Dewasa ini
banyak kalangan yang membincangkan kembali relevansi Pancasila dengan
kondisi bangsa saat ini. Pancasila kini mulai terpinggirkan dari
kancah pergaulan kebangsaan dan imbasnya, mungkin
saja akan tergantikan dengan ideologi lain. Hal itu tidak akan
terjadi bila semua pihak dan segenap elemen bangsa, konsisten
mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen sebagai dasar
negara dan sebagai sumber hukum positif yang berlaku.
Pasca tumbangnya
Orde Baru tahun 1998 dan dilanjutkan dengan era reformasi yang ditandai dengan
kebebasan disegala bidang, kebebasan tersebut juga turut dinikmati beberapa
kelompok Islam yang konservatif atau radikal. Kelompok-kelompok
tersebut sekarang bebas untuk secara lantang atau secara
sembunyi-sembunyi memperjuangkan kembali kepentingan politis dan ideologinya.
Ironisnya perjuangan besar itu bermuara pada obsesi mengganti Pancasila
sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia. Banyak varian bentuk,
ide, gagasan dan cita-cita yang dikembangkan dari
obsesi kelompok tersebut. Varian tersebut antara lain pendirian Khilafah
Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya.
Tumbangnya Orde
Baru juga dibarengi dengan problem berupa meluasnya krisis multi-dimensi.
Krisis tersebut terjadi di bidang sosial, politik, ekonomi dan
sebagainya. Kondisi tersebut semakin melegitimasi obsesi mengganti
Pancasila, karena dianggap telah gagal membawa negara ini ke arah yang lebih
baik. Selanjutnya kelompok tersebut menganggap bahwa Islam dalam
segala varian bentuknya merupakan solusi atas segala problem yang ada. Oleh
karena itu slogan perjuangan mereka jelas, misalnya al-Islamu huwa al-halu (Islam
adalah solusi) ataupun al-Islamu huwa al-dinu wa al-dawlah (Islam
adalah agama dan sekaligus negara).
Indonesia adalah
negara berdasarkan Pancasila, jadi bukan negara Islam dan bukan
pula negara sekuler. Kalimat ini bagi beberapa
pihak mungkin masih dirasa ambigu,
apalagi bagi pihak-pihak yang tidak familiar dengan problem
ideologi suatu bangsa. Bertumpu pada kenyataannya, fakta historis
telah membuktikan bahwa itulah cara terbaik (the right way) bagi
masyarakat Indonesia untuk mendiskripsikan ideologi
negara. Pancasila merupakan ringkasan dari kompromi dan persetujuan
yang sebelumnya amat sulit dicapai di antara para founding fathers pendiri
negara ini.
Nabi Muhammad Shollallahu
'alaihi wa sallam telah mengajarkan dan memberikan teladan kepada umat
Islam tentang bagaimana hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan ras,
suku bangsa, dan agama. Sebagaimana hal ini telah termaktub dalam Piagam Madinah (Nasution,
1985: 92). Mengenai urusan ke duniawian, umat Islam diberikan
kebebasan untuk mengaturnya, namun tetap harus dilandasi olehta’abbud. Tanpa
tujuan ta’abbud ini, niscaya kehidupan yang dijalani
menjadi kosong tanpa tujuan yang berarti.
Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara, materinya sudah ada sebelum bangsa Indonesia
ada, hanya saja rumusannya secara formal baru terrealisasi sekitar tahun 1945.
Apabila ada yang menyatakan bahwa hari lahirnya Pancasila adalah tanggal 1 Juni
1945, itu hanya sekedar pemberian nama saja, bukan materi Pancasila. Pancasila
sebagai dasar filsafat negara dapat didefinisikan sebagai suatu ideologi negara
yang berketuhanan berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan dan berkeadilan.
Tokoh-tokoh kenegaraan Indonesia merumuskan Pancasila bukan mengada-ada, tetapi
memang demikian keadaannya. Direnungkan dari kehidupan sehari-hari bangsa
Indonesia, yang selanjutnya memang dikehendaki oleh bangsa Indonesia dalam
bernegara sebagai dasar filsafat negara. Dengan demikian kedudukan Pancasila
selain sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila juga sebagai jati diri dan
kepribadian bangsa Indonesia (Kaelan, 1998: 62).
Pancasila pada
dasarnya mampu untuk mengakomodir semua lini kehidupan
Indonesia. Pancasila harus dijadikan alat kesejahteraan, bukan alat
kepentingan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak
perbedaan. Perbedaan itu merupakan suatu bawaan kodrat manusia sebagai makhluk
Tuhan YME. Akan lebih baik jika perbedaan itu bukan untuk dipertentangkan ataupun
diperuncing, namun dipersatukan dan disintesiskan dalam suatu sintesa yang
positif dalam bingkai negara Kersatuan Republik Indonesia (Notonagoro, 1975:
106).
Menurut
Notonogoro (dalam Bakry, 2008: 39) sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan
yang susunannya adalah hirarkhis dan mempunyai bentuk piramidal. Sila pada
Pancasila saling menjiwai dan dijiwai. Sila yang di atasnya menjiwai sila yang
di bawahnya, tetapi sila yang di atasnya tidak dijiwai oleh sila yang di
bawahnya. Sila yang di bawahnya dijiwai oleh sila yang di atasnya, tetapi sila
yang di bawahnya tidak menjiwai sila yang di atasnya. Sebagai contoh
nilai-nilai Ketuhanan menjiwai nilai-nilai Kemanusiaan Persatuan Kerakyatan dan
Keadilan, sebaliknya nilai Ketuhanan tidak dijiwai oleh nilai-nilai Kemanusiaan
Persatuan Kerakyatan dan Keadilan, begitulah seterusnya.
Pancasila juga
merupakan ideologi terbuka (Bakry, 2008: 69-70). Ciri-ciri ideologi terbuka
antara lain adalah realis, idealis dan fleksibel. Bersifat realis karena
Pancasila sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia yang mencerminkan
keanekaragaman ras, suku serta kepercayaan. Besifat idealis karena Pancasila
merupakan konsep hasil pemikiran yang mengandung harapan-harapan, optimisme,
serta mampu menggugah motivasi pendukungnya untuk melaksanakan apa yang
dicita-citakan. Bersifat fleksibel karena Pancasila dapat menyesuaikan diri
dengan keadaan yang terus-menerus berkembang dan sekaligus mampu memberi arah
melalui tafsir-tafsir baru yang konsisten dan relevan. Dengan demikian Pancasila
sebagai ideologi, dasar negara serta kepribadian bangsa telah menopang dan
mengakomodir berbagai suku, ras, dan agama yang ada di Indonesia.
Negara Indonesia
memiliki dasar dan ideologi Pancasila. Negara kebangsaan Indonesia yang
berPancasila bukanlah negara sekuler atau negara yang memisahkan antara agama
dengan negara. Di sudut lain negara kebangsaan Indonesia yang berPancasila juga bukan
negara agama (paham Theokrasi) atau negara yang berdasarkan atas agama tertentu (Suhadi,
1998: 114). Negara Pancasila pada hakekatnya adalah negara kebangsaan yang
Berketuhanan YME. Dengan demikian makna negara kebangsaan Indonesia yang
berdasarkan Pancasila adalahkesatuan integral dalam kehidupan bangsa dan negara
yang memilki sifat kebersamaan, kekeluargaan dan religiusitas.
Pancasila
sebagai ideologi dan dasar negara, sebenarnya memiliki keselarasan dengan
ajaran Islam sebagai agama mayoritas penduduk bangsa Indonesia. Sikap umat
Islam di Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD
1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan.
Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan keselarasan Pancasila dengan
ajaran Islam adalah sebagaimana uraian berikut.
1. Pancasila
bukan agama dan tidak bisa menggantikan agama.
2. Pancasila
bisa menjadi wahana implementasi Syariat Islam.
3. Pancasila
dirumuskan oleh tokoh bangsa yang mayoritas beragama Islam.
Selain hal-hal
di atas, keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam juga tercermin dari kelima
silanya yang selaras dengan ajaran Islam. Keselarasan masing-masing sila dengan
ajaran Islam, akan dijelaskan melalui uraian di bawah ini.
1. Sila
pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna bahwa bangsa
Indonesia berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Warga negara Indonesia diberikan
kebebasan untuk memilih satu kepercayaan, dari beberapa kepercayaan yang diakui
oleh negara. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun min
Allah, yang merupakan sendi tauhid dan pengejawantahan hubungan
antara manusia dengan Allah SWT. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya
menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan
Tuhan. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah ayat 163. Dalam kacamata Islam, Tuhan adalah Allah
semata, namun dalam pandangan agama lain Tuhan adalah yang mengatur
kehidupan manusia, yang disembah.
2. Sila
kedua yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab bermakna bahwa
bangsa Indonesia menghargai dan menghormati hak-hak yang melekat pada pribadi
manusia. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun min
al-nas, yakni hubungan antara sesama manusia berdasarkan sikap saling menghormati.
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada
umatnya untuk selalu menghormati dan menghargai sesama. Di antaranya
adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Al-Maa’idah ayat 8.
3. Sila
ketiga berbunyi Persatuan Indonesia bermakna bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang satu dan bangsa yang menegara. Dalam konsep Islam, hal
ini sesuai dengan istilah ukhuwah Islamiah(persatuan sesama umat Islam)
dan ukhuwah Insaniah (persatuan sesama umat manusia). Al-Qur’an dalam
beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk
selalu menjaga persatuan. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam
Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 103.
4. Sila
keempat berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmad Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan bermakna bahwa dalam mengambil keputusan
bersama harus dilakukan secara musyawarah yang didasari oleh hikmad
kebijaksanaan. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah mudzakarah (perbedaan
pendapat) dan syura (musyawarah). Al-Qur’an dalam beberapa
ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu selalu
bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan dan selalu
menekankan musyawarah untuk menyelesaikannya dalam suasana yang demokratis. Di
antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali
Imron ayat 159.
5. Sila
kelima berbunyi Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia bermakna bahwa
Negara Indonesia sebagai suatu organisasi tertinggi memiliki kewajiban untuk
mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai
dengan istilah adil. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya memerintahkan
untuk selalu bersikap adil dalam segala hal, adil terhadap diri sendiri,
orang lain dan alam. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an
Surat al-Nahl ayat 90.
Berdasarkan
penjelasan di atas, sebenarnya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara
memiliki keselarasan dengan ajaran Islam. Sikap umat
Islam di Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD
1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi
pertimbangan.
Dengan demikian
sudah semestinya tercipta kebersamaan antara golongan nasionalis dan golongan
Islam di bumi pertiwi ini. Semoga suatu saat nanti terwujud kebersamaan antara
golongan nasionalis (kebangsaan) dengan golongan Islam, sehingga terwujud suatu
masa ketika PANCASILA BERTASBIH.
(Dokumen Pemuda
TQN Suryalaya News, sumber: albarzah.blogspot.com)
Posting Komentar
Posting Komentar