Menu

TQN PP.Suryalaya

 

(Foto: jangan marah dan dendam
dalam menerima kritik)
Salah satu ciri orang Islam adalah bersikap kritis dengan cara memberi dan menerima kritik. Hal itu dimaksudkan agar terhindar dari taqlid buta (mengikuti tanpa pengetahuan), juga terhindar dari sikap sombong dan egoisme.
Memberi dan Menerima Kritik 
Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal dua istilah kata yang hampir sama tetapi memiliki pengertian yang berbeda, yaitu kritik dan kritis. Lalu di mana letak perbedaannya?

Secara bahasa, kritik yaitu kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.

Sedangkan kritis yaitu bersifat tidak lekas percaya atau selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan. Sepintas memang terlihat kasar namun setelah kita pelajari itu merupakan sesuatu yang patut ditiru.
Sikap kritis merupakan salah satu ciri Muslim. Ia tidak dibenarkan untuk melakukan suatu tindakan apapun sebelum dia tahu dasar dari tindakannya itu. Al-Quran mengatakan, "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya" (QS. Al-Isra' [17]: 36).
Islam membangun sikap kritis umatnya dengan menegaskan, suatu kebenaran tidak boleh dipaksakan, tetapi didialogkan. Karena itu, kita lihat banyak ayat dan hadits Nabi yang berisi berbagai pertanyaan yang dimaksudkan sebagai wahana dialog untuk mencari kebenaran.
Orang biasanya rajin melancarkan kritik, tetapi tidak tahan menerimanya. Ini menunjukkan bahwa, orang tersebut egois dan sombong. Jika harga dirinya diusik, pasti dia akan mempertahankan diri. Kritik adalah usaha yang dilakukan seseorang untuk memperbaiki kekeliruan orang lain. Karena menyangkut kekeliruan dan bahkan kelemahan, maka sebagian besar orang, lazimnya, tidak senang jika kelemahannya disebut-sebut.
Enggan menerima kritik adalah sumber bencana. Sebab, dengan adanya kritik seseorang dapat mengetahui kelemahan dirinya yang sering kali tidak dia sadari. Pepatah mengatakan, "Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, tetapi semut yang di seberang laut terlihat". Yang artinya, melihat kekeliruan orang lain memang lebih mudah daripada melihat kesalahan diri sendiri. Karena itu, seorang Muslim sangat membutuhkan sesama Muslim untuk melihat kelemahan dirinya.
Dalam kaitan ini, Rasulullah mengatakan, "Seorang Muslim adalah cermin bagi saudaranya." Karena itu, kritik seharusnya diterima dengan rasa syukur. Sebab, dengan itu, seseorang dapat melihat kelemahan dirinya, dan selanjutnya memperbaikinya. Dengan demikian, kritik sebenarnya merupakan bukti kasih sayang seorang Muslim kepada sesamanya, dan tidak boleh dipandang sebagai tanda benci. Jika kita melihat salah seorang saudara kita mengenakan pakaian yang kurang rapih, lalu kita mengingatkannya, maka ‘kritik' tersebut merupakan penyelamatan dari aib. Sebab, jika tidak ada yang mengingatkan, barangkali ia akan tetap berpakaian seperti itu, dan itu pasti membuat dirinya dipandang rendah oleh orang lain.
Berdasarkan hal tersebut, menyampaikan dan menerima kritik sama wajibnya. Rasulullah mengatakan, "Tolonglah saudaramu yang dizalimi dan yang bertindak zalim." Seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, kami mengerti tentang membantu saudara kami yang dizalimi, tetapi membantu orang yang bertindak zalim bagaimana caranya?" Nabi menjawab, "Cara membantunya adalah dengan mencegah dia melakukan kezaliman itu."
Salah satu cara mencegah dari perbuatan zalim adalah salah satunya dengan mengkritik. Dalam sejarah, ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, ia berkata kepada umat Islam, "Jika saya melakukan tindakan yang sejalan dengan al-Quran dan Hadits Rasulullah, dukung dan bantulah saya, tetapi jika saya melakukan kesalahan, kritik dan benarkan kesalahan yang telah saya perbuat tersebut." Sebuah ucapan yang tidak pernah terucap oleh para pemimpin saat ini. Entah karena mereka lupa akan sejarah atau memang sengaja melupakannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah sering meminta koreksi dari para istri dan sahabatnya tentang perbuatannya. Bukankah Allah menjanjikan bahwa Nabi akan terbebas dari kesalahan? Bukankah akhlak Muhammad digambarkan sebagai al-Quran yang berjalan? Seorang Rasul yang jelas-jelas terbebas dari salah dan dosa masih meminta dirinya untuk dikritik, apalagi dengan kita, umatnya yang penuh dengan kesalahan dan kemaksiatan?
Kritik bisa dilihat dari dua segi, yaitu segi positif dan segi negatif. Dari segi positif, orang yang dikritik akan berusaha menjadi bijaksana dalam menghadapi si pengkritik. Ia akan berusaha melatih dirinya menjadi orang sabar dan pemaaf. Kesalahannya satu demi satu dihilangkan bahkan sebaliknya, kebaikannya akan bertambah dengan diiringi sifat ikhlas dan tawadhu'. Ada sebuah nasehat yang menarik, "siapapun yang menyiksa, membingungkan, melecehkan atau membuatmu sedih adalah guru untukmu. Bukan karena karena mereka bijaksana, tetapi karena kamu berusaha untuk menjadi bijaksana".
Sedangkan dari segi negatif, kritik bisa menjadi alat adu domba dan sumber petaka ketika kita tidak berlapangdada dalam menerima dan memberikan kritik. Emosi dan amarah bisa timbul karena tidak ada kontrol dalam pengendalian diri.
Kritik juga merupakan salah satu alat untuk mengikis rasa sombong yang bersemayam di dalam hati. Dengan begitu, manusia akan saling menghargai dan toleransi terhadap sesamanya.
Jadi, janganlah kita merasa jengkel dan marah, ketika ada orang yang berusaha mengungkapkan kekurangan kita. Dengan begitu, kita akan merasa hidup dalam kedamaian karena kesalahan kita telah diperbaiki berkat adanya kritikan dari orang lain. Siapapun dia, laki-laki atau perempuan, harus berani mengkritik dan dikritik oleh saudaranya.*

Oleh : Dr. Muhammad Ali Chozin
sumber: cuplik.com

Posting Komentar

 
Top