Kusebut cinta yang penuh gairah
Karena aku tak bisa mengingat selain diri-Mu
Kusebut cinta yang Kau berhak atasnya
Karena Kau telah menyikap hijab hingga aku bisa melihat-Mu
Tak patut pujian untuk diriku karena hal ini dan itu
Segala pujian hanya untuk diri-Mu”
Rabi’ah Adawiyah
Rabi’ah Al Adawiyah hanyalah seorang gadis gelisah yang bergairah pada cinta
Tuhannya. Rabi’ah memilih cinta sebagai fokus. Cinta itulah yang menjadi
landasan Rabi’ah berelasi dengan sesama manusia dan Tuhan.
Lahir di Bashrah Irak. Rabi’ah lahir sebagai seorang Bani ‘Adi
yang dikenal ahli ibadah dan hidup sebagai pertapa. Lahir dari keluarga miskin,
saat remaja ia bersama tiga bersaudara harus menghidupi diri sendiri
selepas kedua orang tuanya meninggal.
Dalam bencana kelaparan yang menerpa Iraq, ia pergi mencari
penghidupan. Celaka! Ia diculik dan dijadikan budak. Namun dalam kekerasan yang
ia terima selama menjadi budak, tidak membuat ia lupa akan tuhannya. Ia bekerja
keras tanpa upah kecuali mendapat makan ala kadarnya.
Rabi’ah benar-benar hidup sendiri, tanpa teman untuk curhat,
tanpa kekasih untuk berbagi cerita, tanpa keluarga untuk meminta bala bantuan.
Ia lewati hari-hari sendiri. Satu-satunya tempat berkeluh kesah, yang selalu ia
rindukan dengan segenap kasih sayang hanyalah Tuhan.
Tiap malam ia gunakan waktu untuk menyebut nama-Nya. Bahkan hal
itu membuat majikannya suatu hari terpana ketika melihat tali bercahaya
mengambang di atas kepala Rabi’ah Al-’Adawiyah. Selalu mendekatkan
diri pada sang khalik itu yang menjadi jalan ia dimerdekakan dan kemudian
mengambil jalan sebagai penghibur peniup suling sekaligus biduan.
Rabi’ah juga dikenal melalui kemahirannya berpuisi dan berprosa
serta parasnya yang rupawan. Kemasyurannya sampai ke negeri seberang. Pinangan
datang dari berbagai kalangan, termasuk ahli kitab Hasan Al-Bashir yang
merupakan tokoh ulama berpengaruh pada zamannya. Di tengah kemasyurannya ia
memilih bertobat, tidak jelas karena alasan patah hati, jenuh dengan dunia itu
atau disadarkan oleh lingkungan majelis pengajian. Setelah bertobat ia
terus mengasah kemampuannya dalam bertutur dan menciptakan syair-syair cinta
tulus serta mendalam, sebagaimana cinta kepada Sang Terkasih
Rabi’ah yang sejak
kecil rohaninya terbina dalam keluarga muslim dan kondisi sosialnya, membuatnya
memilih hidup zuhud, setelah bebas dari budak. Kezuhudannya dapat dilihat dalam
berbagai sikap hidup dan kata-katanya.
Ketika sufyan al-tsauri menanyakan tentang hikmah, Rabi’ah
menjawab, “Alangkah baiknya bagimu jika engkau tidak mencintai dunia ini”.
Dan ketika ada temannya yang akan member rumah kepadanya, ia menolak dengan
mengatakan: “Aku takut kalau-kalau rumah ini mengikat hatiku, sehingga aku
terganggu dalam amalku untuk akhirat”. Dia juga member nasehat kepada
orang-orang yang mengunjungi: “Pandanglah dunia ini sebagai sesuatu yang
hina tak berdaya, itu lebih baik bagimu”.
Suatu
hari Malik bin Dinar menemui Rabi’ah di rumahnya sedang minum dengan tempat air
dari bejana yang pecah dan beralaskan tikar yang kumuh serta tersedia bantal
untuk tidur dari batu. Melihat hal itu Malik berkata, “Wahai Rabi’ah, banyak
kawan saya yang kaya. Sudikah engkau menerima pemberian mereka?”
Rabi’ah
menjawab, “Wahai Malik, ucapanmu itu sangat tidak menyenangkan hatiku, dan
itu memang ucapan yang salah. Yang member rizki kepada kawan-kawan mu yang kaya
raya itu adalah Allah yang juga telah memberikan rizki kepadaku. Apakah engkau
akan menyatakan bahwa hanya orang-orang kaya saja yang memperoleh rizki,
sementara orang miskin tidak? Kalau Allah menakdirkan kondisi kita begini maka
tugas yang perlu kita laksanakan menerimanya dengan penuh tawakal.”
Pernah
pula berdatangan sukarelawan yang hendak bergotong-royong memperbaiki rumah
Rabi’ah dan mengisinya dengan perabot-perabot rumah tangga, maka Rabi’ah
berkata kepada mereka: “Saya tidak memerlukan keduniaan. Sungguh, diriku tak
lebih hanyalah seorang musafir. Bukankah seorang musafir tidak memerlukan
apa-apa kecuali sekedar bekal penunjang hidupnya?”
Ketika
seorang hartawan menawarkan kemurahan hatinya hendak memenuhi semua kebutuhan
Rabi’ah dengan membuka peluang agar Rabi’ah meminta segala hal yang dibutuhkan,
Rabi’ah mengatakan, “Aku ini begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada yang
pemiliknya, maka bagaimana bisa aku meminta kepada yang bukan pemiliknya?”
Rabi’ah
pernah menangis karena mendengar Sufyan al-Tsuri berdoa, “Tuhan Yang Maha
Kuasa, kumohon harta duniawi dari-Mu.” Ketika ditanya kenapa menangis,
Rabi’ah menjawab: “Harta yang sesungguhnya itu hanya didapat setelah
meninggalkan segala yang bersifat duniawi ini, dan aku melihat engkau hanya
mencarinya di dunia ini saja”.
Rabi’ah
memang menolak atau menghindari kehidupan kemewahan duniawi. Akan tetapi
kenyataannya ia hidup di dunia. Oleh karena itu, tentang dunia itu sendiri, ia
mempunyai pandangan tentangnya. Sebagaimana penjelasannya dalam menjawab
pertanyaan sebagai berikut:
Dari mana engkau datang?
Aku datang dari dunia lain.
Engkau hendak kemana?
Pergi ke dunia yang lain.
Kalau begitu, apa yang kau lakukan di duniawi ini?
Untuk memanfaatkannya.
Bagaimana engkau memanfaatkannya?
Aku bekerja dan beramal demi hidup abadi di akhirat.
Sumber
: Buku Kisah-Kisah Pencerahan Sufi karya Mufidul Khoir (via sufimuda.net),
annunaki.me , dan Buku Syahadat Cinta Rabi’ah al-’Adawiyah Penulis: Mohamad Guntur Romli.
Posting Komentar
Posting Komentar