasan, perempuan,
wangi-wangian dan pakaian”.
Pakaian zuhud juga melekat pada keluarga Nabi SAW. hal
ini terlhiat ketika pada suatu waktu Nabi SAW pulang kerumah isterinya Siti
Khadijah R.a. didapainya Siti Khadijah sedang terisak menangis, lalu Nabi
berkata; Wahai Khadijah apakah yang menyebabkan kamu menangis ? Apakah karena
harta kekayaanmu telah habis dipergunakan untuk perjuangan Islam ini ?.
Khadijah dengan cucuran air matanya sambil berkata; “Ya Rasulullah ! bukan itu
yang aku tangiskan, tapi memikirkan bagaimana perjuanganmu nanti menegakkan
Islam ini sekiranya saya telah berpulang kerahmatullah. Saya ini sudah tua Ya
Rasulullah, sedangkan perjuanganmu menegakkan Islam ini belum selesai. Andaikan
nanti Allah mentakdirkan saya mati terlebih dahulu, sedangkan engkau akan
menyiarkan Islam ini disuatu tempat yang membutuhkan jembatan sedangkan aku
telah berada dialam kubur, galilah kuburku nanti Ya Rasulullah, ambillah tulang
belulangku untuk engkau jadikan jembatan agar dapat sampai ketempat yang dituju
untuk menyampaikan Islam ditempat itu”.
Beberapa waktu kemudian Rasulullah SAW mengajak Siti
Khadijah jalan menelusuri kaki buki Uhud sambil membawa sebuah keranjang.
Sesampainya beliau berdua di kaki bukit tersebut Rasulullah SAW mengambil
sebuah batu sebesar tinju yang ternyata sebingkah emas, lalu diberikannya
kepada Siti Khadijah sambil berkata; Ambillah ini sebagai Rizki dari Allah,
lalu dimasukkan kedalam keranjang yang dibawa oleh Siti Khadijah tersebut. Siti
Khadijah sangat heran namun tidak berani bertanya, cuma saja didalam hati
bertanya-tanya ada gengan apa ini. Setelah itu beliau berdua meneruskan
perjalanan menuju keatas bukit uhud tersebut, sesampainya dipertengahan Rasul
SAW mengambil sebuah batu yang lebih besar dari yang pertama tadi, ternyata
juga sebingkah emas murni. Beliau berikan batu emas itu kepada Siti Khadijah
dengan memasukkannya kedalam keranjang yang dibawa Siti Khadijah itu, beliau
berkata; ambillah ini sebagai rizki dari Allah. Lagi-lagi Siti Khadijah terdiam
dengan penuh pertanyaan didalam hati. Kemudian beliau berdua meneruskan
perjalanan menuju puncak bukit uhud itu, ternyata tidak lama kemudian Rasulpun
mengambil sebuah batu yang lebih besar lagi yang ternyata juga sebingkah emas
murni. Rasul SAW memberikannya kepada Siti Khadijah dan memasukkannya kedalam
keranjang sambil berkata; Ambillah ini sebagai rizki dari Allah. Akhirnya
dengan linangan air mata jatuh membasahi pipi Siti Khadijah berkata; Ya
Rasulullah! Bukan ini yang aku cari, aku tidak mencari dunia, tapi keridhaan
Allah dan Rasul-Nya yang aku harapkan. Lalu Siti Khadijah membuang tiga bingkah
emas tersebut.
Dalam banyak riwayat Nabi SAW menjelaskan posisi dunia
ini bagi manusia. Abu Hurairah menceritakan bahwa dia pernah diajak oleh Nabi
SAW melihat sebuah jurang dari beberapa jurang yang ada di Kota Madinah. Rasul
bersabda; Ya Abu Hurairah maukah kamu saya perlihatkan dunia ini dan apa yang
ada didalamnya ?. Abu Hurairah menjawab; mau ya Rasululullah ! lalu beliau
membimbing tanganku dan memabawaku kesalah satu jurang dari beberapa jurang
yang ada di kota Madinah. Ternyata didalamnya terdapat tempat-tempat sampah
yang berisikan tengkorang manusia, kotoran-kototran, pakaian usang, dan tulang
belulang., kemudian bersabda;
“Hai Abu Hurairah, kepala-kepala ini pernah rakus
seperti kerakusanmu, dan berangan-angan seperti angan-anganmu, tetapi
dikemudian hari dia menjadi tulang tanpa kulit dan kemudian menjadi abu. Dan
kotoran-kotoran ini berasal dari bermacam - macam makanan yang telah mereka
kumpulkan dari berbagai tempat tanpa memandang halal atau haram. Tetapi
kemudian makanan itu dilemparkan kedalam perut dan akhirnya manusia berdesakan.
Dan ini pakaian-pakaian mereka yang kemudia diombang-ambingkan angin. Dan
tulang-tulang ini berasal dari tulang belulang binatang yang mereka kendarai
dan pernah mereka gunakan untuk menjelajah pingiran-pinggiran negeri ini. Maka
barang siapa yang menangisi dunia, maka hendaklah dia menangis. Akhirnya kami
menangis dan tidak beranjak dari tempat itu sampai tangisan kami semakin
keras”.
Ketika Rasulullah S.A.W. berkhutbah beliau menyampaikan
bahwa “orang-orang mukmin selalu berada pada dua kekhawatiran; Pertama,
khawatir masa yang telah lalu, yang tidak diketahui bagaimana Allah menilai
amal perbuatannya dan apa yang akan diperbuat oleh Allah terhadap dirinya
sebagai akibat dari perbuatannya itu. Kedua; Khawatir masa yang akan datang
karena dia tidak mengetahui apa yang telah ditetapkan Allah bagi dirinya. Oleh
karena itu hendaklah kamu perbanyak bekal untuk dirimu sendiri, dunia untuk
akhirat, muda untuk masa tua, hidup untuk mati, karena dunia ini diciptakan
untuk kamu dan kamu diciptakan untuk akhirat. Demi Allah yang jiwaku ada
ditangan-Nya, tidak ada taubat setelah mati, dan tidak ada perkampungan sesudah
dunia ini kecuali surga atau neraka”.
4. Taubat dan ibadah
Fakta sejarah menunjukkan bahwa selama hayatnya,
segenap prikehidupan Muhammad menjadi tumpuan perhatian masyarakat, karena
segala sifat terpuji berhimpun pada dirinya. Bahkan beliau merupakan lautan
budi yang tidak pernah kering meskipun diminum oleh semua makhluk. Amal ibdah
yang beliau lakukan tiada bandingannya. Dalam riwayat, Rasulullah SAW beristighfar
dalam satu hari satu malam tidak kurang dari 100 kali. Shalat tahajjud dan
witir yang beliau lakukan tidak pernah terputus setiap malamnya, meskipun
kakinya pecah-pecah karena terlalu sering terkena air. Apabila pada suatu malam
beliau berhalangan melakukan shalat tahajjud, segera saja keesokan paginya
beliau ganti (qdha’) sehingga kekosongan pada malam itu segera terisi pada
besok paginya. Dengan demikian ibdahanya beliau tidak terganggu. Dalam
bermunajat kepada Allah, perasaan khauf dan raja’ selalu diiringi dengan isak
tangis yang sedu sedan, sampai jenggot dan surbannya basah terkena air mata.
(Sumber: http://tqnsuryalaya-lampung.blogspot.com/2011/07/tasawuf-pada-masa-nabi-saw.html )
Posting Komentar
Posting Komentar