Menu

TQN PP.Suryalaya

 


Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari memperingatkan jebakan nafsu ini. Menurutnya, andil nafsu dalam maksiat bisa tampak jelas, tetapi andil nafsu dalam ketaatan sangat samar dan merusak keikhlasan beribadah. Karena itu kebanyakan Sufi lebih memilih situasi yang berat dan sempit (qabd) karena dalam kesempitan itu nafsu tidak punya tempat. Salah satu nasihatnya yang amat bagus adalah agar orang memilih amal yang terasa lebih berat bagi nafsunya. Dengan cara ini kita bisa mengetahui apa hakikat dari nafsu itu, dan apa bentuk tipu dayanya, baik tipu dayanya dalam hal kemaksiatan maupun tipu dayanya dalam ketakwaan. Secara bertahap sifat-sifat jahat dari nafsu ini akan kelihatan dan jika “musuh” ini sudah keluar dari persembunyiannya, akan lebih mudah bagi kita untuk menyerangnya. Ketika sifat-sifat jahat sudah dikalahkan, maka Allah akan mengaruniakan sifat-sifat-Nya kepada kita. Dalam analisis terakhir, taraf tertinggi adalah ketika seseorang menyadari bahwa bahkan keberadaannya sendiri adalah “dosa yang amat besar”. Menghilangkan dosa ini sama artinya meleburkan diri dalam fana, lalu baqa, dan akhirnya memandang keindahan dan keagungan-Nya. Pada titik ini cinta ilahi seorang Sufi tidak akan lagi tergoyahkan.

Maka, murid (yang menginginkan) menjadi murad (yang diinginkan), yakni Sufi menjadi lokus sempurna bagi Allah untuk melihat Diri-Nya sendiri. Dengan cara yang sama, yang mengingat menjadi yang diingat; yang mengetahui menjadi yang diketahui. Ini adalah tahap persatuan, tahap penyaksian sejati, atau pengetahuan sejati (makrifat). Jadinya, hubungan mahabbah dan makrifat adalah hubungan yang unik: timbal-balik sekaligus menyatukan, yang satu melahirkan yang lain.

Di satu sisi, ahli makrifat mengenal Allah sebagai Keindahan dan Keagungan, yang melahirkan mahabbah. Keindahan yang dikenal adalah Keindahan Dzat-Nya dan Keindahan Sifat-Nya dan Perbuatan-Nya. Karena itu mereka merasakan keindahan dalam amal (ihsan), yakni seperti dikatakan Nabi kepada Jibril, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; dan jika engkau tidak melihat-Nya, bagaimanapun Dia melihatmu.” Yakni, melihat setiap kualitas positif dan indah dari Dzat-Nya yang termanifestasi dalam setiap lokus tajalli, mikrokosmos dan makrokosmos. Syekh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi menulis:

Penyebab cinta adalah Keindahan (jamal) yang merupakan milik-Nya, karena Keindahan dicintai lantaran dirinya sendiri (keindahan itu sendiri). “Allah itu Mahaindah dan Dia mencintai Keindahan.” Jadi Dia mencintai Diri-Nya sendiri dan penyebabnya adalah tindakan memperindah (ihsan). Tidak ada tindakan memperindah kecuali dari Allah dan tidak ada yang menjadikan indah kecuali Allah. Jadi ketika aku mencintai tindakan (amal) keindahan, aku hanya mencintai Allah semata, karena Dialah yang menciptakan keindahan (Muhsin); dan ketika aku mencintai keindahan (itu sendiri) aku tak mencintai sesuatu pun selain Allah karena Dia adalah Yang Mahaindah (Jamil). Jadi dalam setiap aspek dihubungkan hanya kepada Allah.

Di sisi lain, cinta menyebabkan orang semakin ingin mengenal yang dicintainya. Cinta dalam tingkat tertentu melahirkan makrifat. Ketika sang pencinta makin mengenal Yang Dicintai, terbitlah isyq (rindu dan cinta membara). Inilah saat ketika ruh-ruh manusia yang pada dasarnya suci kembali ke kondisi kefitriannya, diselimuti oleh Keindahan dan Keagungan Ilahi, dan lebur dalam Kesempurnaan-Nya yang Serba Menyatukan (tauhid). Saat ini terjadi maka Allah akan mempertontonkan Keindahan-Nya (Jamal) kepada kesadaran terdalam sang Sufi, yang menyebabkannya Sufi “jatuh cinta” di mana seluruh perhatiannya hanya pada Yang Dicintai sehingga Dia tak lagi melihat kepada yang lain, bahkan kepada dirinya sendiri.

Sebagian Sufi yang tenggelam dalam cinta mendalam ini mengalami guncangan dahsyat hingga mencapai ekstase, mengucapkan syatahat yang menggemparkan: ana al-haqq (Akulah Kebenaran)!; la ilaha illa al-isyq (tiada tuhan selain Cinta); subhani maa adzama syaani (Mahasuci aku, alangkah besarnya keagungan-Ku)!; laisa jubbatin siwa Allah (Tiada yang ada dalam jubahku kecuali Allah)!; anna rabbakum fa’ buduunii (Akulah Tuhanmu, taatilah aku). Jadi, ketika “keakuan” Sufi keluar atau sirna (fana), maka “Ke-Aku-an” Tuhan yang abadi akan masuk sehingga “mengabadikan” sang Sufi (baqa) bahkan sebelum Sufi itu meninggalkan dunia, mereka telah merealisasikan perintah Nabi, mutu qabla an tamutu—”matilah engkau sebelum engkau mati.” Kematian berarti leburnya sifat-sifat seseorang dalam Sifat-sifat Tuhan. Karenanya ada pepatah Sufi mengatakan “Tiada kebaikan dalam cinta tanpa kematian.”

Ketika engkau jatuh cinta, kata sebagian sufi, engkau tidak boleh berpaling kepada selain Kekasih. Sang Kekasih akan cemburu jika cinta diduakan. Tuhan tidak akan memperkenankan apa pun berbagi dengan-Nya, karena hal itu adalah syirik. Jadi, “Tuhan adalah pencemburu,” kata Wali Allah yang agung, ratunya para pencinta Tuhan, Rabi’ah Al-Adawiyah. Menyembah-Nya demi surga atau lari dari neraka menandakan seseorang masih menduakan Tuhan, demikian pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah. Dengan kata lain, orang yang beribadah demi surga berarti masih menginginkan sesuatu untuk dirinya sendiri. Ia masih mengandaikan dirinya ada. Padahal, kata Al-Hallaj, “keberadaanmu adalah dosa yang tiada bandingannya.” Dan karenanya dia berdoa agar “aku” yang menghalanginya dari “Aku” dihilangkan oleh-Nya. Ia berseru dalam sajaknya:

Antara Aku dan Kau ada sebuah ‘Aku’ yang menyiksaku.
Ambillah, demi Aku‑Mu Sendiri, milikku diantara kita.
Bunuhlah aku, o sahabat-sahabatku yang terpercaya!
Karena dalam kematianku terdapat kehidupanku.

(Bersambung ke Bagian III)

(Sumber : triwibskanyut.multiply.com) 

Posting Komentar

 
Top