Sebuah cerita yang dinisbatkan kepada Nashruddin bermaksud membedakan antara pencarian mistis pada dirinya sendiri dari bentuk yang didasarkan pada lebih sedikit, kriteria etis atau formal agama:
Seorang pendeta Cina diriwayatkan telah berkata kepada Nashruddin, "Setiap orang harus memandang tindakannya sebagaimana ia memandang tindakan orang lain. Anda harus memiliki orang lain seperti apa yang Anda miliki dalam hati Anda sendiri!"
"Ini akan menjadi pernyataan yang mengagumkan," jawab Nashruddin. "Sebab, setiap orang yang berhenti sejenak untuk menyadari bahwa apa yang diinginkan seseorang untuk dirinya sendiri tampaknya pada akhirnya cenderung menjadi sesuatu yang tidak diingini sebagaimana yang ia inginkan terhadap musuhnya, lebih-lebih terhadap sahabatnya."
"Apa yang harus dimiliki dalam hatinya bagi orang lain adalah bukan apa yang ia inginkan untuk dirinya. Ia adalah apa yang seharusnya bagi dirinya, dari apa yang seharusnya bagi semua orang. Ini hanya diketahui ketika kebenaran batiniah terungkap."
Versi lain dari jawaban (Nashruddin) ini menyatakan secara singkat, "Seekor burung memakan buah berry beracun, yang tidak membahayakannya. Satu hari ia mengumpulkan sebagian buah tersebut untuk makanannya, dan merelakan makan siangnya dengan memberi makan buah-buah tersebut kepada sahabatnya, seekor kuda."
Seorang guru Sufi lainnya, Amini as-Samarkandi, secara singkat mengulas tentang tema ini, sebagaimana yang dilakukan Rumi sebelumnya, "Seorang laki-laki menginginkan orang lain untuk membunuhnya. Biasanya ia menginginkan hal ini bagi siapa saja, sebab ia adalah 'orang baik'. Sudah tentu, 'orang baik' adalah orang yang menginginkan agar orang lain mempunyai apa yang ia inginkan untuk dirinya sendiri. Masalah tunggal dari hal ini adalah bahwa apa yang ia inginkan seringkali merupakan hal terakhir yang ia butuhkan."
Untuk itu ada penekanan dalam Sufisme terhadap realitas yang harus mendahului etika dari dianggap memiliki validitas universal yang bahkan dengan pertimbangan umum bisa memperlihatkan ketiadaannya.
Cerita-cerita Nashruddin, secara insidentil, tidak bisa dianggap sebagai sistem filsafat yang dimaksudkan untuk membujuk orang meninggalkan kepercayaan dari memeluk ajaran-ajarannya. Ia tidak bisa bersandar pada peniadaan sistem-sistem lainnya dan menawarkan suatu pengganti, atau suatu sistem yang lebih masuk akal.
Sebab ajaran Sufi hanya secara parsial dinyatakan dalam kata-kata, ia tidak pernah mencoba menyerang sistem-sistem filsafat dengan istilahnya sendiri. Yakni haruslah melalui bimbingan seorang arif bijaksana sebagai guru mursyid yang sejati. (red.)
Lebih sulit, jika kita melihat fakta-fakta tersebut secara obyektif, adalah sedikitnya kemampuan untuk membedakan antara suatu sekolah sejati dan yang palsu. "Koin palsu hanya ada karena terdapat sesuatu yang asli seperti halnya emas asli", menjadi berlaku dalam ajaran Sufi -- tetapi bagaimana yang sejati bisa dibedakan dari yang palsu oleh seseorang yang tidak memiliki pelatihan untuk hal itu?
Sang pemula (murid) terselamatkan dari ketidakpekaan menyeluruh, sebab di dalam dirinya terdapat suatu kemampuan dasar untuk bereaksi terhadap "emas sejati". Dan sang guru, dengan mengenali kapasitas batin tersebut, akan mampu menggunakannya sebagai piranti penerimaan tanda-tandanya. Adalah benar, dalam tahapan-tahapan awal, tanda-tanda tersebut disampaikan oleh guru yang harus diatur dengan cara sedemikian rupa, lantas dipersepsikan secara tidak memadai dan secara mekanis mungkin menyesatkan penerima. Tetapi kombinasi dari dua unsur tersebut akan memberikan suatu dasar bagi suatu pengaturan kerja.
Pada tahapan ini guru sampai pada tingkatan yang harus menandai waktu. Beberapa cerita Nashruddin, sebagai tambahan bagi nilai hiburannya, menekankan adanya ketidakharmonisan yang terjadi pada awal tahapan antara guru dan murid yang memenuhi periode persiapan:
Sejumlah calon murid pada satu hari mendatangi Nashruddin dan memintanya untuk memberikan pelajaran kepada mereka, "Baiklah," ucap Nashruddin, "Ikuti aku ke ruang pertemuan!"
Dengan penuh kepatuhan mereka berbaris di belakang Nashruddin yang menunggang keledainya dengan menghadap ke belakang. Pada awalnya anak-anak muda itu kebingungan, pada akhirnya mereka ingat bahwa mereka tidak seharusnya menanyakan tindakan guru, bahkan yang terkecil sekalipun. Pada akhirnya mereka tidak tahan terhadap ejekan orang-orang yang lewat.
Melihat kesulitan mereka, Nashruddin berhenti dan memandangi orang paling berani dari mereka dan mendekatinya.
"Mullah, kami benar-benar tidak mengerti mengapa Tuan menunggang keledai secara terbalik?"
"Sangat sederhana," ucap Nashruddin, "kalian lihat, jika kalian berjalan di depanku, itu berarti kalian tidak menghormatiku. Di sisi lain, jika aku menghadapkan punggungku kepada kalian, ini berarti tidak menghormati kalian. Cara ini merupakan satu-satunya kompromi yang mungkin dilakukan."
Bagi seseorang yang berpandangan tajam, memiliki lebih dari satu dimensi tentang hal ini, dan tentu cerita-cerita lainnya menjadi jelas. Jaringan pengaruh dari suatu cerita yang dialami pada tingkat-tingkat yang berbeda-beda sekaligus adalah untuk membangkitkan kapasitas batin bagi pemahaman terhadap suatu yang komprehensif, cara lebih obyektif dibanding yang mungkin dihasilkan oleh cara berpikir biasa, kaku dan tidak memadai.
(Diposting ulang oleh Dokumen Pemuda TQN Suryalaya, sumber dari bagian pertama sampai dengan bagian terakhir : media.isnet.org)
-Keterangan : Tulisan yang bersumber dari "Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi oleh Idries Shah"
Posting Komentar
Posting Komentar