Kaum
muslim layak berbangga atas prestasinya. Ia telah mengguncang dunia dengan
teori fisikanya. Ia juga telah mengangkat harga diri masyarakat Islam dan dunia
ketiga. Meski di negerinya sendiri ditelantarkan, ia tak kecil hati. Dunia
fisika terus ia geluti. Dunia sosial tak lupa ia cicipi. Ia bukanlah tipe
intelektual yang tinggi hati. Kerja kerasnya berbuah. Ia berhasil menciptakan
teori yang membuat orang terperangah. Penghargaan Nobel Fisika pun ia terima
sebagai anugerah. Dialah muslim pertama peraih Nobel Bidang Fisika sepanjang sejarah.
Sosok
fenomenal itu bernama Abdus Salam. Ia dilahirkan pada 29 Januari 1926, di
Jhang, Pakistan. Ayahnya, Hazrat Mohammad Hussein, adalah seorang pegawai Dinas
Pendidikan. Keluarganya dikenal alim dan saleh. Sejak kecil, Salam diajar dalam
tradisi pendidikan yang kuat. Ia dikenal cerdas dan cepat mengingat. Suatu
ketika, Hussein pernah bermimpi. Ia melihat Salam menaiki pohon yang sangat
tinggi. Ketiga ditegur, Salam meyakinkan: “Don’t worry”. Ia terus naik sampai
tak kelihatan lagi. Hal ini nampaknya menjadi tanda. Salam mempunyai kemampuan
yang luar biasa.
Dan
demikianlah adanya. Hampir tiap malam, ibunya membacakan doa kepada salam dan
saudaranya. Suatu ketika, ia diinterupsi Salam. Salam mengatakan, ia sudah tahu
dan hafal. Tak perlu baginya diulang-ulang. Akhirnya, ibunya sadar. Salam
mempunyai kemampuan fenomenal. Salam dengan mudah dan tepat menghafal
keseluruhan surat al-Quran.
Ia
masuk sekolah dasar di Jhang dalam usia 6 tahun. Namun, sungguh mencengangkan.
Ketika dites, Salam menunjukkan kecerdasan yang tak diragukan. Kepala Sekolah
pun langsung menyuruhnya masuk kelas empat. Di sini, Salam tak menemukan
kendala berat. Meski dicampur dengan siswa yang lebih tua darinya, ia tetap
mengkilat. Atas keajaiban anak ini, Hazrat Hussein yakin, sekolah lokal tidak akan
cukup menampungnya. Ayahanda Salam pun berusaha sekuat tenaga untuk mengirim
Salam ke sekolah negeri yang lebih mumpuni.
Sebab
itu, Salam dikirim ke Lahore, 1938. Kota ini terkenal karena mahakarya di
bidang arsitektur Muslim abad pertengahan. Di sana, Salam banyak belajar dan
menemukan hal baru yang tak ada di desanya. Lampu listrik adalah contohnya. Ia
sangat kagum atas hal ini. Ia pun bertekad belajar giat.
Di
Lahore, kembali kecerdasan Salam terdeteksi. Salam mengikuti ujian matrikulasi
di Punjab University. Ia lulus dengan pujian pada 1946. Salam tercatat sebagai
siswa dengan nilai teratas dalam segala mata ujian. Atas prestasinya itu, ia
memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Cambridge University,
Inggris. Pada 1949, ia memperoleh gelar MA dengan pujian tertinggi di bidang
matematika dan fisika.
Semenjak
itu, cendekiawan muda ini sibuk dengan penelitian awal dalam bidang Fisika
Kuantum di Laboratorium Cavendish yang terkenal. Laboratorium ini telah banyak
menghasilkan lusinan peraih Nobel. Di Cavendish, Salam meneliti berbagai
fenomena dan proses alamiah seperti pembelahan nukleus, formasi bintang-
bintang neutron, pembentukan komposisi kimiawi dan struktur dari spiral DNA,
cara kerja transistor semi konduktor, laser dan sebagainya.
Pada 1950,
ia memperoleh penghargaan Smith’s Prize dari Cambridge University atas
tesisnya tentang elektrodinamika kuantum. Tesisnya dianggap telah memberikan
kontribusi besar dalam bidang fisika. Dia juga berhasil menyabet gelar PhD
dalam bidang fisika teori pada saat yang sama. Tesisnya dipublikasikan pada
1951. Serta-merta, tesis itu mengangkatnya menuju belantara intelektual
internasional. Ia pun menjadi fokus perhatian seluruh komunitas fisika dunia.
Untuk itu, ia memperoleh berbagai penawaran menggiurkan di Eropa.
Namun,
Salam memilih kembali ke negerinya. Ia mengajar matematika di Government
College, Lahore. Setahun kemudian, ia dilantik menjadi Ketua Departemen
Matematika di Punjab University. Ia bermaksud mendirikan sekolah riset bagi
para ahli fisika di Pakistan. Namun, ia sadar, hal itu tak mungkin dilakukan.
Tidak ada tradisi kerja dan riset pascasarjana di situ. Jurnal tak punya.
Kesempatan menghadiri konferensi internasional pun tak ada. Malah, ia dituduh
hendak membangun hotel berbintang lima bagi para ilmuwan di sana. Kepala
institusi tempat Salam bekerja juga tak berdaya. Meski tahu bahwa Salam sudah
mengerjakan sejumlah riset yang luar biasa, Kepala tersebut justru menganjurkan
untuk melupakan obsesinya.
Salam
bertahan di Lahore selama tiga tahun. Namun, kondisi yang tak kondusif
meyakinkannya bahwa di Pakistan, saat itu, sangat tidak mendukung riset-riset
fisika. Akhirnya, dengan berat hati, Salam meninggalkan Pakistan pada 1954. Ia
menerima tawaran mengajar dan riset di Cambridge University. Di situ, ia
menemukan kembali dunianya yang hilang. Ia kembali bergelut dan bercinta dengan
fisika. Tiga tahun kemudian, tepatnya 1957, Salam dilantik sebagai Profesor
Fisika Teori di Imperial College, London. Sejak itu, secara aktif, ia meretas
jalan ke riset berbagai bidang fisika modern. Studi yang dilakukannya mendapat
penghargaan berbagai premium internasional.
Meski
hasrat intelektualnya telah tersalurkan, Salam tak tinggal diam. Kegundahan
atas kondisi Pakistan dan masyarakat dunia ketiga umumnya, terus
menggelayutinya. Ia pun berpikir keras untuk membantu mereka. Sebab, tak
mungkin muncul penemuan penting ketika tak ada fasilitas yang mendukung. Para
peneliti di sana pun tak akan berkembang. Jauh ketinggalan dengan para peneliti
di Eropa dan negara maju lainnya. Ia pun bermaksud mendirikan lembaga
internasional yang akan mewadahi intelektual berbakat dari dunia ketiga tanpa
harus meninggalkan negerinya sendiri seperti dialami Salam.
Karena
itu, Salam mendesak kolega-koleganya di Eropa dan Amerika untuk mendirikan
lembaga seperti yang diimpikannya. Atas bantuan PBB, khususnya Lembaga Energi
Atom Internasional, pemerintah Italia dan SIDA (Swedish Agency for
International Development) didirikanlah ICPT (International Centre for
Theoritical Physics) di Trieste, Italia pada 1964. Salam sendiri ditunjuk
sebagai direkturnya. Pendirian ICTP itu, menurut Herwing Schopper, presiden
Masyarakat Fisika Eropa, merupakan salah satu pencapaian terbesar abad ke-20.
Satu
obsesinya telah tercapai. Praktis, semenjak itu ia tenggelam dalam penelitian.
Secara tekun, Salam mulai mempelajari hukum dasar dari elektromagnetisme yang
pertama kali ditemukan oleh Faraday dan Maxwell, lama sebelumnya. Salam
menggeluti masalah interaksi tiga daya kekuatan elektromagnetik, daya lemah dan
daya kuat dari nuklir. Untuk itu, Salam harus ‘membantah’ salah satu postulat
fisika nuklir modern yang diterima umum tentang kekuatan dan ketidakterbaginya
proton yang merupakan komponen utama dari nukleus nuklir. Hasilnya, Salam
mengajukan suatu hipotesa yang berani. Menurutnya, proton (yang menyimpan
kekuatan nukleus dari sebuah atom) bisa saja mengalami disintegrasi. Hanya
saja, durasi peluruhan proton ini memerlukan periode waktu yang astronomis,
yakni 1032 tahun.
Dari
situ, Salam berhasil membuat gambaran konstruksi dari suatu teori yang
menggabungkan elektromagnetisme dengan interaksi lemah dari partikel nuklir
yang terkenal dengan “Grand Unification Theory”. Albert Einstein sendiri yang
dikenal sebagai “Nabi” Fisika tak berhasil menciptakan teori tersebut sepanjang
hidupnya. Ialah orang pertama yang memprediksi decay (peluruhan) dalam
rangkaian interaksi nuklir lemah. Muncullah istilah baru yaitu ‘Electroweak’
(lemah elektro) dalam dunia fisika nuklir. Atas penemuan besar ini, Salam
berhak atas Nobel Fisika pada 1979.
Konon,
penemuan grand unification theory itu terinspirasi dari keyakinan Salam bahwa
segala sesuatu terpancar dari satu sumber, yakni Tuhan. Maklum, Salam adalah
agamawan taat. Dalam tiap kesempatan, ia selalu berujar, al Qur’an telah menyediakan
segala-galanya untuk eksplorasi alam. ‘’Al Quran membimbing kita dalam memahami
seluruh hukum alam ciptaan Allah,’’ tulisnya. Karena itu, pada saat penghargaan
Nobel, Salam mentilawahkan beberapa ayat dari al-Quran dalam pidatonya di aula
Nobel Hall. Inilah pertama kalinya dalam sejarah, di aula itu, diperdengarkan
ayat-ayat al-Quran.
Sebelum
meraih Nobel, berbagai penghargaan telah disabet Salam atas prestasi fisikanya.
Pada 1971, secara aklamasi, ia terpilih sebagai anggota dari USSR Academy of
Science. Pada tahun yang sama, ia juga berhak atas hadiah Premium Robert
Oppenheimer. Ia juga berhasil merebut medali Einstein (UNESCO, Paris) dan Birla
Premium (India).
Berbagai
penghargaan itu terasa wajar karena prestasi Salam yang sangat luar biasa. Namun,
Nobel tak menghentikannya untuk terus berkiprah. Pada 1983, ia memperoleh
penghargaan Lomonosov Gold Medal yang merupakan penghargaan tertinggi dari USSR
Academy of Science. Pada tahun itu juga, Salam mendirikan dan menjadi presiden
The Third World Academy of Sciences, dan presiden pertama The Third World
Network of Scientific Organizations (1988).
Sebagai
wujud kepedulian atas carut marut kondisi dunia, Profesor Abdus Salam turut
mengambil bagian dalam sebuah konferensi internasional di Moskow mengenai
pengurangan senjata nuklir pada 1987. Di konferensi itu, secara tegas, ia
mendukung larangan penggunaan senjata pemusnah massal. Ia selalu menghimbau
komunitas dunia agar memanfaatkan potensi studi tenaga nuklir hanya untuk
tujuan damai dan konstruktif saja.
Berbagai
pujian dan penghargaan terus mengucur. Tahun 1992, rektor dari St Petersburg
University secara khusus berkunjung ke Trieste, Italia, untuk menyampaikan
Diploma Honorer Doctor of Science dari universitas tersebut kepada Profesor
Salam. Di tahun 1995, setahun sebelum meninggal, ia mendapat penghargaan
Maxwell di Inggris serta medali emas yang diberikan oleh Akademi Pekerja
Kreatif Rusia.
Semasa
hidupnya, Abdus Salam telah menghasilkan banyak karya. Salam telah menulis
berpuluh-puluh buku dan monograf ilmiah. Ia juga menulis lebih dari tiga ratus
artikel mengenai problema paling kompleks dari fisika nuklir serta permasalahan
aktual mengenai persiapan ilmuwan muda di negara-negara berkembang. Atas
dedikasinya, ia ditunjuk sebagai anggota dari sekitar 50 lembaga ilmiah
akademisi, di samping beberapa asosiasi ilmiah dunia. Ia mendapat 20
penghargaan internasional dan medali emas di bidang fisika. Termasuk Nobel
Prize itu sendiri. Sedikit sekali ahli fisika di abad duapuluh yang pernah
menerima penghargaan dan pengakuan dunia sebagaimana Salam. Di antaranya adalah
Albert Einstein, Ernest Rutherford dan Niles Bore.
Salam
meninggal pada 20 November 1996 di Oxford, Inggris di usia 70 tahun. Ia
dimakamkan di tanah air yang teramat dicintanya.Pretasi Salam memang layak
dibanggakan. Ia telah mendedikasikan dirinya untuk fisika dan kemanusiaan.
Rasanya, semua penghargaan layak diterimanya. Ia berhasil mengangkat prestasi
kaum muslim yang lama tenggelam.
(esq-news.com)
Posting Komentar
Posting Komentar