Syeikh
Abul Qosim Al-Qusyairy
Allah swt. berfirman:"Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang
dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (Q.s. An-Najm: 17).
Dikatakan bahwa ayat ini berarti, "Nabi melaksanakan adab di
hadirat Allah." Allah swt. berfirman: "’Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu. " (Q.s. At-Tahrim: 6).
Mengomentari ayat ini, Ibnu Abbas mengatakan, "Didiklah dan ajarilah
mereka adab."
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. telah bersabda, "Hak seorang
anak atas bapaknya adalah si bapak hendaknya memberinya nama yang baik,
memberinya susu yang murni dan banyak, serta mendidiknya dalam adab dan akhlak
Sa’id bin al-Musayy-ab berkata, "Barangsiapa yang tidak mengetahul hak-hak
Allah swt. atas dirinya dan tidak pula mengetahui dengan baik perintah-perintah
dan larangan-larangan-Nya, berarti tersingkir dari adab."
Nabi saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah telah mendidikku dalam adab dan
mendidikku dengan sangat baik. "’ (H.r. Baihaqi)
Esensi adab adalah gabungan dari semua akhlak yang baik. jadi’ orang yang
beradab adalah orang yang pada dirinya tergabung perilaku kebaikan, dari sini
muncul istilah ma’dubah yang berarti berkumpul untuk makan-makan.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, "Seorang hamba akan mencapai surga
dengan mematuhi Allah swt. Dan akan mencapai Allah swt. dengan adab
menaati-Nya." Beliau juga mengatakan,"Aku. melihat seseorang yang mau
menggerakkan tangannya untuk menggaruk hidungnya dalam shalat, namun tangannya
terhenti." Jelas bahwa yang beliau maksudkan adalah diri beliau sendiri.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq tak pernah bersandar pada apa pun jika sedang duduk.
Pada suatu hari beliau sedang berada dalam suatu kumpulan, dan saya ingin
menempatkan sebuah bantal di belakang beliau, sebab saya melihat beliau tidak
punya sandaran. Setelah saya meletakkan bantal itu di belakangnya, beliau lalu
bergerak sedikit untuk menjauhi bantal itu. Saya mengira beliau tidak menyukai
bantal itu karena tidak dibungkus sarung bantal.
Tetapi beliau lalu menjelaskan, "Aku tidak menginginkan sandaran."
Setelah itu saya merenung, ternyata beliau memang tidak pernah mau bersandar
pada apa pun.
Al-Jalajily al-Bashry berkomentar, "Tauhid menuntut keimanan, jadi orang
yang tak punya iman tidak bertauhid.
Iman menuntut syariat, jadi orang yang tidak mematuhi syariat berarti tak punya
iman, dan tauhid. Mematuhi syariat menuntut adab, jadi orang yang tak mempunyal
adab tidak mematuhi syariat, tidak memiliki iman dan tauhid."
Ibnu Atha’ berkata, ‘Adab berarti terpaku dengan hal-hal yang terpuji."
Seseorang bertanya, "Apa artinya itu?"
Dia menjawab, "Maksudku engkau harus mempraktikkan adab kepada Allah swt
baik secara lahir dan batin. Jika engkau berperilaku demikian, engkau memiliki
adab, sekalipun bicaramu tidak seperti bicaranya orang Arab." Kemudian dia
membacakan Syair : Bila berkata, ia ungkapkan dengan manisnya. Jika diam, duhai
cantiknya.
Abdullah al-Jurairy menuturkan, "Selama duapuluh tahun dalam khalwatku,
belum pernah aku melonjorkan kaki satu kali pun ketika duduk Melaksanakan adab
pada Allah swt. adalah lebih utama."
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, "Orang yang bersekutu dengan
raja-raja tanpa adab, ketololannya akan menjerumuskan pada kematian."
Diriwayatkan ketika Ibnu Sirin ditanya, "Adab mana yang lebih mendekatkan
kepada Allah swt.?" Dia menjawab, "Ma’rifat mengenal Ketuhanan-Nya,
beramal karena patuh kepada-Nya, dan bersyukur kepada-Nya atas kesejahteraan
dari-Nya., serta. bersabar dalam menjalani penderitaan."
Yahya bin Mu’adz berkata, "Jika, seorang ‘arif meninggalkan adab di
hadapan Yang Dima’rifati, niscaya dia akan binasa bersama mereka yang
binasa."
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, "Meninggalkan adab mengakibatkan
pengusiran. Orang yang berperilaku buruk di pelataran akan dikirim kembali ke
pintu gerbang. Orang yang berperilaku buruk di pintu gerbang akan dikirim untuk
menjaga binatang."
Ditanyakan kepada Hasan al-Bashry, "Begitu banyak yang telah dikatakan
tentang berbagai ilmu sehubungan dengan adab. Yang mana diantaranya yang paling
bermanfaat di dunia dan paling efektif untuk akhirat?" Dia menjawab,
"Memahami agama, zuhud di dunia, dan mengetahui apa kewajiban-kewajiban
terhadap Allah swt."
Yahya bin Mu’adz berkata, "Orang yang mengetahui dengan baik adab terhadap
Allah swt. akan menjadi salah seorang yang dicintal Allah swt."
Sahl bin Abdullah mengatakan, "Para Sufi adalah mereka yang meminta
pertolongan Allah swt. dalam melaksanakan perintah perintah-Nya dan yang
senantiasa memelihara, adab terhadap-Nya."
Ibnul Mubarak berkata, "Kita lebih membutuhkan sedikit adab daripada
banyak pengetahuan. " Dia juga mengatakan, "Kita mencari ilmu tentang
adab setelah orang-orang yang beradab meninggalkan kita."
Dikatakan, "Tiga perkara yang tidak akan membuat orang merasa asing:
1. menghindari orang yang berakhlak buruk.
2. memperlihatkan adab dan
3. mencegah tindakan yang menyakitkan."
Syeikh Abu Abdullah al-Maghriby membacakan syair berikut ini tentang adab:Orang
asing tak terasing bila dihiasi tiga pekerti ;menjalankan adab, diantaranya,
dan kedua berbudi baik dan ketiga menjauhi orang-orang yang berakhlak buruk.
Ketika Abu Hafs tiba di Baghdad, al-Junayd berkata kepadanya, "Engkau
telah mengajar murid-murldmu untuk berperilaku seperti raja-raja!" Abu
Hafs merjawab, "Memperlihatkan adab yang baik dalam lahiriahnya, merupakan
ragam dari adab yang baik dalam batinnya."
Abdullah ibnul Mubarak berkata, "Melaksanakan adab bagi seorang ‘arif
adalah seperti halnya tobatnya pemula."
Manshur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan, "Seseorang mengatakan kepada
seorang Sufi, Alangkah jeleknya adabmu!’ Sang Sufi menjawab, Aku tidak
mempunyai adab buruk.’ Orang itu bertanya, ‘Siapa yang mengajarmu adab?’ Si
Sufi menjawab, ‘Para Sufi.’
Abu an-Nashr as-Sarraj mengatakan, "Manusia terbagi tiga kategori dalam
hal adab:
1) Manusia duniawi, yang cenderung memprioritaskan adabnya dalam hal kefasihan
bahasa Arab dan sastra, menghapalkan ilmu-ilmu pengetahuan, nama-nama kerajaan,
serta syair-syair Arab; 2) Manusia religius yang memprioritaskan dalam olah
jiwa, mendidik fisik, menjaga batas-batas yang ditetapkan Allah, dan meninggalkan
hawa nafsu; 3) Kaum terpilih (ahlul khushushiyah) yang berkepedulian pada
pembersihan hati, menjaga rahasia, setia kepada janji, berpegang pada kekinian,
menghentikan perhatian kepada bisikan-bisikan sesat, dan menjalankan adab pada
saat-saat memohon, dan dalam tahapan-tahapan kehadiran dan taqarrub
dengan-Nya."
Diriwayatkan bahwa Sahl bin Abdullah mengatakan, "Orang yang menundukkan
jiwanya dengan adab berarti telah menyembah Allah dengan tulus."
Dikatakan, "Kesempurnaan adab tidak bisa dicapai kecuali oleh para Nabi -
semoga Allah melimpahkan salam kepada mereka dan penegak kebenaran
(shiddiqin)."
Abdullah ibnul Mubarak menegaskan, "Orang berbeda pendapat mengenai apa
yang disebut adab. Menurut kami, adab adalah mengenal diri."
Dulaf asy-Syibly berkata, "Ketidakmampuan menahan diri dalam berbicara
dengan Allah swt. berarti meninggalkan adab."
Dzun Nuun al-Mishry berkomentar, "Adab seorang ‘arif melampaui adab siapa
pun. Sebab Allah Yang dima’rifati, Dialah yang mendidik hatinya. "
Salah seorang Sufi mengatakan, ‘Allah swt. berfirman: Barangsiapa yang Aku
niscayakan tegak bersama Asma dan Sifat-Ku, maka Aku niscayakan adab padanya.
Dan siapa yang Kubuka padanya, jauh dari hakikat Dzat-Ku, maka Aku niscayakan
kebinasaan padanya. Pilihah, mana yang engkau sukai: adab atau
kebinasaan’."
Suatu hari Ibnu Atha’ yang menjulurkan kakinya ketika sedang berada bersama
murid-muridnya, berkata, "Meninggalkan adab di tengah-tengah kaum yang
memiliki adab adalah tindakan yang beradab. " Statemen ini didukung oleh hadis
yang menceritakan Nabi saw. sedang berada bersama Abu Bakr dan Umar. Tiba-tiba
Utsman datang menjenguk beliau. Nabi menutupi paha beliau dan bersabda,
"Tidakkah aku malu di hadapan orang yang malaikat pun malu di
hadapannya?"
Dengan ucapannya itu Nabi menunjukkan bahwa betapapun beliau menghargai keadaan
Utsman, namun keakraban antara beliau dengan Abu Bakr dan Umar lebih beliau
hargai. Mendekati makna, konteks ini mereka, para Sufi bersyair berikut:
Padaku penuh santun nan ramah, maka, bila berhadapan dengan mereka yang
memiliki kesetiaan dan kehormatan, kubiarkan aku mengalir aku berbicara apa
adanya tanpa malu-malu.
Al Junayd menyatakan, "Manakala cinta sang pecinta telah benar,
ketentuan-ketentuan mengenai adab telah gugur."
Abu Utsman al-Hiry mengatakan, "Manakala cinta telah menghujam sang
pecinta, adab, akan menjadi keniscayaannya."
Ahmad an-Nury menegaskan, "Barangsiapa tidak menjalankan adab di saat
kini, maka sang waktunya akan dendam padanya.
Dzun Nuun al-Mishry berkata, "Jika seorang pemula dalam jalan Sufi
berpaling dari adab, maka dia akan dikembalikan ke tempat asalnya.
Mengenai ayat:"Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru kepada
Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau
adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yang penyayang " (Q.s.
Al-Anbiya’: 83).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan penjelasan, ‘Ayub tidak mengatakan,
‘Kasihanilah aku!’ (irhamny), semata karena beradab dalam berbicara kepada
Tuhan."
Begitujuga Isa as. mengatakan:"Jika Engkau menyiksa mereka, maka
sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. " (Q.s. Al-Maidah: 118).
"Seandainya aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah
mengetahuinya. " (Q.s. Al-Maidah: 116).
Komentar Syeikh ad-Daqqaq, "Nabi Isa mengucapkan,’Aku tidak menyatakan’
(lam aqul), semata karena menjaga adab di hadapan Tuhannya."
Al-Junayd menuturkan, "Pada hari jum’at di antara orang-orang salihin
datang kepadaku, dan meminta, ‘Kirimlah salah seorang fakir kepadaku untuk
memberikan kebahagiaan kepadaku dengan makan bersamaku."
Aku pun lalu melihat ke sekitarku, dan kulihat seorang fakir yang kelihatan
lapar. Kupanggil dia dan kukatakan kepadanya, ‘Pergilah bersama syeikh ini dan
berilah kebahagiaan kepadanya.’ Tak lama kemudian orang itu kembali kepadaku
dan berkata, ‘Wahai Abul Qasim, si fakir itu, hanya makan sesuap saja" dan
pergi meninggalkan aku!’
Aku menjawab, ‘Barangkali Anda mengatakan sesuatu yang tak berkenan pada
benaknya.’
Dia menjawab,’Aku tidak mengatakan apa-apa.’
Aku pun menoleh, tiba-tiba si fikir duduk di dekat kami dan aku bertanya
kepadanya, ‘Mengapa engkau tidak memenuhi kegembiraannya?’
’Dia menjawab, ‘Wahai syeikh, saya meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad
tanpa makan sesuatu pun. Saya tidak ingin kelihatan tak sopan di hadapan Anda
karena kemiskinan saya, tetapi ketika Anda memanggil saya, saya gembira karena
Anda mengetahui kebutuhan saya sebelum saya mengatakan apa-apa.
Saya pun pergi bersamanya, sambil mendoakan kebahagiaan surga baginya.
Ketika saya duduk di meja makannya, dia menyuguhkan makanan dan berkata,
‘Makanlah ini, karena aku menyukainya lebih dari uang sepuluh ribu dirham.
’Ketika saya mendengar ucapannya itu, tahulah saya bahwa citarasanya rendah
sekali. Karenanya, saya tak suka makan makanannya.’
Aku menjawab, ‘Tidakkah aku telah mengatakan kepadamu bahwa engkau bertindak
tak beradab dengan tidak membiarkannya bahagia?’
Dia berkata, ‘Wahai Abul Qasim, saya bertobat!’
Maka aku pun lalu menyuruhnya kembali kepada orang saleh itu dan menggembirakan
hatinya."
(Dokumen Pemuda TQN Suryalaya News, dari: sufiroad.blogspot.com)
Posting Komentar
Posting Komentar