Menu

TQN PP.Suryalaya

 


Tarekat Tijaniyyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Tijani (1150-1230 H/1737-1815 M) yang lahir di ’Ain Madi, Aljazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Perkembangan yang cukup mencolok dari Tarekat Tijaniyyah ini ternyata dinilai dapat menyaingi otoritas Usmaniyyah sehingga al-Tijani dan para pengikutnya dipaksa meninggalkan Aijazair. Al-Tijani kemudian pindah ke Fez pada 1798, dan hidup di sana hingga wafat. Ketika bangkit gerakan Wahhabiyah yang memusuhi kaum sufi dan tarekat yang menjauhi dunia dan melestarikan tradisi penghormatan kuburan syaik-syaikh tarekat, Tarekat Tijaniyyah justru Iebih berkembang. Perkembangan tarekat ini semakin pesat terutama setelah mendapat dukungan dan penguasa Maroko, Maulay Sulaiman, yang berkepentingan mendekati al-Tijani untuk menghadapi persaingan dengan zawiyah-zawiyah para syarif yang dinilai dapat merongrong kekuasaannya. Tarekat Tijaniyyah masuk ke Indonesia di tahun dua puluhan, dan banyak mendapat pengikut terutama di Pulau Jawa.
Di Sulawesi Selatan Tarekat Sammaniyah bertemu dengan Tarekat Khalwatiyah Yusuf. Keduanya bersaing dan saling mempengaruhi sehingga menjadi tarekat Khalwatiyah Samman. Tarekat Khalwatiyah Samman ini telah berkembang menjadi sedikit berbeda dengan ritual cabang-cabang Sammaniyah lainnya di nusantara. Keanggotaannya terbatas pada kelompok etnis Bugis.

Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan tarekat gabungan serupa dengan Sammaniyah, yakni teknik-teknik spiritual Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah menjadi unsur utamanya ditambah dengan unsur-unsur tarekat lain. Tarekat ini merupakan satu-satunya tarekat di antara tarekat-tarekat mu’tabarah, yang didirikan oleh ulama asli Indonesia Ahmad Khatib Sambas (Kalimantan Barat) yang lama belajar di Makkah dan sangat dihormati. Ia ahli dalam bidang fiqh, ajaran tentang ketuhanan dan amalan-amalan sufi. Ia mempunyai banyak pengikut, menjadi guru Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang menggantikan Tarekat Sammaniyah sebagai tarekat paling populer di Indonesia. Ketika ia wafat tahun 1873 atau 1875, khalifahnya, Abdul Karim dari Banten, menggantikannya sebagai syaikh tertinggi tarekat ini. Abdul Karim harus ke Makkah untuk menggantikan kedudukan sang syaikh. Dua orang khalifah utama lainnya adalah Kiai Thalhah dari Cirebon dan seorang Kiai Madura bernama Kiai Ahmad Hasbullah. Abdul Karim adalah pimpinan pusat terakhir tarekat ini. Sejak wafatnya tarekat ini terpecah menjadi sejumlah cabang yang masing-masing berdiri sendiri yang berasal dari ketiga orang khalifah tersebut.
(Foto: Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah (TQN) Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya,
guru mursyidnya Syaikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul 'Arifin ra,
salah satu pusat penyebaran TQN di dunia)
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sekarang merupakan salah satu dari dua tarekat yang memiliki jumlah pengikut paling besar di Indonesia. Tarekat lainnya adalah Naqsyabandiyah Khahidiyah yang tersebar ke seluruh Indonesia berkat zawiyah yang didirikan oleh khalifah dan Maulana Khalid bernama Abdullah al-Arzinjani di Jabal Abu Qubais di Makkah. Para pengganti Abdullah, Sulaiman al-Qirimi, Sulaiman al-Zuhdi dan Ali Ridha mengarahkan penyebaran tarekatnya kepada orang-orang Indonesia yang mengunjungi Makkah dan Madinah dalam jumlah yang Iebih besar lagi selama dasawarsa terakhir abad ke-19. Ribuan orang dibaiat menjadi pengikut tarekat ini dan menjalani latihan selama berkhalwat di zawiyah tersebut. Di tempat ini pula lusinan orang Indonesia menerima ijazah untuk mengajarkan tarekat ini di kampung halamannya.

Tarekat Chisytiyah, sebuah tarekat kelahiran India. Syaikh Mu’in al-Din Chisyti (w. 1236) telah berhasil mempopulerkan tarekat ini keluar India. Di awal pendirinya, tarekat ini berideologi Sunni. Hal ini terbukti bahwa para sufi awal Chisti di India menjadikan ‘Awarifal-Ma’arif karya Syaikh Syihab al-Din Abu Hafs Umar Suhrawardi (539 H./1 145 M -632 H/i 234 M) sebagai kitab pegangan mereka. Kitab itu juga menjadi dasar bagi mereka para guru Chisytiyah dalam mengajar murid-muridnya. Selain ‘Awarif, Kasyf al-Mahjub karya al-Hujwiri juga sangat populer digunakan kaum Chisti. Syaikh Nizam al-Din Auliya sampai mengatakan, “Siapa pun (seorang salik) yang tak memiliki referensi spiritual, maka Kasyf al-Mahjub cukup baginya (untuk dijadikan pegangan). Selain kedua kitab di atas, Malfhuzat Syaikh Nizam al-Din Auliya, Syaikh Nashir al-Din Chiragi Dihli, Syaikh Burhan al-Din Gharib, Khwajah Bandah Nawaz Gizu Daraz, juga menjadi gagasan-gagasan yang kuat dan akurat bagi pembentukan ajaran Tarekat Chisytiyah.

Tarekat Mawlawiyah kelahiran Turki ini dikenal luas baik di negeri Muslim ataupun di Barat, terutama melalui ‘whirling darvish’nya. Maulana Jalal al-Din Rumi (w. 1273) dengan ‘Matsnawi’ nya, menjadikan puisi-puisi karangannya sebagai salah satu pusat inspirasi karya puitis spiritual. Seorang orientalis yang telah sangat berjasa dalam memperkenalkan Rumi ke dunia Barat adalah Reynold A. Nicholson yang telah bukan hanya mengedit secara kritis semua naskah matsnawi, tetapi juga menerjemahkan dengan baik seluruh naskah tersebut (sebanyak 6 buku) ke dalam bahasa Inggris. Demikian juga ia telah menerjemahkan dan menyeleksi dari Divani Syams-i Tabriz. Sedangkan karya Rumi yang lain, Fihi Ma Fihi, telah diterjemahkan oleh Arberry dengan judul Discourse of Rumi. Tokoh lain yang sangat berjasa dalam memperkenalkan Rumi ke dunia Barat adalah Prof. Annemarie Schimmel (w. 2003), yang telah menulis dengan penuh penghargaan dan kebanggaan tentang karya-karya Rumi, seperti 'l am Wind You Are Fire: The Life and Work of Rumi', dan 'The Triumphal Sun: A Study of the Works of Jalaludin Rumi'.

Tarekat Ni’matullahi, sebuah tarekat kelahiran Iran, dikenal di dunia Muslim Syi’i baik di tanah kelahirannya ataupun di dunia Barat. Tokoh tarekat ini di masa kontemporer sekarang yaitu Javad Nurbakhsy yang cukup produktif menulis karya-karyanya. Menurutnya Tarekat Ni’matullah saat ini mempunyai banyak pengikut di Amerika Serikat, Eropa, dan khususnya di Persia. Dalam spiritualitas Ni’matullahi dan disiplin-disiplin kontemplatif, tarekat Nimatullahi ini menekankan persaudaraan dan kesetaraan seluruh umat manusia, penghormatan tanpa prasangka pada semua di dunia ini, juga pengabdian dan cinta kepada sesama manusia tanpa mempedulikan perbedaan keyakinan, budaya, dan kebangsaan. Dalam tarekat ini praktik tasawuf bertujuan menciptakan karakter yang sangat etis dalam kepribadian lahiriah (zhahir), dan membimbing hati untuk menghimpun pelbagai kualitas dan keutamaan manusia serta mencapai pemahaman dan visi tunggal dan utuh dalam jiwa batiniah (bathin). Penyebaran tasawuf mestilah bertujuan membidik realitas Islam agar dapat dibangkitkan sikap cinta yang mampu menyatukan para pemeluk dari pelbagai agama dan keyakinan. Dengan energi tasawuf, segala perbedaan dan perselisihan sektarian dihilangkan, karena seorang sufi mengarahkan perhatiannya pada wilayah Keesaan Ilahi (tauhid), dan dari sudut pandang ini memandang setiap orang dalam persaudaraan dan persamaan.
Tarekat Sanusiyah yang didirikan oleh Muhammad bin ‘Ali al-Sanusi (1787-1859), pengarang kitab al-Salsabil al-Ma’infi al-Thara’iq al-Arba’in dan al-Masa’il al-’Ashar. Di antara literatur lainnya, melalui kitab ini sejumlah tarekat mu’tabarah disebut dan dijelaskan. Kedua kitab ini termasuk rujukan yang digunakan oleh Jam’iyah Ahlith Thoriqoh Mu’tabaroh An-Nahdliyyah. Trimingham mencatat bahwa beliau telah mendirikan sebuah zawiyah di Abu Qubais Makkah. Beliau terpaksa meninggalkan Makkah pada tahun 1840 dan kemudian tinggal di bukit yang bernama Jabal Akhdhar di daerah Cyrenaica

Tulisan : Dr. Hj. Sri Mulyati, MA (Dewan Pakar di Lembaga Dakwah TQN Pondok Pesantren Suryalaya )


 Sumber: sufinews.com

Posting Komentar

 
Top