Mata yang memandang mempunyai pengaruh kuat dan berdampak signifikan terhadap
aktifitas batiniah kita. Begitu kuatnya pengaruh itu sehingga mempengaruhi
kekhusyu’an seseorang untuk beribadah kepada Alloh Ta’ala.
Syekh Thohir bin Sholeh Al-Jazairi dalam kitabnya: Jawahirul Kalamiyah
menguraikan sebuah permasalahan: ‘Bagaimana mata mempunyai pengaruh, padahal
mata itu hanya termasuk bagian badan manusia yang lembut dan tidak ada
hubungannya dengan sesuatu yang dilihat, dan tidak ada sesuatu yang keluar dari
mata itu yang berhubungan dengan sesuatu yang dilihat?’
Maka dijawab bahwa tidak ada yang menghalangi jika sesuatu yang lembut itu
mempunyai pengaruh yang kuat, dan tidak diisyaratkan bahwa adanya pengaruh itu
harus ada hubungannya, karena sesungguhnya kita lihat sebagian manusia yang
mempunyai kewibawaan dan kekuasaan bila melihat kepada seseorang dengan
pandangan yang mengandung amarah, kadang-kadang menyebabkan yang dipandang itu
ketakutan dan gemetar, malah bisa menyebabkan kematiannya. Padahal pada
lahirnya ia tidak memasukkan sesuatu pada yangilihatnyan dan tidak terjadi
antara yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi hubungan ataupun sentuhan. Kalau
magnet mempunyai kekuatan dapat menarik besi padahal tidak ada hubungan antara
magnet dan besi yang ditariknya itu dan tidak keluar sesuatu yang dapat
menyebabkan menariknya itu. Bahkan benda-benda yang lembut lebih besar
pengaruhnya daripada benda-benda yang kasar. Karena sesungguhnya
perkara-perkara yang besar adalah timbul dari kuatnya kehendak dan niat,
sedangkan kehendak dan niat itu termasuk hal yang tidak tampak. Maka tidak
mengherankan kalau mata mempunyai pengaruh terhadap yang dipandangnya sekalipun
mata itu sangat lembut, dan tidak ada hubungan atau sesuatu yang keluar dari
mata itu.
Kekuatan dan kecepatan pengaruh mata dalam memandang telah disinggung oleh Nabi
SAW dalam suatu riwayat dari Ibnu Abbas Ra.: “Pandangan mata adalah suatu
kebenaran. Jika ada sesuatu yang dapat mendahului takdir (ketetapan Alloh),
maka sungguh pandangan mataakan mendahuluinya”. (HR. Muslim). Karena itulah
mata bisa membahayakan, seperti hipnotis, dll. dan Nabi SAW mengajarkan kepada
kita suatu do’a: “Aku berlindung dengan kalimat Alloh yang sempurna dari setiap
syetan, binatang buas, dan pandangan mata yang membahayakan”.
Syeikh Sari As-Saqothi Ra. berkata: “Lidahmu adalah penyambung dari hatimu, dan
wajahmu adalah cermin darinya. Pada wajahmu ditemukan apa yang ada di dalam
hatimu”.
Ketika anak-anak Ya’qub ingin pergi ke Mesir, menemui Yusuf As. yang ketika itu
sudah menjadi Perdana Menteri, Ya’qub As. menasehati mereka: “Hai anak-anakku,
janganlah kamu bersama-sama masuk dari satu pintu gerbang, masuklah dari
pintu-pintu gerbang yang berlainan!” (QS. Yusuf[17]: 67) Qotadah mengatakan
bahwa Ya’qub As. mengkhawatirkan mereka dari bahaya pandangan (Al-‘Ain)
orang-orang yang melihat mereka karena anak-anak Ya’qub As. tergolong
orang-orang yang tampan dan berpenampilan menarik.
Demikianlah Al-Quran mengisahkan tentang isyarat kuatnya pengaruh pandangan
terhadap sesuatu yang diinginkan, yang dipahami oleh sebagian orang tertentu
yang diberikan pengetahuan tentangnya.
Keutamaan pandangan kepada wajah seorang Ulama banyak sekali, di antaranya
sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW: “Barang siapa memandang kepada wajah
orang Alim sekali dengan pandangan yang senang, niscaya Alloh SWT menjadikan
pandangan tersebut malaikat yang memintakan ampun baginya hingga hari kiamat”.
Imam Al-Hafizh Al-Mundziri meriwayatkan sebuah hadits dari 40 hadits berkenaan
dengan keutamaan menuntut ilmu, yakni bersabda Rosululloh SAW: “Pandangan
sekali kepada orang Alim lebih Alloh cintai daripada ibadah 60 tahun, berpuasa
siang harinya dan berdiri ibadah pada malamnya”.
Kemudian sabda beliau SAW: “Jika tiada Ulama niscaya binasa (celaka)lah
umatku”. Hadits tersebut menunjukkan betapa besarnya keutamaan memandang wajah
orang Alim secara lahiriah, dikarenakan seseorang yang melakukannya akan
mendapat pengaruh kekhusyu’an dan ketenangan hati sehingga mendorongnya kepada
Hubbul Akhiroh.
Tidak semua Ulama dikategorikan seperti makna hadits di atas, karena kata
‘Ulama’ menggunakan Isim Makrifah (Al-’Ulamaa-u), yang menandakan
ketertentuan/kekhususan. Tentunya Ulama yang dimaksud di sini adalah Ulama yang
telah mencapai kemakrifatan yang Hakiki, dimana pancaran jiwanya mampu
melenyapkan sekat-sekat yang menutupi hati.
Maka Robithoh, yakni memandang wajah Syekh dengan mata hati lebih diutamakan
dan memiliki tempat yang khusus di kalangan Ahli-ahli Thoriqoh, sebagai
penyatuan ruhaniyah seorang murid yang dhoif lagi faqir, dengan Syekhnya yang
kamil menuju Hadhirat Alloh Ta’ala.
Di dalam sebuah hadits dikatakan bahwa ada sebagian ahli dzikir yang dapat
menyebabkan orang lain ingat kepada Alloh. Yakni dengan memandang wajahnya
saja, membuat mereka teringat untuk dzikrulloh. Hadits lain menyebutkan bahwa :
‘Sebaik-baik orang di antara kamu ialah seseorang yang apabila orang lain
memandang wajahnya, maka ia ingat kepada Alloh, jika mendengar ucapannya maka
bertambah ilmunya, dan jika melihat amal perbuatannya maka tertariklah pada
akhirat’.
Atas dasar hadits ini para pembimbing dzikir (Syeikh Sufi) terdahulu sangat menganjurkan
untuk senantiasa mengenang wajah Syeikhnya sebagai alat untuk mempermudah
dzikir (ingat) kepada Alloh SWT, dan yang demikian itu akan membuat dirinya
tenggelam dalam lautan mahabbah dzikir-Nya.
Berkata Syeikh Mushthofa Al-Bakri Rohimahullohu Ta’ala: “Dan di antara apa yang
diwajibkan atas seorang murid adalah robithoh hatinya dengan Gurunya dan
maknanya bahwa murid senantiasa mengekalkan atas penyaksian akan rupa
Syeikhnya. Inilah merupakan syarat yang dianjurkan bagi kaum Sufi yang
mewariskan kepada maqom makrifat yang tinggi”
[Hidayatus Salikin]
Status di Facebook Pemuda TQN Suryalaya, dari berbagai sumber
Posting Komentar
Posting Komentar