Secara etimologis ” asbabul wurud ” merupakan susunan idlofah, yang berasal dari kata asbab dan wurud. Kata ” asbab adalah bentuk jama’ dari kata “sabab”, yang berarti segala sesuatu yang dapat mehubungkan pada sesuatu yang lain, (sunan turmudzi dalam kitab thoharoh: 1/151.) atau penyebab terjadinya sesuatu. Sedangkan kata “wurud” merupakan bentuk isim masdar dari waroda, yaridu, wuruudan yang berarti dating atau sampai .(Shohih Bukhori dalam kitabul ilmi: 1/23)
Secara terminologi menurut As-suyuti asbabul wurud diartikan sebagai berikut:
“sesuatu yang menjadi metode untuk menentukan maksud suatu hadits yang bersifat umum, khusus, mutlak, muqoyyad, dan untuk menentukan ada dan tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu hadits”.(Musnad Ahmad: VI/3)
Jika diteliti secara kritis pendefinisian As-suyuti lebih mengacu kepada fungsi asbab wurudul hadits yakni, untuk menentukan tahsish dari yang ‘amm (umum), membatasi yang mutlak, serta untuk menentukan ada dan tidaknya naskh dan mansukh dalam suatu hadits dan lain sebagainya Nampaknya kurang tepat jika pendefinisian tersebut dipakai untuk merumuskan pengertian asbabul wurud. Menurut hemat kami perlu menoleh pada pendapat Hasbi as-sidiqi beliau mendefinisikan sebagai berikut:
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW.menuturkan firmannya dan masa-masa Nabi SAW.menuturkannya”(Imam Malik, dalam kitab Al-jumah: 1/102).
Sebagian ulama berpendapat bahwa pengertian asbabul wurud mirip dengan pengertian asbabul nuzul
“Sesuatu baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang terjadi pada waktu hadits itu di sabdakan oleh Nabi SAW”.(Al-bukhori kitab mawakit as-sholah: 1/346).
Dari ketiga definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa asbabul wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang lainnya yang terjadi pada saat hadits tersebut di sabdakan oleh Nabi SAW, dapat berfungsi sebagai acuan analisis dalam menentukan apakah hadits tersebut bersifat khusus, umum, mutlak atau muqoyyad, naskh atau mansukh dan lain sebagainya.
Adapun sasaran dalam mempelajari ilmu ini adalah Setiap hadits yang secara tegas mempunyai asbabul wurud.[1]
B. Macam-Macam Asbabul Wurud
Menurut Imam As-Suyuthi asbabul wurud itu dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu: 1) sebab yang berupa ayat al-Qur’an, 2) sebab yang berupa Hadits itu sendiri 3) sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
1. Sebab yang berupa ayat al-Qur’an.
Artinya di sini ayat al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi SAW. Mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara lain firman Allah Swt. Yang berbunyi :
Artinya di sini ayat al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi SAW. Mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara lain firman Allah Swt. Yang berbunyi :
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. Al-An’am: 82)
Ketika itu sebagian sahabat memahami kata “azh-zhulmu” yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi SAW. Kemudian memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud “azh-zhulmu” dalam firman tersebut adalah asy-syirku yakni perbuatan syirik, sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Luqman:
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (Q.S al-Luqman: 13)
2. Sebab yang berupa Hadits.
Artinya pada waktu itu terdapat suatu hadis, namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian muncul hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap Hadits tersebut. Contoh adalah Hadits yang berbunyi:إن لله تعالى ملائكة في الأرض ينطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من خير أو شر
Artinya pada waktu itu terdapat suatu hadis, namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian muncul hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap Hadits tersebut. Contoh adalah Hadits yang berbunyi:إن لله تعالى ملائكة في الأرض ينطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من خير أو شر
“Sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” (HR. Hakim)
Dalam memahami Hadits tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan, maka mereka bertanya: Ya Rasul !, Bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah tersebut, seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar pujian tersebut, maka Nabi berkata: “wajabat”(pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain. Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: “wajabat”. (pasti masuk neraka).
Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka para sahabat bertanya: “Ya rasul !, mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut: “wajabat” sampai tiga kali. Nabi menjawab: ia benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan jenzah itu jahat.
3. Sebab yang berupa perkaitan yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat. [2]
Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath makkah (pembukaan kota makkah) beliau pernah datang kepada nabi SAW seraya berkata: “Saya Bernazar Akan Shalat Dibaitul Maqdis”. Mendengar pernyataan sahabat tersebut, lalu Nabi bersabda: “Shalat Di Sini, yakni masjidil haram itu lebih utama”. Nabi SAW lalu bersabda: “Demi Dzat yang Jiwaku Berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kamu shalat disini (Masjid Al-Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk memnuhi nazarmu”. Kemudian Nabi SAW, bersabda lagi: “Shalat Dimasjid Ini, Yaitu Masjid Al-Haram Itu Lebih Lebih Utama Dari Pada 100 000 Kali Shalat Di Selain Masjid Al-Haram”. (H.R. Abdurrazzaq Dalam Kitab Al-Mushannafnya).[3]
C. Urgensi Asbabul Wurud dan Cara Mengetahuinya
Asbabul wurud mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka memahami suatu hadis. Sebab biasanya hadis yang disampaikan oleh Nabi bersifat kasuistik, cultural, bahkan temporal. Oleh karenanya, memperhatikan konteks historisitas munculnya hadis sangat penting, karena paling tidak akan menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu hadis.
Sedemikian rupa sehingga kita tidak terjebak pada teksnya saja, sementara konteksnya kita abaikan atau kita ketepikan sama sekali. Pemahaman hadis yang mengabaikan peranan asbabul wurud akan cenderung bersfat kaku, literalis-skriptualis, bahkan kadang kurang akomodatif terhadap perkembangan zaman.
Adapun urgensi asbabul wurud menurut imam as-Suyuthi antara lain untuk:
1. Menentukan adanya takhsish hadis yang bersifat umum.
2. Membatasi pengertian hadis yang masih mutlak.
3. Mentafshil (memerinci) hadis yang masih bersifat global.
4. Menentukan ada atau tidak adanya nash-mansukh dalamsuatu hadis.
5. Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum.
6. Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil (sulit dapahami)
Sebagai ilustrasi, akan diberikan beberapa contoh mengenai fungsi asbabul wurud hadis, yaitu untuk menentukan adanya takhsish terhadap suatu hadis yang ‘am, misalnya hadis yang berbunyi: صلاة القاعد على النصف من صلاة القائم
“shalat orang yang sambil duduk pahalanya separoh dari orang yang sholat sambil berdiri.” (H.R. Ahmad)
Pengertian “shalat” dalam hadits tersebut masih bersifat umum. Artinya dapat berarti shalat fardhu dan sunnat. Jika ditelusuri melalui asbabul wurudnya, maka akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat, bukan shalat fardhu. Inilah yang dimaksud dengantakhshish, yaitu menentukan kekhususan suatu hadits yang bersifat umum, dengan memperhatikan konteks asbabul wurud.
Asbabul wurud hadits tersebut adalah bahwa ketika itu dimadinah dan penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para sahabat lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, nabi kebetulan datang dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnat tersebut sambil duduk. Maka nabi kemudian bersabda :” shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari orang yang shalat dengan berdiri”. Mendengar pernyataan nabi tersebut, akhirnya para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnat sambil berdiri.
Dari penjelasan asbabul wurud tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat. Pengertiannya adalah bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu melakukan shalat sunnah sambil duduk, maka ia akan mendapat pahala separoh dari orang shalat sunnat dengan beridiri.
Dengan demikian, apabila seseorang memang tidak mampu melakukan shalat sambil berdiri -mungkin karena sakit-, baik shalat fardhu atau shalat sunnat, lalu ia memilih shalat dengan duduk, maka ia tidak termasuk orang yang disebut-sebut dalam hadis tersebut. Maka pahala orang itu tetap penuh bukan separoh, sebab ia termasuk golongan orang yang memang boleh melakukan rukhshah atau keringanan syari’at.
Adapun contoh mengenai asbabul wurud yang berfungsi untuk membatasi pengertian yang mutlak adalah hadis yang berbunyi:
من سن سنة حسنة عمل بها بعده كان له أجره مثل أجورهم من غير أن ينقص من جورهم شيئا و من سن سنة سيئة فعمل بها من بعده كان عليه وزره ومثل أوزارهم من غير أن ينقص من أوزارهم شيئا
“Barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau perilaku yang baik), lalu sunnah itu diamalkan orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan pahalanya seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Demikian pula sebaliknya, barang siapayang melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa yang mereka peroleh.” (H.R. Muslim)
Kata “sunnah” masih bersifat mutlak, artinya belum dijelaskan oleh pengertian tertentu. Ia dapat berarti sunnah hasanah (perilaku yang baik) dan sunnah sayyi’ah (perilaku yang jelek). Sunnah merupakankata yang mutlaq baik yang mempunyai dasar pijakan agama atau tidak.
Asbabul wurud dari hadis tersebut adalah ketika itu Nabi SAW sedang bersama-sama sahabat. Tiba tiba datanglah sekelompok orang yang kelihatan sangat susah dan kumuh. Ternyata mereka adalah orang-orang miskin. Melihat fenomena itu, Nabi SAW wajahnya menjadi merah, karena merasa empati, iba dan kasihan. Beliau lalu memerintahkan kepada sahabat yang bernama bilal agar mengumandangkan adzan dan iqamah untuk melakukan shalat jama’ah. Setelah selesai jama’ah shalat, Nabi SAW kenudian berpidato, yang inti pidatonya adalah menganjurkan agar bertaqwa kepada Allah SWT dan mau menginfaqkan sebagian hartanya untuk sekelompok orang-orang miskin tersebut.
Mendengar anjuran itu, maka salah seorang dari sahabat Anshar lalu keluar membawa satu kantong bahan makanan dan diberikan kepada mereka. Ternyata yang dilakukan oleh Anshar itu kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain. Maka kemudian Nabi bersabda : من سن سنة حسنة … الحديث
Dari asbabul wurud tersebut, as-Suyuthi menyimpulkan bahwa yang dimaksud sunnah dalam hadits tersebut adalah sunnah yang baik.
Adapun cara mengetahui asbabul wurudnya sebuah hadits adalah dengan melihat aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya hadis, sebab-sebab wurudnya hadis, ada yang sudah tercantum pada matan hadis itu sendiri, ada yang tercantum pada matan hadits lain. Dalam hal tidak tercantum, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar pemberitaan para sahabat.[4]
D. Contoh – Contoh Asbabul Wurud
Contoh: tentang Syafa’at
أتاني أتٍ من عند ربيّ فخَيَّرَنيِ بيْنَ أن يُدْخِلَ نصف ّأمتي الجنة و بين الشفاعة)
Artinya: telah datang kepadaku Malaikat dari Tuhanku azza wazalla yang menyuruh aku memilih diantara separuh umatku masuk surga atau syafa’at.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Musa Al-‘As’ari menurut penilaian Al-Haitsami, orang orang yang meriwayatkan hadits ini adalah tsiqat (dapat dipercaya)
Sababul wurud
Dijelaskan dalam musnad imam ahmad bersumber dari abu Musa Al-‘As’ari : kami telah bertempur melawan musuh bersama Nabi SAW kemudian kami bersama beliau turun untuk istirahat. Pada suatu malam aku terbangun, namun beliau tidak ada . aku mencari tetapi yang muncul adalah seorang sahabat yang juga mencari beliau . untunglah tiba-tiba Nabi datang menuju kami seraya bersabda; Engkau berada di daerah perang, maka jika engkau akan pergi karena karena suatu keperluan, katakanlah kepada yang lainnya sehingga ia menemanimu. Kemudian Rasulullah bercerita : aku telah mendengar suara seperti gemuruhnya suara lebah dan datanglah seorang malaikat yang menyuruh aku dst.
Keterangan
Yang datang kepada nabi adalah malaikat pembawa kabar gembira yang menerangkan bahwa nabi boleh memilih diantara dua yang beliau sukai yakni separuh umatnya masuk surga atau hak syafaat. Beliau memilih syafaat sehingga seluruh umat beliau akan masuk surga asalkan tidak berbuat syirik.[5]
Tentang Konsentrasi[6]
إذا كتبت فَضعْ قلمك على اذُنِكَ فإنّه أَذْكر لك
Artinya jika engkau menulis letakkan penamu di atas kupingmu sebab dengan demikian engkau lebih ingat.
Diriwayatkan oleh al khatib dalam tarikhnya dari anas bin malik :
Sababul wurudnya adalah kata anas, muawiyah salah satu seorang penulis wahyu jika ia lengah atau lupa mencatat wahyu yang diterimanya dari nabi ia meletakkan penanya kedalam mulutnya. Maka bersabdalah rasulullah: jika engkau menulis, letakkan penamu di telingamu
Keterangan
Hadits ini mengisyaratkan perlunya persiapan dan pemusatan pikiran di saat menulis dan mempelajari ilmu.
Tentang Menziarahi kubur
إني نهيتكم عن زيارة القبور فزورها وَلْتزِدكم زيارتُها أجرا
“Sesungguhnya aku pernah melarang kamu menziarahi kubur maka sekarang ziarahilah dan tambahilah pahala kamu dengan menziarahinya”.
Diriwayatkan oleh Thahawi dalam al-atsar dari buraidah r.a dan dari sa’id berbunyi: arabnya (aku larang kamu menziarahi kubur maka sekarang ziarahilah karena sesunggunya dalam menziarahi kubur itu terdapat pelajaran)
Sababul wurud
Kata Burairah: kami bersaama rosul dalam suatu perjalanan. Kami singgah, sedangkan jumlah kami semuanya hampir 1.000 orang. Beliau mengerjakan shalat dua rakaat bersama kami. Kemudian beliau menghadapkan mukanya kepada kami. Air maya beliau mengalir membasahi pipi. Umar pun berdiri dan bersedia menggantikannya (segala apayang dihadapi nabi dengan dirinya. Umar bertanya: apa yang engkau rasakan wahai rasul: beliau menerangkan : sesungguhnya ku mohon izin kepada allah untuk mendo’akan keampunan kepada ibuku (istighfar) , tetapi Tuhan tidak mengizinkanku. Maka mengalirlah air mataku sebagai tanda kasih sayang kepadanya (yang melepaskannya) dari api neraka. Sesungguhnya aku pernah melarang kamu….dst.[7]
E. Kitab-Kitab yang Berbicara tentang Asbabul Wurud
Ilmu mengenai asbabul wurud al-hadis ini sebenarnya telah ada sejak zaman sahabat. Hanya saja ilmu ini belum tersusun secara sistematis dalam suatu bentuk kitab-kitab. Demikian kesimpulan as-Suyuthi dalam al-Luma’ fi Asbabi wurud al-hadis. Namun kemudian, seiring dengan perkembangan dunia keilmuan waktu itu, ilmu asbab al-wurud menjadi berkembang. Para ulama ahli hadis rupa-rupanya merasakan perlunya disusun suatu kitab secara tersendiri mengenai asbabul wurud.
Adapun kitab-kitab yang banyak berbicara mengenai asbabul wurud antara lain adalah:
- Asbabu wurud al-Hadis karya Abu hafs al-Ukbari (w. 339 H.), namun sayang kitab tersebut tidak dapat sampai ke tangan kita.
- Asbabu wurud al-hadis karya Abu Hamid Abdul Jalil Al-Jabari. Kitab tersebut juga tidak sempat sampai ketangan kita.
- Asbabu Wurud al-Hadis atau yang disebut juga al-Luma’ fi Asbab Wurudil hadis, karya Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi. Kitab tersebut sudah ditahqiq oleh Yahya Ismail Ahmad.
- Al-Bayan wa at-Ta’rif karya Ibnu Hamzah Al-Husaini ad-Damasyqi (w.1110 H.)
KETERANGAN :
[1] Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin., Ibid., 9
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 38-39
[3] Ibid., 9-12
[4] Endang Soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997). Hlm 211
[5] Ibnu Hamzah Al-Husaini al-Hanafi Ad-Damsyiqi, Asbabul Wurud (Latar Belakang Historis Timbulnya hadits-Hadits Rasul) jilid I) Terjemahan HM. Suwarta Wijaya& Zafrullah Salim. (Jakarta: Kalam mulia 1997), hlm. 21
[6] Ibid., hlm 151
[7] Ibnu Hamzah Al-Husaini al-Hanafi Ad-Damsyiqi, Asbabul Wurud (Latar Belakang Historis Timbulnya hadits-Hadits Rasul) jilid 2) Terjemahan HM. Suwarta Wijaya& Zafrullah Salim. (Jakarta: Kalam mulia 1997), hlm. 163
[1] Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin., Ibid., 9
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 38-39
[3] Ibid., 9-12
[4] Endang Soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997). Hlm 211
[5] Ibnu Hamzah Al-Husaini al-Hanafi Ad-Damsyiqi, Asbabul Wurud (Latar Belakang Historis Timbulnya hadits-Hadits Rasul) jilid I) Terjemahan HM. Suwarta Wijaya& Zafrullah Salim. (Jakarta: Kalam mulia 1997), hlm. 21
[6] Ibid., hlm 151
[7] Ibnu Hamzah Al-Husaini al-Hanafi Ad-Damsyiqi, Asbabul Wurud (Latar Belakang Historis Timbulnya hadits-Hadits Rasul) jilid 2) Terjemahan HM. Suwarta Wijaya& Zafrullah Salim. (Jakarta: Kalam mulia 1997), hlm. 163
SUMBER: kangmuz.wodpress.com
Posting Komentar
Posting Komentar