Oleh Asep Sapa'at
Sungguh kesedihan yang teramat mendalam kehilangan sosok guru inspiratif, Ustaz
Jefri Al Bukhori. Memang, inilah sosok bijaksana, dan kita baru menyadari arti
penting hadirnya setelah beliau meninggalkan kita semua.
Banyak pesan dan hikmah dari perjalanan hidupnya. Inilah momentum terbaik bagi
kita untuk mengambil setiap pelajaran hidup dari beliau dan tergerak untuk
melakukan kebaikan dalam sisa usia hidup kita.
Ustaz itu guru, tapi bukan sebaliknya. Kata ustaz punya makna istimewa, bahkan
terkesan hanya layak disandang orang-orang khusus saja. Ustadz atau guru, punya
satu kesamaan, memberikan pengajaran dan keteladanan pada banyak orang. Ruang
lingkup ustadz relatif luas, sementara guru dibatasi dalam ruang lingkup sekolah.
Bagi Almarhum Ustadz Uje, ustadz itu bukan profesi tapi pilihan hidup untuk
memberikan kebaikan pada orang lain. Indikator kesuksesan bukan terletak pada
seberapa populer dan seberapa banyak materi yang diraih pada saat berstatus
ustadz, tapi seberapa banyak orang yang hidupnya berubah menjadi lebih baik.
Guru, profesikah? Secara de jure, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
telah menegaskan arti guru sebagai sebuah profesi. Pertanyaan kritis bagi guru,
apa motivasi utama menjadi guru? Jika hanya sekadar menjadi jalan untuk
mencukupi kebutuhan diri dan keluarga, itu jawaban tak bervisi.
Karena banyak pekerjaan lain pun menawarkan hal serupa, bahkan lebih
menjanjikan dan bisa menjamin kehidupan ekonomi yang lebih mapan. Mengapa tak
pilih pekerjaan lain selain menjadi guru?
Almarhum Uje memberi pelajaran tentang arti pentingnya niat baik dan lurus.
Kisah hidup yang kelam di masa lalu menjadi motivasi untuk memperbaiki dirinya
sendiri, lalu berikhtiar agar orang lain tak mengalami nasib yang sama dengan
dirinya.
Itulah titik balik kehidupan. Kesan humanisnya kental terasa. Ustaz juga
tetaplah manusia. Sekelam apa pun masa lalu kita, selalu tersedia waktu
untuk segera bertobat dan memperbaiki diri. Lantas, apa yang diperbuat setelah
bertobat, itu menjadi soal yang utama.
Berapa banyak guru di Indonesia sudah punya niat baik dan lurus? Jangan
sepelekan soal niat. Jika niat guru sudah baik, semoga semuanya melahirkan
kebaikan bagi murid. Tapi jika niat guru sudah keliru, sadarkah bahwa hal itu
bisa merusak murid-murid? Jika guru punya niat keliru, sadarilah lalu perbaiki
niatnya. Guru juga manusia, bisa berbuat salah dan khilaf. Jangan lalai untuk
mengintrospeksi diri.
Kalimat teduh yang selalu meluncur dari mulut Almarhum Uje di sela-sela
dakwahnya, "Saya ini tidak lebih baik dari saudara sekalian. Saya ini
belum berbuat apa-apa. Saya masih harus banyak belajar. Mohon maaf jika ada
kata dan perilaku saya yang salah".
Beliau ingin menyampaikan pesan bahwa ustad itu bukan sosok yang sempurna.
Maka, ustaz harus terus belajar membenahi diri dan harus jantan meminta maaf
jika memang telah berlaku salah. Sikap rendah hati begitu tampak nyata di depan
mata. Berapa banyak guru yang merasa dirinya lebih hebat dari murid?
Berapa banyak guru yang berani ucapkan kata maaf jika berbuat salah pada murid?
Berapa banyak guru yang bisa akui kehebatan murid dan belajar pada murid
tersebut? Ingat, guru itu manusia. Maka, tunjukkanlah sikap layaknya seorang
manusia yang tak sempurna. Belajarlah dari ketidaksempurnaan itu agar guru bisa
berbuat lebih baik dari waktu ke waktu.
Yang paling memesona dari Almarhum Uje, beliau bisa diterima banyak kalangan.
Wajar kalau publik mengenal beliau sebagai ustad gaul. Ini bukti bahwa beliau
punya kemampuan komunikasi yang handal. Pelajaran yang bisa guru cermati dari
beliau adalah sikap yang tak menggurui, sederhana dalam bertutur, semangat
dalam menyajikan materi, memahami karakteristik audiens.
Saya menyimak secara cermat bagaimana beliau menyampaikan materi di hadapan
bapak-ibu yang sudah relatif uzur, pejabat, selebritis, narapidana, remaja,
serta beragam audience lainnya. Gaya penyajiannya selalu mampu membuat audience
terlibat pikiran dan perasaannya. Sebagian audience bahkan berseloroh,
"Apa yang beliau jelaskan kok persis sekali dengan apa yang saya pikirkan
dan saya rasakan".
Kemampuan komunikasi, salah satu keterampilan yang wajib dikuasai guru.
Pelajaran yang bisa dipetik dari almarhum Uje, pahami audience dan
berkomunikasilah dengan hati. Sehebat apa pun penguasaan materi seorang guru,
tanpa komunikasi yang baik, bisa jadi materi itu tak bisa dipahami murid. Buang
jauh-jauh cara berpikir bahwa guru itu harus jaga image, jaga wibawa.
Wibawa itu justru akan terjaga jika guru bisa memahami persoalan murid dan
membantu mereka mengatasi persoalannya. Bukan malah menjaga jarak dan mengambil
resiko tak bisa memahami apa yang ada di pikiran dan perasaan murid. Akhirnya,
materi penyajian guru jadi tak berbekas apa pun pada diri murid.
Kita semua dibuat terpesona dengan pribadi almarhum Uje. Ayah yang baik di mata
anak-anak, suami yang baik di mata istri tercinta, anak yang shalih bagi orang
tuanya, sahabat yang baik bagi teman-teman, dan banyak orang merasa kehilangan
figur Uje. "Saya selalu menyampaikan nasihat kepada orang, lantas siapa
yang bisa menasihati saya? Saya juga butuh nasihat agar hidup saya tetap
lurus", ujar almarhum kepada salah satu sahabatnya di masa hidup beliau.
Guru bisa belajar pada almarhum Uje tentang arti pentingnya mendidik diri.
Mustahil kita bisa mengubah kehidupan murid jika hidup kita tak pernah berubah.
Banyak guru yang berpikir bahwa murid-murid harus berubah, padahal gurunya
sendiri yang mesti berubah terlebih dahulu. Didiklah diri kita sendiri sebelum
kita mendidik murid-murid.
Almarhum Uje sudah berhasil mendidik dirinya sendiri, keluar dari masa lalu
yang kelam menuju masa kehidupan yang berarti bagi banyak orang. Kisah
transformasi kehidupan yang luar biasa. Lantas, apakah guru-guru bisa konsisten
mendidik dirinya sendiri agar layak digugu dan ditiru murid? Ini bicara soal
kemauan, sesuatu yang sederhana untuk diucapkan tapi tak mudah untuk
direalisasikan.
Akhirnya, jika kepergian ustaz Uje ditangisi banyak orang, maka berapa banyak
murid-murid kita yang menangisi kematian kita nanti? Jika banyak orang hendak
mengantar jenazah ustadz Uje ke pekuburan, berapa banyak murid yang berebutan
ingin menandu jenazah dan menghadiri acara pemakaman kita?
Jika banyak orang terus mendoakan dan tetap mengabadikan
kenangan hidup ustadz Uje di hati mereka pascawafat, berapa banyak murid yang
terus terkenang dengan perilaku baik kita dan mendoakan kita bahagia
dunia-akhirat? Wahai guru, renungkanlah.
Cipularang, 28 April 2013
Penulis adalah Praktisi Pendidikan dan Direktur Sekolah Guru Indonesia
(Dokumen Pemuda TQN Suryalaya News, sumber: republika.co.id)
Posting Komentar
Posting Komentar