Pengalaman
terhadap dimensi realitas ini memungkinkan seorang Sufi menghindari
rasa-keakuan dan penggunaan mekanisme rasionalisasi-suatu cara berpikir yang
memenjarakan satu bagian dari akal- dan lebih pada penggunaan QALBU yang bisa
merasakan rasa Kebenaran Tuhan.
Nashruddin yang
memainkan peranan sebagai seorang manusia tipikal untuk sesaat, menggambarkan
persoalan ini kepada kita semua:
Seorang penduduk
desa datang kepada Nashruddin dan berkata, "Sapi jantan Anda telah
menanduk sapiku. Apakah aku berhak memperoleh ganti rugi?"
"Tidak,"
ucap Mullah seketika, "sapi jantan itu tidak bertanggung jawab atas
insiden itu." "Maaf," kata penduduk desa yang licik itu,
"aku salah ucap. Yang kumaksudkan adalah sapi Tuan yang ditanduk sapiku,
tetapi bukankah persoalannya sama saja?"
"Oh,
tidak!" ucap Nashruddin, "Aku pikir lebih baik memeriksa kitab
fiqihku untuk melihat apakah ada contoh hukum untuk masalah ini."
Karena semua
bangunan pemikiran intelektual manusia dinyatakan dalam hubungannya dengan
penalaran eksternal, maka Nashruddin sebagai guru Sufi berulang kali berupaya
mengungkapkan kesalahan anggapan umum itu. Upaya menuliskan atau menuturkan
pengalaman mistis itu sendiri tidak pernah berhasil, sebab "mereka yang
mengetahuinya tidak memerlukannya, sedang mereka yang tidak mengetahuinya tidak
bisa meraihnya tanpa perantara." Dua cerita dari beberapa yang penting
seringkali digunakan dalam hubungannya dengan ajaran Sufi untuk mempersiapkan
pikiran terhadap pengalaman-pengalaman di luar pola-pola kebiasaan yang
berlaku.
Pada cerita
pertama, Nashruddin dikunjungi oleh seorang calon murid. Orang tersebut,
setelah mengalami berbagai cobaan, sampai ke gubuk di lereng gunung di mana
Nashruddin sedang duduk. Karena mengetahui bahwa setiap gerak dari Sufi yang
telah tercerahkan (mukasyafah) memiliki makna, maka pendatang baru tersebut
menanyakan kepada Nashruddin mengapa ia meniup tangannya. "Tentu saja
untuk menghangatkannya," jawab Nashruddin.Setelah itu, Nashruddin
mengambil dua mangkuk sup, dan meniupnya, "Mengapa guru melakukan hal
itu?" tanya si murid. "Tentu saja untuk mendinginkannya," jawab
si guru.
Sampai di sini
si murid meninggalkan Nashruddin, karena tidak lagi bisa mempercayai seorang
yang menggunakan proses yang sama untuk mencapai hasil yang berbeda -- panas
dan dingin.
Menguji sesuatu
dengan cara yang diambil dari sesuatu itu sendiri -- seperti menguji pikiran
dengan pikiran itu sendiri, menguji makhluk dengan cara pandang makhluk itu
sendiri, padahal ia adalah wujud yang belum berkembang -- tidak bisa dilakukan.
Pembentukan teori berdasar pada cara-cara subyektif semacam ini mungkin terasa
baik untuk jangka pendek, atau untuk tujuan-tujuan khusus. Akan tetapi bagi
Sufi, teori-teori semacam ini tidak mewakili kebenaran suatu alternatif
semata-mata hanya dalam bentuk kata-kata, tetapi ia bisa mengkarikaturkan untuk
mengungkapkan proses itu. Ketika hal ini dilakukan, pintu terbuka untuk mencari
sistem alternatif dari hubungan fenomena tersebut.
"Setiap
hari," ucap Nashruddin kepada istrinya, "aku semakin kagum terhadap
cara efisien dimana dengan cara tersebut dunia ini diatur -- secara umum, untuk
kesejahteraan manusia.""Apa sebenarnya yang kau
maksudkan?""Contohnya seperti unta. Menurutmu, mengapa unta itu tidak
punya sayap?""Aku tidak tahu!""Coba bayangkan, seandainya
unta punya sayap, mereka mungkin bersarang di atas atap rumah dan merusak
pekarangan kita dengan berjalan mondar-mandir di atas atap dan memuntahkan
makanannya ke kita."
Peran guru Sufi
ditekankan dalam ceritanya yang termasyhur tentang ceramah. Cerita ini
menggambarkan (di antara hal-hal lainnya, sebagaimana pada semua cerita
Nashruddin) bahwa tidak ada permulaan bisa dilakukan pada orang yang sama
sekali tidak tahu. Tapi bagi mereka yang mengetahui tidak perlu diajari.
Akhirnya, jika terdapat beberapa orang yang telah tercerahkan pada suatu
komunitas, maka seorang guru baru tidak diperlukan.
Nashruddin
diundang untuk memberikan ceramah kepada penduduk di desa tetangga. Ia naik
mimbar dan mulai berbicara. "Para hadirin! Apakah kalian mengetahui apa
yang akan kukatakan kepada kalian?"Sebagian pendengar yang suka membuat
kegaduhan, karena berusaha untuk menghibur diri mereka sendiri, berteriak,
"Tidak!" "Jika demikian," ucap Nashruddin dengan tegas,
"aku akan berhenti mencoba mengajari masyarakat yang sama sekali tidak
mengerti semacam ini."Minggu berikutnya, setelah memperoleh jaminan dari
para perusuh bahwa mereka tidak akan mengulangi ucapan mereka, para sesepuh
desa kembali meminta Nashruddin memberikan ceramah kepada mereka."Para
hadirin!" Ia mulai kembali, "Apakah kalian mengetahui apa yang akan
kukatakan?"Sebagian pendengar, karena tidak tahu pasti bagaimana harus
bereaksi, sebab ia memandangi mereka dengan tajam, berguman, "Ya, kami
tahu.""Jika demikian!" bentak Nashruddin, "aku tidak perlu
lagi berbicara panjang lebar." Ia pun meninggalkan ruangan tersebut.Pada
kesempatan ketiga, ketika seorang utusan kembali mengunjunginya dan memohon
dengan sangat kepadanya untuk berbicara sekali lagi, ia pun berbicara di depan
majelis tersebut."Para hadirin! Apakah kalian mengetahui apa yang akan
kukatakan?"Karena tampaknya ia menuntut jawaban, para penduduk desa itu
pun berseru, "Sebagian dari kami mengetahui dan sebagian
tidak!""Jika demikian," ucap Nashruddin sebelum meninggalkan
tempat, "biarlah mereka yang mengerti memberitakan yang tidak."
Dalam Sufisme
seseorang tidak bisa memulai "laku/kerja" pada suatu titik yang telah
ditentukan. Guru (mursyid) harus dibiarkan membimbing masing-masing calon murid
Sufi dengan caranya sendiri.
Suatu ketika
Nashruddin didatangi seorang pemuda yang menanyakan kepadanya, berapa lama
harus dilewati sebelum ia menjadi seorang Sufi.Ia membawa pemuda tersebut ke
desa. "Sebelum menjawab pertanyaanmu, aku ingin mengajakmu pergi
mengunjungi seorang guru musik untuk mengetahui cara bermain seruling.Di rumah
musisi tersebut Nashruddin menanyakan bayarannya."Tiga keping perak untuk
bulan pertama. Setelah itu, satu keping perak setiap bulan.""Wah,
banyak sekali!" kata Nashruddin, "aku akan kembali sebulan lagi."
Indera keenam
yang dicapai seorang Sufi, yang oleh para teoritikus dianggap sebagai suatu
indera yang mampu mengetahui secara utuh terhadap seluruh pengetahuan
ketuhanan, sebenarnya tidaklah demikian. Sebagaimana indera-indera lainnya,
indera keenam mempunyai keterbatasan. Fungsinya bukan untuk mengantarkan insan
kamil mencapai keutuhan kebijaksanaan (hikmah), tetapi untuk memungkinkannya
memenuhi suatu misi persepsi yang lebih besar dan kehidupan yang lebih utuh. Ia
tidak lagi mengalami rasa ketidakpastian dan ketimpangan yang biasa dialami
oleh orang kebanyakan. Cerita tentang anak-anak laki-laki dan pohon disajikan
untuk menyampaikan makna ini:
Beberapa anak
laki-laki ingin mengambil terompah Nashruddin. Ketika ia lewat, anak-anak
tersebut mengerumuninya dan berkata, "Mullah, tidak seorang pun bisa
memanjat pohon ini.""Tentu mereka bisa," ucap Nashruddin.
"Aku akan memperlihatkan kepada kalian bagaimana caranya, sehingga kalian
bisa mencontohnya."Ia hampir saja meninggalkan terompahnya di bawah,
tetapi sesuatu mengingatkannya, dan ia pun menyelipkan terompah tersebut di
sabuknya sebelum memulai memanjatnya.Anak-anak itu pun kecewa, "Untuk apa
terompahnya dibawa?" salah satu dari mereka berseru kepadanya."Sebab
pohon ini belum pernah dipanjat, bagaimana aku tahu bahwa di atas sana tidak ada
jalan?" jawab Nashruddin enteng.Ketika seorang Sufi menggunakan
intuisinya, ia tidak bisa menjelaskan tindakannya secara nalar.
Indera keenam
juga memberikan kepada pemilik barakah cara-cara yang secara jelas
untuk menciptakan hal-hal tertentu bisa terjadi. Kemampuan ini sampai ke Sufi
melalui cara-cara di luar penalaran formal.
"Allah akan
memberikan gantinya," ucap Nashruddin kepada seorang laki-laki yang baru
dirampok."Aku tidak melihat bagaimana hal itu bisa terjadi?" ucap
orang tersebut.Tiba-tiba Nashruddin membawanya ke dalam masjid, dan menyatakan
kepadanya untuk berdiri di sudut. Kemudian Mullah mulai meratap dan menangis,
mengadu kepada Allah untuk mengembalikan dua puluh keping perak milik orang
tersebut. Ia membuat keributan sedemikian rupa sehingga jamaah yang ada di
masjid itu mengumpulkan sumbangan dan menyerahkannya kepada laki-laki
tersebut."Anda mungkin tidak memahami cara yang berjalan dan berlaku di
dunia ini," ucap Nashruddin, "tetapi mungkin Anda akan memahami apa
yang telah terjadi di rumah Allah ini."
Berpartisipasi
dalam cara kerja realitas sangat berbeda dari perluasan intelektual dari fakta
yang diamati. Untuk membuktikan hal ini, suatu ketika Nashruddin membawa sapi
tua ke sebuah lomba pacuan kuda. Lomba ini menerima semua peserta dengan
berbagai hewan yang berbeda.
Setiap orang
tertawa, sebab sama-sama diketahui bahwa seekor sapi tua tidak bisa berlari
cepat.
"Omong
kosong!" ucap Nashruddin, "secara pasti ia akan berlari dengan cepat,
jika ia diberi kesempatan. Mungkin ketika ia masih berupa lembu muda, kalian
melihatnya bisa berlari cepat. Sekarang, meskipun ia tidak berlatih, tidak
punya kesempatan untuk berlari, ia telah tumbuh secara utuh. Mengapa ia tidak
bisa berlari lebih cepat lagi?"
Cerita tersebut
juga menyerang kepercayaan bahwa hanya karena sesuatu -- atau seseorang -- itu
tua, maka secara pasti lebih baik dari sesuatu yang muda. Sufisme sebagai suatu
aktivitas, sadar dan hidup tidak terikat dengan masa lalu atau tradisi yang
kaku. Setiap Sufi yang hidup pada hari ini mewakili setiap Sufi yang telah
hidup di masa lalu, atau yang akan datang kemudian. Jumlah atau tingkatan barakah yang
sama tetap ada, dan tradisi kuno tidak menambah nilai, yang tetap konstan.
Kedalaman lebih
jauh dari cerita ini menunjukkan bahwa murid (anak lembu) mungkin berkembang
menjadi seseorang dengan fungsi yang secara jelas berbeda (lembu tua) dari apa
yang diduga seseorang. Jarum jam tidak bisa diputar batik. Mereka yang
bersandar pada teori spekulatif (filsafat) tidak akan bisa bersandar pada Sufisme.
Tidak adanya
suatu fakultas intuitif pada manusia secara umum mengakibatkan suatu situasi
yang hampir tanpa harapan, dan banyak cerita Nashruddin menekankan kenyataan
ini.
Nashruddin
memainkan peranan dari seorang darwis yang tidak peka dalam cerita tentang
sekantong beras.
Suatu hari ia
tidak setuju dengan kepala biara di mana ia tinggal. Sesaat kemudian, sekantong
beras hilang. Kepala biara memerintahkan setiap orang berbaris di halaman.
Kemudian ia mengatakan kepada mereka bahwa orang yang telah mencuri beras
tersebut pada jenggotnya terdapat beberapa biji beras tersebut."Ini tipuan
lama, agar pihak yang bersalah menyentuh jenggotnya secara tidak sadar,"
pikir si pencuri asli, dan ia pun tetap berdiri tegap. Di pihak lain,
Nashruddin berpikir, "Ketua biara ingin membalas dendam kepadaku. Ia
pastilah telah menyelipkan biji beras dijenggotku!" Ia berusaha
membuangnya secara diam-diam.Ketika jari-jarinya menyisir jenggotnya, ia
menyadari bahwa setiap mata tertuju menatap kepadanya."Bagaimanapun aku
tahu, cepat atau lambat ia pasti akan menjebakku," ucap Nashruddin.
Apa yang oleh
sebagian orang dipandang sebagai kebenaran, seringkali sungguh-sungguh
merupakan hasil dari kekhawatiran dan imajinasi.
Semangat
skeptisisme tentang persoalan-persoalan metafisis bukan berarti hanya terbatas
pada Barat. Di Timur, merupakan hal yang biasa bagi orang untuk mengatakan
bahwa mereka merasa kepenganutan terhadap suatu madzhab mistis akan menghilangkan
otonomi mereka, atau sebaliknya akan merampas sesuatu bagi mereka. Orang-orang
semacam ini secara umum diabaikan oleh para Sufi, sebab mereka belum mencapai
tahapan dimana mereka menyadari bahwa mereka telah menjadi tawanan tirani yang
jauh lebih buruk (yaitu dari Pendosa-Tua) daripada apa pun yang bisa
dirancangkan bagi mereka di sebuah madrasah mistik. Meskipun demikian, terdapat
satu lelucon Nashruddin yang secara tegas menunjukkan hal ini:
"Aku
mendengar suara seorang gelandangan di ruang bawah," bisik istri
Nashruddin kepadanya di suatu malam."Jangan bersuara!" jawab
Nashruddin, "kita tidak memiliki apa pun yang layak dicuri. Dengan sedikit
keberuntungan, mungkin ia justru akan meninggalkan sesuatu."
Nashruddin,
sebagai gelandangan karena banyak rumah kosong, selalu meninggalkan sesuatu --
jika si penghuni bisa mengenalinya.
Dalam Sufisme,
cara-cara praktis bagi pengajaran adalah penting. Hal ini sebagian karena
Sufisme merupakan suatu upaya aktif; sebagian karena, meskipun orang-orang
menunaikan kebenaran sekadar penghormatan manakala dikatakan kepada mereka,
realitas kebenaran biasanya tidak jauh memasuki fakultas diskursif mereka.
Nashruddin
tengah menambal atap rumahnya ketika seseorang memanggilnya untuk turun ke
jalan. Ketika turun, ia bertanya kepada orang tersebut tentang apa yang ia
inginkan."Uang," jawabnya."Mengapa engkau tidak mengatakannya
ketika memanggilku di atas?" ucap Nashruddin."Aku malu untuk
mengemis.""Naiklah ke atas!" ucap Nashruddin.Ketika mereka
sampai di atap, Nashruddin mulai meletakkan genteng-genteng itu kembali. Orang
tersebut batuk-batuk, dan Nashruddin, tanpa menoleh, lalu berkata, "Aku
tidak punya uang untukmu.""Apa? Anda bisa mengatakannya tanpa harus
membawaku ke atas sini!""Lantas bagaimana engkau bisa membayarku
karena telah membawaku turun?!"
Sejumlah besar
hal secara langsung bisa terlihat jelas oleh Sufi, yang tidak bisa dicapai oleh
orang kebanyakan. Sebuah tamsil digunakan untuk menjelaskan sebagian tindakan
mengagumkan yang dilakukan Sufi, yang didasarkan pada kekuatan supra-inderawi.
Bagi Sufi, kekuatan-kekuatan ini tidak lebih mengherankan dari indera-indera
orang kebanyakan. Hanya saja bagaimana cara kerjanya tidak bisa digambarkan,
tetapi sebuah analogi kasar bisa diberikan.
"Manusia
dalam keadaan tertidur," ucap Nashruddin, ketika ia dituduh tertidur di
ruang pengadilan istana pada suatu hari. "Keterjagaan manusia kebanyakan
hampir tidak ada gunanya bagi orang lain."Sang raja marah.Hari berikutnya,
setelah menyantap makanan berat, Nashruddin tertidur, dan sang raja
memerintahkan agar ia dibawa ke ruang terdekat. Ketika pengadilan istana akan
dibuka, Nashruddin yang masih mengantuk, kembali dibawa ke ruang
pendengar."Engkau kembali tertidur," ucap sang raja."Aku seperti
dalam keadaan terjaga jika dibutuhkan.""Baiklah jika demikian,
ceritakan kepadaku apa yang terjadi ketika engkau berada di luar ruangan."
Untuk menakjubkan setiap orang, Mullah mengulangi kisah yang panjang dan rumit
yang telah disampaikan oleh sang raja."Bagaimana Anda bisa melakukan Nashruddin?""Sederhana,"
ucap sang Mullah, "aku bisa mengatakan berdasarkan ekspresi wajah raja
bahwa ia akan menceritakan kembali kisah lama tersebut. Itulah mengapa aku
pergi tidur selama cerita itu disampaikan."
(Bersambung ke Bagian IX)
Posting Komentar
Posting Komentar