”Bagaimana dapat digambarkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal
Allah-lah yang mendhahirkan (menampakan) segala sesuatu.”
[AL-HIKAM XVI].
[AL-HIKAM XVI].
Allah memiliki sifat Kuasa Memaksa kepada
manusia. Yang tidak bisa menjadi bisa, yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Seperti juga matahari sekarang jalan kebarat, besok bisa dipaksa Allah berjalan
kearah timur. Begitulah sifat memaksa-Nya Allah.
Allah Dzat yang Maha Dhahir. Dia bahkan bisa
memaksa kahanan (sesuatu). Yang tidak ada (makhluk). Bisa menjadi tutup
sehingga kita tidak mengetahui-Nya. Sesuatu yang nyata bisa ditutupi dengan
sesuatu yang tidak nyata. Barang yang wujud bisa ditutupi dengan barang yang
tidak wujud. Hal ini sepertinya memang tidak masuk akal. Tapi nyatanya, Allah
mempunyai kuasa memaksa sesuatu. Memaksa kita tidak mengetahui adanya Allah
hanya dengan ditutup oleh sesuatu yang kecil yang tidak kelihatan.
Bagi orang yang hatinya telah dibuka oleh
Allah SWT, tidak mungkin baginya makhluk menutupi Allah. Tapi bagi orang yang
hatinya masih tertutup (belum sadar kepada Allah), sesuatu yang tidak mungkin
itu malah menjadi mungkin.
Kaifa yutashawwaru an yahjubahu syay-in wa
huwalladzi dhahara likulli syay-in. Bagaimana mungkin makhluk ini dapat
menutupi Allah? Padahal Allah itu adalah Dzat Yang Dhahir dalam segala sesuatu?
Ay tajalla likulli syay’I hatta ‘arafahu; atau Allah menampakan diri kepada
segala sesuatu; di hati seseorang atau di hati semua makhluk sehingga mereka
(mestinya) mengetahui-Nya?
Wa lidza kaana sajidan lahu wa musabbihan
bihamdihi. Oleh karena Allah itu menampakan diri pada sesuatu, maka semua
makhluk (yang mengetahui-Nya) ini sujud kepada Allah SWT dengan membaca tasbih
kepada-Nya. Wa laakin laa tafqahu dzaalik. Namun karena hati kita buta, kita
tidak mengetahui-Nya. Padahal sebenarnya, semua makhluk; termasuk binatang,
tumbuh-tumbuhan dan sebagainya, mereka berdzikir dan sujud kepada Allah SWT,
karena pada hakikatnya mereka semua mengenal Allah.
Fa kullu syay-in aarifun bihi ala qadri
tajallihi lahu. Dengan demikian, hakikat semua makhluk ini adalah whusul
makrifat kepada Allah, sesuai dengan ukuran dan tajjali-Nya Allah kepada
makhluk tersebut. Seberapa Allah menampakan diri kepada makhluk, sebesar itu
pulalah kita bisa melihat Allah. Adanya diri kita tidak bisa melihat
tajjali-Nya Allah kepada kita, adalah karena kita tertutup oleh nafsu kita
sendiri. Padahal, ketika pada zaman Azali dulu saat kita masih di alam ruh,
semua ruh itu makrifat kepada Allah. Namun setelah mereka dilahirkan kedunia
dan karena di dunia ini ada nafsu, maka hati merekapun langsung tertutup oleh
nafsu-nafsunya sendiri. Sehingga mata hati mereka, mata hati kita, semuanya
buta. Tajjali-Nya Allah di hati kita tertutup nafsu kita sendiri. Sehingga kita
tidak dapat whusul dan makrifat kepada-Nya.
Wa in kaa-na fil asy-ya’I man laa
yaqdirullaha haqqa qadrihi linaqshi ma’rifatihi wa qushuurihaalaa lintifaa-I
ashliha.. Jika Allah Nampak pada sesuatu kemudian manusia tidak bisa melihat
Allah, itu karena kurangnya makrifat dirinya kepada Allah, apesnya makrifatnya
kepada Allah. Semua itu karena hatinya tertutup nafsunya sendiri. Apabila
nafsunya itu di buka, pasti mereka semua akan kembali makrifat kepada Allah
SWT. Dengan demikian manusia sebenarnya tertutup oleh makhluk berupa nafsu,
sehingga Allah yang Nampak jelas pada segala sesuatu pun tidak terlihat.
Pada umumnya, hati manusia itu tertutup oleh
hartanya, oleh motornya, oleh pasanganya yang ayu, yang ganteng, dan
‘duniawiyah’ lainya. Padahal Allah menampakan diri dari makhluk-makhluk itu
tadi. Harusnya tidak mungkin kita tertutup makhluk itu tadi. Tapi kenyataanya
Allah bisa memaksa menutupi dengan makhluk-makhluk tersebut. Hal ini hanya
terjadi bagi orang yang belum sadar kepada Allah SWT.
Kaifa yutashawwuaru an yahjubahu syay-un
wahuwadh dhaahiru qabla wujuudi kulli sya-i. Bagaimana lagi sampai tertutup
manusia ini dengan sesuatu, hingga tidak bisa melihat Allah, padahal Allah itu
Dhahir (nyata, jelas) sebelum diwujudkanya semua makhluk ini. Maka sekali lagi.
Sesuatu yang diwujudkan dapat menutup yang mewujudkan (Allah) ini hanya bagi
orang yang tertutup mata hatinya Karena hakikatnya itu tidak mungkin.
Fadhuuhuuru Ta’aala Dzaa-tiyyun ghairu
muktasibin laa mustafaadun wa laa ma’luulun.. Allah nyata Dzatnya. Yang tidak
diusahakan lahir. Dan dhahir-Nya Allah itu bukan untuk mengambil manfaat atas
kedhahiran-Nya. Allah Dhahir bukan karena disebabkan. Tidak seperti makhluk.
Kalau makhluk disebabkan karena Khaliq. Sedang Dhahir-Nya Khaliq tidak
disebabkan makhluk. Wujud-Nya Allah ada dengan sendiri.
Wa dhuhuurul akwaani naa-syi-un min jalliihi
alaiha bi sifatidh dhuhuuri. Wujudnya makhluk ini karena tajjalli-Nya Allah.
Wujudnya makhluk karena diwujudkan oleh Allah. Karena Allah memiliki sifat
mewujudkan. Fa kaifa takuunu haa-jibatun lahu. Sehingga bagaimana mungkin
makhluk dapat menutupi Allah. Itu tidak mungkin. Tapi nyatanya kita tertutup
dari Allah, kita tidak dapat makrifat kepada Allah. Sekali lagi, itu disebabkan
hati kita tertutup dengan nafsu kita sendiri.
Kaifa yutashawwaru an yahjubahu syay-un wa
huwa adh-haru min kulli syay-in. Bagaimana mungkin lagi Allah yang lebih nyata,
lebih jelas dari pada sesuatu, dapat ketutupan sesuatu. Sebagaimana matahari.
Ia lebih jelas daripada lampu, kok bisa nutupi terangnya sinar matahari, ini
muhal. Tidak mungkin Allah ditutupi oleh makhluk, karena Allah lebih jelas
daripada makhluk. Tapi kalau nyatanya kita tetap terutup oleh makhluk hingga
hati kita tidak bisa melihat Allah. Ini bukan Allah yang tidak jelas, tapi
karena butanya mata hati kita. Ingat saja sulit, apalagi melihat Allah.
Li annal wujuuda adhhara minal ‘adami ala
kulli haalin. Sesuatu yang wujud itu (Allah), pasti lebih kuat, lebih jelas,
lebih nyata dari pada sesuatu yang tidak wujud, atau yang wujudnya diwujudkan.
Sebagaimana contoh tadi; terangnya matahari pasti lebih kuat daripada terangnya
lampu.
Wa liannadh dhuhuuradz Dzaa-tiyya aqwaa minal
aradhiyyi. Allah itu mempunyai sifat Daim (langgeng). Sedang kita punya sifat
fana (hancur). Dhahir-Nya Allah yang merupakan Dhahir bangsa Dzat ini jelas
lebih kuat dari pada dhahir baru datang (huduts, lawanya sifat qidam: baru).
Dhahir-Nya mutlak, tidak membutuhkan apa-apa. Wujud yang dengan sendirinya
tanpa sebab, lebih kuat daripada wujud yang disebabkan atau yang diadakan.
Seperti halnya perbedaan antara barang yang langgeng (abadi) dengan barang
kuno, apalagi yang baru. Sekuat-kuatnya barang kuno, barang antik, pasti akan
rusak. Seberapapun umurnya barang lama tetap akan mengalami kerusakan. Tapi
kalau barang langgeng, daim itu tidak bisa rusak.
Wa innama lam yudrok lil ‘uquuil ma’a
syiddati dhuhuurihi. Li anna syiddatadh dhuhuurihi laa yuthiiquhaad dhu’afaa’u
kal khuffaasyi yabshuru bill ail duunan nahaari.. Wujudnya Allah, kalau kita
pikir, tidak dapat ditemukan. Karena kejelasan Allah itu sendiri tidak dapat
dikuasai oleh dhahir yang apes (lemah). Sesuatu yang apes tentu tidak bisa
melihat sesuatu yang dhahirnya lebih kuat. Seperti halnya Lowo (kelelawar). Ia
hanya mampu melihat dimalam hari. Ia tidak bisa melihat diwaktu pagi, siang
atau sore hari. Lowo tidak bisa melihat diwaktu siang, karena terangnya siang
itu sendiri. Juga karena pandangan Lowo yang lemah. Lemahnya pandangan Lowo,
kalah dengan pancaran sinar/cahaya nurnya matahari, ketika matahari bercahaya.
Fayakuunu syiddatu dhuhuurin nahaari ma’a
dhu’fi basharihi sababan limtinaa’I abshaarihi.. Sekali lagi, karena kuatnya
sinar matahari, terangnya siang, disertai lemahnya pandangan Lowo, hingga Lowo
tidak bisa melihat disiang hari.
Fakadzalika lil uqul dha’Ifatan wa jamalil
hadroh ilahiyah bi ghayatil ashrof.. Begitu juga bagi yang memiliki akal dan
hati yang lemah, yang masih tertutup dengan nafsunya. Luhur dan besarnya
Hadroh-Nya Allah dan sangat jelas sekali menjadikan kita tidak mampu melihat
Allah SWT, kecuali bagi mereka yang sudah dibukakan mata hatinya oleh Allh SWT.
Jadi, terangnya Hadroh-Nya Allah, atau jelasnya Hadroh-Nya Allah (syiddati
dhuhurihi; bangetnya terangnya Allah), bagi akal dan hati yang lemah, adalah
seperti yang digambarkan yang diatas (mata kelelawar yang lemah), ia tidak akan
mampu melihat Allah. Semuanya tertutup, baik maknawiyah atau kauniyah
(wujud-Nya Allah).
Kauniyah, jelas mata (lahir) kita tidak mampu
melihat Dzat-Nya Allah. Maknawiyah, bila tidak dengan makrifat, kita tidak
mampu melihat Allah SWT. Karena mata hati kita tertutup.
Secara Kauniyah, saking jelasnya Allah, mata
kita tidak mampu melihat Dzat-Nya Allah. Padahal Allah Dzat yang Dhahir, illa
fi yaumil mahsyar, kecuali besok dipadang Mahsyar. Ada pendapat yang mengatakan
bahwa manusia bisa melihat jelas kepada Allah SWT. Dan ada juga yang mengatakan
bisa melihatnya Allah itu adalah bi amil bashiro (dengan mata hati).
Karena itu saudara-saudariku Allah menutupi.
Hingga secara Kauniyah kita tidak bisa melihat Allah karena ketutupan makhluk
yang seharusnya tidak bisa menutupi. Tapi itulah diantara sifat kuasa-Nya
Allah, qadhar-Nya Allah mampu menutupi mata hati manusia, dengan makhluk (yang
sesungguhnya tidak mungkin menutupi Allah).
Begitupun maknawiyah bashiroh. Mata hati kita
ini tidak bisa melihat Allah hingga kita tidak bisa wushul kepada-Nya, karena
tertutup oleh nafsu-nafsu kita sendiri. Itulah Kuasanya Allah. Dia punya
kekuasaan menutupi diri-Nya dengan makhluk. Dan.., Dia punya kuasa untuk
membuka hijab itu sehingga hati manusia bisa whusul dan makrifat kepada-Nya.
Karena itu, Mari kita merasa dosa di hadapan
Allah SWT. Kita akui bahwa selama ini kita hanya menuruti hawa nafsu saja,
hingga hati kita terhijab dari Allah. Allah Yang Dhahir, Yang Nyata, tapi hati
kita tidak bisa melihat Allah, Dzat Yang Qawiyun, Yang punya Irodah.
Wallahu’alam
Posting Komentar
Posting Komentar