SYARAT ISTINJA
Syuruuthul Istinjaai
Bilhajari Tsamaaniyatun : An Yakuuna Bitsalaatsati Ahjaarin , Wa An Yunqiya
Al-Mahalla , Wa An Laa Yajiffa An-Najisu, Walaa Yantaqila , Walaa Yathroa
‘Alaihi Aakhoru , Walaa Yujaawiza Shofhatahu Wahasyafatahu , Walaa Yushiibahu
Maaun , Wa An Laa Takuuna Al-Ahjaaru Thoohirotan .
Syarat-syarat Istinja dengan batu yaitu 8 : Bahwa adalah orang yg berisitinja
itu dengan 3 batu , dan bahwa ia membersihkan tempat keluarnya najis , dan
bahwa tidak kering najisnya itu , dan tidak berpindah najisnya itu , dan tidak
datang atasnya oleh najis yg lain , dan jangan melampaui najisnya itu akan
shofhahnya dan hasyafahnya , dan jangan mengenai najis itu akan ia oleh air ,
dan bahwa adalah batunya itu suci .
Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Bersuci Dengan Batu
Bersuci adalah wajib bagi segala bentuk kotoran dan najis berupa air kencing,
tai, darah, dan lain-lain yang keluar dari salah satu kedua jalan, dimana
penyuciannya dapat menggunakan air atau menggunakan batu atau sejenis
batu, yaitu benda padat dan keras yang suci dan bukan benda yang dimulyakan
menurut Islam.
Ada dua alat atau benda yang dapat digunakan untuk bersuci, yaitu air dan batu.
Masing-masing memiliki syarat-syaratnya sendiri agar dapat digunakan sebagai
alat untuk bersuci. Di fasal (bab) ini telah diulas 8 syarat bersuci dengan
menggunakan batu. Kita boleh bersuci hanya dengan menggunakan air yang telah
memenuhi syarat untuk menghilangkan najis atau kotoran. Namun, yang lebih utama
adalah menggunakan air dan batu sekaligus dalam mensucikan najis. Caranya
adalah pertama-tama dengan menggunakan batu agar dapat menghilangkan kotoran
atau najisnya, dan kemudan langkah kedua disusul dengan menggunakan air agar
dapat menghilangkan sisa-sisa kotoran yang masih ada atau masih menempel di
badan. Namun sejatinya, jika hendak memilih salah satu dari air dan batu, maka
yang lebih utama untuk bersuci adalah dengan menggunakan air. Meski dengan
menggunakan batu juga boleh asalkan yang sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan
tersebut.
FARDHU WUDHU
Furuudh Al-Wudhuui
Sittatun : Al-Awwalu Anniyyatu , Ats-Tsaani Ghoslu Al-Wajhi , Ats-Tsaalitsu
Ghoslu Al-Yadaini Ma’a Al-Mirfaqoini, Ar-Roobi’u Mashu Syaiin Min Ar-Ro’si ,
Al-Khoomisu Ghoslu Ar-Rijlaini Ilaa Al-Ka’baini , As-Saadisu At-Tartiibu .
Fardhu-fardhu Wudhu yaitu 6 : Yang pertama Niat , yg kedua membasuh wajah , yg
ketiga membasuh 2 tangan beserta 2 sikut , yg keempat menyapu sebagian dari
kepala , yg kelima membasuh 2 kaki sampai 2 mata kaki , yg keenam tertib .
Penjelasan Makna :
Fardlu Wudlu ada Enam
Pertama, niat. Definisi niat menurut kebahasaan adalah menyengaja (qashdu), dan
menurut istilah niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan mengejakannya.
Sebab, jika pekerjaannya diakhirkan maka dinamakan ‘azam (cita-cita), jadi
bukan niat lagi. Tempatnya niat adalah di hati. Berarti jika niat dalam konteks
wudlu, maka niat dihadirkan dalam hati ketika mengerjakan pekerjaan bembasuh
wajah sebagai pekerjaan pertama dalam wudlu.
Kalimat niat dalam wudlu yaitu "Nawaytu al-wudlua li-raf’i al-hadatsi
al-asghari lil-Lahi ta’ala" (Aku berniat wudlu untuk menghilangkan
hadats kecil, karena Allah Ta’ala).
Kedua, membasuh wajah. Batasan wajah yang wajib dibasuh dalam wudlu adalah jika
arah memanjang adalah anggauta di antara tempat tumbuhnya rambut kepala secara
umum dan di bawah kedua daging geraham luar (lahyayni), yaitu kedua
tulang besar yang berada di samping bahwa wajah yang di dalam mulut merupakan
tempat tumbuhnya gigi-gigi bawah. Sedangkan batasan wajah jika melebar yaitu
anggauta di antara kedua telinga.
Ketiga, membasuh kedua tangan beserta sikut. Segala sesuatu yang ada pada
batasan tangan, baik berbentuk rambut, kutil, atau kuku, maka wajib dibasuh.
Keempat, membasuh sebagian kepala. Maksudnya adalah jika kepala seseorang yang
berambut, maka sudah dianggap cukup jika membasuh sebagian rambut yang menempel
di atas kepalanya. Tapi kepala seseorang yang tidak ditumbuhi rambut, maka
sebagian kulit kepalanya lah yang dibasuh. Tidak diwajibkan untuk membasuh
seluruh kepala.
Kelima, membasuh kedua kaki bersama kedua mata kakinya. Maksudnya segala
sesuatu yang ada pada kaki, seperti rambut, kutil, kuku, dll maka wajib dibasuh
Keenam, tartib. Artinya mendahulukan anggauta yang harus didahulukan dan
mengakhirkan anggauta yang harus didahulukan. Tidak boleh mendahulukan anggatua
yang semestinya dibasuh pada runutan akhir, dan mengakhirkan anggota yang
semestinya dibasuh pertama.
Namun, jika ada seseorang yang sedang mandi dengan menceburkan dan mekasukkan
tubuhnya secara keseluruhan di sebuah lautan, danau atau sungai yang bersih,
dengan niat berwudlu maka sah dan tartibnya dikira-kirakan saja.
NIAT DALAM WUDHU
Wanniyyatu Qoshdu Asy-Syaii
Muqtarinan Bifi’lihi . Wa Mahalluhaa Al-Qolbu . Wattalaffuzhu Bihaa Sunnatun .
Wa Waqtuhaa ‘Inda Ghosli Awwali Juz’in Minal wajhi . Wattartiibu An Laa
Tuqoddima ‘Udhwan ‘Alaa ‘Udhwin
.
Dan niat yaitu memaksudkan sesuatau berbarengan dengan perbuatannya . Dan
tempat niat adalah hati . Dan melafazkan dengannya adalah sunah . Dan waktunya
ketika membasuh awal bagian daripada wajah . Dan tertib yaitu bahwa tidak
didahului
satu anggota atasa anggota yg lain .
Penjelasan Makna :
Pengertian Niat dan Tartib
Definisi niat menurut kebahasaan adalah menyengaja (qashdu), dan menurut
istilah niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan mengejakannya. Sebab,
jika pekerjaannya diakhirkan maka dinamakan ‘azam (cita-cita), jadi bukan niat
lagi. Tempatnya niat adalah di hati. Berarti jika niat dalam konteks wudlu,
maka niat dihadirkan dalam hati ketika mengerjakan pekerjaan bembasuh wajah
sebagai pekerjaan pertama dalam wudlu.
Tartib artinya mendahulukan anggauta yang harus didahulukan dan mengakhirkan
anggauta yang harus didahulukan. Tidak boleh mendahulukan anggatua yang
semestinya dibasuh pada runutan akhir, dan mengakhirkan anggota yang semestinya
dibasuh pertama.
SYARAT WUDHU
Syuruuthul Wudhuui
‘Asyarotun : Al-Islamu , Wattamyiizu , Wannaqoou ‘Anil Haidhi Wannifaasi Wa’an
Maa Yamna’u Wushuulal Maai Ilal Basyaroti , Wa An Laa Yakuuna ‘Alal ‘Udhwi Maa
Yughoyyirul Maa-a , Wal’ilmu Bifardhiyyatihi , Wa An Laa Ya’taqida Fardhon Min
Furuudhihi Sunnatan , Wal Maau Ath-Thohuuru , Wadukhuulul Waqti , Wal Muwaalatu
Lidaaimil Hadatsi .
Syarat-syarat Wudhu yaitu 10 : Islam ,Tamyiz , dan suci dari haid dan nifas dan
dari sesuatu yg mencegah sampainya air kepada kulit , dan bahwa tidak ada atas
anggota oleh sesuatu yg mengubah air , dan mengetahui dengan segala fardhunya ,
dan bahwa ia tidak mengi’tiqodkan akan fardhu daripada fardhu-fardhunya sebagai
sunat , dan air yg suci , dan masuk waktu , dan berturut-turut bagi orang yg
senantiasa berhadas .
Penjelasan Makna :
Syarta Wudlu ada 10;
Pertama, Islam. Mengecualikan Non-Islam.
Kedua, tamyiz (pinter). Seseorang yang dapat membedakan hal dan bathil, benar
dan salah. Sedangkan anak kecil dan orang gila tidak termasuk golongan orang
yang tamyiz, sebab tidak bisa membedakan antara benar dan salah.
Ketiga, bersih dari haidl dan nifas. Jelas, sebab wudlu biasanya bertujuan
untuk mendirikan shalat. Sedangkan orang yang haidl dan nifas tidak boleh
melakukan shalat atau ibadah seperti berwudlu.
Keempat, bersih dari segala sesuatu yang dapat menghalangi sampainya air pada
kulit tubuh manusia. Seperti cat atau mangsi yang menempel di kulit seseorang
yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit seseorang dapat membatalkan wudlu
alias wudlunya tidak sah.
Kelima, tidak ada perkara yang menempel di badan yang dapat merubah karakter
air. Jika ada perkara yang menempel di tangan, misalkan, yang dapat merubah
karakter air, seperti warna, bau dan rasanya, maka akan dapat membatalkan wudlu
seseorang.
Keenam, mengetahui ke-fardluan-nya wudlu.
Ketujuh, tidak menyakini ke-fardluan sebagai ibadah sunnah
Kedelapan, menggunakan air suci dan mensucikan. Artinya air yang suci dan bukan
air najis serta bukan air yang sudah digunakan bersuci (musta’mal).
Kesembilan, masuk waktu.
Kesepuluh, muallah (tartib atau runut) cara membasuh di antara
anggota wudlu bagi orang yang memiliki hadats permanen (daim al-hadats) seperti
perempuan yang sedang menegluarkan darah istihadlhah yang disebut dengan
mustahadhlah.
PEMBATAL WUDHU
Nawaaqidul Wudhuui
Arba’atu Asyyaa-a : Al-Awwalu Al-Khooriju Min Ihdassabilaini Minal Qubuli
Wadduuri Riihun Aw Ghoyruhu Illal Maniyya , Ats-Tsaani Zawaalul ‘Aqli Binaumin
Aw Ghoyrihi Illaa Nauma Qoo’idin Mumakkanin Maq’adahu Minal Ardhi ,
Ats-Tsaalitsu Iltiqoou Basyarotai Rojulin Wamroatin Kabiiroini Ajnabiyyaini Min
Ghoyri Haailin , Ar-Roobi’u Massu Qubulil Aadamiyyi Aw Halqoti Duburihi
Bibathnil Kaffi Aw Buthuunil Ashoobi’i .
Segala yg membatalkan wudhu yaitu 4 perkara : Yang pertama yang keluar daripada
salah satu dari 2 jalan daripada kubul dan dubur angin atau selainnya kecuali
air mani , yg kedua hilang akal dengan sebab tidur atau selainnya kecuali
tidurnya orang yg duduk yg menetapkan punggungnya daripada bumi , yg ketiga
bertemunya 2 kulit laki-laki dan perempuan besar keduanya orang lain keduanya
dari tanpa dinding , yg keempat menyentuh kubul manusia atau bulatan duburnya
dengan telapak tangan atau perut jari-jari
Penjelasan Makna:
Sesuatu yang Merusak Keabsahan Wudlu ada Empat;
Pertama, sesuatu yang keluar dari salah satu dua jalan (alat kelamin depan dan
pantat), seperti kentut, tai, dan yang lainnya, atau bahkan sesuatu yang boleh
dibilang suci dan tidak biasa dikeluarkan dari kedua jalan tersebut seperti
kerikil dan ulat, kecuali mani.
Kedua, Hilangnya akal, karena salah satu dari dua faktor yaitu; 1). Kegilaan
(junun), dengan sebab sakit atau mabuk; 2). Tidur, kecuali tidurnya pada saat
duduk dan pantannya diletakkan secara langsung pada lantai yang sekiranya tidak
memungkinkan adanya renggangan atau cela keluarnya kentut. Pengecualian lagi
juga adalah tidurnya para Nabi. Karena dalam sebuah hadits dinyatakan;
"Hanya mata kami saja yang tidur. Sementara hati kami tidak pernah
tidur".
As-Syekh Muhammad ‘Ali bin Husein al-Makky al-Maliki dalam kitab Inarah ad-Duja, yang men-syarahi kitab Safinah an-Najah mendefinisikan tidur (naum) adalah
angin lembut semilir menerpa dan menguasai otak, kemudian menutupi mata dan
hati. Jika angin semilir lembut itu belum sampai pada hati seseorang, baru
sampai pada otak dan mata, maka orang tersebut pasti terserang kantuk (nu’as).
Ketiga, bersentuhannya kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, tanpa
adanya penghalang. Pengecualian yaitu kulitnya anak kecil yang belum baligh dan
tidak dapat mengundang syahwat. Sedangkan yang definisi mahram adalah seseorang
yang menurut syariah haram dinikahi dengan sebab adanya hubungan tali nasab,
seperti anak, saudara kandung, kedua orang tua, kakek dan nenek, paman, atau
dengan sebab radla’.
Keempat, menyentuh alat kelamin dengan telapak tangan atau jari-jari bagian
dalam.
Posting Komentar
Posting Komentar