(Dokumen No.217 di Facebook Pemuda TQN Suryalaya) Sumber Tulisan dari: Drs. H. Mirhan AM.,M.Ag.(Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin),Makalah thn.2008 (Sumber blog : idamirhan56.wordpress.com),Kandidat Doktor (S3) UIN Alauddin Makassar
kesultanan Islam di Indonesia tempo dulu |
Islam berkembang melalui tahapan dan sejarah panjang,
proses masuk dan penerimaan masyarakat serta pelembagaannya. Akhirnya tersebar
sampai keseluruh pelosok nusantara. Diakui oleh sejarawan bahwa dakwah Islam
melalui para pedagang, ulama dan para sufi dengan tarekat-tarekatnya dan bahkan
melalui perkawinan.
I. PENDAHULUAN
Sejarah
adalah rekonstruksi masa lalu. Tampaknya seolah-olah masa lalu itu
harus jauh dari masa kini. Betulkah pandangan ini. Kita meminjam kata-katanya
Kuntowijoyo: ” Sejarawan itu ibarat orang naik kereta api dengan melihat ke
belakang, lalu dengan leluasa ia dapat menoleh ke kanan dan ke kiri, yang tidak
bisa dikerjakan ialah melihat ke depan”.[1]
Sejarah
adalah petunjuk berharga, gambaran masa lalu yang dapat dijadikan pedoman dalam
melangkah, masa kini dan masa yang akan datang. Sejarah Islam Indonesia
memiliki arti penting bagi generasi bangsa. Karena memiliki karakteristik
tersendiri dibanding sejarah Islam di negara lain. Islam datang ke Indonesia
mampu berinteraksi dengan kebudayaan lokal di Nusantara,dan kedatangannya secara
damai.[2] Ini dapat memberi nuansa keberislaman Indonesia.
Islam
Indonesia merupakan corak Islam masa depan yang cukup menjanjikan di era
globalisasi.[3] Dengan demikian Islam Indonesia akan menjadi sorotan di
mata dunia.
Dalam
uraian ini penulis memaparkan masuk dan berkembangnya Islam di
Indonesia dengan pembahasan; proses dan masuknya Islam ke Indonesia, penerimaan
oleh pribumi dan melembaganya Islam di masyarakat. Kemudian jalur pembentukan
Islam di Indonesia, serta terjadinya transformasi masyarakat Indonesia.
II. MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DI INDONESIA
Indonesia
yang terbentang luas, terletak di anatara Benua Asia dan Australia, serta
anatara Samudera Hindia dan Pasifik. Luas wilayahnya mencapai 1.948.732 km,
dengan bentangan terpanjang Timur-Barat 5.150 km, Utara – Selatan
1.930 km. Terdiri dari pulau-pulau yang mencapai sekitar 13.667
pulau.Penduduknya menempati urutan ke empat besar dunia setelah Cina, India dan
Amerika Serikat.[4]
Dengan
demikian dapat dipahami, kalau Islam masuk ke Indonesia melalui jalur laut
adalah sangat diyakini, kemudian penyebarannya keseluruh nusantara memerlukan
waktu yang sangat panjang. Melalui jalur laut oleh para pedagang, mula-mula di
pesisir pantai, kemudian menyebar ke daratan ke seantero pulau-pulau.
Tentang
kapan Islam masuk ke Indonesia (Nusantara), sejarawan berbeda pendapat dan
masing-masing mempunyai alasan tersendiri. Secara garis besar perbedaan
pendapat itu adalah sebagai berikut :
1. Pendapat
sarjana-sarjana Barat, diantaranya Snouck Hurgronye, ia
berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 M dari
Gujarat ( bukan langsung dari Arab ), dengan bukti makam Sultan Malik Al-Shaleh,
raja pertama kerajaan Samudera Pasai yang berasal dari Gujarat.[5]
2. Pendapat Hamka dan teman-teman ( hasil
seminar sejarah masuknya Islam ke Indonesia tahun 1963), menyimpulkan bahwa
Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah ( sekitar abad ke-7
sampai abad ke- 8 M ), langsung dari Arab dengan bukti bahwa jalur pelayaran
yang sudah ramai dan bersipat internasioanal sudah ada melalui Selat
Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina ( Asia Timur ) dan
Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat.[6]
3. Islam sudah datang ke Indonesia
pada abad ke- 7 dan ke- 8 M atau abad pertama Hijriyah, tetapi hanya oleh para
pedagang yang berasal dari Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Islam secara
besar-besaran masuk ke Indonesia pada abad ke-13, berdirinya
kerajaan Samudera Pasai dan telah mempunyai kekuatan politik. Hal ini dengan
alasan kehancuran Bagdad dan pedagang muslim mengalihkan aktifitas perdagangan
ke Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara.[7]
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa kapan kedatangan Islam ke Indonesia masih
diperdebatkan. Awal abad pertama Hijriyah sudah ada orang Arab di Indonesia.
Para saudagar muslim tinggal di Asia Timur dan Tenggara sudah ada pada saat
itu. Akan tetapi tampaknya pada abad ke-13 M Islam sudah mulai menyebar, dengan
bukti ada kerajaan Islam yang telah berdiri yaitu kerajaan Samudera Pasai.
Kemudian setelah itu Islam terus menyebar ke berbagai pulau di Indonesia.
A. Proses Masuknya Islam
ke Indonesia
Sejak abad ke-7 M diduga kuat para musafir dan pedagang
Arab, Persia dan India telah memperkenalkan Isalam di Nusantara. Dugaan kuat
ini karena sejak abad ke- 5 M Samudera Hindia telah menjadi jalan perdagangan
Teluk Persia – Tiongkok yang terus berlanjut pada abad kemudian.[8]
Sejak
abad ke- 8 M, hubungan Nusantara lebih meningkat menjadi hubungan langsung
dengan Arab, dan Samudera Hindia semakin ramai dengan pelayaran dan
perdagangan. Pada abad ini juga masa-masa kejayaan Dinasti Abbasiyah ( 750 –
1258 M). Suatu hal yang sangat meyakinkan adalah terjadi aktifitas pelayaran
perdagangan semakin pesat. Pedagang Arab yang sebelumnya hanya sampai ke India,
tetapi pada abad ke- 8 M ini sudah sampai ke Nusantara. Hubungan Arab dengan
Nusantara sudah langsung.[9]
Hubungan
antara Nusantara dengan Timur Tengah melibatkan sejarah yang panjang, bahkan
jauh secara resmi Islam dianut oleh bangsa Indonesia kontak ini sudah terjadi,
antara Arab dan Persia dengan Dinasti Cina melakukan pengembaraan sampai ke
Nusantara.[10]
Dalam
hubungan perdagangan, ada beberapa faktor yang berpengaruh seperti yang
dikemukakan M. Shaleh Putuhena sebagai berikut: Pertama; adanya
peristiwa Perang Salib ( abad XI – XIII, di sela gencatan
senjata, terjadi kontak kebudayaan. Tentara Salib senang dengan parfum dan
rempah-rempah dan produksi trofis lainnya, sehingga Eropa menerima hasil
pertanian dan komoditas Asia dan terjadilah hubungan dagang internasional. Ini
menambah ramai lalu lintas perdagangan kepulauan Nusantara dengan Arab. Kedua;
Perkembangan perdagangan di Anatolia Barat turut melibatkan Turki Utsmani dalam
perdagangan internasional. Ayasolog dan Balat menjadi pusat dagang dari segala
penjuru dunia. Pedagang yang berhimpun di Malaka terdiri atas pedagang muslim
dari Kairo, Mekah, Aden, Abesynia, Kilwa, Malindi, Hormuz, Persia dan
lain-lain. Ketiga; pada saat Dinasti Ming berkuasa di Cina ( tahun 1368 M ),
pelabuhan ditutup untuk pedagang asing, maka para pedagang semakin banyak yang
ke Nusantara. Seiring itu Islam turut berkembang oleh para pedagang.[11]
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa Islam yang datang ke Indonesia mulanya oleh para
pedagang muslim. Artinya tidak dengan secara sengaja melalui suatu kelompok
atau organisasi tertentu.
Islam
pada mulanya masih relative di kota-kota pelabuhan wilayah
pesisir. Kota-kota pelabuhan sekaligus jadi ibu kota kerajaan, misalnya
kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Malaka, demikian pula kerajaan di pesisir
Jawa.[12]
Demikianlah
proses masuknya Islam ke Indonesia, melalui para pedagang, perlahan-lahan
tetapi pasti dan diterima oleh penduduk/masyarakat secara damai.
A. Penerimaan Islam oleh Pribumi.
Islam
datang ke Indonesia ( Nusantara ) melalui para pedagang dengan damai, bukan
melalui perang atau kekerasan, paksaan.[13] Penerimaan Islam melalui
beberapa saluran sebagaimana yang dijelaskan Musyrifah Sunanto:
a. Melalui
perdagangan oleh para pedagang yang telah melakukan pelayaran.
b. Dilakukan oleh para
muballig datang bersama para pedagang, juga para sufi, mereka adalah para sufi
pengembara.
c. Melalui perkawinan
pedagang muslim, muballig dengan anak bangsawan Indonesia.
d. Para pedagang yang
sudah mapan, mereka mendirikan pusat pendidikan dan pusat penyebaran
Islam. Kerajaan Samudera Pasai misalnya adalah sebagai pusat dakwah.
e. Melalui para sufi
dengan kelompok tarekatnya, menyebar ke Nusantara.[14]
Penduduk
masuk Islam, dari penduduk pribumi di koloni-koloni pedagang muslim. Pada
sekitar abad ke- 13 M, masyarakat muslim sudah ada di Samudera Pasai, Perlak,
dan Palembang di Sumatera. Di Jawa makam Fatimah binti Maimun di
Gresik tertcatat tahun 1082 M, merupakan bukti penerimaan Islam dan
makam-makam di Tralaya abad ke- 13 M. [15]
Dengan
demikian pada sekitar abad ke- 13 M Islam telah menyebar di Indonesia dan
diterima oleh penduduk, bukan saja pada daerah pantai atau pesisir, akan tetapi
diperkirakan sudah sampai ke pelosok-pelosok kampung.
C. Melembaganya Agama Islam dalam Masyarakat
Islam
pada mulanya mendapatkan kubu-kubu terkuatnya di kota-kota pelabuhan, sekaligus
kota di pelabuhan tersebut sebagai kota kerajaan. Misalnya kota kerajaan
Samudera Pasai, Malaka dan kota-kota pesisir Jawa. Istana Kerajaan menjadi
pusat pengembangan Islam atas perlindungan resmi penguasa.[16]
Kemudian
Islam juga berkembang melalui tokoh ulama; Hamzah Fansuri, Samsuddin
Sumaterani, Nuruddin al-Raniri, Abd. Rauf Singkel di Kerajaan Aceh dan Para
Wali Songo di Kerajaan Demak. Tokoh-tokoh tersebut mempunyai jaringan, baik di
dalam maupun di luar negeri ( jaringan internasional ).[17]
Istana
kerajaan di pusat Pelabuhan menjadi pusat pendidikan, mencetak kader muballig
dan kader politik. Kader politik dimaksudkan yang kemudian hari menjadi
raja-raja penguasa.[18] Pada sekitar abad ke- 16 sampai paruh abad ke- 17
adalah kedatangan dan peningkatan pertarungan di antara kekuasaan Portugis
dengan Dinasti Utsmani di kawasan Lautan India. Muslim Nusantara menjalin
hubungan-hubungan politik dan keagamaan dengan penguasa Haramayn. Maka muslim
Nusantara semakin banyak yang pergi ke tanah suci.dan lebih banyak orang yang
pergi ke Mekah menuntut ilmu.[19]
Dalam
kaitan urusan haji misalnya bahwa orang-orang yang pertama kali melaksanakan
haji bukan dari perorangan ( jama’ah haji ), melainkan para pedagang utusan
Sultan dan para musafir penuntut ilmu. Ini terjadi pada abad ke- 16 hingga abad
ke- 17.[20]
Dengan
demikian agama Islam telah melembaga dalam masyarakat, tidak lagi antar orang
perorang, baik dalam penyebarannya ataupun kegiatan-kegiatan lainnya. Islam
lebih memantapkan dengan lembaga-lembaga pendidikan, dakwah, politik dan urusan-urusan
keagamaan.
Demikianlah
uraian tentang telah melembaganya agama Islam dalam masyarakat.
III. JALUR PEMBENTUKAN ISLAM DI INDONESIA
Ada
tiga teori tentang kedatangan Islam ke Indonesia. Pertama; datangnya langsung
dari Arab. Hal ini beralasan karena muslim melayu berpegang kepada mazhab
Syafi’i yang lahir di semenanjung tanah Arab. Kedua; dari India, ini pendapat
Snouck Horgronye. Teori ini karena adanya hubungan dagang/ perniagaan yang kuat
antara India dengan Nusantara. Ketiga; dari Cina, ini dikemukakan oleh Emanuel
Godinho de Eradie seorang scientist Spanyol.[21]
Islam
yang datang ke Nusantara dibawa oleh pedagang ( saudagar-saudagar Arab ) dan
perjalanan melalui laut, dari Aden terus ke pantai India Barat dan Selatan,
kemudian kalau melalui jalan darat Khurasan melalui Khutan, padang pasir Gobi,
Sanghu, Nansyan, Kanton, kemudian menyeberangi laut Cina Selatan masuk ke
Nusantara melalui pesisir pantai Timur.[22]
Tampaknya
pendapat di atas bahwa memang yang membawa Islam adalah saudagar-saudagar Arab
dan mungkin saja mereka singgah beristirahat dibeberapa tempat yakni India dan
Cina sehingga akhirnya sampai ke Nusantara.
A. Islam Melalui
Aceh
Untuk
menelusuri jalur Islam menyebar ke Indonesia, berikut ini diuraikan urutan
melalui kerajaan-kerajaan Islam yang pernah ada di Indonesia:
1. Kerajaan Samudera
Pasai
Kerajaan
Islam pertama adalah kerajaan Samudera Pasai, terletak di pesisir Timur Laut
Aceh, awal atau abad pertengahan ke- 13 M. Hasil Islamisasi daerah-daerah
pantai yang disinggahi pedagang-pedagang muslim. Pendiri kerajaan Samedera
Pasai adalah Malik Al-Shaleh. Bukti kerajaan ini adalah nisan, tertulis bahwa
rajanya meninggal tahun 696 H / 1279 M.[23]
Pendapat
bahwa Islam sudah berkembang di sana sejak awal abad ke- 13 M didukung oleh
berita Cina dan pendapat Ibnu Batutah seorang pengembara dari Marokko yang pada
pertengahan abad ke- 14 M telah mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya
dari Delhi ke Cina.[24]
2. Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan
Aceh yang sekarang wilayah Kabupaten Aceh Besar. Kerajaan Aceh berdiri sekitar
abad ke- 15 M. Pertumbuhan kerajaan ini disebabkan oleh kamajuan perdagangan. Para
Saudagar berpindah kegiatannya dari Malaka ke Aceh, akibat permusuhan dengan
Portugis.[25]
Aceh
menerima Islam dari Pasai dan Islam telah berkembang sejak abad ke-14 M. Raja
Aceh yang pertama adalah Ali Mughayatsyah. Aceh ini bekerjasama dengan Turki
Utsmani.Aceh melebarkan penyebaran Islam pada pesisir Timur dan BaratSumatera.
Dari aceh, Tanah Gayo terus ke Minangkabau.[26]
Islam
merupakan agama resmi kerajaan Aceh. Aceh menjadi pusat studi Islam di kawasan
Asia Tenggara dan pusat pemberangkatan haji.[27]
B. Perkembangan Islam di Jawa
Islam
terus tersebar melalui pesisir sampai ke pelosok-pelosok daerah yang disebarkan
oleh para pedagang, ulama dan para muballig. Berikut ini penulis jelaskan perkembangan
Islam di Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.
1. Kerajaan Demak, Pajang, Mataram, Cirebon dan Banten.
Perkembangan
Islam di Jawa bersamaan dengan melemahnya posisi raja Majapahit. Hal inilah
yang memberikan kesempatan kepada para penguasa Islam untuk mengembangkan pusat-pusat
kekuatan kekuasaan.[28]
Kerajaan
Demak oleh rajanya yang pertama yakni Raden Patah. Raja Islam pertama di Jawa
bergelar Senopati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayyidin
Panatagama.[29] Dalam penyebaran agama, raja bersama-sama ulama dan
dikenal dengan Wali Songo, yang akhirnya kerajaan ini menjadi pusat
pengembangan Islam.[30]
Kerajaan
Pajang sebagai pewaris kerajaan Demak. Terletak di daerah Kartasura. Kerajaan
ini merupakan kerajaan pertama yang terletak di pedalaman pulau jawa. Seiring
dengan itu pusat penyebaran Islam juga pindah dari pesisir ke pedalaman, dan
hal ini membawa dampak positif dalam perkembangan Islam di Jawa.[31]
Sultan
Adiwijaya memperluas pengembangannya meliputi pedalaman ke a rah Timur yakni
daerah Madiun, di aliran sungai Bengawan Solo, kemudian Blora (1554 M), Kediri
( 1577 M ). Pada tahun 1581 M, ia diakui sebagai Sultan raja-raja di Jawa
Timur.[32] Maka dengan demikian kekuasaan Islam yang semula di daerah
pesisir telah menyebar ke pedalaman.
Kerajaan
Mataram beridiri tahun 1577 M oleh Ki Gede Pamanahan. Digantikan oleh puteranya
Senopati tahun 1584 M . Senopati dikukuhkan sebagai sultan pertama Mataram.
Kerajaan ini berkuasa sampai tahun 1678 M dengan berganti-ganti raja penguasa.
Masa Amangkurat I sebagai putera Mahkota, tidak memihak kepada para
ulama dan santri, sehingga terjadi konflik bahkan pemberontakan yang
mengakibatkan runtuhnya kraton Mataram.[33] Masa pemerintahan Mataram ini
Islam telah menyebar hampir ke semua pelosok Jawa Timur.
Kesultanan
Cirebon merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan
oleh Sunan Gunung Jati ( Syarif Hidayat ). Sunan Gunung Jati merupakan salah
seorang dari Wali Songo. Ia mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa.
Pengembangan Islam dilakukan meliputi daerah Majalengka, Kuningan, Kawali (
Galuh ), Sunda Kelapa dan Banten. Tahun 1525 M, Banten menjadi pusat
perdagangan dan pengembangan Islam. Banten diserahkan kepada anaknya Sultan
Hasanuddin yang kemudian menurunkan raja-raja Banten.[34]
Kerajaan
Banten dengan penguasa pertama adalah Sultan Hasanuddin. Ia kawin dengan puteri
raja Demak dan diresmikan menjadi Panembahan Banten tahun 1552 M. Ia kemudian
meneruskan usaha-usaha ayahnya ( Sunan Gunung Jati ) dalam mengembangkan Islam,
bahkan sampai ke Lampung di Sumatera Selatan.[35]
Demikianlah
kerajaan-kerajaan di Jawa yang mempunyai andil besar dalam penyebaran agama
Islam di seluruh Jawa. Tentunya kerajaan-kerajaan ini ditopang dengan kegiatan
para ulama dan muballig.
C. Penyebaran Islam di Kalimantan dan Sulawesi
Penyebaran
Islam bukan saja di Sumatera, Jawa, akan tetapi Islam tersebar ke Kalimantan
dan Sulawesi
1. Kalimantan Selatan
Pada
tahun 1595-1620 M, Pangeran Samudera memerintah kerajaan Banjar dengan gelar
Sultan Suriansyah. Sultan inilah yang mula-mula masuk Islam dan mengembangkan
agama Islam bersama dengan seorang muballig dari kerajaan Demak yang bernama
Khatib Dayan. Islam mulai berkembang di kerajaan Banjar.[36]
Dalam perjalanan kerajaan Islam Banjar telah diperintah
oleh beberapa orang raja, turun-temurun setelah Sultan Suriansyah yaitu Sultan
Rahmatullah bin Sultan Suriansyah ( 1620-1642M ), Sultan Hidayatullah bin
Sultan Rahmatullah ( 1642-1650 M ), Sultan Musta’in Billah ( 1650-1678 M ),
Sultan ‘Inayatullah (1678-1685 M ), Sultan Sa’idullah ( 1685-1700 M ), Kemudian
Sultan Tahlilullah ( 1700-1745 M ), dan seterusnya. Pada masa Sultan inilah
seorang ulama besar lahir yaitu Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjari tahun 1710 M/1122 H.[37]
Dalam
perjalanan sejarah, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari setelah pulang dari Mekah
dan Madinah selama 35 tahun menuntut ilmu, kemudian dengan gigih menyebarkan
Islam di Kalimantan, terutama di kerajaan Banjar. Pada masa ini kerajaan Banjar
diperintah oleh Sultan Tahmidullah ( 1778 – 1808 [38]Dengan demikian Islam
juga turut berkembang sampai ke sana.
Sultan
bekerjasama dengan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dalam pengembangan agama.
Di kerajaan diterapkan Mahkamah Syar’iyah. Pengajian agama digalakkan dengan
mencetak muballig-muballig yang disebarkan ke pelosok daerah.[39]
Dengan
demikian Islam tersebar luas di Kalimantan, terutama di kerajaan Banjar.
2. Kalimantan Timur
Di
Kalimantan Timur yakni Kerajaan Kutai ada dua orang penyebar Islam yakni Dato
ri Bandang berasal dari Makassar dan Tuan Tumenggung Parangan. Di sana dibangun
sebuah mesjid untuk kegiatan pengajaran agama. Termasuk raja Mahkota mengikuti
pengajaran, dan diikuti oleh Pangeran, para menteri, panglima, dan hulubalang
dan juga rakyat banyak.[40]
Demikianlah
penyebaran agama di Kalimantan, terutama di Kalimantan Selatan dan Timur.
3. Sulawesi
Penyebaran
Islam di Sulawesi, terutama di Sulawesi Selatan pada masa
pemerintahan Raja Gowa X ( 1546-1565 M ), ada sebuah
perkampungan muslim ditemukan, penduduknya berasal dari pedagang Melayu dari
Campa, Patani, Johor, dan Minangkabau. Mesjid pada masa Raja Tonijallo ( 1565-1590
M ).[41]Orang-orang yang berjasa permulaan penyebaran Islam di Sulawesi adalah
Datuk ri Bandang, Datuk Patimang dan Datuk ri Tiro.[42]
Raja
Gowa menjadikan Islam adalah agama resmi kerajaan dan mesti diikuti oleh
rakyat, sehingga Islam menjadi agama resmi kerajaan dan
masyarakat.[43] Seorang ulama tarekat Tuang Rappang ( murid Syekh Yusuf ),
mengajarkan tarekat sekaligus menyebarkan agama di Sulawesi Selatan di Kerajaan
Gowa.[44] Kemudian pada masa Raja Gowa XIV, I Mangarangi Daeng Manrabia (
Sultan Alauddin ) mengislamkan raja-raja yang ditaklukkan, sehingga Islamisasi
terjadi besar-besaran di Sulawesi Selatan.[45] Demikianlah
penyebaran Islam di Sulawesi, terutama di Sulawesi Selatan.
D. Para Penyebar Islam di Indonesia
Hampir
disepakati sejarawan bahwa yang mula menyebarkan agama Islam di Indonesia
adalah pedagang Arab. Pada saat itu mereka dominan dalam perdagangan
Barat-Timur sejak awal Hijriyah atau abad ke- 7 dan ke- 8 M. Mesti tidak
terdapat catatan sejarah tentang kegiatan mereka dalam penyebaran
Islam.[46] Akan tetapi yang jelas, bahwa dari merekalah Islam dibawa,
kemudian ada yang kawin dengan penduduk dan terus berkembang dan
menyebar.[47]Demikianlah Islam terus berkembang dan menyebar melalu para pedagang.
Hal ini karena transportasi laut sangat dominan. Para penduduk yang bermukim di
pesisir-pesisir pantai atau pelabuhan yang mula-mula menerima Islam. Bahkan di
beberapa kota pelabuhan dijadikan pusat penyebaran dan kegiatan Islam.
Disamping
itu juga bahwa penerimaan Islam tidak secara massal, maka sangat mungkin
pengalihan agama melalui pergaulan dengan pedagang muslim. Mereka pedagang
muslim sekaligus da’i (muballig ), tetapi bukan professional, akan tetapi
penyampaian dakwah bi al-lisan wa bi al-hal.[48]
Islam
juga berkembang melalui para ulama dan para sufi, melalui tarekat para sufi.
Beberapa tokoh sufi Indonesia adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumaterani,
Nuruddin al-Raniri, Abd. Rauf Singkel, Syekh Yusuf Al-Makassari, Muhammad Nafis
Al-Banjari, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Abd. Samad
Al-Palimbani.[49] Penyebaran Islan di Jawa yang lebih banyak menyentuh
masyarakat di pelosok-pelosok adalah oleh para Wali Songo.[50]
Demikianlah
jalur pembentukan Islam di Indonesia, dari Samudera Pasai menyebar ke pulau
Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Penyebaran ini dilakukan oleh para pedagang, ulama
( muballig ) dan para sufi.
IV.TERJADINYA TRANSFORMASI MASYARAKAT INDONESIA
Kerajaan
Aceh Darussalam dibawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda ( 1607-1636 M ),
mencapai kemajuan yang sangat luar biasa dalam bidang sosial, ekonomi, politik
dan agama. Aceh menjadi kota kosmopilitan. Bahkan dikatakan Aceh dapat menyaingi
kota-kota Eropa.[51] Aceh dikunjungi bermacam bangsa seperti Arab, India,
Turki, Cina, dan Eropa. Kemajuan ini juga ditandai oleh penguasa yang cakap,
ekspansi ekonomi, dan kekuatan artileri.[52]
Di
Jawa, Jepara menjadi kota pelabuhan penting serta menghasilkan perahu-perahu
ukuran besar dan pemiliknya adalah para pedagang Arab, Persia dan Cina.[53]
Giri menjadi kota pelabuhan di Jawa Timur. Dikunjungi
pedagang muslim dari berbagai bangsa, menjadi kota pelabuhan internasional. Di
sini telah berdiam para pedagang dari Cina, Gujarat, Kalikut, Benggala, dan
Siam. Juga orang Malaka, Ternate, Ambon dan Banda.[54]
Mataram
terletak di pedalaman Jawa Tengah mengalami kemajuan, ekspansi politik serta
pengembangan usaha agraris. Aktifitas perdagangan bergeser ke Banten, Makassar
dan Banjarmasin.[55] Banten pada abad XVII, karena letaknya dekat Selat
Sunda, maka sebagai pintu gerbang pelayaran dan perdagangan internasional, juga
sebagai pusat pendidikan Islam dan pelabuhannya salah satu pelabuhan haji
Indonesia.[56]
Banjarmasin
di Kalimantan Selatan ( abad XVI M ) menjadi pusat perdagangan yang menampung
pedagang dari pesisir Utara Jawa, termasuk pedagang dari Sulawesi Selatan.
Disamping itu juga sebagai pusat penyebaran Islam.[57]
Ternate
di belahan Timur sebagai pusat penyebaran Islam, empat orang ulama ternama dari
Irak; Syekh Mansur, Syekh Ya’kub, Syekh Amin dan Syekh Umar menyebarkan Islam
di sana. Ternate sebagai pusat perdagangan cengkeh. Pedagang Arab, Persia India
dan Cina. Empat kesultanan di Maluku, Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan aktif
menyebarkan Islam di daerah sekitarnya. Ibu kota kesultanan pusat penyiaran
Islam[58]
Dengan
demikian terjadi transformasi masyarakat Indonesia baik dalam bidang politik,
ekonomi dan agama secara menyeluruh.
Demikialah
uraian makalah ini, Wallahu a’lamu bi al-shawab
---------------------------------
DAFTAR PUSTAKA :
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah
Wacana dan Kekuasaan, Bandung: PT.Remaja Rosda Karya, 1999
azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abd XVII-XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004
Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai
Abad XVII, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005
Abu Hamid, Syekh Yusuf Makassar Seorang Ulama, Sufi dan
Pejuang Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994
Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari,
Martapura: Sullamul Ulum, tt
. A.Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, Bandung: Al-Ma’arif, 1981
Bari Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002
Dewan Redaksi,
Ensiklopedi Islam, juz 2, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2001
Dody S. Truna, Ismatu Ropi, Pranata Islam di Indonesia,
Pergulatan Sosial, Politik, Hukum dan Pendidikan, Jakarta; Logos Wacana Ilmu,
2002
John L.Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern,
Juz 2, Bandung; Mizan, 2002,
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yoyakarta: Tiara Wacana
, 2003
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia,
Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005
. Musyrifah Sunanto, op. cit., h. 8.Lihat Ahmad Mansur
Suryanegara , Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung:
Mizan 1998.
Taufik Abdullah, Sejarah Umat Islam di Indonesia,
Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991
M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia,
Yokyakarta: PT. LKiS, 2007
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam
Sejarah,Ujung Pandang: Bhakti Baru, 1982
Yusuf Halidi, Ulama Besar Kalimantan Selatan Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari, Banjarmasin : Aulia, 1980
-Keterangan :
[1] Kuntowijoyo,
Metodologi Sejarah, Yoyakarta: Tiara Wacana , 2003, h. xi
[2] Azyumardi
Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Bandung:
PT.Remaja Rosda Karya, 1999, h. 8. Lihat John L.Esposito, Ensiklopedi Oxford
Dunia Islam Modern, Juz 2, Bandung; Mizan, 2002, h. 306.
[3] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005,
h. v – vii.
[4] Dewan Redaksi,
Ensiklopedi Islam, juz 2, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2001, h. 214.
[5] Musyrifah
Sunanto, op. cit., h. 8.Lihat Ahmad Mansur Suryanegara , Menemukan Sejarah
Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan 1998, h. 75-76..
[6] A. Hasjmy,
Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: Al-Ma’arif, 1981,h.
358
[7] Musyrifah
Sunanto, op. cit., h. 9 . Lihat Taufik Abdullah, Sejarah Umat Islam di
Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991, h. 39
[8] Dewan
Redaksi,.,op.cit., h. 215
[9] M. Shaleh
Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, Yokyakarta: PT. LKiS, 2007,h.71
[10] Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abd XVII-XVIII Akar
Pembaruan Islam Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004, h. 19-20.
[11] M. Shaleh
Putuhena, op.cit., h. 74 – 75.
[12] Musyrifah
Sunanto, op. cit., h. 13
[13] Cyril Glasse,
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, h. 170
[14] Musyrifah
Sunanto, op. cit., h. 10 – 11
[15] Bari Yatim,
Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h. 193.
[16] Musyrifah
Sunanto, op. cit., h. 13 – 14
[17] Lihat ibid.
[18] Ibid.
[19] Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama, op.cit., h. 50
[20] M. Shaleh
Putuhena, op. cit., h. 105
[21] A. Hasjmy,
op. cit., h. 180
[22] Lihat ibid.,
h. 181
[23] Badri Yatim,
op. cit., h. 206
[24] Ibid., h. 206
– 207
[25] A Hasjmy, op.
cit., h. 286-287
[26] Badri Yatim ,
op. cit., h. 209-210
[27] Dody S.
Truna, Ismatu Ropi, Pranata Islam di Indonesia, Pergulatan Sosial, Politik,
Hukum dan Pendidikan, Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 2002, h. 143
[28] Badri Yatim,
op. cit., h. 210
[29] Taufik
Abdullah, op. cit., h. 69
[30] Badri Yatim,
op. cit., h. 211
[31] Lihat ibid.
[32] Ibid.
[33] Lihat ibid.
[34] Ibid., h. 217
[35] Ibid., h. 218
[36] Abu Daudi,
Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Martapura: Sullamul Ulum, tt., h. 5
[37] Yusuf Halidi,
Ulama Besar Kalimantan Selatan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Banjarmasin :
Aulia, 1980, h. 23
[38] Abu Daudi,
op. cit., h. 11
[39] Lihat ibid.,
h. 20
[40] Badri Yatim,
op. cit., h. 221
[41] Ahmad M.
Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai Abad XVII, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005, h. 1
[42] Lihat ibid.,
h. 2
[43] Mattulada,
Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah,Ujung Pandang: Bhakti Baru,
1982, h. 40
[44] Abu Hamid,
Syekh Yusuf Makassar Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1994, h. 136,
[45] Ahmad M.
Sewang, op. cit., h. 3.
[46] Azyumardi
Azra, Jaringan, op. cit., h. 6
[47] Lihat ibid.
[48] M. Shaleh Putuhena, op. cit., h. 90
[49] Musyrifah
Sunanto, op. cit.,h. 229-230
[50] M. Shaleh
Putuhena, op. cit., h. 96
[51] Dody S. Truna, Ismato Ropi, op. cit., h. 142
[52] Lihat ibid.
[53] M. Shaleh
Putuhena, op. cit., h. 97
[54] Lihat ibid.
[55] Lihat ibid.,
h. 98.
[56] Ibid.
[57] Ibid., h. 99
[58] Lihat Ibid.
Posting Komentar
Posting Komentar