Pada suatu
siang Abu Nawas berada di istana ketika Raja Harun Ar-Rasyid sedang sibuk
menerima rombongan tamu dari kerajaan sahabat. Saat itu hanya ada dua orang
pelayan. Abu Nawas diminta untuk membantu kedua pelayan itu.
Ketika Abu
Nawas sedang membawa semangkuk gulai yang masih panas untuk hidangan siang,
tiba-tiba kakinya terpeleset. Gulai yang dibawanya pun tumpah dan sebagian
mengenai muka sang raja.
Sebenarnya
Raja sangat marah atas kejadian tersebut. Tetapi karena banyak tamu, ia tahan
kemarahannya.
“Maafkan,
Tuan-tuan, atas kelakuan pelayan kami yang kurang ajar tadi,” kata Raja.
Dari balik
pintu tiba-tiba Abu Nawas membaca sepotong ayat Al-Qur’an, “.... Orang-orang
yang bertaqwa, yaitu mereka yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya....”
“Ya, aku
memang sedang menahan amarah,” sahut sang raja.
“Dan
memaafkan atas kesalahan orang...,” Abu Nawas meneruskan pembacaan ayat.
“Baik, aku
memaafkanmu atas kesalahanmu,” sahut Raja.
“Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS Ali Imran: 133-134),” Abu Nawas
mengakhiri pembacaan ayat itu.
“Hai
pelayan, kemari! Ini terimalah uang lima ratus dirham sebagai hadiah,” kata
Raja. “Lain kali, tolong kamu siram lagi mukaku dengan gulai, biar kamu bisa
menerima hadiah lebih besar lagi dariku.”
-------------------------------------
Salah satu
ibrah yang bisa kita petik dari kisah di atas adalah kemuliaan menahan amarah.
Mungkin
ada sebagian orang yang menganggap, orang yang bisa mengumbar amarah adalah orang
yang kuat. Tidak, tidak demikian.
Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Bukanlah kuat itu dengan mengalahkan
musuh saat bergulat, akan tetapi kuat itu adalah orang yang bisa menguasai
dirinya tatkala marah.” (HR Bukhari Muslim dan Imam Ahmad).
Pada suatu
hari, Nabi melewati sekelompok kaum yang saling bergulat, maka beliau bertanya,
“Apakah ini?”
Mereka
menjawab, “Dia pegulat yang kuat, tidaklah seorang pun yang bergulat dengannya
kecuali dia mengalahkannya.”
Kemudian
beliau berkata, “Aku tunjukkan kepada kalian orang yang lebih kuat darinya,
yaitu seorang yang dizhalimi namun ia menahan kemarahannya. Ia mengalahkan
orang yang menzhaliminya dan mengalahkan setan yang ada pada dirinya serta
mengalahkan setan yang ada pada saudaranya.” (HR Al-Bazzar).
Dalam
Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan,
sesungguhnya hal demikian itu termasuk keteguhan yang kuat.” (QS As-Syura’:
43).
Jelas dari
kedua hadits dan surah Al-Qur’an di atas, justru orang yang mampu menguasai
dirinya saat marah adalah orang yang kuat. Bukan orang yang mengumbar amarah
dengan berteriak-teriak, mencaci maki, dan sebagainya, misalnya. Sebagaimana
yang sering kita saksikan akhir-akhir ini, yang mungkin saja di antara
pelakunya adalah saudara kita juga, umat Islam. Di jalanan, bahkan di televisi,
yang ditonton seluruh rakyat negeri ini, juga dunia.
Tentu
tidak berarti kita anti demo, karena adanya demonstrasi adalah salah satu ciri
negeri yang demokratis. Hanya saja, demo yang Islami adalah demo yang tidak
mencaci maki, karena Islam tidak pernah mengajarkan kepada umatnya hal yang
demikian. Apalagi demo yang anarkis, karena Islam tidak pernah mengajarkan
kepada penganutnya untuk merusak.
Bagi
mereka yang mampu menahan amarah, Allah telah menyediakan ganjaran. Rasulullah
SAW bersabda, “Barang siapa menahan kemarahannya sedangkan ia mampu untuk
melakukannya, Allah Azza wa Jalla akan menyeru dia di hadapan seluruh manusia
pada hari Kiamat untuk dipilihkan baginya bidadari yang dikehendakinya.” (HR Abu
Daud).
Rasulullah
juga bersabda, “Janganlah marah, maka bagimu adalah surga.” (Hadits shahih
Al-Jami’).
Lebih dari
itu semua, menahan amarah adalah perintah Nabi SAW. Dan karena itu perintah
Nabi, tentu kita semua, sebagai umatnya, mesti melaksanakan.
Disebutkan
dalam hadits, seorang lelaki berkata kepada Nabi SAW, “Berilah aku wasiat.”
Beliau
berkata, “Janganlah marah.”
Tahap
selanjutnya, setelah mampu menahan amarah, yaitu memaafkan. Allah berfirman,
“Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya secara sembunyi dan
terang-terangan dan orang yang menahan kemarahan serta memaafkan orang lain,
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Ali
Imran:134). “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf,
serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS Al-A’raf: 199).
Sering
kita saksikan di televisi beberapa ahli mengatakan bahwa serang-menyerang
antar-rezim terjadi karena dendam sejarah.
Seseorang,
atau bahkan rezim, kalau bersalah memang boleh diadili, atau mungkin harus
diadili. Tapi dasarnya mestinya adalah upaya penegakan hukum dan keadilan,
bukan dendam. Jika dendam yang dijadikan dasar, kesalahan yang kecil pun bisa
terlihat besar. Seorang bijak mengatakan, dendam itu ibarat batu kerikil yang
meluncur di lembah yang bersalju. Makin jauh, akan makin membesar.
Seseorang,
atau bahkan rezim, kalau bersalah memang boleh diadili, atau mungkin harus
diadili. Tapi, bukankah memaafkan itu lebih mulia?
Dalam
konteks negeri ini, bisakah kita menutup semua lembaran sejarah kelabu masa
lalu? Bisakah kita cukup menjadikannya sebagai pelajaran?
Demi
membangun Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang penuh kedamaian, bisakah
kita menjadikan langkah kita sekarang ini sebagai langkah awal yang terbebas
dari segala macam konflik, atau setidaknya meminimalisir? Kalau kita ikhlas,
mau, dan mampu mengendalikan sifat marah, jawabannya jelas: Bisa!
Mengatasi Kemarahan
Untuk
mengatasi kemarahan, Islam memberikan petunjuk.
Pertama,
berlindung kepada Allah dari godaan setan. Karena, di samping nafsu yang ada
dalam diri kita, peran setan juga sangat dominan dalam membangkitkan
amarah. Rasulullah SAW bersabda, “Aku mengetahui satu kalimat yang,
seandainya diucapkan, niscaya akan hilanglah gejolak yang ada pada diri:
أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
“Aku
berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” (HR Bukhari-Muslim).
Kedua,
diam, tidak berbicara. “Apabila salah seorang di antara kalian marah, hendaklah
diam.” (HR Imam Ahmad).
Ketiga,
tinggalkan tempat, berdirilah, lalu pergi.
Keempat,
bersikap tenang, duduk apabila sedang berdiri, atau tidur telentang bilamana
sedang duduk. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian
marah sedangkan dia berdiri, hendaklah dia duduk, agar kemarahannya hilang. Apabila
masih belum mereda, hendaklah berbaring.” (HR Abu Daud).
Kelima,
berwudhu. Nabi bersabda, “Marah itu adalah bara api, maka padamkanlah dia
dengan berwudhu’.” (HR. Al-Baihaqi).
Keenam,
shalat. "Penghapus setiap perselisihan adalah dua raka’at (shalat
sunnah).” (HR Silsilah Hadits Shahihah).
Marah yang Terpuji
Pada
umumnya marah memang tercela, tapi ada pula yang terpuji. Misalnya marah karena
ajaran-ajaran Allah dihinakan.
Kasus
Ahmadiyah, misalnya. Dalam aqidah Islam, jelas, tidak ada nabi lagi setelah
Nabi Muhammad SAW. Pengakuan Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi
dapat dikategorikan sebagai penistaan terhadap ajaran Islam.
Posting Komentar
Posting Komentar