DALAM
sejarah perkembangannya, Sufi dan Tasawuf beriringan. Beberapa sumber dari
kitab-kitab yang berkait dengan sejarah Tasawuf memunculkan berbagai definisi.
Definisi ini pun juga berkait dengan para tokoh Sufi setiap zaman,
disamping pertumbuhan akademi Islam ketika itu. Namun Reinold Nicholson, salah
satu guru para orientalis, membuat telaah yang terlalu empirik dan sosiologik
mengenai Tasawuf atau Sufi ini, sehingga definisinya menjadi sangat historik,
dan terjebak oleh paradigma akademik-filosufis. Pandangan Nicolson tentu
diikuti oleh para orientalis berikutnya yang mencoba menyibak khazanah
esoterisme dalam dunia Islam, seperti J Arbery, atau pun Louis Massignon.
Walaupun sejumlah penelitian mereka harus diakui cukup berharga untuk menyibak
sisi lain yang selama ini terpendam.
Bahwa
dalam sejarah perkembangannya menurut Nicholson, tasawuf adalah sebagai bentuk
ekstrimitas dari aktivitas keagamaan di masa dinasti Umawy, sehingga para
aktivisnya melakukan ‘Uzlah dan semata hanya demi Allah saja hidupnya. Bahkan
lebih radikal lagi Tasawuf muncul akibat dari sinkretisme Kristen, Hindu,
Buddha dan Neo-Platonisme serta Hellenisme.
Penelitian
filosofis ini, tentu sangat menjebak, karena fakta-fakta spiritual pada
dasarnya memiliki keutuhan otentik sejak zaman Rasulullah Muhammad Saw, baik
secara tekstual maupun historis.
Dalam
kajian soal Sanad Thariqat, bisa terlihat bagaimana validitas Tasawuf secara
praktis, hingga sampai pada alurnya Tasawuf Rasulullah Saw. Fakta itulah yang
nantinya bisa membuka cakrawala historis, dan kelak juga berpengaruh munculnya
berbagai ordo Thariqat yang kemudian terbagi menjadi Thariqat Mu’tabarah dan
Ghairu Mu’tabarah.
Pandangan
paling monumental tentang Tasawuf justru muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy
an-Naisabury, seorang Ulama sufi abad ke 4 hijriyah. Al-Qusyairy sebenarnya
lebih menyimpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus
menepis bahwa definisi Tasawuf atau Sufi muncul melalui akar-akar historis,
akar bahasa, akar intelektual dan filsafat di luar dunia Islam. Walaupun tidak
secara transparan Al-Qusyairy menyebutkan definisinya, tetapi dengan mengangkat
sejumlah wacana para tokoh Sufi, menunjukkan betapa Sufi dan Tasawuf tidak bisa
dikaitkan dengan sejumlah etimologi maupun sebuah tradisi yang nantinya
kembali pada akar Sufi.
Dalam
penyusunan buku Ar-Risalatul Qusyairiyah misalnya, ia menegaskan bahwa apa yang
ditulis dalam risalah tersebut untuk menunjukkan kepada mereka yang salah paham
terhadap Tasawuf, semata karena kebodohannya terhadap hakikat Tasawuf itu
sendiri. Menurutnya Tasawuf merupakan bentuk amaliyah, ruh, rasa dan pekerti
dalam Islam itu sendiri. Ruhnya adalah friman Allah Swt.:
“Dan
jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglkah orang yang menyucikan
jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.,” (Q.s.
Asy-Syams: 7-8)
”Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia berdzikir nama Tuhannya
lalu dia shalat.” (Q.s. Al-A’laa: 14-15)
“Dan
ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak
mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang alpa.” (Q.s. Al-A’raaf: 205)
“Dan
bertqawalah kepada Allah; dan Allah mengajarimu (memberi ilmu); dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.” (Q.s. Al-Baqarah : 282)
Sabda
Nabi Saw:
“Ihsan
adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka
apabila engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.r. Muslim,
Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)
Tasawuf
pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits, justru Tasawuf
adalah implementasi dari sebuah kerangka agung Islam.
Secara
lebih rinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar:
Muhammad
al-Jurairy:
“Tasawuf
berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang
tercela.”
Al-Junaid
al-Baghdady:
“Tasawuf
artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu bersama
denganNya.”
“Tasawuf
adalah engkau berada semata-mata bersama Allah Swt. Tanpa keterikatan dengan
apa pun.”
“Tasawuf
adalah perang tanpa kompromi.”
“Tasawuf
adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang
selain mereka.”
“Tasawuf
adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’, dan tindakan yang didasari
Sunnah Nabi.”
“Kaum
Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa; juga seperti
mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala
sesuatu.”
“Jika
engkau melihat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka
ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.”
Al-Husain
bin Manshur al-Hallaj:
“Sufi
adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak
menerima siapa pun.”
Abu
Hamzah Al-Baghdady:
“Tanda
Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia,
bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi
kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah
mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersembunyi.”
Amr
bin Utsman Al-Makky:
“Tasawuf
adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik saat itu.”
Mohammad
bin Ali al-Qashshab:
“Tasawuf
adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia di tengah-tengah kaum yang mulia.”
Samnun: “Tasawuf
berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun.”
Ruwaim
bin Ahmad:
“Tasawuf
artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang
dikehendakiNya.”
“Tasawuf
didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai
sifat hakikat dengan memberi, dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas
kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sikap kontra, dan memilih.”
Ma’ruf
Al-Karkhy:
“Tasawuf
artinya, memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua
yang ada pada makhluk”.
Hamdun
al-Qashshsar:
“Bersahabatlah
dengan para Sufi, karena mereka melihat dengan alasan-alasan untuk memaafkan
perbuatan-perbuatan yang tak baik, dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun
bukan suatu yang besar, bahkan mereka bukan menganggapmu besar karena
mengerjakan kebaikan itu.”
Al-Kharraz:
“Mereka
adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan jiwa yang mencampakkan segala
milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Mereka diseru oleh
rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya, ingatlah, menangislah kalian
karena kami.”
Sahl
bin Abdullah:
“Sufi
adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.”
Ahmad
an-Nuury:
“Tanda
orang Sufi adalah ia rela manakala manakala tidak punya, dan peduli orang lain
ketika ada.”
Muhammad
bin Ali Kattany:
“Tasawuf
adalah akhlak yang baik, barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik,
berarti ia melebihimu dalam Tasawuf.”
Ahmad
bin Muhammad ar-Rudzbary:
“Tasawuf
adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun engkau diusir.”
“Tasawuf
adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya berjauhan dengannya.”
Abu
Bakr asy-Syibly:
“Tasawuf
adalah duduk bersama Allah Swt. tanpa hasrat.”
“Sufi
terpisah dari manusia, dan bersambung dengan Allah Swt. sebagaimana difirmankan
Allah Swt, kepada Musa, “Dan Aku telah memilihmu untuk DiriKu.” (Thoha: 41) dan
memisahkannya dari yang lain. Kemudian Allah Swt. berfirman kepadanya, “Engkau
tak akan bisa melihatKu.”
“Para
Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Yang Haq.”
“Tasawuf
adalah kilat yang menyala, dan Tasawuf terlindung dari memandang makhluk.”
“Sufi
disebut Sufi karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan
demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”
Al-Jurairy:
“Tasawuf berarti kesadaran atas keadaan diri sendiri dan berpegang pada
adab.”
Al-Muzayyin: “Tasawuf
adalah kepasrahan kepada Al-Haq.”
Askar
an-Nakhsyaby: “Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apa pun, tetapi
menyucikan segalanya.”
Dzun
Nuun Al-Mishry:
“Kaum
Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah Swt. diatas segala-galanya dan yang
diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada.”
Muhammad
al-Wasithy:
“Mula-mula
para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan, dan sekarang tak
ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.”
Abu
Nashr as-Sarraj ath-Thusy:
“Aku
bertanya kepada Ali al-Hushry, siapakah, yang menurutmu Sufi itu? ” Lalu ia
menjawab, “Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit.” Dengan ucapannya
menurut saya, ia merujuk kepada keleburan.”
Ahmad
ibnul Jalla’:
“Kita
tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahwa mereka
adalah orang-orang yang miskin, sama sekali rtidak memiliki sarana-sarana
duniawy. Mereka bersama Allah Swt. tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah
Swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi.”
Abu
Ya’qub al-Madzabily:
“Tasawuf
adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.”
Abul
Hasan as-Sirwany:
“Sufi
itu yang bersama ilham, bukan dengan wirid yang meyertainya.”
Abu
Ali Ad-Daqqaq:
“Yang
terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, “Inilah jalan yang tidak
cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah Swt, untuk menyapu
kotoran binatang.”
“Seandainya
sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya, dan ruhnya
ditawarkannya pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang
menaruh perhatian padanya.”
Abu
Sahl ash-Sha’luki:
“Tasawuf
adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah.”
Dari
seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa Sufi
dan Tasawuf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari
etimologi, karena standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal
membuktikannya.
Alhasil,
dari seluruh definisi itu, semuanya membuktikan adanya adab hubungan antara
hamba dengan Allah Swt, dan hubungan antara hamba dengan sesamanya. Dengan kata
lain, Tasawuf merupakan wujud cinta seorang hamba kepada Allah dan RasulNya,
pengakuan diri akan haknya sebagai hamba dan haknya terhadap sesama di dalam
amal kehidupan.
Terminologi
Tasawuf
Di
dalam dunia Tasawuf muncul sejumlah istilah-istilah yang sangat populer, dan
menjadi terminologi tersendiri dalam disiplin pengetahuan. Dari istilah-istilah
tersebut sebenarnya merupakan sarana untuk memudahkan para pemeluk dunia Sufi
untuk memahami lebih dalam. Istilah-istilah dalam dunia Sufi, semuanya
didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Karena dibutuhkan sejumlah
ensiklopedia Tasawuf untuk memahami sejumlah terminologinya, sebagaimana di
bawah ini, yaitu:
Ma’rifatullah,
Al-Waqt, Maqam, Haal, Qabdh dan Basth, Haibah dan Uns, Tawajud – Wajd – Wujud,
Jam’ dan Farq, Fana’ dan Baqa’, Ghaibah dan Hudhur, Shahw dan Sukr, Dzauq dan
Syurb, Mahw dan Itsbat, Sitr dan Tajalli, Muhadharah, Mukasyafah dan
Musyahadah, Lawaih, Lawami’ dan Thawali’, Buwadah dan Hujum, Talwin dan Tamkin,
Qurb dan Bu’d, Syari’at dan Hakikat, Nafas, Al-Khawathir, Ilmul Yaqin, Ainul
Yaqin dan Haqqul Yaqin, Warid, Syahid, Nafsu, Ruh, Sirr, dan yang lainnya.
Kemudian
istilah-istilah yang masuk kategori Maqomat (tahapan) dalam Tasawuf, antara
lain:
Taubat,
Mujahadah, Khalwat, Uzlah, Taqwa, Wara’, Zuhud, Diam, Khauf, Raja’, Huzn, Lapar
dan Meninggalkan Syahwat, Khusyu’ dan Tawadhu’, Jihadun Nafs, Dengki,
Pergunjingan, Qana’ah, Tawakkal, Syukur, Yakin, Sabar, Muraqabah, Ridha,
Ubudiyah, Istiqamah, Ikhlas, Kejujuran, Malu, Kebebasan, Dzikir, Futuwwah,
Firasat, Akhlaq, Kedermawaan, Ghirah, Kewalian, Doa, Kefakiran, Tasawuf, Adab,
Persahabatan, Tauhid, Keluar dari Dunia, Cinta, Rindu, Mursyid, Sama’, Murid,
Murad, Karomah, Mimpi, Thariqat, Hakikat, Salik, Abid, Arif, dan seterusnya.
Seluruh
istilah tersebut biasanya menjadi tema-tema dalam kitab-kitab Tasawuf,
karena perilaku para Sufi tidak lepas dari substansi dibalik
istilah-sitilah itu semua, dan nantinya di balik istilah tersebut selain
bermuatan substansi, juga mengandung “rambu-rambu” jalan ruhani itu sendiri.
(KHM
Luqman Hakim)
sufinews.com/index.php/Artikel/menguak-kembali-definisi-tassawuf.sufi
Posting Komentar
Posting Komentar