(DOK.236 STATUS WAHYU PRATAMA DI FACEBOOK PEMUDA TQN SURYALAYA)
KONSEP TASAWUF SYEIKH ABDUL QODIR ALJAELANI QS
Tasawuf sering disebut sebagai misitsisme dalam
Islam (Islamic Mysticim) oleh orientalis. Terdapat berbagai kemungkinan
mengenai asal-usul istilah tasawuf ini. (1) Ada yang mengatakan berasal dari
kata Suffah, nama suatu ruang dekat masjid Madinah, tempat Nabi Muhammad saw
memberikan pelajaran kepada para sahabatnya seperti Abu Darda, Abu Hurairah,
Abu Dzar al-Ghifari dan lain sebagainya. (2) Ada juga yang mengatakan berasal
dari kata suf yang berarti bulu domba, yang umumnya menjadi bahan pakaian
orang-orang sufi dari Siria. (3) Lainnya mengatakan, ia berasal dari kata
shaafiy yang berarti suci, artinya seorang sufi adalah orang yang disucikan
melalui latihan-latihan ibadah. (4) Selain itu ada yang beranggapan dari kata
sophos, kata Yunani yang berarti hikmah.[1]
Adapun menurut SYEIKH ABDUL QODIR ALJAELANI QS,
tasawuf diambil dari kata “ash-shafa” yang bermakna suci. Hati disucikan dengan
makanan yang halal, dengan berma’rifat secara sungguh-sungguh dan benar kepada
Allah. Seorang sufi yang benar di dalam tasawufnya akan mensucikan hatinya dari
segala sesuatu selain Allah. Ia tidak menjelekkan baju, menguningkan wajah, dan
lain-lain dengan maksud menghinakan diri pada dunia. Akan tetapi, seorang sufi
akan datang dengan kejujurannya dalam mengharap Allah, dengan zuhudnya terhadap
dunia, dengan mengeluarkan makhluk dari dalam hatinya, dan dengan mengosongkan
diri dari segala sesuatu selain dari Allah.[2]
Pandangan SYEIKH ABDUL QODIR ALJAELANI QS di
atas nampak bahwa ia juga memberikan kritik terhadap praktik-praktik sufi yang
berlebihan pada masanya. Menurutnya, seorang sufi adalah mereka yang selalu
berusaha menyucikan zahir batinnya dengan tidak meninggalkan ajaran yang
tertuang dalam kitab suci serta sunnah Rasulullah. Sedang tasawuf adalah
senantiasa berperilaku benar dan jujur dalam kebajikan, dan berperilaku baik
kepada semua makhluk Allah.[3] Sehingga dalam hal ini, bagi SYEIKH ABDUL QODIR
ALJAELANI QS, perilaku sufi tidak terpisah dari konteks hubungan individu
dengan Allah dan juga hubungannya dengan manusia yang harus seimbang.
Lebih jauh, di dalam kitab sir al-asrar, SYEIKH
ABDUL QODIR ALJAELANI QS menguraikan makna sufi dan tasawufnya tersebut bahwa
inti dari tasawuf, sesuai dari huruf-hurufnya.
Huruf pertama adalah “ta” yang berarti taubah.
Pintu taubat adalah selalu merasa khawatir tentang kedudukan dirinya di sisi
Allah. Pengertian taubat di sini meliputi dua macam taubat yakni taubat lahir
dan taubat batin. Yang dimaksud dengan taubat lahir adalah menyesuaikan
perbuatan dan perkataannya dengan ketaatan kepada Allah dan Nabi-Nya. Sedangkan
taubat batin sama artinya dengan tashfiyah al-qalb, penyucian hati dari
sifat-sifat yang tercela, untuk kemudian diganti dengan sifat-sifat yang
terpuji. Inti dari taubat adalah mengerahkan hati sepenuhnya untuk sampai
kepada tujuan utamanya, yakni Allah al-Haq.[4]
Huruf kedua adalah “shad” yang berarti “shafa”
yang berarti bersih dan bening. Makna shafa’ disini juga meliputi dua macam
shafa’, yakni shafa’ al-qalb dan shafa as-sirr. Maksud dari shafa’ al-qalb
adalah membersihkan hati dari sifat-sifat manusiawi yang kotor dan kenikmatan
dunia, seperti banyak makan dan minum, banyak tidur, banyak bicara yang tidak
berguna, cinta harta, dan lain lain. Untuk membersihkan hati dari yang demikian
itu, caranya adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah dengan suara jahr
(keras) sampai pada tingkatan takut. Sesuai dengan firman Allah:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ
اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ
إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (سورة الأنفال: ٢)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman
itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan
apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka
(karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal, (QS. al-Anfaal: 2)
Sedangkan maksud dari shafa as-sirr adalah
mencintai Allah dan menjauhi segala sesuatu selain Allah swt dengan cara
senantiasa melantunkan asma’ Allah melalui lisannya secara sirr. Apabila
keduanya telah dilaksanakan dengan sempurna maka, sempurnalah maqam huruf
‘shad’ ini.[5]
Huruf ketiga adalah ‘waw’ yang bermakna wilayah.
Yaitu keadaan suci dan hening yang ada pada jiwa kekasih Allah. Keadaan ini
tergantung pada kesucian seseorang yang tercermin dalam QS. Yunus ayat 62 dan
64:
أَلآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ اللهِ لاَخَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونَ (سورة يونس: ٦٢)
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah
itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati.” (QS. Yunus:62)
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَفِي اْلأَخِرَةِ لاَتَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ (سورة يونس: ٦٤)
Artinya: “Bagi mereka berita gembira di dalam
kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi
kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang
besar.” (QS. Yunus :64)
Orang yang sampai pada tahapan ini, mendapatkan
kesadaran dan cinta sepenuhnya dari Allah, sehingga akhlaknya adalah akhlakNya.
Dan segala tindak tanduknya bersesuaian dengan kehendakNya. Sebagaimana dalam
hadits qudsi, Allah berkata: “…Jika Aku sudah mencintainya, Aku menjadi
penglihatan, pendengaran, tangan, dan penolong baginya…”[6]
Huruf yang terakhir adalah ‘fa’ yang
melambangkan fana’ di dalam kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan
segala macam sifat-sifat manusia dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah.
Terlepas diri dari makhluk dan kedirianya serta sesuai dengan kehendak-Nya.
Jika sudah demikian, maka ke-fana’-an manusia akan abadi (baqa’) bersama
Tuhannya dan keridhaan-Nya.[7]
Pengertian fana’ SYEIKH ABDUL QODIR ALJAELANI QS
ini, jika disandingkan dengan pandangan Ibrahim Madkur ketika mengomentari
istilah fana’-nya para sufi falsafi, sangat identik dengan pandangan mereka.
Menurut Ibrahim Madkur, pada dasarnya teori fana yang didengungkan oleh para
sufi akhirnya hendak menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada
diri dan alam sekitar, terhapusnya seorang hamba dalam kebesaran Tuhan,
sirnanya seorang hamba terhadap wujud dirinya dan kekal di dalam wujud Tuhannya
setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa.[8] Untuk
menjelaskan keabadian seorang hamba, al-Jailani lebih hati-hati agar tidak
disalah pahami. Menurutnya, keabadian manusia, disebabkan amal shalihnya,[9]
sebagaimana yang disinggung oleh Allah dalam firmanNya:
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فِلِلَّهِ
الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ
الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ
شَدِيدٌ وَمَكْرُ أُوْلَئِكَ هُوَ يَبُورُ (سورة فاطر: ١٠)
Artinya: “Barangsiapa yang menghendaki
kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya.Kepada-Nyalah naik
perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.Dan orang-orang
yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat
mereka akan hancur.” (QS. Fathir:10)
Meskipun SYEIKH ABDUL QODIR ALJAELANI QS tidak
mensistematisasikan tasawufnya dalam bentuk maqamat-maqamat atau ahwal-ahwal
secara berurutan seperti kebanyakan sufi, namun ketika melihat dari ulasan
SYEIKH ABDUL QODIR ALJAELANI QS tentang pengertian tasawuf secara harfiah,
telah mengarahkan perjalanan ruhani seseorang dalam untuk melewati tahap-tahap
tertentu, mulai dari taubat dengan macam-macamnya, pembersihan hati dengan
macam-macamnya, yang berakhir pada tingkatan fana’.
Jika dikatakan bahwa memilih hidup sufi berarti
memilih hidup dengan menjauhi dunia, maka sekali-kali SYEIKH ABDUL QODIR
ALJAELANI QS tidak pernah mempunyai sikap hidup mengasingkan diri –dalam arti
membenci dunia- meski ia menolak untuk menikmati keinginan-keinginannya yang
menenggelamkan dan mengasyikkan hati, sehingga membuat lupa kepada penciptanya.
Mengenai permasalahan ini SYEIKH ABDUL QODIR ALJAELANI QS berkata:
“Kuasai dunia, jangan dikuasai olehnya.
Milikilah dunia, jangan dimiliki dunia. Setirlah dunia, jangan diperbudak
olehnya. Ceraikanlah dunia, jangan kamu diceraikan olehnya. Jangan kamu
dibinasakan olehnya. Tasarufkanlah dunia, karena sabda Nabi: Sebaik-baik harta
adalah harta hamba yang saleh.”[10]
SYEIKH ABDUL QODIR ALJAELANI QS mengibaratkan
dunia bagai sungai besar yang deras airnya, setiap harinya bertambah. Dan
perumpamaan nafsu hewani manusia juga tidak ubahnya seperti sungai itu, yang
tamak akan segala kenikmatan duniawi. Ia memandang kehidupan yang sejati adalah
kehidupan di kemudian hari, yaitu akhirat. Sesuai dengan sabda Nabi: “Tidak ada
kehidupan selain kehidupan akhirat nanti.” Dan, “Dunia adalah penjara bagi
orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir.” [11]
Dunia dipandang olehnya sebagai proses
kontinuitas kehidupan akhirat yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Sufisme
dalam pandangan SYEIKH ABDUL QODIR ALJAELANI QS merupakan sufisme yang
progresif, aktif dan positif, tidak meninggalkan gelanggang dunia sebagai
mazra’ah al-akhirah. Ia memandang dunia dalam keseimbangan akhirat. Sebagaimana
firmanNya:
وَابْتَغِ فِيمَآءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ
اْلأَخِرَةَ ولاَتَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن َمَآأَحْسَنَ اللهُ
إِلَيْكَ وَلاَتَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ
الْمُفْسِدِينَ (سورة القصص: ٧٧)
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan. (QS. 28:77)
Konsepsi sufistik SYEIKH ABDUL QODIR ALJAELANI
QS adalah konsepsi sufistik yang murni, dilandasi oleh ketentuan syari’at
Ilahi. Ia melarang seseorang mencebur dalam dunia sufi sebelum orang itu matang
dan kuat syariatnya. Sebab, hubungan syari’at di antara thariqah, ma’rifah, dan
haqiqah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. “Syari’at
laksana batang pohon, thariqah adalah cabang-cabangnya, ma’rifah adalah daunnya
sedangkan haqiqah adalah buahnya”[12] Jadi untuk memetik buahnya seorang sufi
harus melalui tahap pengamalan syari’at dengan istiqamah.
FOOTNOTE
[1] Yusuf Muhammad Thaha Zaidan, ‘Abdul Qadir
al-Jailany Baz Allah al-Asyhab, (Beirut: Dar al-Jayl, tt), hal. 14-15. Lihat
juga, Abu al-Qasim al-Qusyairi, Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (Qahirah: Dar
asy-Sya’b, 1989), hal. 464-467
[2] Muhammad Solikhin, 17 Jalan menggapai
Mahkota Sufi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, (Yogyakarta: Mutiara Media, 2009),
hal. 83
[3] Abdul Qadir al-Jailani, al-Ghunyah, Vol.
II..., hal. 160
[4] Abdul Qadir Jailani, Sirr al-Asrar wa
Madhhar al-Anwar, (Kairo: Mathba’ah al-Mishriyah, tt), hal. 38
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibrahim Madkur, Fi Falsafah Islamiyah Manhaj
wa Tathbiquhu, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976), hal. 141
[9] Abdul Qadir Jailani, Sirr al-Asrar…, hal. 39
[10] M. Zainuddin, Karomah…, hal. 67
[11] Ibid., hal. 69
[12] Abdul Qadir Jailani, Sirr al-Asrar…, hal.
24
Posting Komentar
punteun sateu acan na upami tiasa mah hurupna di agengan sakedik supados raos ngaosna.hatur nuhun pisan
Posting Komentar