Menu

TQN PP.Suryalaya

 

|Oleh : K.H. Zezen Zainal Abidin Bazul Asyhab |
Minggu, 11 Rajab 1435 H / 11 Mei 2014 MMasjid Nurul Asror PP.Suryalaya Tasikmalaya|

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Bismillah walhamdulillah.....’amma ba’ad. Ilaahi anta maqsuudi waridlooka mathluubii a’thinii mahabbataka wa ma’rifataka.
Bersyukurah kita semua karena oleh Allah Swt.telah menjadikan kita al insan (manusia) sebagai makhluk yang paling mulia dan sempurna, dari sekian milyar makhluk-makhluk-Nya. Dan dari 6 milyar lebih manusia yang ada dimuka bumi sekarang, yang sudah bersyahadat (beragama Islam) baru 1,5 milyar orang. Selebihnya yaitu 4,5 milyar orang menganut agama bukan Islam. Hal ini menjadi peringatan kepada kita bahwa kekuatan Islam masa lalu telah tergeser. Di zaman Rasulullah Saw, khulafaurrasyidin, dinasti-dinasti Islam Bani Umayyah, Abbasiyah maupun Utsmaniyah, telah mampu mewujudkan umat Islam di muka bumi ini adalah umat terbanyak. Tetapi karena timbulnya perpecahan, pertikaian, perebutan kekuasaan, perebutan tahta, harta dan wanita yang menimbulkan umat Islam semakin lemah.
Di saat umat Islam lemah, kaum kafir melakukan serangan balik dengan kekuatan yang dahsyat, sehingga Islam dikalahkan oleh luar Islam. Antara lain Spanyol yang telah dikusai Islam selama 350 tahun, ketika kaum Salibi melakukan serangan balik maka porak-porandalah umat Islam disana. Dulu kalau kita ingin belajar ilmu Nahwi dan Sharaf yang mendalam maka kita belajar Alfiyah Ibnu Malik yang disusun oleh Muhammad bin Abdillah bin Malik Al-Andalusi. Kalau kita ingin memperdalam ilmu tentang kematian, maka ada kitab yang disebut At-Tabsiroh yang susun oleh Imam Kurtubi, yaitu Tafsir 10 jilid yang disusun oleh Imam Qurtubi (konon kurtubi adalah Kordoba). Tapi hari ini jika kita ke Spanyol, kita akan kesulitan manakala ingin belajar tentang Islam secara mendalam. Yang lebih mudah disana adalah belajar sepak bola. Ini kenyataan, walaupun ada beberapa negara yang terus dirambah oleh Dakwah Islam sehingga banyak umat-umat lain yang berpindah ke Islam. Tetapi jumlah kita masih tetap sedikit dibandingkan dengan luar Islam.
Salah satu nikmat yang tidak boleh kita lupakan adalah diberinya kita hidayah oleh Allah Swt. sehingga kita menganut agama Islam. Manusia di muka bumi hari ini yang menganut agama Islam kurang lebih 1,5 milyar. Diantara mereka ada muslim yang taat, ada juga muslim yang tidak taat, dimana perbandingannya lebih banyak yang tidak taat. Dari sekian yang taat, yang sudah mendalami Islam secara dhohir dan batin, masih sedikit. Mayoritas dari yang taat ini melihat Islam dari aspek dhohirnya saja. Menurut perkiraan saya dari jumlah 1,5 milyar Umat Islam yang ada sekarang, tidak akan lebih dari 5%nya (sekitar 20 juta orang) yang oleh Allah Swt. diberi kemampuan mempelajari ilmu dhohir bathinnya Islam. Hal ini saya bicarakan karena berkaitan dengan salah satu kalimat yang disebut dalam tanbih yaitu “sina logor dina liang jarum ulah sereg di buana”. Buana itu ada buana mulkiyah (bumi, matahari, bulan, bintang-bintang), ada buana malakutiyah (langit 1 sampai langit 7), ada buana jabarutiyah, dan ada buana lahutiyah. Inilah salah satu keluarbiasaan tanbih. Oleh karena itu, kita tidak boleh berhenti untuk berupaya memperdalam pemahaman tentang tanbih ini. Jangan pernah merasa paling ahli tanbih, atau merasa paling menguasai pemahaman tentang tanbih. Lebih baik kita merasa baru secuil (sangat sedikit) memahami tanbih.


Hadirin rohimakumullah
Jadi ibu-ibu/bapak-bapak, walaupun dibandingkan dengan ulama tentu ilmu ibu-ibu/bapak-bapak termasuk sangat sedikit. Tetapi hal itu tidak berarti ibu-ibu dan bapak-bapak tidak punya ilmu. Dalam percakapan sehari-hari dikalangan masyarakat Sunda sering terdengar ungkapan “abdimah teu bodo-bodo acan”. Ungkapan itu merupakan bahasa hakikat. Ada yang memang memahami kalimat tersebut tapi ada juga yang cuma ikut-ikutan, namun kebanyakan yang ngomong seperti itu hanya ikut-ikutan. Ceritanya tawadhu, tapi tawadhu tanpa ilmu. Tawadhu tanpa ilmu sering kebablasan menjadi kufur nikmat. Istilah seperti itu seharusnya dipakai saat dihadapan Allah. Itu ilmu dzikir, ilmu yang harus dipasang ketika kita berdzikir (bahwa kita manusia yang paling bodoh, yang paling berdosa, dst). Tapi kalimat tersebut tidak boleh kita gunakan ketika kita diberikan tugas.
Ikhwan/akhwat yang bukan ulama jangan terlalu prihatin, memang sedikit ilmunya tapi komplit. ini perlu kita pahami agar jangan terlalu minder. Kita yang bukan ulama memang sedikit ilmunya tapi tidak bodo-bodo amat. Kita harus menggiring orang ke pemahaman yang benar, jangan terus di injak-injak oleh mubaligh supaya mubaligh dihargai maka seakan-akan orang lain bodoh semua. Itu penyakit, itu pembunuhan karakter. Ibu-ibu/bapak-bapak orang berilmu, karena dari kecil sudah ngaji. Ucapkan terima kasih kepada seluruh guru yang sudah mendidik kita walaupun mereka tidak se-tarekat dengan kita, yang jelas beliau-beliau berjasa. “Man lam yasykurinnaas lam yasykurillaah” orang tidak bisa berterimakasih kepada sesama manusia tidak akan bisa bersyukur kepada Allah. Lihat dalam Tanbih, jadi belajar tarekat bukan menjadi pemecah belah umat justru jadi pemersatu umat.


Hadirin rohimakumullah
Mari kita coba membahas tentang Isro Mi’raj.
Membahas apapun ketika masuk pada dimensi tarekat, maka semua terbahas secera mendalam, termasuk “Subhaanalladzii asro bi’abdihii” (Isra Mi’raj). Mengapa ayat ini diawali dengan kalimat “subhaana”, padalah kalau Allah menggunakan “alhamdu” saja apa salahnya? andaikan. Jawabannya adalah “dzilaalatan ‘ala ta’jiib”Hal itu menunjukkan keluarbiasaan. Ketika kafir-kafir Quraisy memandang Nabi Muhammad adalah manusia gila, pembohong, penipu dll, terlebih setelah di umur 53 tahun Beliau diberangkatkan melalui peristiwa Isra Mi’raj. Pagi harinya Beliau merenung bertafakur, lalu datanglah kafir Quraisy dan bertanya kepada Nabi Muhammad, “Muhammad sedang apa?”, lalu Nabi Muhammad menceritakan peristiwa Isra Mi’raj yang dialaminya tadi malam. Setelah mendengar cerita itu Kafir Quraisy malah mencibir dan tidak percaya akan peristiwa yang dialami Nabi Muhammad.
“Wama ja’alna ru’yalati aroinaka illa fitnatal linnaas” benar-benar kejadian yang dialami oleh Nabi Muhammad yang bagaikan mimpi itu menjadi fitnah. Fitnah adalah ujian bagi keimanan. Ada yang tadinya sudah imannya kuat menjadi tipis, ada yang tipis menjadi kuat, ada yang iman menjadi murtad, ada yang tidak iman menjadi semakin tidak iman, itulah disebut fitnah. Hati-hati menggunakan kalimat fitnah, sebab kalimat fitnah di Indonesia di Asia Tenggara perlu diluruskan karena di kita fitnah itu diterjemahkannya menjadi menuduh. Konotasinya kalau fitnah adalah tuduhan. Kita luruskan, arti kalimat fitnah adalah ujian atau cobaan. Kalau saudara menterjemah fitnah adalah menuduh, bagaimana anda menterjemahkan ayat “innamaa azwaajukum wa aulaadukum fitnah” sesungguhnya istri-istrimu dan anak-anakmu adalah fitnah dengan makna adalah menuduh. Yang benar “sesungguhnya istri-istrimu dan anak-anakmu adalah ujian”. Pakailah tafsir yang benar. Kalau menuduh bahasa arabnya “Kodzfah” maka dalam hukum ada “haddul kodzaf” hukuman bagi orang yang menuduh orang lain.
Kejadian Isro dan Mi’raj menjadi fitnah atau ujian keimanan bagi masyarakat waktu itu. Karena itu Allah menurunkan “Subhaana”. Hei orang-orang Quraisy, Hei orang-orang Arab yang ragu-ragu tidak percaya terhadap kejadian Isra dan Mi’raj berhentilah dari ketidakpercayaan, percayalah karena Muhammad bukan berangkat sendiri tapi diberangkatkan oleh Yang Maha Suci dari segala kekurangan, Aku (Allah) yang memberangkatkannya.
“Subhaana”
Bukan hanya orang Arab yang manakala mengalami kejadian yang luar biasa mengucapkan “Subhanallah”. Di kita juga sering kalau mengalami yang luar biasa mengucapkan “Subhanallah”. Kalimat “Subhanallah” atau kalimat keagamaan apapun yang keluar dari lidah kita ketika mengalami kejadian luar biasa, benar-benar bahasa rasa atau sekedar budaya/kebiasaan saja? Nampaknya rata-rata cuma kebiasaan. Kita baru sebatas kebiasaan/ucapan biasa belum tembus pada rasa. Kenapa kita sholat malas, berjamaah sulit, sodakoh sulit, baca quran sulit, dzikir malas? sebab tidak tembus pada rasa. Anda akan tahu dimana posisi Suryalaya, betapa pentingnya keberadaan Suryalaya. Dengan hormat kepada para ulama disemua pihak, kalau kepintaran alhamdulillah semua tahu. Tapi soal rasa tidak bisa dengan ilmu. Pengetahuan dengan rasa beda, kalau pengetahuan itu di otak kita kalau rasa itu adanya di wilayah batin kita. Jadi pendidikan dzikir TQN adalah pendidikan rasa. Apakah ibu/bapak sudah bisa mengucapkan kalimat Tasbih ? maka kita akan mengucapkan “Subhaanallaah”. Apakah kita semua sudah bisa bertasbih? Hati-hati!. Kalau mengucapkan kalimat Tasbih ucapan “Subhanallah” anak TK pun bisa tapi bertasbih, sebuah keyakinan dalam qolbu bahwa Allah Maha Suci dari segala kekurangan, rasa-rasanya kita belum ahli. Apakah kita semua sudah bisa mengucapkan kalimat Takbir? Jawabannya pasti bisa. Itu Takbir rasa atau ucapan takbir lidah?


Hadirin rohimakumullah
“Alloohu”

“Allohu Akbar” 
Allah Maha Besar. Pernahkan kita ketika sedang ngobrol datang waktu sholat terus saja ngobrol, sehingga sholatnya diakhirkan? Tidur, sholatnya diakhirkan? Pasti menjawab pernah. Kalau begitu tidak “allahu akbar”, itulah tidak tembus pada rasa. Andai tidak ada Pangersa Guru Agung (Pangersa Abah), dengan hormat kepada mursyid-mursyid yang lain. Kita pun samalah dengan mereka, puas oleh jasad saja ibadah itu, puas dengan bacaannya saja ibadah itu, sedangkan rasa tidak terdidik.
Pernahkah kita dipuji oleh orang lain ? jawabnya pernah. Gembira atau sedihkah kita? pasti gembira. Pernahkah kita dihina oleh orang lain ? jawabnya pernah. Gembira atau sedihkah kita? pasti sedih. Jadi lebih suka di puji atau dihina? Jawabnya lebih senang dipuji. Padahal puji itu milik siapa? “Alhamdulillah” Segala puji milik Allah. Kalau begitu kita belum bertahmid ke dalam rasa, baru tahmid dimulut saja. Begitupun Laa ilaaha illallaah disatu pihak merupakan kalimatul ikhlas, kalimat thoyyibah, tapi di lain pihak Rasulullah bersabda “taquulu bi afwaahikum laa ilaaha illallaah wa fiiquluubikum kam ilaa” Kamu mengucapkan dalam lidahLaa ilaaha illallaah tapi dalam qalbumu masih banyak Tuhan yang engkau sembah, “kadzabtum” engkau berbohong. Itulah disebutkan dalam hadits al qudsi. Karena itu kita belajar melatih rasa yang bimbing oleh ahli rasa yang disebut rasaning rasa.
“asro”“Alladzii asroo bi’abdih”, bagi saudara yang pernah belajar ilmu nahwi wa shorfi maka anda akan tahu kalimat “asro” itu sudah ada tambahannya, akar katanya adalah “saryun, saro”, saro itu berjalan diwaktu malam. Jadi kalau “asro” memberangkatkan, karena itu maf’ulnya diberi ba, baik hamzah dalam asro dan ba di dalam maf’ulnya “asroobi” memberangkatkan. Wahai saudara-saudaraku, orang-rang yang sedang melakukan suluk (Pangersa Abah menggunakan kalimat Pengamalan). Setiap orang belajar pengamalan tarekat itulah suluk. Tarekat manapun orangnya disebut salik. Manakah diantara suluknya, pelaksanaan kegiatan melakukan, memberjalankan ruh kepada Allah, itulah konteksnya dengan isro. Mengamalkan amalan kewajiban baik wajib maupun sunat itupun sudah suluk, dzikir setiap bada sholat fardu itu sudah suluk, khotaman juga suluk, manaqiban serpeti ini pun juga suluk. Jadi sebenarnya Suluk itu adalah upaya memberjalankan ruh menuju Allah, dzikir tarekat berbeda dengan dzikir biasa.
“abdihii ”Kita lanjutkan kepada “’Abdihii”. Kata ‘abdihii itu sumir/samar bisa dibawa kemana-mana. Kenapa tidak memakai kata “bi muhammadin” biar lebih kontras/jelas?
1) Memang nama Muhammad sangat terhormat, dibumi disebut Muhammad sedangkan di langit disebut ahmad.Karena itu ada Muroqobah Hakekat Muhammadiyyah dan ada Muroqobah Hakekat Ahmadiyyah. Muroqobah itu memperdalamn keyakinan, bukan wirid menginginkan sesuatu. Bagi yang sudah punya kemauan silahkan Anda melakukan perjalanan ruh “asro bi’abdihi”. Jadi Nabi Muhammad bukan karena namanya Muhammad, tapi ia diundang untuk bertemu langsung oleh Allah di “’aalamullaahuut fii maq’adis sidqin ‘inda maliki muqtadir” sebelah sananya sidroh muntaha karena ubudiyyahnya (karena ibadahnya) bahkan sampai kepada ubuudah.
2) yang di isro mi’rajkan dijemput oleh Jibril Mikail sampai bertemu dengan Allah itu dari 124 ribu nabi, berapa nabi? Hanya satu yaitu Nabi Muhammad Saw. Apakah itu khusus Nabi Muhammad saja? Jawabnya tidak. Memangnya siapa lagi ? siapapun yang mencapai sifat ubudiyah kehambaan kepada Allah mengikuti Rasulullah dengan mengikuti para pengikut Rasulullah. Kalau mengikuti Rasulullah itu sebatas bacaan-bacaan, gerakan-gerakan seperti sholat itu tidak sulit, tapi bisakah kita mengejar kekhusuan Rasulullah tanpa dibimbing oleh yang ahli khusu? Apakah Rasul Suci atau tidak ? apakah kita harus mengikuti kesucian Rasulullah? Bisakah kita suci tanpa mensucikan diri? Bisakah kita mensucikan diri tanpa metode yang sudah teruji?.
Jadi dengan kalimat ‘abdihi memberi peluang kepada semua umatnya bukan hanya Nabi Muhammad yang bisa menembus kesana tapi umatnyapun bisa kesana. Walaupun tidak dalam teks haditsnya disebutkan, tapi dalam kitab Qissotul Mi’raj li Sayyid Ahmad Dardir disebutkan bahwa ketika Nabi menghadap Allah disana sudah ada Bilal. Bilal belum meninggal, wafatnya duluan Rasulullah. Bilal orang yang terus menangis sampai meninggal, karena tidak mau berpisah dengan Rasulullah. Tetapi ketika Rasulullah Mi’raj bertemu Bilal sudah ada disitu. Kenapa kamu disini? Allah memberikan ini kepada saya, jawab Bilal. Bukan mustahil kita pun bisa ada disana. Kalau untuk Rasulullah caranya memang begitu (isra mi’raj), kalau untuk umatnya maka olahlah diri anda. Pertama alam mulki dari bumi sampai langit satu itulah badan kita ruhnya jismani (ibadah dhohir laksanakan). Jadi isra mi’raj itu kita juga kebagian, buroqnya bagi kita dzikir, yang menuntunnya Guru Agung. Kalau Nabi Muhammad yang menuntunya Jibril dan Mikail, kalau kita oleh ruh Beliau.


Hadirin rohimakumullah  Apa yang mengahalangi sehingga kolbu kita itu tertutup tidak mampu ‘uruj (melakukan perjalanan ruh menuju Allah). Dalam diagram latifah yang disusun oleh Mama Suhrowardi Ajengan Citungku sumbernya dari Kitab Qotrul Goets, disebutkan ada tujuh latifah (lima positif dua negatif), yang negatif adalah latifah nafsi amaroh bissu dan latifatul qolbi. Berapa penyakitnya yang disebutkan ada 13. Kalau dalam Kitab Tanwirul Qulub disebut ada 6, kalau didalam Qotrul Goest ada 13 sifat buruk , kalau di dalam Ihya ada 60 sifat buruk. Dalam Kitab Ihya disebutkan “wa ammaama yudzammu” adapun sifat-sifat buruk diantaranya : “fakhaoful fakri” (hidup di dunia takut fakir), kalau tidak mau fakir timbulnya berupaya dengan jalan yang halal itu bagus. Tapi kalau tidak mau fakir, sombong dengan harta itulah penyakit kolbu. “suhtul makdur” (membenci kepada takdir yang diberikan Allah kepada kita), hati-hati. “dzillu” (penyakit menipu), menipu diri sendiri, menipu keluarga, menipu guru, menipu teman, dll. “Khikdu” (dendam), hasad, goust, “tholabul ulum” (mau menjadi yang paling atas), “hubbus sana” (senang disanjung), “hubbut tulil baqo fidun-ya” (mau lama hidup di dunia supaya enak hidup), “khibr” (sombong), riya, godob, unfah, adawah, bagdho, bukhul, robbah, badkh, ashr, batr, ta’dimul agniya (mengagung-agungkan orang yang kaya/kekayaan), wal fakhru, khuyala, wa tanafus, wa mubahat, wal istiqbar ‘anil haqqi, wa khodimalaya’ni (Suka berbicara yang tidak perlu), wa hubbu katsrotil kalam, wa sorfu, wa tajunil kholqi, wal mudahanah, wal uju, wa istigol an uyubinafsi uyubinnas (lebih senang mengorek kesalah orang lain daripada kesalahan diri sendiri), wa zawalul khuzni ‘anil minal qolbi (tidak punya rasa sedih dalam hatinya),wa khurujul khosya minhu siddtul inti solli nafsi idza annal hadzullu do’ful inti solli haqqi ittikhodu ikhwani ‘alaniyyah ‘ala adawati sirri wal amnu min makillah subhanahuwata’ala fi sarti ma’utiya wal itikal ‘ala tho’ah wal makru (“makru” makar,pemberontakan, melakukan gerakan-gerakan untuk menggulingkan pihak lain supaya kita mempunyai kedudukan tertentu) wal khiyanat wal mukhoda wa thuulil ‘amal (melamun), qoswah (keras), fadhodhoh wal farhu fi dun-ya wal asaf anfawatiha (senang dengan duniawi dan nelangsa kalau tidak memilikinya), wal uzu bil makhluqin wa wahsya anil fuqoro-ihim wal jafa wattais wal ‘ajalah wa qilatul haya (tidak punya rasa malu), dan qilaturrahmah (kurang kasih sayang). Itu semua diantara penyakit-penyakit qolbu kalau dihitung semuanya jutaan, oleh karena itu membersihkannyapun tiada henti. Setiap denyut jantung diisi dengan dzikir khofi, atau setiap ba’da sholat sekurang-kurangnya melaksanakan dzikir jahar.
“Minal masjidil haram ilal masjidil aqsa” dari mesjid ke mesjid, untuk apa ? “Linuriyahu min aayaatinaa” agar Allah memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah disana.

Semoga apa yang saya sampaikan dapat bermanfaat, semoga kita tetap istiqomah, istiqomahlah, istiqomahlah. Seperti yang telah disampaikan oleh KH. Airf Ichwanie tadi, bahwa Guru kita Mursyid kita adalah Pangersa Abah Anom (Syaikh KH. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin ra.). Kalau ada yang berbelit-belit berbicara bahwa berguru kepada yang sudah mati berarti berguru kepada yang tiada, berguru kepada yang tiada berarti berguru kepada syetan, itu kalimat dibuat-buat.
Dalam Kitab Anwarul Qudsiyah “Manakala sang Mursyid sudah memperkirakan beliau tidak lama lagi usianya (walaupun secara hakikat mungkin tidak) tapi karena sakit, karena tua, dll, maka Beliau memilih satu atau lebih diantara sekian muridnya. Beliau angkatlah dengan kalimat yang jelas (misal;saya mengangkat kamu nama anu) dengan saksi dan diumumkan sehingga tidak menimbulkan fitnah diketahui oleh ikhwan walaupun tidak semuanya tetapi cukup tawatur/mutawatir mengangkat seseorang. Mana kala sang Mursyid wafat, siapa yang belajar tarekat tidak dibimbing gurunya maka gurunya adalah syetan. Ini dengan mudah ditujukan kepada yang tetap berguru kepada Pangersa Abah dianggap murid syetan.
Dalam Kitab Miftahus Shudur tentang “Syaikhul hayy bahwa murid tarekat harus dibimbing oleh Syaikhul hayy (guru yang masih hidup)”. Dengan mudah kalimat itu ditujukan kepada murid-murid Suryalaya gurunya sudah meninggal berarti tidak punya guru yang masih hidup. 
Saya akan menjawab, perlu diketahui yang disebutkan berguru kepada guru yang masih hidup adalah mengambil talqin kepada guru yang masih hidup. Saya mau bertanya, ibu/bapak waktu menerima talqin dari Pangersa Abah masih hidup atau sudah wafat? Atau menerima talqin dari para Wakil Talqin, para Wakil Talqin tersebut diangkat oleh Pangersa Abah, apakah Abahnya masih hidup atau sudah wafat? Jadi kita sekalian gurunya itu guru yang masih hidup. Walaupun sekarang yang memberi talqinnya sudah wafat yang mengangkat wakil talqinya sudah wafat, tapi kita gurunya, mendapatkan talqinnya waktu Mursyid masih hidup atau diberi talqin dzikir oleh wakil talqin dimana wakil talqin tersebut diangkat sewaktu Mursyid masih hidup, maka berarti kita belajar dzikir itu kepada yang masih hidup. “Wa ana au iyakum” Kami atau Anda yang menjadi murid Syetan itu?
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Sumber: suryalaya.org

Posting Komentar

 
Top