Hampir setiap orang mengerti kopi. Biji kopi
yang dibungkus buah kopi dikeringkan, lalu disangrai untuk selanjutnya ditumbuk
menjadi bubuk. Bubuk kopi inilah yang berikutnya diolah menjadi umumnya bahan
minuman kopi. Tetapi kopi luwak sedikit berbeda meskipun perbedaannya sedikit.
Namun begitu, implikasi hukumnya perlu dipertimbangkan.
Kopi luwak merupakan biji kopi yang kerap menjadi konsumsi luwak. Luwak hewan
sejenis kucing dengan bulu bintik-bintik yang memiliki kegemaran memakan ayam,
juga kopi, dan juga makanan lainnya. Biji kopi yang menjadi kotoran luwak inilah
yang disebut kopi luwak.
Lalu bagaimana hukumnya mengonsumsi bubuk kopi yang diolah dari biji kopi yang
keluar dari dubur luwak? Hukumnya bergantung dari proses pengolahannya. Karena,
hukum umum yang berlaku, segala benda yang keluar dari kemaluan depan atau
belakang dihukumnya najis.
Terkait kopi luwak, Imam Nawawi dalam kitabAl-Majmuk syarah Al-Muhadzabmenjelaskannya dengan baik,قال أصحابنا رحمه الله إذا أكلت البهمية حبا وخرج من بطنها صحيحا فإن كانت صلابتها باقية بحيث لو زرع نبت فعينه طاهرة لكن يجب غسله ظاهره لملاقاة النجاسة لانه وان صار غذاء لها فمهما تغير الى الفساد فصار كما لو ابتلع نواة وخرجت فأن باطنها طاهر ويطهر قشرها بالغسل وإن كانت صلابتها قد زالت بحيث لو زرع لم ينبت فهو نجس ذكر هذا التفصيل هكذا القاضى حسين والمتولى والبغوى وغيرهم“Sahabat kami Ra berkata, ‘Ketika binatang menelan sebuah biji, lalu keluar dari perutnya dalam keadaan utuh, maka harus dilihat dari kerasnya biji itu. Kalau kerasnya biji itu tetap dalam arti ketika biji itu ditanam lantas tumbuh, maka biji itu terbilang suci. Tetapi biji itu wajib dicuci karena permukaannya bersentuhan dengan najis. Karena, meskipun biji itu merupakan makanan binatang itu, artinya ketika biji itu cenderung menjadi rusak seperti biji yang ditelan binatang, lalu keluar dari duburnya, maka bagian dalam bijinya terbilang suci. Kulit bijinya pun bisa suci bilamana dicuci. Tetapi jika kekerasan biji itu hilang artinya ketika biji ditanam tidak tumbuh, maka hukum biji itu najis.’ Demikian disebutkan secara rinci. Begitulah dikatakan Qadli Husen, Al-Mutawalli, Al-Baghowi, dan ulama lain.”
Wallahu A'lam.
Sumber: nu.or.id
Posting Komentar
Posting Komentar