Menu

TQN PP.Suryalaya

 

Ramadhan dengan segenap fasilitasnya telah berlalu meninggalkan kita. Semoga ibadah-ibadah lainnya yang telah kita lakukan selama Ramadhan, diterima oleh Allah Swt. Lebih dari itu Ramadhan sebagai bulan ”Penataran / Pelatihan / Pendidikan Semesta” diharapkan mampu meningkatkan kualitas ketakwaan kita terhadap Allah Swt. Sehingga hidup dan kehidupan kita sepanjang hayat, senantiasa diwarnai oleh nilai-nilai keimanan dan keislaman.
Target yang dituju Ramadhan, sebenarnya pararel dengan tujuan hidup manusia itu sendiri. Yaitu, untuk senantiasa menyembah dan mengagungkan Allah Swt. Dalam maknanya yang luas. Mencakup segenap aspek kehidupannya, baik sebagai individu maupun jama’ah. Dari sisi lain, kesedian manusia menyembah dan mengagungkan Allah itu juga merupakan ungkapan syukur terhadap segenap karunia-Nya. Oleh sebab itu, di ujung firman-Nya yang berkaitan dengan puasa Ramadhan itu, Allah menyatakan : ”Supaya kamu (bersedia) mengagungan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan Kepadamu, dan supaya kamu bersyukur”. (Qs. Al-Baqarah :185)


Suatu ketika Sufyan bin Abdullah, salah seorang sahabat Nabi Saw., yang bergelar Abu Amr, menanyakan kepada Rasulullah Saw., tentang hakikat Islam : ”Ya Rasulullah, katakan kepadaku tentang Islam dengan perakataan yang demikian jelas, sehinga aku tidak perlu bertanya lagi tentang hal itu kepada siapapun selain Engkau!”, demikian tanya Abu Amr kepada Nabi Saw. Lalu bagaimana jawab Rasulullah Saw ? : ”Katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian bersikaplah istiqamah!” (HR. Muslim)
Ada dua pokok pengertian yang terkandung dalam jawaban Nabi Saw., yang singkat namun padat itu. Pertama, pernyataan beriman kepada Allah. Kedua, bersikap istiqamah, konsekuen dan konsisten.
Perinsip yang pertama, beriman kepada Allah artinya mengakui dan meyakini dengan sepenuh hati terhadap kemandirian (ketauhidan) Allah dalam segenap ihwal-Nya di alam semesta ini. Tegasnya, menerima dan mengakui dengan sepenuh hati bahwa satu-satunya yang berdaulat penuh di alam semesta ini adalah Allah Swt. Dialah Sang Pencipta, Pengatur, Pengurus dan Penguasa Tunggal alam semesta ini. Sedang selain-Nya, apa dan siapa pun dia, tidak lebih hanyalah makhluk dan hamba-Nya belaka. (lihat QS. Al-Muluk : 1-5)
Pengakuan terhadap Allah yang demikian itu, jika benar-benar tumbuh dari kesadaran hati, tentu akan melahirkan sikap ”penyerahan” secara bulat dan utuh kepada-Nya, baik secara lahiriah maupun batiniah, secara lisan maupun tindakan nyata. Itulah hakikat beriman kepada Allah Swt. Jadi, bukan sekedar percaya, pengakuan dan ucapan belaka, tapi perlu juga pembuktian dengan sikap dan perbuatan nyata. Rasulullah Saw., bersabda : ”Iman itu bukanlah sekedar hayalan, angan-angan; dan bukan pula hiasan (bibir), ucapan dan pengakuan. Tapi, suatu keyakinan yang tertanam kokoh dalam Qalbu dan dibuktikan dengan amal perbuatan nyata”.
Dengan demikian, seseorang yang telah menyatakan ”amantubillah”, disamping mengakui kemandirian Allah dalam segenap ihwal-Nya, juga harus mengiringinya dengan ”penyerahan” secara total dan utuh kepada-Nya. Ia harus patuh dan tunduk terhadap kemauan dan kehendak Allah Swt. Ia harus bersedia dan rela melenyapkan ”kebebasan” dirinya dihadapan Allah Swt., dan menghilangkan segenap anggapan dan perasan bahwa ia sebagai majikan atas dirinya. Ia harus menyukai segala yang disukai dan diridhoi oleh Allah, meski berlawanan dengan selera dan nafsunya. Dan ia membenci terhadap segala yang dibenci dan dimurkai oleh Allah, meski sesuai dengan keinginan dan seleranya.
Walhasil, sikap seorang Mu’min di hadapan Allah Swt., bagaikan seorang pembantu, pegawai, pelayan atau hamba sahaya yang patuh dan tunduk di hadapan majikan atau tuannya. Hatinya takut dan bergetar bila Asma-Nya disebut, keimanannya semakin bertambah bila mendengar firman –Nya dibaca, dan segenap ihwal hidupnya sepenuhnya diserahkan dan dipasrahkan demi mendambakan keridhaan-Nya semata. (lihat, QS. Al-Anfal : 2)
Selanjutnya, perinsip yang kedua, yaitu bersikap istiqamah: ajeg, mantab, tetap teguh dan tegar. Maksudnya, keimanan yang melahirkan ”penyerahan” secara utuh dan bulat kepada Allah, patuh dan tunduk sepenuhnya kepada kehendak-Nya itu, harus terus dipertahankan dan dipelihara, dimana saja dalam kondisi apapun juga di sepanjang hayatnya.
Sebagaimana halnya memberikan ”pengakuan” secara khidmad dan kudus terhadap kemandirian rubbiyah Allah Swt., itu amat penting, maka keharusan menjaga dan mempertahankan kesegaran ”pengakuan” tersebut pun amat penting. Dalam kaitan ini, ”dzikir” atau ingat kepada Allah Swt., di mana dan kapan saja, terus kita jaga dan kita pelihara. Kesadaran adanya hubungan antara diri dengan Allah Swt., membuat manusia berupaya senantiasa patuh dan tunduk kepada petunjuk dan kehendaknya. Kondisi semacam ini harus terus dijaga, dipelihara dan dipertahankan, jangan sampai ”kesadaran” atau ”dzikrullah” itu memudar atau melemah, apa lagi lenyap. Karena itu, merupakan motor penggerak dan sekaligus kendali hidup.
Manakala ”dzikir” atau kesadaran terhadap Allah itu pudar dan melemah, maka segera saja sifat pembangkangan dan naluri ”kebebasan diri” akan muncul dan menguasai diri manusia. Pada saat itu, manusia bisa menjadi lupa terhadap Sang Penciptanya, Allah Swt., dan kekuatan nafsu Syaithaniyah akan mengoper kendali hidupnya. Kalau kondisi sudah demikian, maka manusia tak ubahnya bagaikan kendaraan yang sedang melaju cepat sementara sang sopir bersama penumpang lainnya sudah tidak mampu lagi mengendalikan lajunya kendaraan. Maka, akibat lebih lanjut bisa dibayangkan: malapetaka bakal mengancam diri dan kehidupannya.
Al-Qur’an menggambarkan manusia yang dalam kondisi seperti itu ”kal an’aam”, bagaikan binatang. Karena, mereka sudah tidak lagi mampu membedakan antara yang hak dan yang batil, antara yang halal dan yang haram, antara yang adil dan yang zhalim, antara yang diridhoi dan yang dimurkai oleh Allah. ”Bal hum adhalu”, bahkan mereka lebih sesat lagi dari binatang. Betapa tidak? Karena, manusia memilik potensi yang demikian hebat dan dahsyat. Yaitu ilmu dan teknologi. Karena kendali hidup sudah tidak ada, maka semua potensi yang dahsyat itu bisa dikerahkan untuk memenuhi nafsu syaithaniyahnya yang tidak pernah kenal puas itu. Kasus pembantaian Nazi di Jerman, bom atom di Hirosima dan Nagasaki, tergedi Bosnia yang demikian kejam dan keji, juga pembantaian kaum Muslimin di Afghanistan dan irak yang kini masih berlangsung.
KKN dengan segala modusnya di negeri kita yang mayoritas Muslim ini, juga akibat dari oknum-oknum yang tidak mampu istiqamah dalam mengendalikan diri. Semua itu dapat dijadikan contoh bagi pernyataan Allah di atas,”bal hum adhallu!”
Demikianlah, bila ”dzikrullah” yang merupakan kendali dan kunci istiqamah pudar dan melemah, bisa berakibat fatal bagi hidup dan kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, keimanan terhadap Allah Swt., yang mencakup ”pengakuan” dan ”penyerahan” secara total terhadap kehendak dan kemauan-Nya, harus senantiasa dijaga, dipelihara, dilestaraikan dan dikembangkan. Menjaga, memelihara, melestarikan dan mengembangsuburkan keimanaan terhadap Allah tersebut itulah yang dinamakan Istiqamah.

Ramadan dengan segenap fasilitasnya, merupakan situasi dan kondisi yang amat efektif untuk menanamkan sikap taqwa dan istiqamah.”Kesadaran” dalam kita beriman dan berislam, secara terus menerus. Puasa Ramadhan mempertautkan semua kesetiaan dan kepatuhan manusia dan mengarahkannya ke satu pusat wewenang tersebut, selama kurang lebih dua belas jam setiap hari dalam jarak waktu satu bulan dalam setiap tahunnya. Dengan demikian, diharapkan kesadaran yang semacam itu dapat terus berlangsung dan tetap segar sepanjang hayatnya. Meskipun hanya dua kebutuhan utama, yaitu makan minum dan seksual, yang terpilih untuk menegakkan sikap taqwa dan istiqamah tersebut, namun tujuan sebenarnya adalah terbinanya naluri manusia secara keseluruhan. Bahwa selaku hambah Allah, seorang Mu’min harus memiliki kepekaan yang begitu tinggi dan kesadaran tanggungjawab yang begitu kuat, sehingga terampil dan terlatih dalam mengendalikan diri dari setiap yang dibenci dan dilarang oleh Allah Swt., dan senantiasa siap untuk segera mungkin melaksanakan segala yang diridhai dan diperintahkan-Nya, betapa pun beratnya kendala dan resiko yang bakal dihadapinya. Sosok pribadi semacam inilah yang diharapkan oleh ”Penataran / Pelatihan / Pendidikan Semesta” selama bulan Ramadhan.

”La ’allakum tattaquun”, mudah-mudahan kamu menjadi orang yang benar-benar bertaqwa. Mampu dan siap menjaga diri, kapan saja dan di mana saja, secara terus menerus, istiqamah, sepanjang hayatnya. Berhasil atau tidaknya dalam kita meningkatkan kualitas taqwa selama Ramadhan yang baru saja meninggalkan kita, sangat ditentukan bagaimana kiprah dan sepak terjang kita dalam menapaki kehidupan selanjutnya. Rasulullah Saw., bersabda : ”Sekiranya umatku mengetahui dan dibukakan hijab oleh Allah mengenai hakikat Ramadahan niscaya mereka akan mengangan-angankan semuah bulan itu dijadikan Ramadhan”. Semoga Allah senantiasa memberi hidayah dan taufiq-Nya. Amin


+Dokumen Facebook Pemuda TQN Suryalaya
 (Sumber: status Ustadz Resi Remano di Grup FB Penyejuk Jiwa  Pelipur Lara)

Posting Komentar

 
Top