Nahdlatul Ulama. |
Oleh Dedi Mulyadi*
Sejarah panjang Republik Indonesia diwarnai dengan pergulatan budaya, ideologi, hingga kepentingan paham dalam beragama. Dan, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran yang sangat vital dalam proses ini.
Kita tahu, dalam sebuah transisi, termasuk kemerdekaan sebuah bangsa, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang merupakan bagian dari hegemoni kekuasaan dengan mengatasnamakan perubahan dan peradaban -— selalu disertai dengan kepentingan. Setiap penyebaran nalar Ideologis, pasti dipengaruhi unsur subjektivitas, yang hampir pasti memiliki nilai politis ataupun ekonomis, yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang.
Tapi, NU tampaknya dapat mengesampingkan itu dengan prinsip untuk menegakkan semangat Keindonesiaan tanpa menghilangkan nilai-nilai keislaman. Dalam konteks persiapan kemerdekaan, wacana mengenai dasar negara menjadi perdebatan yang sengit. Salah satunya mengenai dimasukkan atau tidaknya kata-kata syariat Islam.
Dalam perspektif NU, Islam merupakan manifestasi nilai-nilai yang universal. Namun, secara historis, Islam memang lahir di kawasan Arab, yang secara otomatis membawa budaya Arab di dalamnya.
Meski demikian, para pendiri NU, termasuk KH Hasyim Asy’ari menilai bahwa Indonesia (yang saat itu baru akan didirikan) memiliki keragaman identitas kultural, mulai dari Jawa, Sunda, Betawi, Melayu, Batak, dan lain sebagainya.
Keragaman ini belum tentu dapat langsung berasimilasi dengan budaya Arab yang turut terbawa dalam ‘ajaran’ Islam. Untuk itu, NU menentang dimasukkannya tujuh kata yang termaktub pada Piagam Jakarta ke dalam Pancasila. Ketujuh kata itu adalah ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Penghilangan tujuh kata tersebut, dalam perspektif para pendiri NU, merupakan bagian dari Sunnah Rasulullah SAW tatkala membuat perjanjian dalam Piagam Madinah. Di sini terlihat peran NU dalam menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah negara berketuhanan, yang tetap memegang teguh Syariat Islam, tanpa menjadikannya sebagai sebuah negara Islam.
Di sini terlihat, pluralitas NU, bukan hanya Pluralitas Islam Universal, tetapi juga Pluralitas Islam Indonesia, yang mencerminkan dialektika bangsa yang demokratis dan modern. NU memang didirikan untuk menjaga keutuhan bangsa. Bagi kalangan pesantren, NU bukan sebatas organisasi belaka, melainkan jiwa dan napas masyarakat Indonesia pada umumnya. NU berkontribusi dalam memelihara keragaman suku, bahasa, dan agama. Sederhananya, keragaman itu bagi NU adalah karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk bangsa Indonesia.
Peran NU ini telah membumikan Islam menjadi agama pribumi, dengan identitas keragaman Indonesia. Pada aspek lain, kita telah melihat, sejarah panjang kontribusi NU yang sangat paham terhadap semangat kebangsaan, sehingga mampu membangun kerukunan ideologis, dan sikap tegas terhadap hegemoni kolonialis.
Dalam perspektif kedepan, tentunya semangat itu, harus mampu di manifestasikan dalam upaya membangun kesadaran berbangsa, dalam mewujudkan rasa keadilan di masyarakat. Sejarah NU adalah sejarah tawaran, bagi akselerasi ideologi dalam masa lalu, dan harus menjadi nilai tawar, untuk membangun nasionalisme kerakyatan, yang lebih luas untuk mewujudkan masyarakat yang adil sejahtera.
NU pun tentunya diharapkan mampu membangun semangat keadilan di masa kini dan masa depan. Pasalnya, semangat keadilan merupakan ideologi terkini, yang menjadi senjata ampuh untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Dan memang, tradisi NU, sejak dulu, adalah mewujudkan nilai-nilai harmonis, kompromis, tapi antihegemonis dan kapitalis.
Dialektika ideologi pembaharuan dan visi berpikir NU yang sukses dalam sejarah Indonesia, saat ini harus mulai diarahkan pada membangun akselarasi politik harmonis antara masyarakat dan negara. Proses advokasi penyadaran keberpihakan negara terhadap masyarakat dalam sistem negara terbuka harus mampu diperankan NU di tengah kebuntuan kompromi politik saat ini.
Apatisme masyarakat dan agresivitas elite, baik yang pro dan kontra, dalam panggung politik, hanya akan melahirkan peperangan dalam panggung kosong. Penonton tidak memiliki ketertarikan, lantaran berbagai lakonnya, dicurigai, sarat dengan berbagai kepentingan dalam dan luar. Hal tersebut sangat berbahaya bagi pembentukan civil society, karena elitisasi semangat kebangsaan hanya akan melahirkan rumah megah tanpa penghuni, yang dalam budaya kita disebut rumah hantu.
* Penulis Bupati Purwakarta
Ditulis ulang oleh : Dokumen Pemuda TQN Suryalaya
Sejarah panjang Republik Indonesia diwarnai dengan pergulatan budaya, ideologi, hingga kepentingan paham dalam beragama. Dan, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran yang sangat vital dalam proses ini.
Kita tahu, dalam sebuah transisi, termasuk kemerdekaan sebuah bangsa, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang merupakan bagian dari hegemoni kekuasaan dengan mengatasnamakan perubahan dan peradaban -— selalu disertai dengan kepentingan. Setiap penyebaran nalar Ideologis, pasti dipengaruhi unsur subjektivitas, yang hampir pasti memiliki nilai politis ataupun ekonomis, yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang.
Tapi, NU tampaknya dapat mengesampingkan itu dengan prinsip untuk menegakkan semangat Keindonesiaan tanpa menghilangkan nilai-nilai keislaman. Dalam konteks persiapan kemerdekaan, wacana mengenai dasar negara menjadi perdebatan yang sengit. Salah satunya mengenai dimasukkan atau tidaknya kata-kata syariat Islam.
Dalam perspektif NU, Islam merupakan manifestasi nilai-nilai yang universal. Namun, secara historis, Islam memang lahir di kawasan Arab, yang secara otomatis membawa budaya Arab di dalamnya.
Meski demikian, para pendiri NU, termasuk KH Hasyim Asy’ari menilai bahwa Indonesia (yang saat itu baru akan didirikan) memiliki keragaman identitas kultural, mulai dari Jawa, Sunda, Betawi, Melayu, Batak, dan lain sebagainya.
Keragaman ini belum tentu dapat langsung berasimilasi dengan budaya Arab yang turut terbawa dalam ‘ajaran’ Islam. Untuk itu, NU menentang dimasukkannya tujuh kata yang termaktub pada Piagam Jakarta ke dalam Pancasila. Ketujuh kata itu adalah ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Penghilangan tujuh kata tersebut, dalam perspektif para pendiri NU, merupakan bagian dari Sunnah Rasulullah SAW tatkala membuat perjanjian dalam Piagam Madinah. Di sini terlihat peran NU dalam menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah negara berketuhanan, yang tetap memegang teguh Syariat Islam, tanpa menjadikannya sebagai sebuah negara Islam.
Di sini terlihat, pluralitas NU, bukan hanya Pluralitas Islam Universal, tetapi juga Pluralitas Islam Indonesia, yang mencerminkan dialektika bangsa yang demokratis dan modern. NU memang didirikan untuk menjaga keutuhan bangsa. Bagi kalangan pesantren, NU bukan sebatas organisasi belaka, melainkan jiwa dan napas masyarakat Indonesia pada umumnya. NU berkontribusi dalam memelihara keragaman suku, bahasa, dan agama. Sederhananya, keragaman itu bagi NU adalah karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk bangsa Indonesia.
Peran NU ini telah membumikan Islam menjadi agama pribumi, dengan identitas keragaman Indonesia. Pada aspek lain, kita telah melihat, sejarah panjang kontribusi NU yang sangat paham terhadap semangat kebangsaan, sehingga mampu membangun kerukunan ideologis, dan sikap tegas terhadap hegemoni kolonialis.
Dalam perspektif kedepan, tentunya semangat itu, harus mampu di manifestasikan dalam upaya membangun kesadaran berbangsa, dalam mewujudkan rasa keadilan di masyarakat. Sejarah NU adalah sejarah tawaran, bagi akselerasi ideologi dalam masa lalu, dan harus menjadi nilai tawar, untuk membangun nasionalisme kerakyatan, yang lebih luas untuk mewujudkan masyarakat yang adil sejahtera.
NU pun tentunya diharapkan mampu membangun semangat keadilan di masa kini dan masa depan. Pasalnya, semangat keadilan merupakan ideologi terkini, yang menjadi senjata ampuh untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Dan memang, tradisi NU, sejak dulu, adalah mewujudkan nilai-nilai harmonis, kompromis, tapi antihegemonis dan kapitalis.
Dialektika ideologi pembaharuan dan visi berpikir NU yang sukses dalam sejarah Indonesia, saat ini harus mulai diarahkan pada membangun akselarasi politik harmonis antara masyarakat dan negara. Proses advokasi penyadaran keberpihakan negara terhadap masyarakat dalam sistem negara terbuka harus mampu diperankan NU di tengah kebuntuan kompromi politik saat ini.
Apatisme masyarakat dan agresivitas elite, baik yang pro dan kontra, dalam panggung politik, hanya akan melahirkan peperangan dalam panggung kosong. Penonton tidak memiliki ketertarikan, lantaran berbagai lakonnya, dicurigai, sarat dengan berbagai kepentingan dalam dan luar. Hal tersebut sangat berbahaya bagi pembentukan civil society, karena elitisasi semangat kebangsaan hanya akan melahirkan rumah megah tanpa penghuni, yang dalam budaya kita disebut rumah hantu.
* Penulis Bupati Purwakarta
Ditulis ulang oleh : Dokumen Pemuda TQN Suryalaya
Sumber dari : Republika.co.id
Redaktur: Heri Ruslan
Posting Komentar
Posting Komentar