Tentang Penulis &
Ringkasan Isi Kitab
PENJELASAN TENTANG
PENULIS DAN ISI KITAB
Penulis kitab Safinah
adalah seorang ulama besar yang sangat terkemuka yaitu Syekh Salim bin Abdullah
bin Sa'ad bin SumairAl-Hadhrami. Beliau adalah seorang ahli fiqh dan tasawwuf
yang bermadzhab Syafi'i. Selain itu, beliau adalah seorang pendidik yang
dikenal sangat ikhlas dan penyabar, seorang qodhi yang adil dan zuhud kepada
dunia, bahkan beliav juga seorang politikus dan pengamat militer negaranegara
Islam. Beliau dilahirkan di desa Dziasbuh, yaitu sebuah desa di daerah
Hadramaut Yaman, yang dikenal sebagai pusat lahirnya para ulama besar dalam
berbagai bidang ilmu keagamaan.
Sebagaimana para ulama
besar lainnya, Syekh Salim memulai pendidikannya dengan bidang Al-Qur'an di
bawah pengawasan ayahandanya yang juga merupakan ulama besar, yaitu Syekh
Abdullah bin Sa'ad bin Sumair. Dalam waktu yang singkat Syekh Salim mampu
menyelesaikan belajarnya dalam bidang Al-Qur'an tersebut, bahkan beliau meraih
basil yang baik dan prestasi yang tinggi. Beliau juga mempelajari bidangbidang
lainnya seperti halnya ilmu bahasa arab, ilmu fiqih, ilmu ushul, ilmu tafsir,
ilmu tasawuf, dan ilmu taktik militer Islam. Ilmu-ilmu tersebut beliau pelajari
dari para ulama besar yang sangat terkemuka pada abad ke-13 H di daerah
Hadhramaut, Yaman. Tercatat di antara nama-nama gurunya adal ah:
1.
Syekh Abdullah bin
Sa'ad bin Sumair
2.
Syekh Abdullah bin
Ahmad Basudan
Kitab Safinah memiliki
nama lengkap "Safinatun Najah Fiima Yajibu `ala Abdi Ii Maulah" (perahu
keselamatan di dalam mempelajari kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya).
Kitab ini walaupun kecil bentuknya akan tetapi sangatlah besar manfaatnya. Di
setiap kampung, kota dan negara hampir semua orang mempelajari dan bahkan
menghafalkannya, baik secara individu maupun kolektif.
Di berbagai negara,
kitab ini dapat diperoleh dengan mudah di berbagai lembaga pendidikan. Karena
baik para santri maupun para ulama sangatlah gemar mempelajarinya dengan teliti
dan seksama.Hal ini terjadi karena beberapa faktor, di antaranya:Kitab ini
mencakup pokok-pokok agama secara terpadu, lengkap dan utuh, dimulai dengan
bab dasardasar syari'at, kemudian bab bersuci, bab shalat, bab zakat, bab
puasa dan bab haji yang ditambahkan oleh para ulama lainnya. Kitab ini
disajikan dengan bahasa yang mudah, susunan yang ringan dan redaksi yang
gampang untuk dipahami serta dihafal. Seseorang yang serius dan memiliki kemauan
tinggi akan mampu menghafalkan seluruh isinya hanya dalam masa dua atau tiga
bulan atau mungkin lebih cepat.
RUKUN ISLAM
Arkaanul Islaami Khomsatun
: Syahaadatu An Laa Ilaaha Illallaahu Wa Annna MuhammadanRosuulullaahi , Wa
Iqoomushsholaati , Wa Iitaauzzakaati , Wa Shoumu Romadhoona, Wa Hijjul Baiti
Man Istathoo’a Ilaihi Sabiilan .
Rukun-rukun Islam yaitu 5 : Bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah , dan Mendirikan Sholat , dan
Memberikan Zakat , dan Puasa Bulan Romadhon , dan Pergi Haji bagi yg mampu
kepadanya berjalan .
Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Pertama, Kedua kalimat Syahadat yang menyatakan bahwa seseorang telah mempercayai dua hal, yaitu iman dan percaya bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul (utusan-Nya). Persaksian ini merupakan komitmen keimanan seseorang yang tidak sebatas ikrar dan retorika an sich, namun diwujudkan dalam ranah amaliyah-aplikasi religiuitasnya. Sebuah ikrar dan persaksian mengandung konsekuensi tersendiri, yaitu berupa ketaatan dan kepatuhan terhadap segenap doktrin Allah dan utusan-Nya. Keduanya diistilahkan dengan Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul. Allah dan rasul-Nya tidak bisa dipisahkan, sebab rasul-Nya lah yang menyampaikan pesan-pesan dan ajaran-ajaran langit yang turun dari Allah. Dan setiap orang Islam wajib mempercayai segenal ajaran yang dibawa oleh rasul-Nya.
Apakah persaksian tersebut harus diikrarkan atau dilafadzkan melalui lisan dan diyakini dengan hati? Atau persaksian itu cukup diyakini dengan hati, tanpa dilafadzkan dengan lisan? Para ulama tauhid berbeda pendapat. Pendapat pertama, seseorang yang meyakini dan menanamkan keimanan di dalam hati tanpa mengikrarkan dengan lisannya serta dalam kondisi normal, yaitu lisannya dapat berkata dan melafadzkan kata-kata, maka orang tersebut tetap tidak bisa dikatakan orang Islam alias masih kafir. Sedangkan urusan dia dihadapan Allah adalah hak perogratif yang tidak bisa dihukumi.
Pendapat yang kedua, yang diungkapkan sebagian besar ulama dan Imam Abu Manshur al-Maturidi menyatakan bahwa orang tersebut termasuk orang Mukmin dan Islam. Sebab pengucapan Syahadat sebagai persaksian dengan lisan hanya untuk memenuhi persyaratan administrasi negara saja, sehingga dapat menikah, mendapatkan warisan dari keluarga atau orang tua yang Islam, dll, lantaran segenap hukum-hukum tersebut tidak dapat dijalankan kecuali setelah adanya ucapan persaksian, kejelasan dan iklan atau pemberitahuan pada pihak yang berwenang, seperti pemimpin negara, bupati, dll.
Pendapat kedua tersebut didukung oleh Imam al-Ghazali, Ibnu Rusydi dan Ibnu ‘Arafah. Sebagaimana Ibnu Rusydi mengatakan bahwa “Karen Islamnya seseorang yang tertanam di dalam hati adalah keislaman yang hakiki. Jika ia mati sebelum sempat mengucapkan syahadat sebagai persaksiannya, maka ia termasuk mati dalam keadaan mukmin”.
Pendapat ketiga yang diungkapan oleh kebanyakan ulama salaf, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam as-Syafi’i menyakini bahwa orang tersebut di hadapan Allah belum dikatakan orang mukmin. Sebab pengucapan dan persaksian dengan ikrar lisan adalah sebagian dari iman atau rukum iman, atau salah satu syarat sahnya iman di dalam hati.
Sementara jika seseorang yang lidahnya tidak memungkinkan mengucapkan atau mengikrarkan seperti karena bisu (gebu) atau karena mendadak mati, maka ulama telah bersepakan bahwa orang tersebut tidak diwajibkan atau gugur kewajiban untuk melafadzkan dan mengikrarkan persaksian syahadat dengan lisan.
Kedua, menjalankan shalat. Yang dimaksudkan adalah shalat lima waktu, dzuhur, asar, maghrib, isya dan subuh. Shalat selain dari yang lima waktu adalah sunnah.
Ketiga, mengeluarkan zakat. Yaitu mengeluarkan zakat yang telah ditentukan oleh syarikat berupa harta, yaitu Onta, Kambing, Sapi, Emas, Perak, Kurma, Beras, dan anggur, yang harus dibagikan pada delapan kelompok yang berhak menerima zakat, yaitu kelompok fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, gharim (orang yang punya hutang), sabilillah, dan anak jalanan.
Keempat, mengerjakan puasa di bulan Ramadlan. Ada tiga tingkatan puasa, pertama, puasa orang awam, yaitu mengosongkan perut dari makan dan minum dan mencegah kelamin; kedua, puasa orang khusus, yaitu selain yang dikerjakan orang awam, juga mencegah seluruh anggauta badan dari pekerjaan dosa; ketiga, puasanya orang yang elite (khawash al-khawash), yaitu dengan memalingkan hati dari aktivitas yang rendah dan mengekang hatinya dari selain Allah.
Kelima, naik haji bagi yang mampu secara finansial berupa ketersediaan sangu/bekal untuk dirinya maupun nafkah untuk keluarganya.
Rukun-rukun Islam yaitu 5 : Bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah , dan Mendirikan Sholat , dan
Memberikan Zakat , dan Puasa Bulan Romadhon , dan Pergi Haji bagi yg mampu
kepadanya berjalan .
Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Pertama, Kedua kalimat Syahadat yang menyatakan bahwa seseorang telah mempercayai dua hal, yaitu iman dan percaya bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul (utusan-Nya). Persaksian ini merupakan komitmen keimanan seseorang yang tidak sebatas ikrar dan retorika an sich, namun diwujudkan dalam ranah amaliyah-aplikasi religiuitasnya. Sebuah ikrar dan persaksian mengandung konsekuensi tersendiri, yaitu berupa ketaatan dan kepatuhan terhadap segenap doktrin Allah dan utusan-Nya. Keduanya diistilahkan dengan Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul. Allah dan rasul-Nya tidak bisa dipisahkan, sebab rasul-Nya lah yang menyampaikan pesan-pesan dan ajaran-ajaran langit yang turun dari Allah. Dan setiap orang Islam wajib mempercayai segenal ajaran yang dibawa oleh rasul-Nya.
Apakah persaksian tersebut harus diikrarkan atau dilafadzkan melalui lisan dan diyakini dengan hati? Atau persaksian itu cukup diyakini dengan hati, tanpa dilafadzkan dengan lisan? Para ulama tauhid berbeda pendapat. Pendapat pertama, seseorang yang meyakini dan menanamkan keimanan di dalam hati tanpa mengikrarkan dengan lisannya serta dalam kondisi normal, yaitu lisannya dapat berkata dan melafadzkan kata-kata, maka orang tersebut tetap tidak bisa dikatakan orang Islam alias masih kafir. Sedangkan urusan dia dihadapan Allah adalah hak perogratif yang tidak bisa dihukumi.
Pendapat yang kedua, yang diungkapkan sebagian besar ulama dan Imam Abu Manshur al-Maturidi menyatakan bahwa orang tersebut termasuk orang Mukmin dan Islam. Sebab pengucapan Syahadat sebagai persaksian dengan lisan hanya untuk memenuhi persyaratan administrasi negara saja, sehingga dapat menikah, mendapatkan warisan dari keluarga atau orang tua yang Islam, dll, lantaran segenap hukum-hukum tersebut tidak dapat dijalankan kecuali setelah adanya ucapan persaksian, kejelasan dan iklan atau pemberitahuan pada pihak yang berwenang, seperti pemimpin negara, bupati, dll.
Pendapat kedua tersebut didukung oleh Imam al-Ghazali, Ibnu Rusydi dan Ibnu ‘Arafah. Sebagaimana Ibnu Rusydi mengatakan bahwa “Karen Islamnya seseorang yang tertanam di dalam hati adalah keislaman yang hakiki. Jika ia mati sebelum sempat mengucapkan syahadat sebagai persaksiannya, maka ia termasuk mati dalam keadaan mukmin”.
Pendapat ketiga yang diungkapan oleh kebanyakan ulama salaf, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam as-Syafi’i menyakini bahwa orang tersebut di hadapan Allah belum dikatakan orang mukmin. Sebab pengucapan dan persaksian dengan ikrar lisan adalah sebagian dari iman atau rukum iman, atau salah satu syarat sahnya iman di dalam hati.
Sementara jika seseorang yang lidahnya tidak memungkinkan mengucapkan atau mengikrarkan seperti karena bisu (gebu) atau karena mendadak mati, maka ulama telah bersepakan bahwa orang tersebut tidak diwajibkan atau gugur kewajiban untuk melafadzkan dan mengikrarkan persaksian syahadat dengan lisan.
Kedua, menjalankan shalat. Yang dimaksudkan adalah shalat lima waktu, dzuhur, asar, maghrib, isya dan subuh. Shalat selain dari yang lima waktu adalah sunnah.
Ketiga, mengeluarkan zakat. Yaitu mengeluarkan zakat yang telah ditentukan oleh syarikat berupa harta, yaitu Onta, Kambing, Sapi, Emas, Perak, Kurma, Beras, dan anggur, yang harus dibagikan pada delapan kelompok yang berhak menerima zakat, yaitu kelompok fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, gharim (orang yang punya hutang), sabilillah, dan anak jalanan.
Keempat, mengerjakan puasa di bulan Ramadlan. Ada tiga tingkatan puasa, pertama, puasa orang awam, yaitu mengosongkan perut dari makan dan minum dan mencegah kelamin; kedua, puasa orang khusus, yaitu selain yang dikerjakan orang awam, juga mencegah seluruh anggauta badan dari pekerjaan dosa; ketiga, puasanya orang yang elite (khawash al-khawash), yaitu dengan memalingkan hati dari aktivitas yang rendah dan mengekang hatinya dari selain Allah.
Kelima, naik haji bagi yang mampu secara finansial berupa ketersediaan sangu/bekal untuk dirinya maupun nafkah untuk keluarganya.
Posting Komentar
Posting Komentar