DUHAI sang jiwa (an-nafs) Mengapa aku
melihatmu merasa tentram begitu saja, kegembiraan dan kesenangan telah
menguasaimu. sementara gejala-gejala kemurkaan tampak tertuju kepadamu, dan
tanda-tanda kernarahan Tuhan sangat jelas terdapat dalam dirimu pada peristiwa-peristiwa
yang kau alami?
Engkau begitu merasa tenang dan berdiam diri.
Seringkali pengalaman-pengalamanmu tersita dengan kegembiraan dan kesenangan.
Sedang engkau sendiri melihat gejala-gejala kemurkaan dari Allah pada dirimu,
lalu engkau tidak menangisinya, dan —atas alasan itu— tidak merasa menderita,
seolah-olah engkau sanggup menanggung kemurkaan Allah dan mengabaikan azab-Nya.
Jauh... Jauh...
Dari antara yang selain Allah, engkau itu
(hai jiwa) begitu lemah Bahkan pada bencana dunia yang paling kecil sekalipun
engkau merasakan kepedihan. Maka bagaimana dengan dahsyatnya kemurkaan Allah
dan perihnya siksa-Nya?
Justru sanksi-sanksi Allah itu tidak dapat
menghalangimu untuk merasa gentar, maka bagaimanakah Tuhan akan memperlakukan
orang yang tidak tergetar akan kemurkaanNya? Tidak merasakan sakit akan
kepedihan azab-Nya? Tidak memperbaiki tatakramanya kepada-Nya, dan tidak
menghadap kepadaNya dengan melepas diri dari semua itu, sebagai ungkapan syukur
atas kesinambungan nikmat-nikmat-Nya? Serta tidak tergetar dan bergegas
kepada-Nya, tatkala melihat akibat-akibat buruk dan sanksi-sanksi-Nya di dunia
secara khusus, kepada baik dirinya sendiri maupun keluarganya?
Celakalah engkau, wahai jiwa (an-nafs).
Tidakkah engkau telah melihat sendiri, bahwa Tuhan Pelindung (Mawla)-mu telah
menjauhkanmu dari apa yang dulu pernah diteguhkan dalam kalbumu — yakni,
ketangkasan dalam kesiagaan, kokohnya kewaspadaan, kesinambungan dalam dzikir
(mengingatNya), juga kegelisahan tatkala lupa akan DiriNya dan azab-Nya yang
pedih?
Allah pernah menyukai kalbumu pada saat-saat
pertama dan cobaan Allah kepada dirimu dulu adalah pembelajaran untukmu, bentuk
dan kedekatan (taqrib)-Nya denganmu dan kelembutan kasih-Nya kepadamu.
Maka, Dia memperingatkan kalbumu dari
kelalaian-kelalaian. Melimpahkanmu dengan karunia yang terasa manis tatkala
dalam ketaatan ... juga dahsyatnya ekstase spiritual (ladzdah) melalui munajat
(kepada-Nya).
Kemudian tiba-tiba engkau berada pada jarak
yang jauh dari Allah di pagi dan sore hari; terusir dari pintu-Nya, terlempar
dari dekatNya: kehinaan dari-Nya telah menimpamu.
Engkau selalu berlarut-larut dalam kelalaian
demi kelalaian yang membuatmu tidak bangkit untuk sadar. Kealpaan yang ada
padamu terus berlangsung lama tidak menyadarkanmu, engkau berada dalam
ketergelinciran (zallah) menuju ketergelinciran yang lain. Sehingga, kesedihan
(karena dosa-dosa, pent.) tidak lagi menyelimutimu, tidak pula kegundahan hati
(ghamm) ada lagi bersamamu, bahkan kewaspadaan yang bersamamu telah beralih,
sehingga tidak lagi mampu menyadarkan dan memberimu peringatan.
Kemudian Dia memberimu penghalang (hijab),
sebagai sanksi dari-Nya, dan penerimaan terhadap peringatan dan kepatuhan pada
teguran ... Sehingga engkau terjerumus dalam keadaaan yang paling nista, yang
kemudian diikuti dua keadaan: pengabaian yang berkepanjangan dan kelalaian yang
berlarut-larut akan pengawasan dari Yang Maha Agung lagi Maha Perkasa,
selanjutnya kecenderungan syahwatmu dalam keengganan pada penerimaan peringatan
dan kepatuhan setelah teguran.
Keadaan yang pertama: kelalaian yang panjang
akibat kurang peduli, bahwa Dia, Allah Swt. selalu mengamati dan mengawasi.
Keadaan yang kedua: kenekatan dan kelancangan
kepada-Nya, sesudah adanya teguran dan peringatan, sampai-sampai ini
memperlebar jauhnya jarak dari-Nya, dan menjadi penghalang bagi karunia
keabadian di sisiNya.
Apakah orang pernah mendengar kondisi yang
lebih buruk lagi dan kondisi spiritual (hal)-mu ini? Dan adakah orang yang arif
tahu yang lebih hina dan maqam (manzilah)-mu ini? Kemudian bersama-sama dengan
perasaan sedih yang hilang darimu, kegundahan yang pergi menjauhimu, rasa sakit
yang tidak lagi ada padamu, dan Tuhan Pelindungmu (Mawlaka) telah melihatmu
sibuk dengan faktor-faktor (asbab) yang mendorong kepada kehidupan dunia — kebalikan
dari semua itu, kesibukanmu akan dunia terus berlangsung.
Engkau tidak pernah merasa jemu Engkau begitu
bersemangat dan merasa memiliki kekuatan, jika engkau mendapat keuntungan yang
lebih dalam kehidupanmu. Engkau merasa gundah ketika engkau melihat kekurangan,
dan perasaan yang sama seperti itu tidak terjadi dalam hubunganmu dengan
Tuhanmu, kecuali hanya sebentar saja. Engkau telah benar-benar tercela di sisi
Allah, namun engkau tidak merasa mendapatkan bencana dengan jauhnya jarakmu
dariNya.
Engkau menjalani hari-harimu di pagi dan sore
hari, padahal Dia tidak mempedulikanmu dan tidak mendekatimu. Engkau jauh dan
dijauhkan dari-Nya. Andaikan tidak karena karunia ampunan-Nya kepadamu, niscaya
Dia akan menarik nikmat agama darimu secara keseluruhan, namun Dia masih
menyisakan, di samping sanksi hukuman danNya, karunia dan kebaikan. Oleh karena
alasan inilah, cinta-Nya menyeluruh bagi semua manusia; yang taat maupun yang
berbuat maksiat.
Celakalah engkau, wahai jiwa! Mengapa engkau
begitu dalam dan tenggelam dalam ketidakpedulian dan lebih terjerumus dalam
cobaan-cobaan duniawi (balaya)?
Celakalah engkau, wahai jiwa! Tahukah engkau, kepada siapa engkau berbuat
maksiat? Pernahkah engkau berpikir, dari siapa engkau memalingkan diri?
Celakalah engkau, wahai jiwa! Engkau tidak jera dalam kelalaian, sehingga tidak
membuatmu sadar, dan engkau selalu lupa, sehingga tidak membuatmu waspada.
Bagaimana itu tidak berpengaruh kepadamu,
sementara dalam keseharianmu engkau bukanlah yang sempurna (nuqshan), dan di
setiap hari engkau tidak lekas-lekas mengelakkan diri dari perbuatan maksiat?
Jika engkau bertobat, belum sehari berlalu
engkau telah mengulanginya lagi dengan kesalahan yang sama, dan engkau sekali
lagi kembali dalam kebinalanmu. Jika engkau bertekad untuk tidak mengulanginya,
engkau tidak benar-benar meninggalkannya. Jika engkau benar-benar melakukan apa
yang telah menjadi tekadmu itu, engkau belum lepas dari kendala-kendalanya
(afat) — yakni rasa pamrih agar mendapat pujian dan bangga terhadap apa yang
telah engkau lakukan.
Engkau berjanji, namun tidak engkau tepati.
Engkau bertekad, setelah itu engkau melanggarnya. Engkau bersumpah demi Allah,
namun kau tidak memenuhinya. Jika engkau tidak tahu, itu menjadi alasan
(hujjah) yang akan lebih meringankanmu dan dapat menjauhkan kemungkinan dan
tuduhan berani kepada Mawla, Tuhan Pelindungrnu.
Akan tetapi, alasan-alasanmu itu semakin
menumpuk, bersama-sama kenekatanmu yang tak pernah jera, tatkala engkau adalah
pelajar atsar-atsar (sunnah-sunnah) Rasul, penghafal al-Qur’an, termasuk yang
mendiskusikan bidang-bidang yang detail dari ilmu hikmah, dan orator
nasihat-nasihat yang bijak, dengan menyeru ke jalan Allah, sedangkan engkau
endiri menjauhkan diri dari jalan itu, dan engkau memperingatkan manusia kepada
Allah, sementara engkau sendiri melupakanNya, engkau mengagungkan-Nya hanya
dengan kata-kata, namun dalam praktik engkau tidak mengagungkan-Nya.
Sumber: sufinews.com
Posting Komentar
Posting Komentar