Tidak
semua manusia memiliki jabatan atau menyandang status sebagai pemimpin. Namun,
di sisi Allah SWT, setiap manusia tetaplah seorang pemimpin yang diamanahkan
untuk mengelola potensi diri, sumber daya, waktu, dan hidupnya.
Allah SWT bahkan telah mengangkat manusia sebagai khalifah di
bumi. Pentingnya kesadaran ini, disabdakan Rasulullah SAW, “Setiap kalian
adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawaban atas
kepemimpinannya.”
Kesadaran akan eksistensi diri dan kesadaran akan siapa dirinya yang sebenarnya, akan membantu dalam proses identifikasi dan pembentukan jati diri. Ini pada akhirnya akan berpengaruh pada pembentukan karakter dan kepribadian, juga pada pola manajemen diri dan kehidupan. Mereka yang menyadari bahwa dirinya pemimpin, maka dalam pengelolaan dan penetapan tujuan hidup senantiasa dicanangkan dengan target dan keluhuran jiwa pemimpin.
Prinsip yang dibangun, keyakinan yang terpatri, jalan hidup, akan dipola dan dirancang bagai seorang pemimpin yang sedang membangun kesuksesan.
Harga diri dan kepercayaan dirinya akan dibentuk semulia dan sekuat karakter pemimpin. Parameter hidupnya akan diukur dengan kepribadian dan pola kehidupan seorang pemimpin, Hasilnya, tata nilai, kualitas, dan prestasi dari waktu, amalan, pekerjaan, serta hidupnya, akan lebih tinggi dan mulia daripada yang tidak menyadarinya sebagai pemimpin.
Penyadaran akan ini telah digelorakan para sahabat dan ulama salaf. Imam Syafii dalam syairnya mengungkapkan, “Cita-citaku adalah cita-cita seorang raja (pemimpin). Jiwaku adalah jiwa merdeka yang sangat benci terhadap kehinaan.” Umar bin Khatab pun, memohon dalam doanya, “Ya Allah, jadikanlah kami termasuk para pemimpin yang bertakwa.”
Bila kesadaran ini terbentuk, manusia akan membina diri agar kapasitas dan kapabalitasnya memenuhi spesifikasi seorang pemimpin. Mereka akan memenuhinya dengan kesadaran, pemahaman, dan keseriusan yang kuat, mendidik dan membekali diri dengan wahyu ilahi, ilmu yang luas dan jasad yang kuat.
Proses kepemimpinan pada diri terlihat dari pengarahan, pengelolaan, dan pengendalian potensi dan sumber daya yang dimiliki. Bila didayagunakan untuk menaati Allah SWT, itulah jiwa pemimpin sejati, karena sukses mempertanggung-jawabkan amanah kepercayaan itu.
Namun, bila diserahkan pada syahwat, setan, dan orientasi dunia, dirinya telah menjadi budak. Karena bukan dirinya yang mengendalikan, tapi ada pihak lain yang mengendalikan. “Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.” (QS.An-Nahl (16): 100).
Tentunya untuk melangkah kesemua itu perlu adanya alat pengendalian diri, yakni dzikirullah. Orang yang melanggengkan dzikirullah qalbunya selalu bersandarkan kepada Allah, semua langkahnya selalu merasa diawasi oleh Allah. Setan tentunya menguasai qalbu orang yang lalai dan selalu membisikkan kekuatiran masalah duniawi sehingga dunia menguasai qalbunya.
Sebagaimana doa Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw.: Yaa Allah Jadikanlah dunia hanya sebatas genggaman tanganku jangan jadikan dunia berada dalam qalbuku..
laa ilaha illa anta subhanaka inni quntu minadzoolimiin...
Tidak
semua manusia memiliki jabatan atau menyandang status sebagai pemimpin. Namun,
di sisi Allah SWT, setiap manusia tetaplah seorang pemimpin yang diamanahkan
untuk mengelola potensi diri, sumber daya, waktu, dan hidupnya.
Allah SWT bahkan telah mengangkat manusia sebagai khalifah di
bumi. Pentingnya kesadaran ini, disabdakan Rasulullah SAW, “Setiap kalian
adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawaban atas
kepemimpinannya.”
Posting Komentar
Posting Komentar