Bila 'bersatu' dengan Allah dan mencapai kedekatan dengan-Nya lewat pertolongan-Nya, maka makna hakiki 'bersatu' dengan Allah ialah berlepas diri dari makhluk dan kedirian, dan sesuai dengan kehendak-Nya, tanpa gerakmu, yang ada hanya kehendak-Nya. Nah, inilah keadaan fana (peleburan), dan dengannya itulah 'menunggal' dengan Tuhan. 'Bersatu' dengan Allah tentu tak sama dengan bersatu dengan ciptaan-Nya. Bukanlah Ia telah menyatakan: "Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha melihat." (QS. 42:11)
Allah tak terpadani oleh semua ciptaan-Nya. 'Bersatu' dengan-Nya lazim dikenal
oleh mereka yang mengalami kebersatuan ini. Pengalaman mereka berlainan, dan
khusus bagi mereka sendiri.
Pada diri setiap Rasul, Nabi dan wali Allah, terdapat suatu rahasia yang tak
dapat diketahui oleh orang lain. Sering terjadi, seorang murid menyimpan suatu
rahasia yang tak diceritakannya kepada sang syaikh, dan sebaliknya sang syaikh
kadang merahasiakan sesuatu yang tak diketahui si murid, walaupun mungkin suluk
si murid sudah mendekati ambang pintu maqam rohani sang syaikh, ia terpisah
dari syaikh-nya, dan Allahlah yang menjadi pembimbingnya. Allah memutuskan
hubungannya dengan ciptaan.
Dengan demikian, sang syaikh menjadi bagai seorang inang pengasuh yang berhenti
menyusui sang bayi setelah dua tahun. Tiada lagi baginya hubungan dengan
ciptaan, setelah lenyapnya kedirian. Sang syaikh diperlukan, selama si murid
masih terbelenggu kedirian, yang mesti dihancurkan. Tapi, begitu kelemahan
manusiawi ini musnah, maka pada dirinya tak ada lagi noda dan kerosakan, dan ia
tak lagi membutuhkan sang syaikh.
Jadi, bila sudah 'bersatu' dengan Allah sebagaimana yang digambarkan di atas,
kau bersih dari segala selain Allah. Tak kau lihat lagi sesuatu pun kecuali
Allah, di kala suka maupun duka, ketakutan maupun berharap, kau hanya menjumpai
Dia, Allah SWT, yang patut kau takuti, yang layak kau mintai perlindungan-Nya.
Nah, perhatikan senantiasa kehendak-Nya , dambakanlah perintah-Nya, dan
patuhlah selalu kepadanya-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Jangan biarkan
hatimu tertambat pada salah satu ciptaan-Nya.
Pandanglah semua ciptaan bagai orang yang ditahan oleh Raja sebuah kerajaan
besar, lalu sang raja merantai leher dan kedua lengannya, menyalibkannya pada
sebatang pohon pinus yang berada di tebing sungai berarus deras, bergelombang
dan amat dalam. Sementara itu sang Raja duduk di atas singgasana yang tinggi,
bersenjatakan lembing, panah, dan berbagai senjata bidik. Lalu mulailah sang
raja mengarahkan dan membidikkan salah satu senjata bidiknya kepada si tawanan.
Dapatkah kita hargai orang yang melihat ini semua, dan memalingkan
penglihatannya dari sang raja, sama sekali tak takut kepada raja itu, tak
berharap kepadanya, tak iba kepada tawanan itu dan tak memohonkan ampunan
untuknya? Bukankah, menurut pertimbangan akal sehat, orang semacam ini
tergolong tolol, gila, tak berbudi, dan tak manusiawi?
Nah, berlindunglah kepada Allah dari kebutaan hati, sesudah memiliki bashirah (
mata hati), dari keterpisahan sesudah 'bersatu', dari keterasingan sesudah
keakraban, dari ketersesatan sesudah memperolehi petunjuk, dan dari kekufuran
sesudah beriman.
Dunia ini bak sungai besar berarus deras. Setiap hari airnya bertambah, dan
itulah perumpamaan nafsu hewani manusia dan segala kesenangan duniawi. Sedang
anak panah dan berbagai senjata bidik, melambangkan ujian hidup manusia.
Jelaslah, unsur-unsur yang menguasai kehidupan manusia yaitu berbagai cobaan
hidup, musibah, penderitaan, dan semua upaya mengatasinya. Bahkan semua karunia
dan nikmat yang diterimanya, dibayang-bayangi oleh berbagai musibah.
Oleh karena itu, bila seorang cerdik-cendekiawan sudi menyigi masalah ini
terus-menerus, maka ia akan memperolehi pengetahuan tentang hakikat, bahwa tak
ada kehidupan sejati kecuali kehidupan akhirat. Rasulullah saw. Bersabda:
"Tak ada kehidupan selain kehidupan di akhirat."
ihwal semacam ini benar-benar terbukti bagi seorang Mukmin, sesuai dengan sabda
Nabi saw.: "Dunia ini adalah penjara bagi seorang Mukmin dan syurga bagi
seorang kafir."
Beliau juga bersabda: "Orang saleh terkekang." Bagaimana bisa hidup
enak di dunia ini, bila diingat hal ini? Sesungguhnya, kenyamanan hakiki
terletak pada hubungan sempurna dengan Allah SWT, penyerahan diri sepenuhnya
kepada-Nya. Bila kau lakukan hal ini, niscaya kau terbebas dari dunia ini, dan
kepadamu dilimpahkan rahmat, kebahagiaan, kebajikan, kesejahteraan, dan keridhoan-Nya.
INSYA ALLAH BERSAMBUNG KE BAGIAN XVIII
Posting Komentar
Posting Komentar