Menu

TQN PP.Suryalaya

 

Badru Zaman
Assalamu'alaikum Wr Wb 
 Hukum Nikah : 1. Wajib 2. Sunat 3. Haram 4. Makruh 5. Mubah

 Kriteria masing-masing hukum tersebut berlaku bagi siapa ?

Wira Lodra 1.Wajib untuk lelaki / perempuan yg sudah mapan.
Wira Lodra 2. Sunat bagi mereka yg ingin melakukannya(lelaki) jika sudah mampu berlaku adil.
Wira Lodra 3.Haram untuk laki-laki /perempuan yang menikah dengan sejenisnya.
Abi Hendra Nurcandrawibawakusumah Wajib kalau sudah mencapai ma'rifatullah dan kesunahan ada didalamnya. Haram kalau belum mencapai ma'rifatullah alasan pertama:sakinah mawadah warohmah hanya bisa didapatkan dengan marifatullah(melalui pemahaman syariat,thoriqot,hakikat) alasan kedua:menghindari terjadinya perceraian persengketaan keributan disebabkan karena pernikahan diawali ma'rifat dan ma'rifat adalah buahnya ibadah jadi kalau pernikahan niatnya karena betul2 ibadah yakin tidak akan ada berita hari minggu nikah selasanya cerai.jadi nikah menurut pemahaman ilmu yang pelajari ada 2 wajib dan tidak wajib(halal dan haram)Silahkan dibaca penafsiran QS.An-Nisa
Abi Hendra Nurcandrawibawakusumah maaf bukanlah suatu pernikahan disebutnya antara laki2dengan laki2 perempuan dengan perempuan walaupun disitu terbilang haram dan menyimpang karena dasarnya disebut pernikahan itu harus ada mempelai wanita dan pria.
Badru Zaman Bagaimana bila belum ma'rifat,, sedangkan dia sudah mampu(mapan ) sebagaimana yg dijelaskan kang Wira Londra. ???
Abi Hendra Nurcandrawibawakusumah kalau belum ma'rifat harus dituntun kepada ahli ma'rifat(ditalqin)insyaAllah akan mengerti arti tujuan menikah itu ibadah.
Badru Zaman Apakah selama ini orang-orang yang belum ma'rifat dan mengenal thoriqoh pernikahannya dikategorikan haram ???
Muchlis Tqn jangan2 penghulunya ada juga yg belum ditalqin...bagaimana ya?
Kahar Rulah Klu nikai bathin bagaimana tho?
Muchlis Tqn pernah dengar ceramah ajengan, kalau belum ditalqin se-olah2 sama saja kayak embe', kalau isteri belum ditalkin berarti kayak tidur sama embe' hehehehe
Abi Hendra Nurcandrawibawakusumah ya kecuali yang sudah ditalqin karena mereka dasarnya tidak tahu bahwa dasarnya sahadat didalam pernikahan adalah talqin pembaharuan untuk menjaga kekafiran dan kekufuran bukan sahadat asal2lan begitu banyak orang menikah padahal sebelumnya mereka secara sengaja meninggalkan sholat dan akibat dari meninggalkan sholat itulah kedudukan jadi kafir sebagaimana hadits nabi tidak ada bedanya orang muslim dengan munafik kecuali dalam meninggalkan sholat barang siapa yang meninggalkan sholat secara sengaja kewajibannya maka kedudukannya kafir(keluar dari islam)dan syarat untuk kembali kepada islam harus melalui sahadat dan kita harus tahu siapa yang berhak menuntun sahadat ahli ma'rifat(ahli talqin)apakah pantas orang kafir dinikahkan?ingat membaca sahadat ada syarat dan rukunnya.
Badru Zaman Kasihan pernikahan bagi orang yang belum ditalqin ?
Badru Zaman Bagaimana 5 hukum tersebut Dilihat dari kacamata ILMU FIQIH ? Ditunggu kinclongannya !
Abi Hendra Nurcandrawibawakusumah Ilmu fiqih sudah melebur dalam ilmu tauhid dan ushuludin apabila kita matang dengan ma'rifatnya
Abi Hendra Nurcandrawibawakusumah suami istri bersegeralah minta talqin insyaAllah kita sudah ada yang mempertanggung jawabkan
Badru Zaman Mubah? Makruh? belum ada yang ngebahas nih ! L A N J U T ah

MMaskur Maskur Kalo Nalak pake Hp sah tdk ... ya ???
Badru Zaman Kang Maskur@ nalak pakai HP hukumnya sah (jatuh talak).
Abi Hendra Nurcandrawibawakusumah Didalam tasawuf arti mubah dan makruh sudah tenggalam dalam manisnya dzikir.
MMaskur Maskur tuh...son...syah katanya....
Badru Zaman Bila Nikah calon mempelai prianya tidak ada ditempat(via HP) , maka nikahnya sah !.  Ko bisa sah, bagaimana saksi mengetahuinya ?
Lanjut ah kinclongannya !
MMaskur Maskur Trima kasih Mama..
Badru Zaman Sama-sama akang.
Muchlis Tqn Gusdur dulu nikahnya via telpon...
Abi Hendra Nurcandrawibawakusumah Yang jelas boleh bila ada yang menyaksikan kalau tidak tetap tidak sah
NiaNaxboerneobersahajaslalu Suryalaya Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku' termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat. Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat.  Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan lebar, sementara ruang yang ada terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir dalam permasalahan rukun dan syarat ini.
NiaNaxboerneobersahajaslalu Suryalaya Rukun nikah adalah sebagai berikut: 
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar'i untuk menikah. Di antara perkara syar'i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah. 
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, "Zawwajtuka Fulanah" ("Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah" atau "Ankahtuka Fulanah" ("Aku nikahkan engkau dengan Fulanah". 
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, "Qabiltu Hadzan Nikah" atau "Qabiltu Hadzat Tazwij" ("Aku terima pernikahan ini" atau "Qabiltuha." Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah [1] dan tazwij [2] karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا "Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid)." (Al- Ahzab: 37) Dan firman-Nya: وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ "Janganlah kalian menikahi (tankihu2 ) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri)." (An-Nisa`: 22) Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan, yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. 
NiaNaxboerneobersahajaslalu Suryalaya  
Syarat Sah Nikah Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut: Syarat pertama : Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, "Aku nikahkan engkau dengan putriku", sementara ia memiliki beberapa orang putri. Syarat kedua : Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu secara marfu': لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ "Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya." (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 345 Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya. Syarat ketiga : Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ "Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali." (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i) Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ "Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil." (HR. Abu Dawud no. 2083) Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari 'Umar, 'Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu 'anhum. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa'id ibnul Musayyab, Al- Hasan Al-Bashri, 'Umar bin Abdil 'Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al- 'Anbari, Asy-Syafi'i, Ahmad, Ishaq, dan Abu 'Ubaid rah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya.

NiaNaxboerneobersahajaslalu Suryalaya Siapakah Wali dalam Pernikahan? Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi'i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan 'ashabah  , yaitu \kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah
- saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya. 
Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan 'ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari,)

Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki- lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat 'ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (Al- Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha, dan seterusnya). Wallahu ta'ala a'lam bish-shawab. Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4 dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ

"Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali." (HR. Abu Dawud )

Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali: 1. Laki-laki 2. Berakal 3. Beragama Islam 4. Baligh 5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ "Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah." (HR. Muslim no. 3432) Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki 'adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus- menerus tenggelam dalam dosa- dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan 'adalah ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi'iyyah. Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat dosa. Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun 'adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki 'adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki 'adalah. 
NiaNaxboerneobersahajaslalu Suryalaya Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil. Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan, "Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi'in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi- saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin." (Sunan At-Tirmidzi, 2 /284)
NiaNaxboerneobersahajaslalu Suryalaya demikian penjelasan dri aq ......, mhn diperbaiki jika ada salah
Muchlis Tqn kamsia teh nia :)
Badru Zaman Mantap mba Nia@  Sarat menjadi wali dalam pernikahan ,poin 5. Bagaimana kalau menikahnya dikota mekah yang mana ada dalam pelaksanaan umroh ?
Badru Zaman Banyak study kasus menikah disana dalam keadaan umroh !
NiaNaxboerneobersahajaslalu Suryalaya yg tdk boleh jika sdg dlm pelaksanaan haji/umroh jika sdh selesai menunaikan haji/umroh (rukun dan syarat sahY sdh dilaksanakn), walapun di mekkah tdk apa2
Abi Hendra Nurcandrawibawakusumah kata makruh dan mubah selayaknya pantas untuk makanan kang kalau untuk pernikahan halal/haram saja didalam makanan ada haram dan halal.

KESIMPULAN : NIKAH HARUS SESUAI HUKUM FIQIH ISLAM YANG BERLAKU (AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH, INDONESIA MAYORITAS MADZHAB IMAM SYAFII)

dokumen di facebook pemuda tqn suryalaya

Posting Komentar

 
Top