Menu

TQN PP.Suryalaya

 

(Sambungan dari Bagian VII)


Pengalaman terhadap dimensi realitas ini memungkinkan seorang Sufi menghindari rasa-keakuan dan penggunaan mekanisme rasionalisasi-suatu cara berpikir yang memenjarakan satu bagian dari akal- dan lebih pada penggunaan QALBU yang bisa merasakan rasa Kebenaran Tuhan. 
Nashruddin yang memainkan peranan sebagai seorang manusia tipikal untuk sesaat, menggambarkan persoalan ini kepada kita semua:
Seorang penduduk desa datang kepada Nashruddin dan berkata, "Sapi jantan Anda telah menanduk sapiku. Apakah aku berhak memperoleh ganti rugi?"

"Tidak," ucap Mullah seketika, "sapi jantan itu tidak bertanggung jawab atas insiden itu." "Maaf," kata penduduk desa yang licik itu, "aku salah ucap. Yang kumaksudkan adalah sapi Tuan yang ditanduk sapiku, tetapi bukankah persoalannya sama saja?"
"Oh, tidak!" ucap Nashruddin, "Aku pikir lebih baik memeriksa kitab fiqihku untuk melihat apakah ada contoh hukum untuk masalah ini."
Karena semua bangunan pemikiran intelektual manusia dinyatakan dalam hubungannya dengan penalaran eksternal, maka Nashruddin sebagai guru Sufi berulang kali berupaya mengungkapkan kesalahan anggapan umum itu. Upaya menuliskan atau menuturkan pengalaman mistis itu sendiri tidak pernah berhasil, sebab "mereka yang mengetahuinya tidak memerlukannya, sedang mereka yang tidak mengetahuinya tidak bisa meraihnya tanpa perantara." Dua cerita dari beberapa yang penting seringkali digunakan dalam hubungannya dengan ajaran Sufi untuk mempersiapkan pikiran terhadap pengalaman-pengalaman di luar pola-pola kebiasaan yang berlaku.
Pada cerita pertama, Nashruddin dikunjungi oleh seorang calon murid. Orang tersebut, setelah mengalami berbagai cobaan, sampai ke gubuk di lereng gunung di mana Nashruddin sedang duduk. Karena mengetahui bahwa setiap gerak dari Sufi yang telah tercerahkan (mukasyafah) memiliki makna, maka pendatang baru tersebut menanyakan kepada Nashruddin mengapa ia meniup tangannya. "Tentu saja untuk menghangatkannya," jawab Nashruddin.Setelah itu, Nashruddin mengambil dua mangkuk sup, dan meniupnya, "Mengapa guru melakukan hal itu?" tanya si murid. "Tentu saja untuk mendinginkannya," jawab si guru.
Sampai di sini si murid meninggalkan Nashruddin, karena tidak lagi bisa mempercayai seorang yang menggunakan proses yang sama untuk mencapai hasil yang berbeda -- panas dan dingin.
Menguji sesuatu dengan cara yang diambil dari sesuatu itu sendiri -- seperti menguji pikiran dengan pikiran itu sendiri, menguji makhluk dengan cara pandang makhluk itu sendiri, padahal ia adalah wujud yang belum berkembang -- tidak bisa dilakukan. Pembentukan teori berdasar pada cara-cara subyektif semacam ini mungkin terasa baik untuk jangka pendek, atau untuk tujuan-tujuan khusus. Akan tetapi bagi Sufi, teori-teori semacam ini tidak mewakili kebenaran suatu alternatif semata-mata hanya dalam bentuk kata-kata, tetapi ia bisa mengkarikaturkan untuk mengungkapkan proses itu. Ketika hal ini dilakukan, pintu terbuka untuk mencari sistem alternatif dari hubungan fenomena tersebut.
"Setiap hari," ucap Nashruddin kepada istrinya, "aku semakin kagum terhadap cara efisien dimana dengan cara tersebut dunia ini diatur -- secara umum, untuk kesejahteraan manusia.""Apa sebenarnya yang kau maksudkan?""Contohnya seperti unta. Menurutmu, mengapa unta itu tidak punya sayap?""Aku tidak tahu!""Coba bayangkan, seandainya unta punya sayap, mereka mungkin bersarang di atas atap rumah dan merusak pekarangan kita dengan berjalan mondar-mandir di atas atap dan memuntahkan makanannya ke kita."
Peran guru Sufi ditekankan dalam ceritanya yang termasyhur tentang ceramah. Cerita ini menggambarkan (di antara hal-hal lainnya, sebagaimana pada semua cerita Nashruddin) bahwa tidak ada permulaan bisa dilakukan pada orang yang sama sekali tidak tahu. Tapi bagi mereka yang mengetahui tidak perlu diajari. Akhirnya, jika terdapat beberapa orang yang telah tercerahkan pada suatu komunitas, maka seorang guru baru tidak diperlukan.
Nashruddin diundang untuk memberikan ceramah kepada penduduk di desa tetangga. Ia naik mimbar dan mulai berbicara. "Para hadirin! Apakah kalian mengetahui apa yang akan kukatakan kepada kalian?"Sebagian pendengar yang suka membuat kegaduhan, karena berusaha untuk menghibur diri mereka sendiri, berteriak, "Tidak!" "Jika demikian," ucap Nashruddin dengan tegas, "aku akan berhenti mencoba mengajari masyarakat yang sama sekali tidak mengerti semacam ini."Minggu berikutnya, setelah memperoleh jaminan dari para perusuh bahwa mereka tidak akan mengulangi ucapan mereka, para sesepuh desa kembali meminta Nashruddin memberikan ceramah kepada mereka."Para hadirin!" Ia mulai kembali, "Apakah kalian mengetahui apa yang akan kukatakan?"Sebagian pendengar, karena tidak tahu pasti bagaimana harus bereaksi, sebab ia memandangi mereka dengan tajam, berguman, "Ya, kami tahu.""Jika demikian!" bentak Nashruddin, "aku tidak perlu lagi berbicara panjang lebar." Ia pun meninggalkan ruangan tersebut.Pada kesempatan ketiga, ketika seorang utusan kembali mengunjunginya dan memohon dengan sangat kepadanya untuk berbicara sekali lagi, ia pun berbicara di depan majelis tersebut."Para hadirin! Apakah kalian mengetahui apa yang akan kukatakan?"Karena tampaknya ia menuntut jawaban, para penduduk desa itu pun berseru, "Sebagian dari kami mengetahui dan sebagian tidak!""Jika demikian," ucap Nashruddin sebelum meninggalkan tempat, "biarlah mereka yang mengerti memberitakan yang tidak."
Dalam Sufisme seseorang tidak bisa memulai "laku/kerja" pada suatu titik yang telah ditentukan. Guru (mursyid) harus dibiarkan membimbing masing-masing calon murid Sufi dengan caranya sendiri. 
Suatu ketika Nashruddin didatangi seorang pemuda yang menanyakan kepadanya, berapa lama harus dilewati sebelum ia menjadi seorang Sufi.Ia membawa pemuda tersebut ke desa. "Sebelum menjawab pertanyaanmu, aku ingin mengajakmu pergi mengunjungi seorang guru musik untuk mengetahui cara bermain seruling.Di rumah musisi tersebut Nashruddin menanyakan bayarannya."Tiga keping perak untuk bulan pertama. Setelah itu, satu keping perak setiap bulan.""Wah, banyak sekali!" kata Nashruddin, "aku akan kembali sebulan lagi."
Indera keenam yang dicapai seorang Sufi, yang oleh para teoritikus dianggap sebagai suatu indera yang mampu mengetahui secara utuh terhadap seluruh pengetahuan ketuhanan, sebenarnya tidaklah demikian. Sebagaimana indera-indera lainnya, indera keenam mempunyai keterbatasan. Fungsinya bukan untuk mengantarkan insan kamil mencapai keutuhan kebijaksanaan (hikmah), tetapi untuk memungkinkannya memenuhi suatu misi persepsi yang lebih besar dan kehidupan yang lebih utuh. Ia tidak lagi mengalami rasa ketidakpastian dan ketimpangan yang biasa dialami oleh orang kebanyakan. Cerita tentang anak-anak laki-laki dan pohon disajikan untuk menyampaikan makna ini:
Beberapa anak laki-laki ingin mengambil terompah Nashruddin. Ketika ia lewat, anak-anak tersebut mengerumuninya dan berkata, "Mullah, tidak seorang pun bisa memanjat pohon ini.""Tentu mereka bisa," ucap Nashruddin. "Aku akan memperlihatkan kepada kalian bagaimana caranya, sehingga kalian bisa mencontohnya."Ia hampir saja meninggalkan terompahnya di bawah, tetapi sesuatu mengingatkannya, dan ia pun menyelipkan terompah tersebut di sabuknya sebelum memulai memanjatnya.Anak-anak itu pun kecewa, "Untuk apa terompahnya dibawa?" salah satu dari mereka berseru kepadanya."Sebab pohon ini belum pernah dipanjat, bagaimana aku tahu bahwa di atas sana tidak ada jalan?" jawab Nashruddin enteng.Ketika seorang Sufi menggunakan intuisinya, ia tidak bisa menjelaskan tindakannya secara nalar.
Indera keenam juga memberikan kepada pemilik barakah cara-cara yang secara jelas untuk menciptakan hal-hal tertentu bisa terjadi. Kemampuan ini sampai ke Sufi melalui cara-cara di luar penalaran formal.
"Allah akan memberikan gantinya," ucap Nashruddin kepada seorang laki-laki yang baru dirampok."Aku tidak melihat bagaimana hal itu bisa terjadi?" ucap orang tersebut.Tiba-tiba Nashruddin membawanya ke dalam masjid, dan menyatakan kepadanya untuk berdiri di sudut. Kemudian Mullah mulai meratap dan menangis, mengadu kepada Allah untuk mengembalikan dua puluh keping perak milik orang tersebut. Ia membuat keributan sedemikian rupa sehingga jamaah yang ada di masjid itu mengumpulkan sumbangan dan menyerahkannya kepada laki-laki tersebut."Anda mungkin tidak memahami cara yang berjalan dan berlaku di dunia ini," ucap Nashruddin, "tetapi mungkin Anda akan memahami apa yang telah terjadi di rumah Allah ini."
Berpartisipasi dalam cara kerja realitas sangat berbeda dari perluasan intelektual dari fakta yang diamati. Untuk membuktikan hal ini, suatu ketika Nashruddin membawa sapi tua ke sebuah lomba pacuan kuda. Lomba ini menerima semua peserta dengan berbagai hewan yang berbeda.
Setiap orang tertawa, sebab sama-sama diketahui bahwa seekor sapi tua tidak bisa berlari cepat.
"Omong kosong!" ucap Nashruddin, "secara pasti ia akan berlari dengan cepat, jika ia diberi kesempatan. Mungkin ketika ia masih berupa lembu muda, kalian melihatnya bisa berlari cepat. Sekarang, meskipun ia tidak berlatih, tidak punya kesempatan untuk berlari, ia telah tumbuh secara utuh. Mengapa ia tidak bisa berlari lebih cepat lagi?"
Cerita tersebut juga menyerang kepercayaan bahwa hanya karena sesuatu -- atau seseorang -- itu tua, maka secara pasti lebih baik dari sesuatu yang muda. Sufisme sebagai suatu aktivitas, sadar dan hidup tidak terikat dengan masa lalu atau tradisi yang kaku. Setiap Sufi yang hidup pada hari ini mewakili setiap Sufi yang telah hidup di masa lalu, atau yang akan datang kemudian. Jumlah atau tingkatan barakah yang sama tetap ada, dan tradisi kuno tidak menambah nilai, yang tetap konstan.
Kedalaman lebih jauh dari cerita ini menunjukkan bahwa murid (anak lembu) mungkin berkembang menjadi seseorang dengan fungsi yang secara jelas berbeda (lembu tua) dari apa yang diduga seseorang. Jarum jam tidak bisa diputar batik. Mereka yang bersandar pada teori spekulatif (filsafat) tidak akan bisa bersandar pada Sufisme.
Tidak adanya suatu fakultas intuitif pada manusia secara umum mengakibatkan suatu situasi yang hampir tanpa harapan, dan banyak cerita Nashruddin menekankan kenyataan ini.
Nashruddin memainkan peranan dari seorang darwis yang tidak peka dalam cerita tentang sekantong beras. 
Suatu hari ia tidak setuju dengan kepala biara di mana ia tinggal. Sesaat kemudian, sekantong beras hilang. Kepala biara memerintahkan setiap orang berbaris di halaman. Kemudian ia mengatakan kepada mereka bahwa orang yang telah mencuri beras tersebut pada jenggotnya terdapat beberapa biji beras tersebut."Ini tipuan lama, agar pihak yang bersalah menyentuh jenggotnya secara tidak sadar," pikir si pencuri asli, dan ia pun tetap berdiri tegap. Di pihak lain, Nashruddin berpikir, "Ketua biara ingin membalas dendam kepadaku. Ia pastilah telah menyelipkan biji beras dijenggotku!" Ia berusaha membuangnya secara diam-diam.Ketika jari-jarinya menyisir jenggotnya, ia menyadari bahwa setiap mata tertuju menatap kepadanya."Bagaimanapun aku tahu, cepat atau lambat ia pasti akan menjebakku," ucap Nashruddin.
Apa yang oleh sebagian orang dipandang sebagai kebenaran, seringkali sungguh-sungguh merupakan hasil dari kekhawatiran dan imajinasi.
Semangat skeptisisme tentang persoalan-persoalan metafisis bukan berarti hanya terbatas pada Barat. Di Timur, merupakan hal yang biasa bagi orang untuk mengatakan bahwa mereka merasa kepenganutan terhadap suatu madzhab mistis akan menghilangkan otonomi mereka, atau sebaliknya akan merampas sesuatu bagi mereka. Orang-orang semacam ini secara umum diabaikan oleh para Sufi, sebab mereka belum mencapai tahapan dimana mereka menyadari bahwa mereka telah menjadi tawanan tirani yang jauh lebih buruk (yaitu dari Pendosa-Tua) daripada apa pun yang bisa dirancangkan bagi mereka di sebuah madrasah mistik. Meskipun demikian, terdapat satu lelucon Nashruddin yang secara tegas menunjukkan hal ini:
"Aku mendengar suara seorang gelandangan di ruang bawah," bisik istri Nashruddin kepadanya di suatu malam."Jangan bersuara!" jawab Nashruddin, "kita tidak memiliki apa pun yang layak dicuri. Dengan sedikit keberuntungan, mungkin ia justru akan meninggalkan sesuatu."
Nashruddin, sebagai gelandangan karena banyak rumah kosong, selalu meninggalkan sesuatu -- jika si penghuni bisa mengenalinya.
Dalam Sufisme, cara-cara praktis bagi pengajaran adalah penting. Hal ini sebagian karena Sufisme merupakan suatu upaya aktif; sebagian karena, meskipun orang-orang menunaikan kebenaran sekadar penghormatan manakala dikatakan kepada mereka, realitas kebenaran biasanya tidak jauh memasuki fakultas diskursif mereka.
Nashruddin tengah menambal atap rumahnya ketika seseorang memanggilnya untuk turun ke jalan. Ketika turun, ia bertanya kepada orang tersebut tentang apa yang ia inginkan."Uang," jawabnya."Mengapa engkau tidak mengatakannya ketika memanggilku di atas?" ucap Nashruddin."Aku malu untuk mengemis.""Naiklah ke atas!" ucap Nashruddin.Ketika mereka sampai di atap, Nashruddin mulai meletakkan genteng-genteng itu kembali. Orang tersebut batuk-batuk, dan Nashruddin, tanpa menoleh, lalu berkata, "Aku tidak punya uang untukmu.""Apa? Anda bisa mengatakannya tanpa harus membawaku ke atas sini!""Lantas bagaimana engkau bisa membayarku karena telah membawaku turun?!"
Sejumlah besar hal secara langsung bisa terlihat jelas oleh Sufi, yang tidak bisa dicapai oleh orang kebanyakan. Sebuah tamsil digunakan untuk menjelaskan sebagian tindakan mengagumkan yang dilakukan Sufi, yang didasarkan pada kekuatan supra-inderawi. Bagi Sufi, kekuatan-kekuatan ini tidak lebih mengherankan dari indera-indera orang kebanyakan. Hanya saja bagaimana cara kerjanya tidak bisa digambarkan, tetapi sebuah analogi kasar bisa diberikan.
"Manusia dalam keadaan tertidur," ucap Nashruddin, ketika ia dituduh tertidur di ruang pengadilan istana pada suatu hari. "Keterjagaan manusia kebanyakan hampir tidak ada gunanya bagi orang lain."Sang raja marah.Hari berikutnya, setelah menyantap makanan berat, Nashruddin tertidur, dan sang raja memerintahkan agar ia dibawa ke ruang terdekat. Ketika pengadilan istana akan dibuka, Nashruddin yang masih mengantuk, kembali dibawa ke ruang pendengar."Engkau kembali tertidur," ucap sang raja."Aku seperti dalam keadaan terjaga jika dibutuhkan.""Baiklah jika demikian, ceritakan kepadaku apa yang terjadi ketika engkau berada di luar ruangan." Untuk menakjubkan setiap orang, Mullah mengulangi kisah yang panjang dan rumit yang telah disampaikan oleh sang raja."Bagaimana Anda bisa melakukan Nashruddin?""Sederhana," ucap sang Mullah, "aku bisa mengatakan berdasarkan ekspresi wajah raja bahwa ia akan menceritakan kembali kisah lama tersebut. Itulah mengapa aku pergi tidur selama cerita itu disampaikan."

(Bersambung ke Bagian IX) 


Posting Komentar

 
Top