Oleh: Habib Iwan Mahmoed Al-Fattah Azmatkhan
Syekh Quro, siapa yang tidak kenal nama yang satu ini, khususnya diwilayah
Karawang. Bahkan nama beliau ini juga dikenal dikawasan jawa barat. Dalam
Sejarah Jawa Barat dan Betawi nama yang satu ini cukup sering diulas, Ridwan
Saidi, sejarawan betawi dalam bukunya yang berjudul "Babad Tanah Betawi,
hal 109, penerbit gria media prima, mengangkat nama beliau ini sebagai penyebar
agama islam pertama di betawi. Ridwan sangat fanatik dengan sosok Syekh Quro
ini, beberapa kali dalam diskusi sejarah betawi, dia selalu bangga dengan sosok
Syekh Quro, namun anehnya dia tidak bangga dengan sosok Fatahillah (yang dia
anggap membunuh 3000 orang betawi saat membebaskan sunda kelapa). Dalam buku
yang saya peroleh dari dinas museum banten lama yang ditulis dengan gaya
ilmiyah yang berjudul Riwayat Kesultanan Banten, halaman 5 tahun 2006
olehTubagus Hafiz Rafiudin, sosok Syekh Quro bahkan ditulis dengan jelas
sebagai guru besar Agama Islam Di Champa. Pada halaman awal itu nama Syekh Quro
langsung tertera sebagai guru besar dan orang yang berpengaruh pada tokoh tokoh
atau raja/sultan pada kerajaan Pajajaran, kesultanan Cirebon maupun kesultanan
Banten kelak.
Bagi orang Cirebon, Indramayu dan juga banten, nama yang satu ini juga cukup
mendapat perhatian, karena sepak terjang dakwahnya yang dapat dikatakan sukses
besar. Dakwahnya damai, santun dan cerdik. Beliau berdakwah dengan kemampuan
ilmu alqur'annya. Ulama besar yang bergelar Syekh Qurotul’ain ini ternyata nama
aslinya adalah Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanudin. Beliau adalah
seorang yang arif dan bijaksana dan termasuk seorang ulama yang hafidz
Al-qur’an serta ahli Qiro’at yang sangat merdu suaranya. Syekh Quro adalah
putra ulama besar Mekkah, penyebar agama Islam di negeri Campa (Kamboja) yang
bernama Syekh Yusuf Siddik yang ternyata masih merupakan keluarga besar
Azmatkhan, karena ayah Syekh Yusuf Siddiq ternyata Sayyid Husein Jamaluddin
Jumadhil Kubro. Sayyid Yusuf Siddiq sendiri ibunya adalah Puteri Linang Cahaya
binti Raja Sang Tawal/ Sultan Baqi Syah/ Sultan Baqiuddin Syah (Malaysia).
Putri Linang cahaya ini dalam kitab Ensiklopedia Nasab Al Husaini dan juga
situs Madawis telah melahirkan 3 anak, yaitu: Pangeran Pebahar, Fadhal (Sunan
Lembayung), Sunan Kramasari (Sayyid Sembahan Dewa Agung), Syekh Yusuf Shiddiq.
Ibu dari Sayyid Yusuf Siddiq ini adalah istri ke 3 dari Sayyid Husein
Jamaluddin Jumadhil Kubro. Jadi Syekh Quro ini adalah cucu dari Sayyid Husein
Jamaluddin Jumadhil Kubro, artinya beliau Syekh Quro adalah keluarga besar
Walisongo.
Adapun nasab Syekh Quro berdasarkan kitab nasab yang disusun Oleh Al Allamah
Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al Hafiz dan Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan
(TheGrand-Mufti Kesultanan Palembang Darussalam), penerbit Madawis, Tahun 2011
adalah :
1. Muhammad Rasulullah SAW
2. Fatimah Az-zahra
3. Husein As-shibti
4. Ali Zaenal Abidin
5. Muhammad Al-Baqir
6. Jakfar As-Shodiq
7. Ali Al-Uraidhi
8. Muhammad An-Naqib
9. Isa Ar-Rumi
10. Ahmad Al-Muhajir
11. Ubaidhillah
12. Alwi Al Awwal
13. Muhammad Shohibus Souma'ah
14. Alwi Atsani
15. Ali Kholi' Qosam
16. Muhammad Shohib Marbat
17. Alwi Ammul Faqih
18. Abdul Malik Azmatkhan
19. Abdullah Amir Khan
20. Sultan Ahmad Syah Jalaluddin
21. Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro
22. Syekh Yusuf Siddiq
23. Syekh Hasanuddin/Maulana Hasanuddin/Syekh Quro Azmatkhan
Pada waktu kedatangan beliau ditanah Jawa, terutama kawasan Jawa bagian barat
(saat itu belum ada istilah barat atau timur), wilayah Jawa Bagian Barat masih
dibawah kekuasaan Negeri Pajajaran yang saat itu menganut agama Hindu, dengan
seorang Raja yang bernama Prabu Anggalarang, Kekuasaan raja pajajaran tersebut
meliputi wilayah Karawang dan juga sekitarnya, sebelum datang ke tanah Karawang
sekitar tahun 1409 Masehi, Syekh Quro menyebarkan Agama islam di negeri Campa,
dari sini beliau lalu ke daerah Malaka dan dilanjutkan ke daerah Martasinga
Pasambangan dan Japura akhirnya sampai ke Pelabuhan Muara Jati Cirebon, disini
beliau disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati,
yang masih keturunan Prabu Wastu Kencana dan juga oleh masyarakat sekitar,
mereka sangat tertarik dengan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Quro yang di
sebut ajaran agama Islam.
Kedatangan awal Syekh Quro tentu tidak mengherankan jika ditinjau dari sisi
ilmu nasab dan sejarah, karena sebelum kedatangan beliau, keluarga besar
AZMATKHAN atau walisongo sudah periode awal sudah mulai bergerak, dimulai dari
Sayyid Husein Jamaluddin, kemudian anak anaknya dan dilanjutkan dengan
keturunanya. Jika ditinjau dari nasab dan periodesasi walisongo, beliau ini
satu angkatan dengan Maulana Malik Ibrahim dan walisongo angkatan angkatan
pertama. Sayangnya memang, dibandingkan dengan walisongo yang lain, sosok
beliau ini jarang dikaji dalam bentuk tulisan sejarah atau ilmiah, padahal jasa
beliau dalam menyebarkan agama islam itu sangat besar. Jasa beliau ini tidak
boleh dianggap kecil, karena beliau inilah yang merupakan pelopor penyebaran
agama islam di Jawa Barat, sebelum eranya Sunan Gunung Jati.
Sebelum kedatangan Syekh Quro, dapat dikatakan penyebaran islam belum sporadis,
namun sejak kedatangan Syekh Quro ini, Islam mulai mendapat tempat dihati
rakyat. namun demikian, penyebaran agama Islam yang disampaikan oleh syekh Quro
di tanah Jawa bagian barat ini rupanya sangat mencemaskan Raja Pajaran Prabu
Anggalarang, sehingga pada waktu itu penyebaran agama Islam dengan titahnya
harus segera dihentikan. Perintah dari Raja Pajajaran tersebut dipatuhi oleh
Syeh Quro yang memang pendekatan dakwahnya sangat persuasif. Namun kepada
utusan dari Raja Pajaran yang mendatangi Syekh Quro, Syekh Quro mengingatkan
kepada utusan tersebut untuk kemudian disampaikan kepada raja pajajaran,
"meskipun ajaran agama Islam dihentikan, namun penyebarannya kelak akan
meluas hebat, dan justru dari keturunan Prabu Anggalarang nanti akan ada yang
menjadi seorang Waliyullah".
Beberapa saat kemudian beliau pamit pada Ki Gedeng Tapa untuk kembali ke negeri
Campa, di waktu itu pula Ki Gedeng Tapa menitipkan putrinya yang bernama Nyi
Mas Subang Larang, untuk ikut dan berguru pada Syekh Quro. Tak lama kemudian
Syekh Quro datang kembali ke negeri Pajajaran kembali beserta Rombongan para
santrinya, dengan menggunakan Perahu dagang sebagian ahli sejarah mengatakan
beliau ikut bersama rombongan titian muhibah laksamana cheng ho (nanti akan
dibahas dibawah ini). Dalam rombongan yang bersama beliau diantaranya adalah,
Nyi Mas Subang Larang, Syekh Abdul Rahman. Syekh Maulana Madzkur dan Syekh
Abdilah Dargom.
Setelah Rombongan Syekh Quro melewati Laut Jawa dan Sunda Kelapa dan masuk Kali
Citarum yang waktu itu di Kali tersebut ramai dipakai Keluar masuk para
pedagang ke Pajajaran, akhirnya rombongan beliau singgah di Pelabuhan Karawang.
Menurut Buku Sejarah Jawa Barat Oleh Yosep Iskandar, tahun 1997 Halaman 250,
Syekh Quro masuk Karawang sekitar 1416 M. Syekh Quro masuk bersama rombongan
besar titian muhibah Laksamana Cheng Ho. Armada Cheng Ho sendiri berangkat atas
perintah Kaisar Cheng-Tu atau Kaisar Yunglo, Kaisar Dinasti Ming yang ketiga.
Armada laut itu berjumlah 63 kapal, dengan prajurit lautnya sebanyak 27.800
orang termasuk Syekh Quro dan rombongannya. Oleh Karena Syekh Quro atau Maulana
Hasanuddin atau Syekh Hasanuddin bermaksud menyebarkan agama islam, Laksamana
Cheng Ho mengizinkan, apalagi Cheng Ho dan Syekh Quro sama-sama ahlul bait.
Dalam Pelayarannya menuju Majapahit Armada Cheng Ho singgah disebuah daerah
yang bernama Pura, nah saat di Pura inilah rombongan besar Syekh quro turun,
sedangkan armada cheng ho menuju muara jati cirebon dan beristirahat seminggu
lamanya untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa timur.
Syekh Hasanuddin tinggal beberapa lama di Pura Karawang dibawah kegiatan
Pemerintahan dan kewenangan Jabatan Dalem (masih bawahan pajajaran). Karena
rombongan Syekh quro tersebut, sangat menjunjung tinggi peraturan kota
Pelabuhan, aparat setempat sangat menghormati dan memberikan izin untuk
mendirikan Mushola ( 1418 Masehi) sebagai sarana Ibadah sekaligus tempat tinggal
mereka. Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Quro terus
menyampaikan Dakwah-dakwahnya di Mushola yang dibangunnya (sekarang Mesjid
Agung Karawang). Dalam berdakwah ajaran Syekh Quro mudah dipahami dan mudah
diamalkan, ia beserta santrinya juga memberikan contoh pengajian Al-Qur’an
menjadi daya tarik tersendiri di sekitar karawang.
Di tempat ini pula Syekh Quro menikah dengan Ratna Sondari, putri penguasa
daerah karawang yaitu bernama Ki Gedeng Karawang, dari pernikahannya beliau memperoleh
putra yang dikenal dengan nama Syekh Ahmad, yang selanjutnya menjadi penghulu
(na'ib pertama di Karawang. Cucunya Syekh Ahmad dari putrinya Nyi Mas Kedaton
bernama Musanudin yang kelak menjadi lebai di Cirebon dan memimpin tajug sang
cipta rasa pada masa pemerintahan susunan jati
Ulama besar ini sering mengumandangkan suara Qorinya yang merdu bersama
murid-muridnya, Nyi Subang Larang, Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur
dan santri lainnya seperti , Syekh Abdiulah Dargom alias Darugem alias Bentong
bin Jabir Modafah alias Ayekh Maghribi keturunan dari sahabat nabi (sayidina
Usman bin Affan).
Berita kedatangan kembali Syekh Quro, rupanya terdengar oleh Prabu Anggalarang
yang pernah melarang penyebaran agama islam di tanah Jawa, sehingga Prabu
Anggalarang mengirim utusannya untuk menutup kembali pesantren Syekh Quro.
Rupanya ketidak sukaan Raja ini belum pupus terhadap ajaran Islam. Utusan yang
datang kali ini ketempat Syekh Quro adalah Putra Mahkota Kerajaan Pajajaran
sendiri yang bernama Raden Pamanah Rasa (kelak bernama Prabu Siliwangi, raja
pajajaran yang legendaris). Sesampainya di pesantren tersebut sang putra putra
mahkota tersebut justru hatinya tertambat oleh alunan suara yang merdu yang
dikumandangkan oleh Nyi Subang Larang, ”dalam mengalunkan suara pengajian
Al-Qur’an,”. Nyai Subang Larang bin Ki Gedeng Tapa adalah Alumnus pertama
Pesantren Quro Dalem Karawang, pesantren Pertama Di Jawa Barat yang didirikan
oleh Syekh Quro tahun 1416 Masehi. Silsilah Nyai Subang Larang sendiri masih merupakan
kerabat dekat kerajaan pajajaran, sehingga mau tidak mau penguasa pajajaran
juga merasa serba salah menyikapi adanya pesantren ini, apalagi dalam berdakwah
pondok pesantren ini tidak melakukan kekerasan, pendekatan dakwah pesantren
adalah persuasif, damai, santun dan cerdas.
Prabu Pamanah Rasa akhirnya mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren
tersebut. Atas kehendak yang Maha Kuasa Prabu Pamanah Rasa menaruh perhatian
khususnya pada Nyi Subang Larang yang cantik dan merdu suaranya, akhirnya Prabu
Pamanah Rasa melamar dan ingin mempersunting Nyi Subang Larang sebagai
permaisurinya. Pinangan tersebut diterima tapi dengan syarat mas kawinnya yaitu
Lintang Kerti Jejer Seratus, yang di maksud itu adalah simbol dari Tasbeh yang
merupakan alat untuk berwirid. Pernikahan ini membuktikan jika beliau Prabu
Pamanah Rasa adalah Islam. Tidak mungkin rasanya tokoh sekelas Syekh Quro akan
mudah menikahkan Nyai Subang Larang sembarangan.
Selain itu Nyi Subang Larang mengajukan syarat lain yaitu, agar kelak anak-anak
yang lahir dari mereka harus menjadi Raja. Semua permohonan Nyi Subang Larang
disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa. Atas petunjuk Syekh Quro, Prabu Pamanah
Rasa segera pergi ke Mekkah.
Di tanah suci Mekkah, Prabu Pamanah Rasa disambut oleh seorang kakek penyamaran
dari Syekh Maulana Jafar Sidik. Prabu Pamanah Rasa merasa keget, ketika namanya
di ketahui oleh seorang kakek. Dan Kekek itu, bersedia membantu untuk
mencarikan Lintang Kerti Jejer Seratus dengan syarat harus mengucapkan Dua
Kalimah Syahadat. Sang Prabu Pamanah Rasa denga tulus dan ikhlas mengucapkan
Dua Kalimah Syahadat yang makna pengakuan pada Allah SWT sabagai satu-satunya
Tuhan yang harus disembah dan Muhammad adalah utusannya.
Semenjak itulah, Prabu Pamanah Rasa masuk agama Islam dan menerima Lintang
Kerti Jejer Seratus atau Tasbeh, mulai dari itu Prabu Pamanah Rasa diberi
ajaran tentang agama islam yang sebenarnya. Prabu Pamanah Rasa segera kembali
ke Kraton Pajajaran untuk melangsungkan pernikahannya dengan Nyi Subang Larang.
Waktu terus berjalan maka pada tahun 1422 M pernikahan di langsungkan di
Pesantren Syekh Quro dan dipimpin langsung oleh Syekh Quro. Setelah menikah
Prabu Pamanah Rasa dan dinobatkan sebagai Raja Pakuan Pajajaran dengan gelar
Prabu Siliwangi.
Hasil dari pernikahan tersebut mereka dikarunai 3 anak yaitu:
1.Raden Walangsungsang ( 1423 Masehi)
2.Nyi Mas Rara Santang ( 1426 Masehi)
3.Raja Sangara ( 1428 Masehi).
Setelah melewati usia remaja Raden Walangsunsang bersama adiknya Nyi Mas Rara
Santang pergi meninggalkan Pakuan Pajajaran dan mendapat bimbingan dari ulama
besar Syekh Nur Jati Azmatkhan di Perguruan Islam Gunung Jati Cirebon.
Setelah kakak beradik menunaikan ibadah Haji, maka Raden Walang Sungsang
Menjadi Pangeran Cakra Buana dengan sebutan Mbah Kuwu Sangkan dengan
beristerikan Nyi Mas Endang Geulis Putri Pandita Ajar Sakti Danuwarsih.
Sedangkan Nyi Mas Rara Santang waktu pergi ke naik haji ke Mekkah diperisteri
oleh Abdullah Umdatuddin (ada yang mengatakan Sultan Mesir, kemungkinan besar
mesir adalah tempat belajar atau transit dakwah Sayyid Abdullah Umdatuddin,
karena pada era itu tidak ada nama Syarif Abdullah dalam peta pemimpin mesir) ,
sedangkan Raja Sangara menyebarkan agama islam di tatar selatan dengan sebutan
Prabu Kian Santang (Sunan Rohmat), wafat dan dimakamkan di Godog Suci Garut.
Nyi Mas Rara Santang setalah menikah dengan Sayyid Abdullah Umdatuddin/Sultan
Champa/Maulana Hud, Namanya diganti menjadi Syarifah Mudaim, dari hasil
pernikahannya dikaruniai dua orang putra, masing-masing bernama Syarif
Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Abdullah Umdatuddin sendiri memiliki beberapa
istri, salah satunya adalah Syarifah Zaenab/Putri Champa binti Ibrahim
Zaenuddin Al Akbar Asmorokondi. Dari Syarifah Zaenab lahir Raden Fattah
Azmatkhan/Sultan Demak 1, artinya antara Sunan Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah adalah satu bapak beda ibu.
Adapun anak ke 3 dari Prabu Siliwangi yang bernama Raja Sengara kelak bernama
Kian Santang yang salah satu keturunannya adalah KH ABDULLAH BIN NUH (ulama
besar Indonesia). Kian Santang mengikuti jejak kakak kakaknya untuk menjadi
pendakwah, namanya menjadi legenda dibumi jawa barat. Kisahnya cukup banyak,
baik itu fakta ataupun mitos. Kian Santang terus bergerak kearah Jawa Barat
untuk mengislamkan penduduk penduduk yang masih beragama hindu. Ayahnya sendiri
yaitu Prabu Pamanah Rasa atau Prabu Siliwangi masih sering menjadi perdebatan
tentang agama yang dianut, apakah ia islam atau hindu. Memang pasca pernikahan
beliau dengan Nyai Subang Larang, Prabu Siliwangi kembali ke kerajaannya dimana
kondisinya sangat hindu sentris, sehingga keberadaan beliau bisa saja
dipengaruhi kembali ajaran lamanya, apalagi intrik intrik dalam kerajaan sangat
kuat. istri dan anak-anak Prabu Siliwangi sendiri cukup banyak dan rata rata
agama mereka adalah hindu, sehingga boleh jadi mereka juga bisa memberikan
pengaruh besar pada keimanan beliau, sebaliknya ketiga anaknya yang lahir dari
Nyai Subang Larang terselamatkan akidahnya karena berada pada pendidikan sang
ibu yang merupakan jebolan pertama pesantren Quro Dalem Karawang. Ketiga anak
beliau dari Nyai Subang Larang ini rupanya tidak kerasan di Kraton Pajajaran
dan mereka lebih memilih hidup dengan ibu dan santri santri pesantren Quro.
Yang juga harus dikritisi, menurut saya tidak benar jika Kian Santang mengejar
ngejar ayahnya untuk masuk islam, apakah memang demikian??? apakah islam
mengarjakan paksaan? saya rasa tidak, sebagai orang orang yang dididik oleh
keluarga besar walisongo, saya fikir tidak mungkin Kian Santang memaksa
ayahnya. cerita darimana ini??? apakah tidak malah merendahkan Kian Santang
sebagai seorang pendakwah???. Kita tidak tahu masalah keimanan Prabu Siliwangi
diakhir hidupnya. Namun fakta ia menikah secara islam memang benar, karena ia
menikah disaksikan Syekh Quro dan juga para Santri Syekh Quro, Adapun bila
dikemudia hari di kembali keagama lamanya, wallahu a'lam...hanya Allah yang
tahu Jawaban itu semua......
SUMBER :
1. ENSIKLOPEDIA NASAB ALHUSAINI SELURUH DUNIA, OLEH AL ALLAMAH SAYYID BAHRUDDIN
AZMATKHAN AL HAFIZH & SAYYID SHOHIBUL FAROJI AZMATKHAN AL HAFIZH
(THEGRAND-MUFTI KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM), PENERBIT MADAWIS 2011.
2. SEJARAH JAWA BARAT, OLEH YOSEF ISKANDAR, PENERBIT CV GEGER SUNTEN, BANDUNG ,
1997.
3. BABAD TANAH BETAWI, RIDWAN SAIDI, PENERBIT GRIA MEDIA, JAKARTA, 2002.
4. RIWAYAT KESULTANAN BANTEN, TUBAGUS HAFIDZ RAFIUDIN, BANTEN, 2006.
5. CHENG HO-MISTERI PERJALANAN MUHIBAH DI NUSANTARA, PROF. KONG YUANZHI,
PUSTAKA OBOR, JAKARTA, 2011
6. DARI SITUS/WEBSITE PON PES RAUDATUL IRFAN (PONDOK PESANTREN DI KARAWANG YANG
DIDIRIKAN OLEH KH MEMED TURMUDZI BIN KH ZARKASI -(MURID KH TB AHMAD BAKRI (MAMA
SEMPUR).
7. Sumber tulisan : madawis.blogspot.com
Posting Komentar
Posting Komentar