(Shalat Jum'at di hari raya) |
Hari Raya Idhul Adha tahun 2012 ini InsyaAllah jatuh pada hari Jum'at. Beberapa ikhwan bertanya ketika Hari Raya Idhul Adha atau Idhul
Fitri jatuh pada hari Jum’at, apakah kewajiban shalat Jum'at menjadi gugur ? Apakah cukup
dengan shalat ‘Ied saja tanpa melakukanshalat Jum’at ?
Permasalahan
yang ditanyakan merupakan satu masalah yang menjadi perbedaan pendapat para
ulama. Perbedaan ini berangkat dari perbedaan mereka dalam menshahihkan hadits
dan asar seputar masalah ini dalam satu sisi, dan makna yang dimaksud olehnya
dalam sisi lain.
Di antara hadits tersebut adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa`I, Ibnu Majah dan Hakim dari Iyas bin Abi
Ramlah asy-Syami, dia berkata : "Saya melihat Mu'awiyah bin Abi Sufyan
bertanya kepada Zaid bin Arqam r.a., "Apakah
ketika bersama Rasulullah saw. engkau pernah menjumpai dua hari raya bertemu
dalam satu hari ?" Zaid bin Arqam menjawab: "Ya, saya pernah
mengalaminya". Mu'awiyah bertanya lagi: "Apa
yang dilakukan Rasulullah saw. ketika itu ?" Dia
menjawab: "Beliau melakukan shalat ‘Ied dan memberi keringanan untuk
meninggalkan shalat Jum’at. Beliau bersabda, "Barang
siapa ingin melakukan shalat Jum’at maka lakukanlah."
Juga hadits riwayat Abu Hurairah r.a., dari Nabi
saw., beliau bersabda: "Pada
hari ini telah bertemu dua hari raya. Barang siapa tidak ingin menunaikan
shalat Jum’at, maka shalat ‘Ied ini sudah menggantikannya. Sedangkan kami akan
tetap menunaikan shalat Jum’at." (HR. Abu
Dawud, Ibnu Majah dan Hakim).
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa pelaksanaan shalat ‘Ied tidak mengakibatkan gugurnya kewajiban
shalat Jum’at. Mereka berdalil dengan keumuman dalil kewajiban shalat
Jum’at untuk seluruh hari. Disamping itu shalat Jum’at dan shalat ‘Ied adalah
ibadah yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak bisa saling menggantikan.
Di sisi lain hadits dan atsar tentang keringanan untuk
tidak menunaikan shalat Jum’at tidaklah kuat untuk mengkhususkan hadits tentang
kewajiban shalat Jum’at tersebut, karena di dalam sanadnya terdapat
masalah. Ini adalah mazhab Hanafi dan Maliki.
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat –dan ini adalah
salah satu pendapat dalam Mazhab Syafi'i— bahwakewajiban shalat Jum’at menjadi
gugur bagi orang yang menunaikan shalat ‘Ied, namun orang itu tetap wajib
menunaikan shalat zhuhur. Hal ini juga berdasarkan hadits dan atsar yang
telah disebutkan sebelumnya.
Adapun jumhur ulama –termasuk Imam Syafi'i dalam pendapatnya yang paling
shahih—berpendapat wajibnya shalat Jum’at bagi orang-orang yang
tinggal dalam kawasan yang di dalamnya dilaksanakan shalat Jum’at dan gugur
dari orang-orang yang tinggal di daerah pedalaman yang syarat-syarat kewajiban
shalat Jum’at terealisasi pada mereka. Karena mewajibkan mereka untuk
menunaikan shalat Jum’at setelah shalat ‘Ied dapat menyebabkan kesulitan bagi
mereka. Dalil jumhur ulama adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam
al-Muwatha` bahwa Utsman bin Affan r.a. berkata dalam khutbanya: "Sesungguhnya pada hari
ini telah bertemu dua ‘Ied. Maka orang yang tinggal di daerah gunung jika ingin
menunggu pelaksanaan shalat Jum’at maka hendaknya dia menunggu, sedangkan orang
yang ingin kembali ke rumahnya maka aku telah mengizinkannya."
Perkataan Utsman ini tidak ditentang oleh seorang
sahabat pun, sehingga dianggap sebagai ijma’ sukuti.
Berdasarkan penjelasan Utsman inilah jumhur ulama memahami hadits keringanan
untuk tidak melaksanakan shalat Jum’at bagi orang yang telah melakuan shalat
‘Ied.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka selama
masalah ini merupakan masalah khilafiyah maka
ia bersifat lapang, dan tidak sepatutnya seseorang membenturkan pendapat satu
mazhab dengan pendapat mazhab yang lain. Dengan demikian, shalat Jum’at tetap
dilaksanakan di masjid-masjid, sebagai pengamalan terhadap hukum asalnya dan
sebagai suatu kehati-hatian dalam pelaksanaan ibadah. Dan barang siapa yang
kesulitan untuk menghadiri shalat Jum’at atau ingin mengambil rukhshah dengan
mentaklid pendapat yang menggugurkan kewajiban shalat Jum’at karena menunaikan
shalat ‘Ied, maka dia boleh melakukannya dengan syarat dia tetap melakukan
shalat zhuhur sebagai ganti dari shalat Jum’at. Juga dengan tidak menyalahkan
orang yang menghadiri shalat Jum’at, mengingkari orang yang menunaikannya di
masjid-masjid atau memicu fitnah dalam perkara yang di dalamnya para salaf
shaleh menerima adanya perbedaan pendapat.
Adapun gugurnya shalat Zhuhur karena telah
dilaksanakannya shalat ‘Ied maka pendapat yang diambil oleh jumhur ulama baik
dahulu maupun sekarang adalah bahwa shalat Jum'at jika gugur karena
suatu rukhshah (keringanan), uzur atau terlewatkan waktunya maka harus
dilaksanakan shalat Zhuhur sebagai gantinya. Sedangkan Atha' berpendapat
bahwa shalat Jum'at dan Zhuhur dianggap gugur karena telah dilaksanakannya
shalat ‘Ied. Dalil yang digunakan oleh Atha' adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud, "Ibnu Zubair r.a. melaksanakan shalat ‘Ied yang jatuh pada
hari Jum'at pada awal siang (pagi hari) bersama kami. Lalu kami pergi untuk
melaksanakan shalat Jum'at, namun ia tidak datang. Akhirnya, kami pun
melaksanakan shalat sendiri. Ketika itu Ibnu Abbas r.a. sedang berada di Thaif.
Ketika ia datang, maka kami menceritakan hal itu. Beliau pun berkata: "Ia
telah melaksanakan sunnah."
Hanya
saja riwayat ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil karena memiliki
kemungkinan makna yang lain. Sebuah dalil yang mengandung berbagai kemungkinan
menjadi batal nilai kedalilannya. Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Ibnu
Zubair tidak melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya. Bahkan penjelasan Atha'
bahwa mereka melaksanakan shalat sendiri (shalat Zhuhur) mengisyaratkan bahwa
tidak ada yang mengatakan bahwa shalat Zhuhur menjadi gugur. Pendapat ini
mungkin dapat ditafsirkan sebagai mazhab yang berpendapat kebolehan
melaksanakan shalat Jum'at sebelum tergelincir matahari (zawal). Pendapat ini
diriwayatkan dari Imam Ahmad. Bahkan diriwayatkan dari Atha' sendiri, dimana ia
pernah mengatakan, "Setiap shalat ‘Ied dilaksanakan ketika telah masuk
waktu Dhuha: shalat Jum'at, Iedul Adha dan Iedul Fitri."
Penafsiran
ini diperkuat oleh riwayat Wahb bin Kaysan yang diriwayatkan oleh Nasa`i:
"Dua ‘Ied telah berkumpul pada masa Ibnu Zubair. Maka ia pun mengakhirkan
keluar rumah hingga siang semakin tinggi. Ia lalu keluar dan berkhutbah serta
memanjangkan khutbahnya. Lalu ia turun dan melaksanakan shalat lalu tidak
melasakanakan shalat Jum'at bersama masyarakat." Sebagaimana diketahui
bahwa khutbah Jum'at dilaksanakan sebelum shalat, sedangkan khutbah ‘Ied
dilaksanakan setelah shalat. Oleh karena itu, Abul Barakat Ibnu Taimiyah
berkata, "Penjelasannya adalah bahwa ia memandang kebolehan mendahulukan
shalat Jum'at sebelum tergelinciri matahari. Zubair mensegerakan shalat Jum'at
dan menjadikannya sebagai pengganti shalat ‘Ied."
Ditambah
lagi bahwa syariat tidak pernah menjadikan shalat fardhu empat kali dalam
keadaan apapun, bahkan dalam keadaan sakit parah atau di tengah-tengah
pertempuran. Shalat fardhu tetap dilaksanakan lima kali sebagaimana ditetapkan
dalam dalil-dalil qath'i, seperti sabda Rasulullah saw. kepada seorang Arab
badui yang bertanya tentang kewajiban Islam,
خَمْسُ صَلَوَاتٍ
فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ
"Lima
shalat dalam sehari semalam." (Muttafaq
alaih dari hadits Thalhah bin Ubaidillah r.a.).
Nabi
saw. juga pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal r.a. ketika mengutusnya ke
Yaman,
فَأَعْلِمْهُمْ
أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ
يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
"Beritahulah
mereka bahwa Allah 'azza wa jalla mewajibkan mereka melakukan shalat lima kali
dalam sehari semalam." (Muttafaq
alaih dari hadits Ibnu Abbas r.a.).
Rasulullah
saw. juga bersabda,
خَمْسُ
صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ
"Lima
shalat yang diwajibkan Allah kepada para hamba-Nya." (HR.Malik, Abu Dawud, Nasa`i dari hadits
Ubadah bin Shamit r.a.).
Dan
masih banyak lagi dalil yang menjelaskan mengenai hal ini. Jika shalat fardhu
tidak dapat gugur dengan melaksanakan shalat fardhu lainnya, maka bagaimana
mungkin dapat gugur dengan melaksanakan shalat ‘Ied yang hukumnya hanyalah
fardhu kifayah dalam skala komunitas dan sunah dalam sekala pribadi?
Syariat Islam telah mewajibkan shalat lima waktu ini dalam keadaan, tempat, person
dan keadaan apapun, kecuali yang dikecualikan seperti wanita haid dan nifas.
Bahkan, ketika Nabi saw. menjelaskan lama hidup Dajjal di dunia, beliau
bersabda,
أَرْبَعُوْنَ
يَوْماً، يَوْمٌ كَسَنَةٍ، وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ، وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ، وَسَاِئُر
أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ
"Empat
puluh hari. Satu hari seperti setahun, satu hari seperti sebulan dan satu hari
seperti satu jum'at. Sisa hari-harinya seperti hari-hari kalian."
Para sahabat bertanya: "Pada hari yang seperti
setahun itu, apakah kita cukup melaksanakan shalat satu hari saja?" Beliau
menjawab: "Tidak. Tapi perkirakan
kadar waktu-waktu shalat itu." (HR. Muslim).
Ini adalah nash bahwa shalat fardhu tidak dapat gugur pada keadaan atau waktu apapun.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa shalat Jum'at dan Zhuhur menjadi gugur dengan melaksanakan shalat
‘Ied adalah tidak dapat dipegangi karena kelemahan dalilnya dalam
satu sisi dan karena ketidakpastian penisbatan pendapat ini kepada ulama yang
mengatakannya.
Sumber : Darul Ifta’
Jawaban Dari Mufti Agung Prof.
Dr. Ali Jum'ah
Posting Komentar
Posting Komentar