Imam al-Bukhari (194-256H) meriwayatkan:حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ قَالَ سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ يَقُولُ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ“Qutaibah bin Sa’id telah menyampaikan hadits pada kami. Abd al-Wahab memberitakan pada kami. Dia berkata: Saya mendengar yahya bin Sa’id yang mengatakan: Muhammad bin ibrahim telah memberitahu bahwa ia mendengar Alqamah bin Waqas al-Laytsi berkata: Aku mendengar Umar bin al-Khathab berkata: Saya dengar rasul SAW bersabda: Sesungguhnya amal itu dengan niyat. Sesungguhnya bagi setiap orang tergantung pada yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya pada Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya untuk kepentingan dunia, atau yang hijrahnya karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang harapkannya.”
Pengertian
Hijrah
Hijrah
adalah perpindahan dari satu situasi atau kondisi yang satu ke kondisi atau
situasi yang lain. Hijrah merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh Allah SWT,
bahkan bisa wajib tatkala sangat diperlukan. Secara garis besarnya hijrah itu
terdiri yang bersifat fisik yaitu perpindahan tempat, dan yang bersifat non
fisik yaitu perpindahan situasi atau mengubah keadaan. Hijrah bisa bernilai
ibadah, jika untuk Allah dan mengikuti Rasul-Nya, dan tidak bernilai ibadah
bila dilakukan bukan untuk mencarai ridla Allah SW. Beliau menandaskan lagi
dalam sabdanya:
ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Barangsiapa
yang hijrahnya untuk kepentingan duniawi, atau kepentingan wanita yang
dinikahi, maka manfaat hijrahnya pun sesuai dengan apa yang dituju.
Hadits
ini juga mengisyaratkan bahwa hijrah itu ada yang syar’i, ada pula yang tidak.
Hijrah yang syar’i adalah perpindahan untuk kepentingan tegaknya al-Islam, demi
meraih ridla Allah. Sedangkan hijrah yang tidak bernilai syar’i adalah yang
bukan kepentingan jalan Allah, dan tidak bertujuan meraih ridla-Nya. Oleh
karena itu, supaya segalanya bernilai ibadah, ikhlaskan tujuan untuk mencari
ridla Allah dan melakukannya berdasar syari’ah Allah, serta mengikuti sunnah
Rasul-Nya.
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أُنْزِلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعِينَ فَمَكَثَ بِمَكَّةَ
ثَلَاثَ عَشْرَةَ سَنَةً ثُمَّ أُمِرَ بِالْهِجْرَةِ فَهَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ
فَمَكَثَ بِهَا عَشْرَ سِنِينَ ثُمَّ تُوُفِّيَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Ibnu
Abbas[1], meriwayatkan bahwa Rasûl SAW menerima wahyu ketika
berusia empat puluh tahun, kemudian tetap di Mekah selama tiga belas tahun,
kemudian diperintah hijrah. Beliau hijrah ke Madinah dan berada di sana selama
sepuluh tahun hingga wafat. Hr. Ahmad (164-241H), al-Bukhari (194-256H), [2]
Da’wah
Islam yang dilakukan Rasul SAW pada awalnya secara sembunyi-sembunyi, kemudian
bertambah luas hingga jumlah kaum muslimin empat puluh orang, yang kemudian
dibina secara khusus di Bait al-Arqam.[3]
Kaum Quraisy berusaha menghalangi risalah dengan berbagai
usaha, mulai dari berbagai tawaran, rayuan hingga kekerasan. Sejak tahun
keempat kenabian, banyak kaum muslimin yang disiksa secara kejam, hingga
mendorong Rasul untuk menghijrahkan shahabatnya ke Habsyah pada pertengahan
tahun kelima. Rombongan pertama sebanyak sepuluh orang, antara lain Utsman bin
Affan beserta istrinya, Ruqayah putri Rasul; Abdurrahman bin Auf, dan Zubair
bin Awwam. Rombongan kedua dipimpin Ja’far sebanyak seratus orang. Pada bulan
Dzul-hijah tahun keenam kenabian, Umar bin Khathab dan Hamzah masuk Islam, yang
mengakibatkan semakin menambah kebencian musyrikin.
Pada
tahun ketujuh dari kenabian, Bani Hasyim diboikot perekonomiannya hingga
menyengsarakan. Walaupun kaum muslimin mendapat cobaan berat dari segala
penjuru, terutama penindasan kaum musyrikin, baik dalam bidang ekonomi maupun
politik, semua itu tidak menurunkan semangat Rasul SAW dalam berda’wah. Pada
tahun itu juga, Abu Thalib sebagai pimpinan suku Bani Hasyim dan Siti Khadijah
isteri Rasul yang mendukung da’wah baik materil maupun immateril, wafat.
Pada
bulan syawal tahun kesepuluh dari kenabian (Mei-Juni 619 M), Rasul berangkat ke
Tha’if. Namun ternyata orang Tha`if belum meraih hidayah, Rasul diperlakukan
tidak layak oleh mereka bahkan mendapat lemparan batu dan kotoran hingga
terluka. Menurut sebagian riwayat, setelah Rasul SAW kembali ke Mekkah maka
tahun itu pula Isra dan Mi’raj terjadi, sekaligus turun perintah shalat lima
waktu.
Da’wah
selanjutnya dilakukan dengan mendatangi berbagai lapisan masyarakat seperti
Bani Kilab, Bani Hanifah, Bani Amir, dan ternyata mendapat sambutan yang
menggembirakan. Pada musim haji berikutnya, berdatanganlah masyarakat dari
berbagai penjuru, yang dimanfaatkan Rasul SAW untuk menda’wahi berbagai kafilah
dari luar penduduk Mekah. Di awal tahun kesebelas dari kenabian banyak orang
Yatsrib yang masuk Islam seperti: Suwaib bin Shamit, Iyas bin Mu’adz,
Tufail bin Amr, dan Dlamad al-Azdi.
Pada
musim haji tahun kesebelas dari kenabian (Juli 620 M), jamaah Yatsrib masuk
Islam. Mereka adalah kaum muda Bani Najar seperti As’ad bin Zararah dan Auf bin
Haris, dari Bani Zuraiq seperti Rafi’ bin Malik, dari bani Salmah
seperti Qathbah bin Amir, dari Bani Haram bernama Uqbah, dan dari Bani Ubaid bernama
Jabir bin Abdillah. Mereka bertekad akan menda’wahkan Islam di Yatsrib sebagai
kampung halamannya.
Pada
musim haji tahun keduabelas (Juli 621 M), bersama lima orang yang sudah masuk
Islam tahun sebelumnya (di luar Jabir), tujuh penduduk Yatsrib bangsa Khazraj
yaitu Mu’adz, Dzakwan, Ubadah, Yazid dan Abbas serta bangsa Aus yaitu
Abul-Haitsam dan Uwaim berbai’at kepada Rasul di Aqabah untuk diangkat menjadi
juru da’wah. Inilah yang dinamakan Bai’at al-Aqabah pertama. Rasul pun mengutus
Mush’ab bin Umair untuk ikut ke Yatsrib sebagai utusan dan melihat situasi di
sana.
Pada
musim haji tahun berikutnya (Juni 622 M), sebanyak 73 orang Yatsrib menunaikan
haji dan berbai’at pada Rasul sebagai juru da’wah Islam, yang dinamakan Baiat
al-Aqabah kedua. Mereka juga mengundang Rasul untuk hijrah ke Yatsrib,
dilatarbelakangi antara lain: (1) memperluas da’wah, (2) menyelamatkan muslimin
yang tertindas di Mekah dan (3) menjalin persaudaraan antara Aus dan Khazraj
yang telah lama bermusuhan.
Di
sisi lain, semakin luasnya jangkauan da’wah Rasul dan bertambahnya jumah
muslimin, berakibat kaum musyrikin semakin membenci Rasul. Mulai saat itu kaum
muslimin diperintah Rasul untuk hijrah ke Yatsrib secara berangsur. Pada hari
Kamis, 26 Shafar (12-september- 622 M) para pembesar Quraisy semacam parlemen,
berkumpul di Dar al-Nadwa yang diikuti oleh Abu Jahl bin Hisyam, Jubair bin Muth’im,
Tha’imah, Harits, Syaibah, Utbah, Abu Sufyan, al-Nazhr, Abu al-Bukhturi,
Zam’ah, Hakim, Nabih, Munabbih, dan Umayah bin Khalaf. Mereka bersepakat untuk
mengepung dan membunuh Rasul SAW. Rasul mengetahui ancaman kaum musyrikin
tersebut dan siang harinya beliau mengunjungi rumah Abu Bakr untuk mengajak
hijrah, dan kembali ke rumahnya menunggu waktu malam tiba.[4]
Pada
malam 27 Shafar (13-9-622 M), Rasul SAW dan Abu Bakr meninggalkan rumah,
setelah berpesan pada Ali bin Abi Thalib,[5] untuk menempati tempat tidur beliau, kemudian menuju Goa
Tsur.[6] Pada malam itu pula pembesar Quraisy sebanyak sebelas
orang mengepung rumah Rasul SAW untuk melaksanakan pesan Dar al-Nadwa, padahal
di rumah tersebut hanya ada Ali bin Abi Thalib. Rasul dan Abu Bakr berada di
Goa Tsur selama tiga malam, hingga malam Ahad tanggal 30 Shafar.
Pada
hari Senin 1 Rabi al-Awal, Rasul melanjutkan perjalanan menuju Yatsrib.[7] Senin 8 Rabi’ul-Awal /23-September-622 M (perjalanan
Tsur-Quba ditempuh dalam waktu satu pekan), Rasul dengan Abu Bakr tiba di Quba
dan mendirikan Masjid di depan Rumah Kalstum bin al-Hadm.[8] Di Quba, Rasul menginap empat malam dan hari Jum’at
melanjutkan perjalanan. Waktu zhuhur sampai di daerah Bani Salim bin ‘Awf,
perintah shalat Jum’at turun dan melakukan shalat Jum’at dengan berjamaah
bersama seratus muslimin.[9] Setelah shalat Jum’at Rasul melanjutkan perjalanan dan
sampai di Yatsrib tanggal 12 rabi’ul Awal. Inilah hijrah terbesar yang
dilakukan Rasul SAW bersama kaum muslimin. Kota Yatsrib kemudian diberi nama
al-Madinah al-Munawarah, sebagai pusat bersinarnya syi’ar Islam ke seluruh
penjuru dunia.
Hijrah
menurut bahasa berarti pindah, baik secara fisik maupun non fisik. Al-Qurthubi
(w.671H) menandaskan:
الهجْرة
معْنَاهَا الإنْتِقَال مِنْ مَوْضِعٍ إلَى مَوْضِعٍ وَقَصْدُ تَرْكِ الأوَّل
إِيْثَارًا لِلثَّانِي
Hijrah
berarti pindah dari satu tempat ke tempat lain dan menyengaja meninggalkan satu
posisi awal menuju posisi yang ke dua.[10]
Pengertian
semacam ini bisa dipahami bahwa hijrah itu perpindahan posisi, baik secara
fisik maupun non fisik. Perpindahan fisik adalah pindah dari tempat yang
diduduki, sedangkan pindah non fisik adalah pindah pendirian, pergantian sikap,
atau perubahan tingkah laku. Menurut mufasir, orang yang berhijrah adalah:
تَرَكُوا
دِيَارَهُم خَوْفَ الفِتْنة وَالإضْطِهَاد فِي ذَات الله
Meninggalkan
kampung halaman karena Allah demi menyelamatkan diri dari kekacauan dan
penindasan.[11]
Mahmud
Hijazi[12] menjelaskan bahwa yang berhijrah adalah:
فََارَقُوا
الأهْلَ وَالأوْطَانَ لإعْلاَءِ كَلِمَةِ الله وَنَصْرِ دِيْنِهِ وَلَحَقُوا
بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
Meninggalkan
keluarga dan kampung halaman untuk menegakkan kalimah Allah, membela agama dan
mengikuti Rasul SAW.[13]
Orang
yang berhijrah karena didasari iman dan untuk jihad, maka akan meraih rahmat
dan ampunan Allah SWT. Firman-Nya:
إِنَّ
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan
Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Qs.2:218.
Selanjutnya
arti hijrah tersirat dalam sabda Rasul SAW, sebagai berikut:
الُمهَاجِرُمَنْ
هَاجَرَ مَا نَهَى الله عَنْهُ
Orang
hijrah adalah yang meninggalkan segala yang dilarang Allah SWT. Hr. Ahmad (164-241H), Ibn
Hibban (w.354 H) [14]
Menurut
riwayat al-Thabarani (260-360H), dalam khutbah Haji Wada, Rasul bersabda:
المُهَاجِرُ
مَنْ هَاجَرَ السَّيِّئَاتِ
Orang
yang berhijrah adalah yang meninggalkan segala keburukan.[15]
Hikmah dan Fungsi Hijrah
Wahbah
al-Zuhayli[16], berpendapat bahwa hijrah fisik yang dilakukan Rasul dan para
shahabatnya, cukup banyak hikmah dan fungsinya. Hikmah dan fungsi hijrah yang
paling penting antara lain: (1) Tegaknya syi’ar Islam
dan menghindarkan konflik keagamaan. (2) Mencari dan mendapatkan
kemungkinan tersebarnya ajaran Islam. Jika kaum muslimin yang tidak memiliki
peluang untuk mendapat bimbingan Islam dan memahami hukumnya di suatu tempat,
maka sebaiknya hijrah ke tempat lain untuk mendapatkannya. (3) Persiapan
program untuk terwujudnya pemerintahan Islami dan penyebarluasan syari’at Islam
ke seluruh penjuru dunia. Semua itu nampak sekali dapat diwujudkan melalui
hijrah dari Mekah ke Madinah.[17]
Hijrah Fisik
Ibn
al-Arabi,[18] berpendapat bahwa hijrah fisik diperlukan sepanjang masa
hingga hari kiamat apabila berlatar belakang sebagai berikut: (1) Melepaskan
diri dari desakan perang yang merugikan muslimin, menuju ke tempat yang
menguntungkan Islam dan muslimin, seperti perpindahan dari Dar al-Harbi ke Dar
al-Islam. (2) Menghindarkan diri dari
perbuatan bid’ah demi menyelamatkan al-Sunnah.
(3) Perpindahan dari suatu tempat yang penuh maksiat dan perbuatan haram, ke
tempat bersih supaya tidak terbawa arus orang durhaka. (4) Melepaskan diri dan
ancaman penyakit yang apabila tidak berpindah akan membahayakan badan.
(5)Menyelamatkan diri dari ancaman orang jahat karena berada di tempat yang
kurang aman. (6) Menyelamatkan kekayaan yang sangat berguna bagi perjuangan
Islam.
Memerhatikan
uraian di atas, jelaslah bahwa hijrah fisik itu tetap diperlukan, hanya bentuk
dan sifatnya bisa beraneka ragam. Namun tentang perpindahan dari Mekah ke
Madinah yang diperintah Rasul SAW kepada shahabatnya hanya berlaku sebelum
Futuh Mekah. Perhatikan hadits riwayat al-Bukhari berikut.
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ
وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
Ibn
Abbas menerangkan bahwa Rasul SAW bersabda: Tidak ada kewajiban hijrah
setelah Futuh Mekah, melainkan jihad dan niat, maka jika diseru perang
segeralah penuhi panggilan tersebut. Hr. al-Bukhari (194-256H).[19]
Dengan
demikian, semua hijrah itu dilakukan demi fi sabil Allah yaitu membela
agama Allah. Adapun yang dimaksud لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ tidak ada hijrah
setelah Futuh Mekah, adalah tidak ada kewajiban hijrah dari Mekah ke
Madinah. Hal ini tampak sekali, bahwa Rasul SAW tidak mewajibkan muslim Mekah
hijrah ke Madinah, setelah Mekah beliau taklukkan dalam Futuhnya. Tanggal 10
Ramadlan tahun 8H, Rasul SAW meraih Futuh Mekah dan turun Qs. Al-Nashr,
dilanjutkan dengan umrah al-Fath.
Tanggal
25 Ramadlan tahun tersebut, Khalid bin Walid menghancurkan berhala di jazirah
Arab. Inilah kemenangan gemilang yang diraih kaum muslimin pada bulan Ramadlan.
Setelah Futuh Mekah itu, berdasar hadits ini hijrah dimanifestasikan dalam
memperbaiki kualitas umat dalam segala aspek kehidupannya. Itulah salah satu
makna dari jihad dan niyyah, sebagaimana ditandaskan
hadits ini.
Beberapa Ibrah
Dari
kajian hadits di atas dapat diambil beberapa ibrah sebagai berikut:
1) Niat
merupakan penentu atas nilai suatu amal, baik ucap, sikap maupun perbuatan.
(2)
Hijrah, nilainya bukan hanya ditentukan oleh cara, tapi juga dipengaruhi
tujuan. Hijrah yang baik adalah yang ditujukan untuk kepentingan Allah dan
Rasul-Nya.
(3) Hijrah secara fisik dalam arti perpindahan tempat bersifat
situasional. Hijrah yang mutlak dilakukan adalah perubahan sikap, dari yang
kurang baik menjadi baik, terutama dalam jihad.
Keterangan:
[1] Abd Allah ibn Abbas, lahir tahun 3 sebelum
hijrah, seorang shahabat yang dido’akan Rasul agar menjadi muslim yang
faham tentang agama dan memiliki keunggulan dalam mena’wil ayat. Saudara sepupu
Rasul ini cukup terkenal di kalangan ahli tafsir maupun hadis. Ia juga dijuluki
oleh ibn Mas’ud (w.32H) sebagai Turjuman al-Qur`an (juru bicara dalam memehami
al-Qur`an). Hadits yang diriayatkan oleh berbagai muhadits darinya
berjumlah 1660 Hadits, wafat di Tha`if tahun 68H
[2] Musnad ahmad, I h.236, Shahih
al-Bukhari, III h.1398
[3] rumah milik al-Arqam bin Abu al-Arqam bin Asad bin Abd
Allah bin Amr bin Makhzum yang dijuluki Abu Ubaid Allah. Menurut sebagian ulama
wafat bertepatan dengan tahun wafatnya Abu Bakr (12H), yang lain berpendapat
pada masa pemerintah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, (40H). Rumah tersebut berlokasi
di kawasan kaki bukit Shafa dekat Masjid al-Haram yang digunakan rasul SAW
untuk membina shahabatnya hingga menghasilkan 150 pemimpin umat yang
berkualitas.
[4] Shahih al-Bukhari, I h.553
[5] Ali bin Abi Thalib (18sH-40H), Shahabat, , Khalifah
keempat dari al-Khulafa al-Rasyidin, sejak usia 6 tahun diasuh oleh rasul SAW,
kemudian dinikahkan pada Fatimah. Dari pernikahannya mempunyai dua putra Hasan
dan Husen, dua putri bernama Zainab dan Umm Kurtsum yang dinikah oleh Umar bin
al-Khathab.
[6] Zad al-Ma’ad, II h.52
[7] Fath al-Bari, VII h.336
[8] menurut kitab rahmatan li al-Alamin, I
h.102, saat itu Rasul, genap berusia 53 tahun.
[9] Shahih al-Bukhari, I h.555
[10] al-jami li Ahkam al-Qur`an, III h.49
[11] Abu Bakr al-Jaza`iri, Aysar al-Tafasir, I
h.198
[12] Tahun 1969M masih menjadi Guru Besar di
universitas al-Azhar Mesir, menyusun tafsir al-Wadlih yang diselsaikannya pada
15 sya’ban 1373H (1954).
[13] Mahmud Hijazi, al-Tafsir al-Wadlih, II
h.52
[14] Musnad Ahmad, II h.205, Shahih Ibn Hibban, I
h.467
[15] al-Mu’jam al-kabir, III h.293
[16] Prof Dr.Wahbah al-Zuhayli, pada tahun 1991M masih
menjabat Kepala Program Fiqih Islam di Universitas Damascus. Kitab terbesar
karya beliau antara lain al-tafsir al-Munir, 15 jilid yang tebalnya rata-rata
di atas 500 halaman, dan al-Fuqh al-Islami, 8 jilid yang setiap jilidnya
berkisar 900 halaman.
[17] al-Tafsir al-Munir,V:232
[18] Ahkam al-Qur’an, I h.484-486
[19] Shahih al-Bukhari, no.1703
Sumber: saifuddinasm.com
Posting Komentar
Posting Komentar