Membayar zakat dengan harganya atau uang merupakan
persoalan hukum Islam yang diperselisihkan di antara beberapa mazhab. Dalam hal
ini terdapat beberapa pendapat sebagai berikut:
1. Boleh memberikan zakat dalam bentuk uang
untuk setiap jenis zakat, menurut Al-Imam Abu Hanifah (70-150 H.) serta
mazhabnya, dan Al-Imam Auza'i. Demikian pula, menurut para Imam yang biasa
disebut sebagaiashhabur ra’yi (para Imam yang bersandar pada dalil
rasio). Penjelasan mengenai hal ini dijabarkan oleh para Imam mazhab Hanafi
seperti As-Sarkhasi (W.490 H.) di dalam Al-Mabsuth, Juz II,
h.156-157 dan Juz III, h.107-108, Al-Kasaniy (W. 587 H.) di dalam Badai’sh-Shanai’,
Juz II, h.73.
2.&;nbsp;Tidak boleh (atau makruh saja menurut
pendapat yang masyhur) memberikan zakat berupa uang, tetapi boleh
menggantikannya dengan benda lain yang sejenis dalam kategori zakat, seperti
memberikan zakat perak dengan emas yang seharga dengan jumlah berat yang tidak
sama atau sebaliknya, memberikan zakat sapi dengan kerbau atau sebaliknya,
menurut Al-Imam Malik (93-179 H.) serta mazhabnya. Penjelasan masalah ini
dinyatakan oleh Imam Malik di dalam Al-Mudawwanah Al-Kubra, Juz II,
h.243, dan para Imam di dalam mazhabnya, seperti Ad-Dasuqi di dalam Hasyiyah
Ad-Dasuqi, Juz I. h.502, dan Al-‘Abdariy (W.897 H.) di
dalam At-Taj wal-Iklil, Juz II, h.255-258.
3. Tidak boleh memberikan zakat berupa uang
untuk setiap jenis zakat, menurut Al-Imam Asy-Syafi'i (150-204 H.) serta
sebagian besar mazhabnya. Hal ini dijelaskan oleh beberapa Imam di dalam
mazhabnya, seperti Asy-Syairazi (393-476 H.) di dalam Al-Muhazh-zhab,
Juz I, h.159, Ibn Syaraf An-Nawawi (631-676 H.) di dalam Al-Majmu’
Syarh Al-Muhaz-zhab, Juz V, h.384-385.
4. Tidak boleh memberikan zakat berupa uang
kecuali beberapa hal, menurut sebagian mazhab Syafi’i sebagaimana ditegaskan
oleh As-Suyuthiy (849-911 H.) di dalam Al-Asybah wan-Nadzair,
h.251. Beberapa hal tersebut antara lain; a. zakat perdagangan,b.
ketika tidak ditemukan benda yang wajib dizakatkan seperti seekor kambing
sebagai zakat atas 5-9 ekor sapi, c. untuk menambal terpenuhinya
benda yang diberikan sebagai zakat seperti ketika ada pilihan antara zakat
berupa 5 ekor unta bintu labun(umur 2 th.) atau 4 ekor unta hiqqah (umur
3 th.) dan ketika memilih yang dipandang lebih tinggi harganya ternyata tidak
ada dan justeru harus memilih yang lebih rendah harganya dengan tambahan uang
yang seimbang, d. atas dasar keputusan imam yang didasarkan pada
kemaslahatan penerimanya.
5. Tidak boleh memberikan zakat berupa uang
kecuali zakat perdagangan, menurut Al-Imam Ahmad ibn Hanbal dan mazhabnya
sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Qudamah Al-Maqdisiy (541-620 H.) di dalam Al-Mughniy,
Juz I, h.318.
Metodologi Ijtihad
1. Membolehkan memberi zakat dalam bentuk
uang merupakan penerapan teori ta’wil(pengalihan makna) dengan
metoda pengalihan makna haqiqi (sebenarnya) kepada makna majazi (kiasan).
Dalam hal ini, perintah nash (teks) hadits untuk memberikan
benda berupa kambing, kurma dan sebagainya sebagai zakat dipahami sebagai
perintah untuk memberikan nilai harga benda-benda itu dan tidak harus dalam bentuk
bendanya. Adapun dalil yang mendasari teori ta’wil macam ini adalah maqshad
asy-syari’ah (tujuan hukum Islam). Dalam arti lain, tujuan zakat
adalah untuk menolong kebutuhan para fakir dan miskin khususnya, sedangkan uang
juga dapat bermanfaat dalam membantu kebutuhan dan kesulitan mereka. Teori ini
biasa disebut sebagai ma’na an-nash(pemahaman pada esensi nash atau
pemahaman esensial).
2. Membolehkan memberi zakat berupa uang
menurutnya dikuatkan dengan adanya isyarat beberapa hadits, seperti mengenai penarikan
zakat berupa seekor unta sebagai ganti dua ekor unta yang dinilai didasarkan
pada perhitungan harga atau uang, kewajiban memberi zakat berupa unta jatza’ah (umur
4 th.) digantikan dengan untahiqqah (umur 3 th.) dengan tambahan
dua ekor kambing atau 20 dirham, kewajiban memberikan zakat berupa seekor
kambing atas 5-9 ekor unta, kewajiban memberi zakat berupa unta jatza’ah (umur
4 th.) digantikan dengan unta hiqqah (umur 3 th.) dengan tambahan dua ekor
kambing atau 20 dirham, dan sebagainya. Beberapa hadits tersebut, antara lain
sebagai berikut :
عَنِ الصُّنَابِحِيِّ
قَالَ
رَأَى
رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
فِي
إِبِلِ
الصَّدَقَةِ
نَاقَةً
مُسِنَّةً
فَغَضِبَ
وَقَالَ
مَا
هَذِهِ
فَقَالَ
يَا
رَسُولَ
اللَّهِ
إِنِّي
ارْتَجَعْتُهَا
بِبَعِيرَيْنِ
مِنْ
حَاشِيَةِ
الصَّدَقَةِ
فَسَكَتَ
Artinya: Dari Shunabihiy berkata,
Rasulullah SAW menyaksikan unta zakat musinnah (umur 2 th.), lalu beliau marah
dan bertanya : “Apa ini ?” Kemudian penarik zakat itu berkata : “Wahai
Rasulullah, saya ambil unta ini sebagai ganti dua unta zakat”, lalu beliau diam.
(HR. Ahmad, No.18286, Juz IV, h.349)
عَنْ ثُمَامَة
أَنَّهُ
قَالَ
أَنَّ
أَنَسًا
رَضِيَ
اللَّهُ
عَنْهُ
حَدَّثَهُ
أَنَّ
أَبَا
بَكْرٍ
رَضِيَ
اللَّهُ
عَنْهُ
كَتَبَ
لَهُ
فَرِيضَةَ
الصَّدَقَةِ
الَّتِي
أَمَرَ
اللَّهُ
رَسُولَهُ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
مَنْ
بَلَغَتْ
عِنْدَهُ
مِنْ
الْإِبِلِ
صَدَقَةُ
الْجَذَعَةِ
وَلَيْسَتْ
عِنْدَهُ
جَذَعَةٌ
وَعِنْدَهُ
حِقَّةٌ
فَإِنَّهَا
تُقْبَلُ
مِنْهُ
الْحِقَّةُ
وَيَجْعَلُ
مَعَهَا
شَاتَيْنِ
إِنْ
اسْتَيْسَرَتَا
لَهُ
أَوْ
عِشْرِينَ
دِرْهَمًا
الخ
Artinya: Dari Tsumamah, bahwasanya dia
berkata, sesungguhnya Anas ra. merbicara dengannya, bahwasanya Abu Bakr ra.
berkirim surat kepada Anas ra. mengenai kewajiban zakat yang diperintahkan oleh
Allah SWT. kepada Rasul-Nya; siapa pun berkewajiban untuk zakat unta jatza’ah
(umur 4 th.), tetapi ia tidak memilikinya dan hanya memiliki unta hiqqah (umur
3 th.), maka unta hiqqah itu boleh diterima dengan menambah dua kambing atau 20
dirham. Dst. (HR.Bukhari, No.1385, Juz II, h.527)
عَنْ سَالِمٍ
عَنْ
أَبِيهِ
أَنَّ
رَسُولَ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
كَتَبَ
كِتَابَ
الصَّدَقَةِ
فَلَمْ
يُخْرِجْهُ
إِلَى
عُمَّالِهِ
حَتَّى
قُبِضَ
فَقَرَنَهُ
بِسَيْفِهِ
فَلَمَّا
قُبِضَ
عَمِلَ
بِهِ
أَبُو
بَكْرٍ
حَتَّى
قُبِضَ
وَعُمَرُ
حَتَّى
قُبِضَ
وَكَانَ
فِيهِ
فِي
خَمْسٍ
مِنْ
الْإِبِلِ
شَاةٌ
وَفِي
عَشْرٍ
شَاتَانِ
وَفِي
خَمْسَ
عَشَرَةَ
ثَلَاثُ
شِيَاهٍ
وَفِي
عِشْرِينَ
أَرْبَعُ
شِيَاهٍ،
الخ
Artinya: Dari Salim dari ayahnya,
sesungguhnya Rasulullah SAW membuat surat mengenai zakat dan diselipkan di
pedangnya tetapi belum sempat dikirimkan kepada para penarik zakat sampai
beliau wafat. Ketika beliau telah wafat dilaksanakanlah oleh Abu Bakr sampai ia
wafat, dan juga oleh ‘Umar sampai ia wafat. Di dalamnya terdapat (ketentuan),
bahwa setiap lima ekor unta wajib zakat seekor kambing, setiap sepuluh ekor
unta wajib dua ekor kambing, setiap lima belas unta wajib tiga ekor kambing,
dan setiap dua puluh unta wajib empat kambing. Dst. (HR. Tirmitzi, No.621,
Juz 3, h.17)
3. Membolehkan memberi zakat dengan benda
lain yang sejenis dalam kategori zakat, seperti memberikan zakat perak berupa
emas yang seharga atau sebaliknya, memberikan zakat kambing berupa sapi yang
seharga atau sebaliknya. Adapun dalil yang melandasinya adalah hadits mengenai
kewajiban memberikan zakat berupa seekor kambing atas 5-9 ekor unta, kewajiban
memberi zakat berupa unta jatza’ah (umur 4 th.) digantikan dengan unta hiqqah
(umur 3 th.) dengan tambahan dua ekor kambing atau 20 dirham, dan sebagainya
sebagaimana dalam hadits di atas.
4. Tidak membolehkan memberi zakat berupa
uang merupakan teori kebalikan dari teorima’na an-nash sebagaimana
di atas, yakni teori makna adz-dzahir (tampak pada lafadz).
Teori ini biasa disebut sebagai teori ‘ain an-nash (pemahaman
pada lahir nash atau pemahaman tekstual). Dalam hal ini, tidak dibolehkan
memberikan zakat dalam bentuk uang karena nash atau teks Al-Qur’an dan
As-Sunnah memerintahkan untuk memberikan bendanya dan bukan nilainya, seperti
perintah menarik zakat, memberikan satu sha’ (lk 2,4 kg) kurma untuk zakat
fithrah, memberikan seekor kambing sebagai zakat atas empat puluh kambing, dan
sebagainya. Beberapa nash tersebut, antara lain sebagai berikut :
خُذْ مِنْ
أَمْوَالِهِمْ
صَدَقَةً
تُطَهِّرُهُمْ
وَتُزَكِّيهِمْ
بِهَا
وَصَلِّ
عَلَيْهِمْ
إِنَّ
صَلَاتَكَ
سَكَنٌ
لَهُمْ
وَاللَّهُ
سَمِيعٌ
عَلِيمٌ
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan
berdo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (membawa) ketenteraman bagi
mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah :
103)
عَنْ ابْنِ
عُمَرَ
رَضِيَ
اللَّهُ
عَنْهُ
قَالَ
فَرَضَ
رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
صَدَقَةَ
الْفِطْرِ
صَاعًا
مِنْ
شَعِيرٍ
أَوْ
صَاعًا
مِنْ
تَمْرٍ
عَلَى
الصَّغِيرِ
وَالْكَبِيرِ
وَالْحُرِّ
وَالْمَمْلُوكِ
Artinya: Dari Ibnu ‘Umar ra. berkata :
“Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fithrah berupa satu sha’ (lk 2,4 kg.)
gandum atau kurma atas anak kecil dan orang dewasa, serta merdeka dan budak.
(HR. Bukhari, No.1441, Juz II, h. 549)
عَنْ سَالِمٍ
عَنْ
أَبِيهِ
أَنَّ
رَسُولَ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
كَتَبَ
كِتَابَ
الصَّدَقَةِ
فَلَمْ
يُخْرِجْهُ
إِلَى
عُمَّالِهِ
حَتَّى
قُبِضَ
فَقَرَنَهُ
بِسَيْفِهِ
فَلَمَّا
قُبِضَ
عَمِلَ
بِهِ
أَبُو
بَكْرٍ
حَتَّى
قُبِضَ
وَعُمَرُ
حَتَّى
قُبِضَ
وَكَانَ
فِيهِ
...... وَفِي الشَّاءِ
فِي
كُلِّ
أَرْبَعِينَ
شَاةً
شَاةٌ
إِلَى
عِشْرِينَ
وَمِائَةٍ
فَإِذَا
زَادَتْ
فَشَاتَانِ
إِلَى
مِائَتَيْنِ
فَإِذَا
زَادَتْ
فَثَلَاثُ
شِيَاهٍ
إِلَى
ثَلَاثِ
مِائَةِ
شَاةٍ
فَإِذَا
زَادَتْ
عَلَى
ثَلَاثِ
مِائَةِ
شَاةٍ
فَفِي
كُلِّ
مِائَةِ
شَاةٍ
شَاةٌ
ثُمَّ
لَيْسَ
فِيهَا
شَيْءٌ
حَتَّى
تَبْلُغَ
أَرْبَعَ
مِائَةِ
Artinya : Dari Salim dari ayahnya,
sesungguhnya Rasulullah SAW. membuat surat mengenai zakat dan diselipkan di
pedangnya tetapi belum sempat dikirimkan kepada para penarik zakat sampai
beliau wafat. Ketika beliau telah wafat dilaksanakanlah oleh Abu Bakr sampai ia
wafat, dan juga oleh ‘Umar sampai ia wafat. Di dalamnya terdapat (ketentuan),
……… dan setiap 40-120 kambing wajib zakat seekor kambing, jika bertambah sampai
200 ekor maka wajib dua kambing, jika bertambah sampai 300 ekor maka wajib tiga
ekor kambing, dan jika bertambah sampai melebihi 300 ekor maka setiap seratus
ekor adalah seekor kambing, dan tidak wajib memberi tambah sampai 400 ekor
kambing. (HR. Tirmitzi, No. 621, Juz 3, h.17)
5. Membolehkan memberi zakat berupa uang
khusus pada harta perdagangan karena penghitungan nishab (jumlah minimal) wajib
zakat perdagangan adalah berdasarkan pada standar emas yang tentunya dengan
perhitungan harga atau uang.
Kesimpulan
1. Dua teori ijtihad, ma’na an-nash dan ‘ain
an-nash sebagaimana dipaparkan di atas merupakan dua hal yang bertolak
belakang dengan sudut pandang yang berbeda, tetapi keduanya tetap mengacu pada
prinsip-prinsip pemahaman yang sah terhadap nash atau teks.
Teori ma’na an-nash (pemahaman esensial) adalah lebih sesuai
dengan esensi perintah atau maqshad asy-syari’ah (tujuan hukum
Islam), yakni membantu kebutuhan para penerima zakat, meskipun tidak sesuai
dengan teks perintah zakat. Sedangkan teori ‘ain an-nash (pemahaman
tekstual) adalah sesuai dengan teks perintah zakat, yakni memberikan zakat
berupa bendanya, meskipun kurang sesuai dengan esensi atau tujuan perintah
zakat.
2. Khususnnya di Indonesia dan pada zaman
sekarang terdapat pertimbangan kuat untuk membolehkan memberikan zakat berupa
uang. Pertimbangan tersebut secara jelas dapat dinilai tidak bertentangan
dengan nash dan bahkan lebih mengarah pada tercapainya maqshad asy-syari’ah
(tujuan hukum Islam). Pertama, memberikan zakat dengan uang akan
lebih bermanfaat karena penggunaannya lebih leluasa sesuai dengan kebutuhan
para penerima zakat yang dalam memenuhi berbagai kemaslahatan hidupnya serba
membutuhkan uang.
Kedua,
memberikan zakat berupa benda sesuai dengan benda yang harus diambil zakatnya,
akan dapat berakibat pada berkurangnya manfaat bagi para penerima zakat yang
berarti pula kurang sesuai dengan tujuan syariat. Misalnya, pedagang material
bangunan bila ia harus memberikan zakat berupa barang dagangannya; seperti
pasir, semen, besi, cat dan sebagainya yang semua itu belum tentu dibutuhkan
oleh mereka.
Misalnya pula bila seekor kambing harus diambil
untuk zakat yang harus dibagikan kepada sejumlah penerima zakat yang cukup
banyak, tentu akan sulit pembagiannya serta terpenuhinya unsur pemerataan. Cukup
sulit pula bagi ibnus sabil (orang dalam perjalanan jauh untuk
tujuan kebaikan) sebagai penerima zakat, bila ia harus menerima beras zakat
untuk kebutuhan dalam perjalanannya karena beras bukanlah makanan pokok yang
siap saji, dan seandainya diberikan dalam bentuk nasi, akan berisiko karena
cepat basi. Dalam hal ini khususnya, persoalannnya akan berbeda bila bahan
makanan pokok itu berupa kurma yang siap saji dan tahan lama, tentu tidak ada
kesulitan baginya.
KH Arwani Faisal
Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU
Posting Komentar
Posting Komentar