Menu

TQN PP.Suryalaya

 


Imam Al-Ghazali, dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, mengisahkan cerita yang mengharukan mengenai “kematian” ini. 
Suatu ketika Nabi Ibrahim dipanggil oleh malaikat maut, namun beliau menolak mengikutinya, karena beliau tidak bisa mempercayai bahwa Tuhan akan membunuh seseorang yang begitu cinta kepada‑Nya. Tetapi malaikat mengatakan kepadanya; adakah orang mencintai menolak untuk pergi kepada kekasih­nya? Setelah didengar kata‑kata itu, dengan rela beliau menyerahkan nyawanya kepada malaikat maut. Seperti dikatakan Schimmel
Pencinta yang sudah belajar menerima kematian sebagai jembatan kepada yang dicintai seharusnya menyerahkan ‘nyawanya dengan senyum seperti bunga mawar’ (Rumi); itulah sebabnya Al‑Hallaj menari‑nari dengan tangan terbelenggu ketika dibawa untuk dihukum mati. Kaum Sufi yakin akan firman Tuhan: Jangan sebut mati mereka yang terbunuh karena Tuhan; tidak, sesungguhnya mereka hidup (QS. 3:163). Kata la dalam bagian pertama syahadat yang diumpamakan pedang itulah yang membunuh sang pencinta; kemudian tak ada yang tinggal kecuali Tuhan.
Sulthan Al-Muhibbin Maulana Jalaluddin Rumi menggambarkan keadaan cinta yang menyatukan dengan cara lain yang tak kalah eloknya:

Seseorang mengetuk pintu kekasihnya;
sang kekasih bertanya, “siapakah itu?”
Ia menjawab “aku”.
“Pergilah,” kata kekasihnya. “Engkau terlalu cepat! Di mejaku tidak ada tempat untuk yang mentah. Bagaimana yang mentah akan masak kecuali dalam api ketidakhadiran?”
Ia pun pergi dengan sedih, dan api perpisahan membakarnya sampai habis. Lalu ia kembali dan mondar-mandir di depan pintu sang kekasih.
Ia mengetuk pintu dengan memendam seratus kecemasan dan harapan, agar jangan ada ucapan kasar dari bibir sang kekasih.
“Siapa itu?” tanya sang kekasih. Ia menjawab, “Engkau, wahai pemikat segala hati.”
“Masuklah,” kata sang kekasih, “karena engkau adalah aku, masuklah. Tidak ada tempat untuk dua ‘aku’ di rumah ini.”

Syekh Sulthan al-Awliya Abu Hasan as-Syadzili mengatakan, “Sempurnalah kewalian orang yang mencintai Allah dan mencintai untuk Allah.” Syekh Qamaruzzaman al-Husaini pernah mengatakan kepada penulis bahwa beliau mencapai kedudukannya hanya karena mahabbah, Cinta Ilahi, sehingga beliau bahkan tak bisa berhenti berzikir, sebab sedetik saja beliau berhenti berzikir, nafasnya akan sesak. Seseorang yang mencintai Allah hingga ke titik tertinggi akan bisa “bercakap” langsung dengan Allah azza wa jalla, tanpa huruf dan tanpa kata.

Menurut Syekh Athaillah, ada empat tingkatan cinta: cinta untuk Allah, cinta karena Allah, cinta dengan Allah dan cinta dari Allah. Awalnya adalah cinta untuk Allah dan akhirnya cinta dari Allah – murid (yang menginginkan) menjadi murad (yang diinginkan, seperti telah dijelaskan di atas dan di bab lain buku ini). Syekh Athaillah selanjutnya menjelaskan dalam Lathaif al-Minan:

Cinta untuk Allah adalah mengutamakan Allah ketimbang selain-Nya. Cinta karena Allah adalah mencintai Wali Allah karena Allah. Cinta dengan Allah adalah mencintai orang atau sesuatu tanpa hawa nafsu. Dan cinta dari Allah adalah Dia menarikmu dari segala sesuatu sehingga hanya Dia yang kau cintai ... [Syekh Abu Hasan] menyatakan bahwa cinta adalah Allah menarik hamba-Nya dari segala sesuatu selain Dia. Ia akan selalu taat, akalnya dilindungi ma’rifat, ruhnya terserap ke dalam hadirat-Nya, dan sirr-Nya sibuk menyaksikan-Nya ... Ia mendapatkan segala hakikat dan pengetahuan, dan karenanya “Para Wali Allah adalah pengantin Allah.”

Dalam cinta sejati tidak ada “engkau dan aku” karena menurut hadis Nabi dikatakan “Seseorang sama dengan yang dicintainya,” atau juga “orang yang mencintai selalu bersama yang dicintainya” (al-muhibb ma’a man ahabba), sebagaimana pengantin selalu bersama. Tiada perpisahan di sana, hanya ada persatuan sejati, Tauhid.

Wa Allahu a’lambi ash-shawab

(Sumber tulisan : triwibskanyut.multiply.com
  Penulis : Tri Wibowo B.S. )



Posting Komentar

 
Top