ANKARA -- Turki
menduduki peringkat kedua setelah Cina dalam hal permintaan pelarangan konten
internet, merujuk sebuah laporan terbaru dari Economic Policy Research
Foundation Turki (TEPAV).
Turki berada di
tengah-tengah undang-undang Internet baru yang kontroversial karena dilaporkan
telah meningkatkan pembatasan dan kekuasaan pemerintah terhadap internet
sehari-hari secara radikal.
Laporan itu
muncul bertepatan dengan protes-protes yang digelar di sejumlah kota untuk
menentang undang-undang internet yang kontroversial dan mengizinkan kantor
pemerintah, Telecommunications Communications Presidency (TIB), memblokade
akses internet.
Terutama
terhadap website tanpa perintah pengadilan jika situs itu dianggap melanggar
privasi atau mengandung konten penghinaan. Pada Sabtu (8/2/2014), polisi menggunakan
gas air mata dan meriam air untuk membubarkan para demonstran di pusat kota
Istanbul selama aksi unjuk rasa menentang undang-undang itu.
Ratusan orang berkumpul
di Galatassaray Square di İstiklal Avenue pasca seruan media sosial untuk
melakukan protes menentang pembatasan-pembatasan yang telah dikritik oleh
berbagai institusi dan kelompok hak asasi manusia, sejak pekan lalu.
Undang-undang
internet telah diterima Parlemen pada Rabu (6/2/2014) lalu. UU memberikan kewenangan
untuk memblokade akses terhadap web page pimpinan TIB. Hal ini dilihat secara
luas sebagai gerakan pemerintah untuk meningkatkan kontrol terhadap
aktifitas-aktifitas online warga sipil.
Sebelumnya,
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdoggan telah menolak berbagai kritik
terhadap sejumlah pembatasan internet dengan tindakan keras
"Peraturan-peraturan ini tidak memaksakan penyensoran pada semua
internet. Sebaliknya, mereka membuatnya lebih nyaman dan lebih bebas,” kata
Erdogan.
Sumber: republika.co.id
Posting Komentar
Posting Komentar