Abu
Yazid al-Busthami pernah berkata kepada salah seorang temannya: “Marilah
kita sama-sama melihat seorang lelaki yang mengaku dirinya sebagai seorang
wali” – dan dia memang dikenal ke-zuhud-annya. Kemudian, ketika laki-laki tadi
keluar dari rumahnya dan memasuki masjid, dia membuang ludahnya ke arah kiblat.
Melihat kejadian tersebut, Abu Yazid langsung bergegas meninggalkannya dan
tidak memberi salam kepadanya, lalu beliau berkata: “Laki-laki tadi tidak bisa
mengamalkan akhlaq Rasulullah Saw, bagaimana mungkin pengakuannya (sebagai
seorang wali) bisa dipercaya?”
Abu Yazid al-Busthami juga pernah berkata: “Kalian jangan tertipu,
jika kalian melihat seseorang yang memiliki karamah -meski dia bisa terbang di
udara-, sampai kalian melihat bagaimana orang tersebut melaksanakan perintah
dan meninggalkan larangan Allah Swt, menjaga dirinya dari hudud (hukum pidana
Allah Swt) dan bagaimana dia melaksanakan syari’at Allah Swt.”
Sahl al-Tusturi mengatakan tentang pinsip-prinsip dasar tasawuf: “Dasar-dasar
tasawuf itu adalah tujuh, yaitu berpegang teguh pada al-Qur’an; meneladani
Sunnah Nabi Muhammad Saw; memakan makanan yang halal; menahan diri dari
menyakiti (orang lain); menjauhi maksiyat; senantiasa bertaubat; dan memenuhi
segala yang telah menjadi kewajibannya”.
Al-Junaid, seorang tokoh dan Imam para sufi, berkata – sebagaimana dikutip oleh
al-Qusyairi: “Barang siapa yang tidak menghafal al-Qur’an dan tidak menulis
hadits, maka janganlah ia mengikuti jalan tasawuf ini, karena ilmu kami ini berasal
dari dalil-dalil al-Qur’an dan sunnah.” Beliau menambahkan: “Ilmu kami ini
selalu diperkuat dengan hadits Rasulullah Saw”. Beliau juga berkata: “Pada
dasarnya jalan tasawuf itu tertutup bagi semua orang, kecuali bagi mereka yang
memilih jalan yang ditempuh Rasulullah Saw, mengikuti sunnahnya dan terus tetap
berada di jalannya.”
Pernah ada seorang laki-laki yang menuturkan tentang ma’rifat di hadapan
al-Junaid dengan berkata: “Ahli ma’rifat kepada Allah Swt akan sampai pada satu
kondisi dimana ia bisa meninggalkan perbuatan baik apapun dan ber-taqarrub¬
kepada Allah Swt”. Mendengar perkataan orang tersebut, al-Junaid berkata:
“Itulah pendapat sekelompok orang yang menyatakan tentang ‘gugurnya amal
perbuatan’, dan hal ini, menurutku, merupakan suatu kesalahan atau dosa yang
sangat besar. Bahkan orang yang mencuri dan bezina masih lebih baik keadaannya
daripada orang yang mengatakan pendapat tersebut”.
Jika kita menengok pada Imam al-Ghazali, maka kita akan melihat bahwa
beliau menyatakan pendapatnya dengan tegas, jelas dan kuat argumentasinya.
“Ketahuilah, bahwa orang yang menempuh perjalanan menuju Allah Swt itu sangat
sedikit jumlahnya, namun mereka yang mengaku-aku sangat banyak jumlahnya. Kami
ingin anda mengetahui seorang salik yang sebenarnya, antara lain; semua amal
perbuatannya yang bersifat ikhtiyari selalu selaras dengan aturan-aturan
syari’at, baik keinginannya, aktualisasinya maupun performansinya. Karena tidak
mungkin bisa menmpuh jalan tasawuf, kecuali setelah ia benar-benar menjalankan
syari’at. Tidak ada orang yang akan sampai (pada tujuan tasawuf), kecuali
mereka yang selalu mengamalkan amalan-amalan sunah. Oleh karena itu, bagaimana
mungkin seseorang yang meremehkan kewajiban-kewajiban syari’at bisa sampai
(pada tujuan tasawuf tersebut)?”
Jika anda bertanya: “Apakah kedudukan salik akan sampai pada suatu tingkatan di
mana ia boleh meninggalkan sebagian yang menjadi kewajiban syari’atnya dan atau
melakukan sebagian perbuatan yang dilarang oleh syari’at, sebagaimana pendapat
sebagian syeikh yang menggampangkan persoalan tersebut?”
Jawabanku: “Ketahuilah, bahwa pendapat tersebut merupakan bentuk tipuan dan
kebohongan yang nyata, karena orang-orang sufi sejati mengatakan: ‘Jika engkau
melihat seseorang yang dapat terbang di atas udara dan berjalan di atas air
tetapi dia melakukan satu hal yang bertentangan dengan syari’at, maka
ketahuilah bahwa dia adalah syaitan’.”
Selanjutnya, kita sampai pada pendapat Abi Hasan al-Syadzali yang mengatakan:
“Jika kasyf-mu bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka berpeganglah
kepada al-Qur’an dan Sunnah dan abaikanlah kasyf-mu itu, lalu katakan pada
dirimu sendiri; sesungguhnya Allah Swt telah memberikan jaminan tentang
kebenaran al-Qur’an dan Sunnah kepadaku, tetapi Allah Swt tidak memberikan
jaminan kepadaku tentang kebenaran kasyf, ilham dan musyahadah kecuali setelah
dikonfirmasikan dengan al-Qur’an dan Sunnah”.
Orang-orang sufi mengikuti semua petunjuk yang berupa nash al-Qur’an dan
Sunnah, baik Sunnah qauliyah (perkataan Nabi) maupun Sunnah ‘amaliyah
(perbuatan Nabi). Mereka pasti sangat menyadari akan kebenaran sejarah bahwa
Rasulullah Saw adalah contoh ideal dalam segala hal hingga akhir hayatnya.
Itulah beberapa pendapat dari kalangan sufi klasik. Sebagai penutup, kami
kutipkan sebuah hadits Nabi Muhammad Saw. Beliau pernah ditanya tentang
sekelompok orang yang meninggalkan amal perbuatan atau kewajiban agama, tetapi
mereka ber-husnu al-dzan (berprasangka baik) kepada Allah Swt. Rasulullah Saw
menjawab: “Mereka itu bohong, kalau mereka itu berprasangka baik, tentu baik
pula amal perbuatan mereka”.
(Sumber: sufiroad.blogspot.com)
Posting Komentar
Posting Komentar