Beberapa
penulis biografi Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti Kerajaan Indragiri
Abdurrahman Siddiq, berpendapat bahwa ia adalah keturunan Alawiyyin melalui
jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao.
JALUR NASABNYA ialah Maulana
Muhammad Arsyad Al Banjaribin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan
Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash
Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar
(datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As
Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin
Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath
bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi
Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam
Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al
Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina
Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az
Zahra binti Rasulullah SAW.
MASA KECIL
SYEKH ARSYAD
Diriwayatkan, pada waktu Sultan Tahlilullah (1700
- 1734 M) memerintah Kesultanan Banjar, suatu hari ketika berkunjung ke kampung
Lok Gabang. Sultan melihat seorang anak berusia sekitar 7 tahun sedang asyik
menulis dan menggambar, dan tampaknya cerdas dan berbakat, dicerita-kan pula
bahwa ia telah fasih membaca Al-Quran dengan indahnya. Terkesan akan kejadian
itu, maka Sultan meminta pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal
di istana untuk belajar bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan.
Menikah dan
menuntut ilmu di Mekkah.
Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia
mencapai 30 tahun. Kemudian ia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan
Bajut. Hasil perkawinan tersebut ialah seorang putri yang diberi nama Syarifah.
Ketika istrinya mengandung anak yang pertama,
terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut
ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang
istri tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat usia
pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya isterinya mengamini niat suci sang
suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu
dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya.
Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada
syeikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru beliau adalah Syeikh ‘Athoillah
bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan
al-‘Arif Billah Syeikh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.
Syeikh yang disebutkan terakhir adalah guru
Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muhammad
Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan
kedudukan sebagai khalifah.
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu,
timbullah kerinduan akan kampung halaman. Terbayang di pelupuk mata indahnya
tepian mandi yang di arak barisan pepohonan aren yang menjulang. Terngiang
kicauan burung pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput.
Terkenang akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu
sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan
1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat
Kesultanan Banjar pada masa itu.
Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang
telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan
Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan
Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh
perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.
Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau
dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai
seorang ulama “Matahari Agama” yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh
Kesultanan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan
untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga,
kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah
seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’. Selama
hidupnya ia memiliki 29 anak dari tujuh isterinya.
Hubungan
dengan Kesultanan Banjar
Pada waktu ia berumur sekitar 30 tahun, Sultan
mengabulkan keinginannya untuk belajar ke Mekkah demi memperdalam ilmunya.
Segala perbelanjaanya ditanggung oleh Sultan. Lebih dari 30 tahun kemudian,
yaitu setelah gurunya menyatakan telah cukup bekal ilmunya, barulah Syekh
Muhammad Arsyad kembali pulang ke Banjarmasin. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah
seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh
Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah.
Sultan Tahmidullah II yang pada ketika itu
memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan
serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan inilah yang meminta kepada
Syekh Muhammad Arsyad agar menulis sebuah Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yang
kelak kemudian dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin.
Pengajaran
dan bermasyarakat
Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan
Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang
dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam
Pagar, yang kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah kampung yang ramai tempat
menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki
tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan didikan
dari suraunya di Desa Dalam Pagar.
Di samping mendidik, ia juga menulis beberapa kitab
dan risalah untuk keperluan murid-muridnya serta keperluan kerajaan. Salah satu
kitabnya yang terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab
Hukum-Fiqh dan menjadi kitab-pegangan pada waktu itu, tidak saja di seluruh
Kerajaan Banjar tapi sampai ke-seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada
perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai
Darussalam.
Karya-karyanya
Kitab karya
Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau
selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang
artinya dalam terjemahan bebas adalah “Jalan bagi orang-orang yang mendapat
petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama”. Syeikh Muhammad Arsyad telah
menulis untuk keperluan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta
risalah lainnya, diantaranya ialah:
• Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat
Duapuluh,
• Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang
membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat,
• Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita
serta tertib suami-isteri,
• Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata.
Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran
penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya kemudian dihimpun dan
menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang,
bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, dan untuk mana biasa disebut
Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan
pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.
Setelah ± 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan
Islam di wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H
(1812 M) Allah SWT memanggil Syekh Muh. Arsyad ke hadirat-Nya. Usia beliau 105
tahun dan dimakamkan di desa Kalampayan, sehingga beliau juga dikenal dengan
sebutan Datuk Kalampayan.
by:sufismenews.blogspot.com
sumber: sufinews.com
Posting Komentar
Posting Komentar